Pola Rekrutmen Calon Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013-2018 Pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sumatera Utara

(1)

POLA REKRUTMEN CALON GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013-2018 PADA PARTAI DEMOKRASI

INDONESIA PERJUANGAN SUMATERA UTARA

OLEH:

Leo Agustinus Hutagalung 070906067

Dosen Pembimbing :Warjio, P.hD

Dosen Pembaca :Faisal Andri Mahrawa, S.IP, M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Leo Agustinus Hutagalung (070906067)

POLA REKRUTMEN CALON GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013-2018 PADA PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini mengenai Rekrutmen Partai Politik Dalam Pencalonan Pemilu Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis tentang keputusan PDI Perjuangan dan apa saja yang menjadi indikator partai golkar dalam menentukan calon gubernur sumatera utara dalam pemilu kepala daerah sumatera utara 2013 yang lalu. Peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian ini, karena di era demokrasi ini hanya sedikit masyarakat yang tahu bagaimana kriteria-kriteria pencalonan Kepala Daerah khususnya dari partai PDI Perjuangan , mengingat PDI Perjuangan adalah salah satu partai besar di Indonesia,

Teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan tersebut adalah Teori Rekrutmen Politik dan Teori Sistem Kepartaian politik.Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan Metode Library Research atau Studi Kepustakaan. Faktor Kader Partai adalah adalah faktor utama yang mempengaruhi keputusan PDI Perjuangan .selain itu faktor Elektabilitas calon menjadi pertimbangan kedua dari PDI Perjuangan Kata Kunci: Rekrutmen Partai Politik, Elektabilitas,


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

Leo Agustinus Hutagalung (070906067)

GOVERNOR CANDIDATE RECRUITMENT PATTERNS OF NORTH SUMATRA 2013-2018 DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN PARTY IN NORTH SUMATRA

ABSTRACT

This study on the Recruitment of Political Parties In Election Nomination of Regional Head of North Sumatra province in 2013. This study aims to identify and analyze the decision Golkar party and what are the indicators in determining the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party candidate for governor of North Sumatra in North Sumatra regional head election in 2013 ago. Researchers are very interested in doing this research, because in this era of democracy only a few people who know how the nomination criteria, especially the Regional Head of the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party, considering the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party is one big party in Indonesia.

The theory used in analyzing these issues is Recruitment Political Theory and Political Theory System Party. The research methodology used is descriptive qualitative method to Library Research Methods or Study Library. Party cadres are the factors are the main factors that influence the decision of the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party. Other than that candidate's electability factor into consideration both from the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party Keywords: Recruitment of Political Parties, electability,


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “POLA REKRUTMEN CALON GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013-2018 PADA PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN SUMATERA UTARA

Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan penulis terhadap proses rekrutmen partai politik dalam pencalonan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013. Dalam penelitan ini, peneliti tertarik untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana PDI Perjuangan menentukan calon dan apa saja indikator PDI Perjuangan dalam menentukan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam skripsi ini penulis mencoba meneliti dengan menggunakan dan Metode Library Research atau Studi Kepustakaan,


(5)

yaitu studi yang di lakukan dengan cara melakukan pengumpulan buku-buku, makalah, jurnal, ataupun literature yang berhubungan dengan penelitian ini.Metode Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu dengan cara datang langsung ke lokasi penelitian untuk menghimpun data-data yang diperlukan..

Dalam penyelesaian penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginnya serta ucapan terima kasih:

1. Kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen S-1 Ilmu Politik, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Kepada Bapak Warjio,Ph.D selaku Dosen Pembimbing I, yang sudah banyak memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan memberikan penghargaan dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.


(6)

4. Kepada Bapak Faisal Andri Mahrawa, S.IP, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang sudah banyak memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan memberikan penghargaan dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

5. Kepada Bapak/Ibu Dosen Departemen Ilmu Politik S-1 Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya selama penulis menjalani perkuliahan..

6. Kepada saudari Emma Sari Dalimunthe, S.E yang telah banyak membantu penulis dalam urusan perkuliahan sampai penulisan skripsi ini selesai

7. Kepada Orang Tua Penulis yaitu, Bapak Limbas Hutagalung dan Ibu Lisma Manik. yang telah banyak memberikan bantuan baik materil maupun moril serta doa yang selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada Saudara Penulis, Lady P Hutagalung, Lidya N Hutagalung, Lauren J Hutagalung, Lilis M Hutagalung dan


(7)

Luther M Hutagalung. Yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis.

9. Kepada teman-teman penulis di Departemen Ilmu Politik stambuk 2007, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. 10.Kepada para Narasumber terutama bapak Soetarto selaku

wakil sekretaris PDIP Sumut yang telah memberikan waktunya untuk mendukung skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna.Oleh karena itu dengan kerendahan hati mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun intelektualitas untuk perbaikan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2014


(8)

Daftar Isi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belaka………... 1

I.2. Perumusan Masalah ………... 12

I.3.PembatasanMasalah ………13

I.4. Tujuan Penelitian……… 14

I.5. Manfaat Penelitian……… 14

I.6. Kerangka Teori ……… 15

I.6.1. Kebijakan Politik ………16

I.6.1.1. Pengertian Kebijakan Politik……… 16

I.6.1.2. Pengertian Rekrutmen Politik……… 18

I.6.1.3. Metode Rekrutmen Politik ……… 22

I.6.2. Partai Politik ……… 23


(9)

I.6.2.2. Fungsi Partai Politik ……… 27

I.6.2.2.1. Partai Politik Sebagai Sarana Komunikasi Politik ………. 28

I.6.2.2.2. Partai Politik Sebagai Sarana Sosialisasi Politik ………. 31

I.6.2.2.3. Partai Politik Sebagai Sarana Rekrutmen Politik ………. 33

I.6.2.2.4. Partai Politik Sebagai Sarana Pengatur Konflik ………. 36

I.6.2.3. Sistem Kepartaian………. 37

I.6.3. Pemilihan Umum Dan Pemilihan Umum Kepala Daerah………….. 38

I.6.3.1. Pemilihan Umum ………. 38

I.6.3.2. Pemilihan Umum Kepala Daerah ………. 40

I.7. Metodologi Penelitian ……… 43

I.7.1. Jenis Penelitian ……… 43

I.7.2. Lokasi Penelitian ……… 44

I.7.3. Teknik Pengumpulan Data ……… 44

I.7.4. Teknik Analisis Data ……… 45


(10)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

II.2. Profil PDI Perjuangan ………. 48

II.2.1. Sejarah Berdirinya PDI Perjuangan ………. 48

II.2.2. Ideologi Dan Program Partai ……… 66

II.2.3.Ekonomi Nasional ……… 40

II.2.4.Hukum ……… 46

II.2.5.Pertahanan Dan Keamanan ……… 48

II.2.7.Konflik Daerah ……… 52

II.2.8.Pembangunan Jangka Panjang ………. 53

II.2.9.Sosial Budaya ………. 59

BAB III KEBIJAKAN POLITIK DPD PARTAI DEMOKRAT SUMATERA UTARA PADA PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR 2013 3.1. Kondisi Internal DPD PDI Perjuangan Sumut Menjelang Penetapan cagub dan cawagub pada pemilulkada sumut 2013 ……….. 60


(11)

3.2. Mekanisme Penetapan Calon ………. 65

3.3. Pembentukan Panitia Penjaringan Dan Penetapan

Calon Gubernur Dan Wakil Gubernur………. 75

BAB VI

Kesimpulan ……….. 82


(12)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Leo Agustinus Hutagalung (070906067)

POLA REKRUTMEN CALON GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2013-2018 PADA PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini mengenai Rekrutmen Partai Politik Dalam Pencalonan Pemilu Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis tentang keputusan PDI Perjuangan dan apa saja yang menjadi indikator partai golkar dalam menentukan calon gubernur sumatera utara dalam pemilu kepala daerah sumatera utara 2013 yang lalu. Peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian ini, karena di era demokrasi ini hanya sedikit masyarakat yang tahu bagaimana kriteria-kriteria pencalonan Kepala Daerah khususnya dari partai PDI Perjuangan , mengingat PDI Perjuangan adalah salah satu partai besar di Indonesia,

Teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan tersebut adalah Teori Rekrutmen Politik dan Teori Sistem Kepartaian politik.Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan Metode Library Research atau Studi Kepustakaan. Faktor Kader Partai adalah adalah faktor utama yang mempengaruhi keputusan PDI Perjuangan .selain itu faktor Elektabilitas calon menjadi pertimbangan kedua dari PDI Perjuangan Kata Kunci: Rekrutmen Partai Politik, Elektabilitas,


(13)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

Leo Agustinus Hutagalung (070906067)

GOVERNOR CANDIDATE RECRUITMENT PATTERNS OF NORTH SUMATRA 2013-2018 DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN PARTY IN NORTH SUMATRA

ABSTRACT

This study on the Recruitment of Political Parties In Election Nomination of Regional Head of North Sumatra province in 2013. This study aims to identify and analyze the decision Golkar party and what are the indicators in determining the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party candidate for governor of North Sumatra in North Sumatra regional head election in 2013 ago. Researchers are very interested in doing this research, because in this era of democracy only a few people who know how the nomination criteria, especially the Regional Head of the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party, considering the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party is one big party in Indonesia.

The theory used in analyzing these issues is Recruitment Political Theory and Political Theory System Party. The research methodology used is descriptive qualitative method to Library Research Methods or Study Library. Party cadres are the factors are the main factors that influence the decision of the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party. Other than that candidate's electability factor into consideration both from the Demokrasi Indonesia Perjuangan Party Keywords: Recruitment of Political Parties, electability,


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pada masa UU No.5/1974, peranan Presiden dan Mendagri sangat besar dan menentukan. Pejabat-pejabat Sekretariat Kepresidenan, Departemen Dalam Negeri, Mabes ABRI sampai Kodam pun turut ambil peranan. Pada saat UU tersebut digantikan UU No.2 tahun 1999, peranan anggota DPRD “tidak tertandingi”.Dalam hampir setiap Pilkada tercium aroma tidak sedap; politik uang. Selain itu campur tangan elite partai,baik pusat maupun daerah,untuk menentukan calon kepala daerah dan bahkan calon kepala daerah tak terpilih tak terhindarkan. Akibatnya , pilkada menjadi ajang transaksi- dengan pengertian yang luas- yang melibatkan elite-elite politik.1

Proses politik dibawah Orde Baru bukanlah demokrasi, terbukti dengan pelaksanaan beberapa pemilihan umum sebelumnya yang kerap sekali terjadi penyimpangan- penyimpangan sehingga azas langsung, bebas dan rahasia (luber) tidak berjalan sebagaimana

1 Joko J. Prihatmoko,

Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem Dan Problema Penerapan Di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal viii


(15)

mestinya sehingga boleh disebut tidak memenuhi syarat demokrasi.2

Salah satu produk reformasi yang dapat dilihat sebagai peningkatan kualitas demokrasi adalah Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Undang - Undang No. 32 tahun 2004 ditetapkan pada Oktober 2004 memberikan perubahan yang sangat signifikan dalam tata pemerintahan dan bahkan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Ini berarti semangat untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat daerah untuk berbenah sesuai dengan keinginannya. Dan pada akhirnya setiap kepala daerah akan terasa lebih dekat dengan rakyat. Artinya semua kebijakan yang akan diambil

Bergulirnya Era Reformasi yang menggantikan rezim otoriter Orde Baru telah menjadi sebuah batu lompatan bagi perjalanan demokrasi di Indonesia.Terbukti pasca memasuki era Reformasi praktek-praktek demokrasi yang sebelumnya menghadapi jalan buntu di Orde Baru secara perlahan mulai dijalankan.Salah satu contohnya adalah pelaksanaan Pemilu yang lebih demokratis.

2 Adman Nursal,

Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 78.


(16)

kepala daerah benar - benar berdasarkan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya3

Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008 perubahan kedua atas Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 59 (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Perjalanan sistem politik di Indonesia memasuki babak baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin (23/07/07). Tepat pada waktu ini Mahkamah Konstitusi

.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

3 Zaenalariefin,weebly.com: Legal Opinion calon Independen Pemilukada, diunggah


(17)

mengeluarkan Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 tentang putusan perkara permohonan Pengajuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada dasarnya merupakan putusan untuk melegitimasi secara tegas posisi calon perseorangan untuk dapat maju dalam sebuah pemilihan kepala daerah (gubernur, walikota, dan bupati) tanpa partai politik. Putusan MK tersebut merupakan langkah maju dari pelembagaan demokratisasi baik secara nasional maupun lokal.4

Sistem baru calon independen ini akan membuka ruang demokrasi arus lokal yang melahirkan persaingan sehat sebagai upaya mencari figur pemimpin berkualitas, guna menjawab tantangan daerah di tengah arus global. Persaingan melalui calon independen berimplikasi positif sebagai solusi atas pembangunan lokal di saat dukungan sumber daya alam kita yang saat ini semakin terbatas.

Secara sederhana pengertian calon independen yang dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya.

4 Zaenalariefin.weebly.com: legal opinion calon independen pemilukada, diunggah


(18)

Pemilukada mempunyai tujuan agar setiap warga daerah dapat memilih kepala pemerintahan daerah secara langsung tanpa proses perwakilan. Pemilihan kepala daerah yang dimaksud adalah pemilihan kepala daerah tingkat I (Gubernur) dan kepala daerah tingkat II (Bupati/ Walikota).Azas langsung yang terdapat dalam Pemilukada merupakan semangat baru dalam demokrasi di Indonesia.Karena dalam pelaksanaan Pemilu sebelumnya warga daerah tidak dapat memilih kepala daerah secara langsung melainkan melalui wakil-wakil rakyat di tingkat daerah (DPRD).

Dalam sebuah pelaksanaan Pemilu partai politik menjadi salah satu instrumen yang paling penting.Partai politik berperan sebagi peserta pemilu yang saling berkompetisi untuk memenangkan pemilu tersebut.Berbeda halnya dengan pemilu Presiden, pemilu Kepala Daerah tidak hanya diikuti oleh calon dari wakil partai politik melainkan juga calon dari perseorangan (Independen).Diperbolehkannya calon perseorangan dalam Pemilukada membuat kompetisi Pemilu semakin menarik.Karena dengan demikian calon kepala daerah tidak hanya berasal dari partai politik melainkan juga dapat berasal dari perorangan ataupun sekelompok orang yang berada diluar partai politik.Namun walaupun


(19)

jalur perorangan di Pemilukada telah dibuka, kemenangan dalam Pemilukada selalu didominasi oleh calon- calon dari partai politik.Hal ini membuktikan bahwa partai politik menjadi faktor yang sangat penting dalam memenangkan sebuah pemilukada.

Sekalipun faktor Partai Politik merupakan faktor penting dalam memenangkan sebuah Pemilukada, faktor individu juga menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya. Yang dimaksud dengan faktor partai politik adalah meliputi faktor ideologi partai hingga mesin politik partai/ tim pemenangan pemilu. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor individu adalah karakteristik ataupun kepribadian calon yang diusung oleh partai politik tersebut. Jadi adalah sebuah hal penting bagaimana sebuah partai politik mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam menentukan calon yang akan diusung dalam Pemilukada. Rekrutmen politik dalam menentukan calon yang akan diusung tentunya harus menentukan faktor kesamaan visi- misi terhadap partai politik hingga faktor kepribadian calon dimata masyarakat. Namun dalam era politik modern seperti sekarang ini faktor perorangan lebih dominan dibandingkan dengan faktor partai politik. Dengan kata lain masyarakat lebih melihat faktor perorangan dari pada faktor partai politik yang mengusungnya sebagai bahan pertimbangannya dalam


(20)

menentukan pilihan. Dengan demikian calon yang lebih familiar dimata masyarakat memiliki peluang yang lebih besar untuk memenangkan pemilukada. Inilah yang terkadang membuat partai politik lebih memilih calon yang berada diluar partainya/bukan kader untuk diusung dalam pemilukada dan memilih calon lain yang bukan kader yang dianggap lebih familiar dan dianggap lebih menjual secara politis di mata masyarakat.

Setiap partai politik tentunya memiliki cara yang berbeda dalam mengambil kebijakan untuk menentukan calon yang diusung dalam pemilukada. Namun pada umumnya setiap partai politik memulai rekrutmen politik dengan tahapan yang sama yaitu dengan membuka pendaftaran secara umum bagi kandidat-kandidat yang mau bertarung dalam Pemilukada5

5

Hasil pengamatan selama PKL di DPD PDIP Sumatera Utara

. Selanjutnya nama- nama yang mendaftar tersebut digodok/ dikelola di jajaran pengurus partai untuk kemudian ditentukan siapa kandidat yang dinilai paling layak dan mempunyai peluang paling besar untuk mendapat respon positif dari masyarakat pemilih. Tentunya setiap partai politik mempunyai indikator tersendiri dalam proses penggodokan nama- nama calon yang mendaftar. Untuk menguji tingkat kelayakan para calon, setiap partai


(21)

politik pada dasarnya akan melakukan evaluasi terhadap nama- nama calon tersebut.

Pentingnya sosok calon dalam menarik perhatian masyarakat/pemilih membuat partai politik menjadi sangat selektif dalam menentukan calon yang akan diusungnya. Sehingga tidak heran apabila nama kandidat calon yang akan diusung oleh partai politik baru diumumkan menjelang batas akhir pendaftaran yang diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara Pemilu (Komisi Pemilihan Umum). Ini menunjukan bahwa penentuan calon yang akan diusung memiliki serangkaian kebijakan politik yang kompleks yang sebelumnya telah dielaborasi di tingkat jajaran pengurus partai politik. Kebijakan penentuan calon yang akan diusung adalah sebuah hal serius bagi partai politik. Karena apabila calon yang diusung telah terbukti familiar dimata masyarakat dan mendapat respon positif dari pemilih maka kemungkinan untuk memenangkan pemilu menjadi lebih terbuka.

Menjadi pemenang dalam setiap Pemilukada merupakan salah satu tujuan utama setiap partai politik. Hal ini tentu berkaitan tentang keinginan setiap partai politik yang ingin berkuasa dalam pemerintahan.Persaingan dalam merebut kekuasaan inilah kemudian


(22)

yang menjelma menjadi sebuah kompetisi.Kemenangan dalam Pemilukada berarti membuka peluang untuk meraih kekuasaan di tingkat pusat.Karena kekuasaan di tingkat pusat sangat ditentukan oleh akumulasi dari kekuasaan yang dipegang di tiap daerah.Oleh sebab itu ajang Pemilukada selalu mendapat perhatian serius bagi setiap partai politik.Bahkan hampir setiap calon yang diusung oleh partai poltik dalam pemilukada tidak hanya sekedar melibatkan pengurus partai ditingkat daerah melainkan juga melibatkan kebijakan pengurus partai ditingkat pusat.

Pada tahun 2013 Sumatera Utara (Sumut) sebagai salah satu daerah tingkat I (Provinsi) di Indonesia melaksanakan Pemilukada.Seperti halnya dalam Pemilukada-Pemilukada terdahulu setiap partai politik telah sibuk menjaring calon-calon yang layak diusung untuk bertarung dalam Pemilukada tersebut.Tujuannya jelas untuk mencari calon terbaik yang dianggap mempunyai nilai yang paling menjual dalam kesempatan memenangkan Pemilukada.Indikator yang biasanya digunakan mulai dari tingkat popularitas calon, tingkat kapasitas dan kapabilitas calon, hingga mengikutsertakan faktor finansial yang dimiliki oleh calon tersebut. Faktor-faktor tersebut jelas sangat berhubungan dalam mendukung strategi yang akan digunakan


(23)

partai politik dalam memenangkan Pemilukada, tak terkecuali PDI Perjuangan.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebenarnya dapat dikategorikan sebagai partai yang cukup lama dalam sejarah pepolitikan di Indonesia. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973.6

Sebagai partai yang memiliki keterwakilan besar ditingkat pusat dan ditingkat daerah (Sumatera Utara) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sudah pasti ingin memenangkan Pemilukada Sumut yang akan dilaksanakan pada tahun 2013. Partai ini juga mempunyai kesempatan besar untuk memenangkan Pemilukada Sumut karena mempunyai nama besar dan kader yang loyal, walaupun partai ini juga harus berkoalisi dengan partai-partai agar memenuhi syarat Partai “Wong cilik” ini mengikuti Pemilu pertamanya ditahun 1999 yang menjadi pemilu pertama pasca digulirkannya era reformasi. Sekalipun partai ini menjadi pemenang dalam pemilu legislatif pada saat itu partai ini hanya mampu mendudukan calon presiden yang diusung menjadi wakil presiden saja pada tahun 1999.

6


(24)

untuk mencalonkan wakilnya. Oleh sebab itu partai ini menjadi begitu selektif dalam menentukan calon yang akan diusung dalam Pemilukada Sumut agar mampu meraup suara terbanyak. Seperti yang kita ketahui bahwa Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia dan memiliki keberagaman baik etnisitas maupun agama, toleransi masyarakat masih sangat terjaga dalam setiap sendi sosial.Bisa dikatakan bahwa Sumut merupakan barometer kerukunan di republik ini.Sehingga sangat menarik untuk meneliti Provinsi Sumatera Utara ini.

Dari penjelasan-penjelasan yang telah diurakan diatas adalah menjadi hal menarik bagi penulis untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan politik PDI Perjuangan dalam menentukan pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) yang akan diusung dalam Pemilukada Sumatera Utara.

2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu masalah yang menyatakan secara tersurat


(25)

pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan jalan pemecahannya.7

1. Kebijakan seperti apa yang diambil oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menentukan pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) yang akan diusung dalam Pemilukada Sumut 2013

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

2. Apa indikator yang digunakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menentukan pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) yang akan diusung dalam Pemilukada Sumut 2013

3.Pembatasan Masalah

Batasan masalah berfungsi untuk membatasi karya ilmiah/penelitian agar tidak melebar dan tetap fokus pada permasalahan yang akan diteliti. Adapun batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

7 Husni Usman dan Purnomo,

Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: Bumi Aksara, 2000, hal. 26


(26)

1. Penelitian ini difokuskan pada kebijakan politik yang diambil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menentukan menentukan pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) yang akan diusung dalam Pemilukada Sumut 2013.

4.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kebijakan politik seperti apa yang diambil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menentukan pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) yang akan diusung dalam Pemilukada Sumut 2013. 2. Untuk mengetahui apa yang menjadi indikator bagi Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menentukan pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) yang akan diusung dalam Pemilukada Sumut 2013.


(27)

5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik kepada penulis maupun kepada orang lain yang membacanya, terlebih lagi untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu penelitian ini diharapkan memberikan manfaat:

1. Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah sehingga menambah khasanah pemikiran penulis secara pribadi terkhusus dalam melakukan sebuah penelitian.

2. Memberikan sumbangsi pemikiran terhadap ilmu politik dalam hal kebijakan partai politik dalam menentukan pasangan calon yang akan diusung dalam sebuah Pemilihan Umum Kepala Daerah

3. Menambah rujukan bagi mahasiswa departemen Ilmu Politik Fisip USU dalam melakukan sebuah penelitian.

6. Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan teori berfikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang


(28)

telah dipilih.8

Kebijakan politik adalah kebijakan yang diambil oleh lembaga- lembaga politik, baik lembaga politik didalam ruang lingkup pemerintahan ataupun lembaga politik diluar pemerintahan.Kebijakan politik dalam ranah pemerintahan seperti kebijakan yang diambil oleh pemerintah, ataupun lembaga perwakilan.Sedangkan kebijakan yang berada di luar rana pemerintahan seperti kebijakan yang diambil oleh partai- partai politik ataupun lembaga politik lainnya.Masing- masing kebijakan ini mengikat terhadap unsur - unsur yang berada dalam ruang lingkup lembaga tersebut.

Hal ini tentu bersinergi terhadap fokus masalah yang akan diteliti oleh peneliti. Menurut F. N. Karliger, teori adalah sebuah konsep atau konstruksi yang berhubungan satu dengan yang lain, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dan fenomena. Jadi dapat dikatakan kerangka teori merupakan bagian penting dalam penelitian karena merupakan kostruksi ataupun dasar dari sebuah penelitian.

6.1. Kebijakan Politik

6.1.1. Pengertian Kebijakan Politik

8 Hadari Nawawi,

Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1955, hal. 40


(29)

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus kebijakan politik adalah kebijakan yang diambil oleh lembaga yang berada diluar pemerintahan yaitu partai politik. Kebijakan politik yang diambil partai politik yang dimaksud dalam penelitian ini berkaitan terhadap kebijakan partai politik dalam menentukan calon yang akan diusung dalam pemilihan umum kepala daerah. Tak bisa dipungkiri bahwa tujuan setiap partai politik adalah untuk merebut dan memperluas sumber- sumber kekuasaan.Hal ini berkaitan untuk menyukseskan program- program dari partai yang telah ditentukan sebelumnya.Dengan demikian partai tersebut dapat menjadi kelompok yang dominan diantara kelompok yang lainnya.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selaku partai besar dan partai yang mempunyai wakil di parlemen daerah provinsi sumatera Utara tentu mempunyai keinginan besar untuk menjadi penguasa dalam pemerintahan. Dalam pemilihan umum kepala daerah Sumatera Utara yang akan dilaksanakan pada tahun 2013 PDI Perjuangan telah mengambil kebijakan politik untuk menentukan calon yang akan diusung dalam Pemilukada tersebut. Kebijakan ini tentu sebelumnya telah di elaborasi didalam tubuh partai dengan memperhatikan


(30)

beberapa aspek yang dianggap penting untuk memenangkan pemilukada tersebut.

6.1.2. Pengertian Rekrutmen Politik

Dalam pengertian yang lebih modern, partai politik merupakan suatu kelompok politik yang mengajukan calon- calonnya untuk mengisi jabatan- jabatan publik dengan tujuan dapat mengontrol kekuasaan untuk memerintah.Defenisi ini tentunya berkaitan terhadap fungsi partai politik dalam fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik. Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota- anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik.9 Dalam pengertian lain rekrutmen politik merupakan proses penyeleksian untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan sebagainya.10

Sementara itu dalam pengertian lain, Ada dua macam mekanisme rekrutmen politik, yaitu rekrutmen yang dilakukan secara

9 Fadilah Putra,

Kebijakan Publik Analisis Terhadap Kongruensi Janji Politik Partai Dengan Realisasi Produk Kebijakan Publik di Indonesia 1999- 2003, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 19.

10 Sudijono Sastroatmodjo,

Prilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995, hal. 121


(31)

terbuka dan yang dilakukan secara tertutup. Dalam model rekrutmen terbuka, semua warga Negara yang memenuhi syarat tertentu (seperti kemampuan, kecakapan, umur, keadaan fisik) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki posisi-posisi yang ada dalam lembaga negara / pemerintah. Suasana kompetisi untuk mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar sudah teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai jawara. Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya tentang keadaan masyarakat atau yang di kenal sebagai platform politiknya serta nilai moral yang melekat dalam dirinya termasuk integritasnya.Sebaliknya, dalam sistem rekrutmen tertutup, kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok kecil orang.Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas serta integritas tokoh masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok kecil elite itu sendiri.

Setiap sistem politik mempunyai prosedur yang berbeda dalam melakukan rekrutmen politik.Kandidat yang dipercaya untuk mengisi jabatan publik tentulah haruslah kandidat yang dianggap paling berkompeten sehingga dapat memaksimalkan sistem politik tersebut.Demikian juga yang terjadi pada partai politik.Pola rekrutmen yang digunakan pastilah mengacu pada sistem politik yang diterapkan


(32)

di negara tersebut. Di Indonesia sendiri proses rekrutmen politik terhadap jabatan- jabatan publik dilakukan melalui proses pemilu. Setiap calon terlebih dahuluh harus diusulkan oleh partai politik, dan untuk jabatan tertentu dapat menggunkan jalur independen (perorangan).Seleksi yang dilakukan dimulai dari seleksi administratif hingga syarat khusus untuk setia terhadap ideologi negara.

Suatu regenerasi sangat dibutuhkan dalam partai politik sebagai tanda kehidupan politik yang sehat dalam partai politik. Regenerasi dilakukan dengan cara pengkaderan terhadap anggota- anggota yang mempunyai potensi untuk memimpin partai. Oleh sebab itu karena tujuannya adalah untuk regenerasi, maka biasanya pengkaderan dilakukan terhadap anggota- anggota yang masih dalam usia muda yag berasal dari dalam partai ataupun dari luar partai. Pengkaderan merupakan salah satu proses penting dalam partai politik karena sangat berpengaruh terhadap masa depan partai.

Dalam era reformasi seperti sekarang ini, rekrutmen politik dilaksanakan dengan lebih terbuka jika dibandingkan pada era orde baru.Keterbukaan ini berperan agar masyrakat benar- benar dilibatkan untuk menentukan individu- individu yang dipercaya untuk mengisi jabatan- jabatan publik.Derajat keterbukaan dalam sistem politik


(33)

berbanding lurus terhadap derajat demokrasi suatu negara.Jadi semakin terbuka sistem politik suatu negara dalam melakukan rekrutmen politik maka hampir dapat dipastikan semakin tinggi pula derajat demokrasi di negara tersebut. Partai politik mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan individu yang akan mengisi jabatan publik. Ini disebabkan karena partai politik diperbolehkan untuk mengajukan calonnya hampir disetiap jabatan publik yang strategis.Namun tentunya partai politik mempunyai beberapa alternatif pilihan dalam melakukan rekrutmen politik. Adapun pilihan partai politik dalam melakukan rekrutmen politik adalah sebagai berikut:

a. Partisan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas yang tinggi terhadap partai sehingga dapat direkrut untuk menduduki jabatan strategis.

b. Compartmentalization, merupakan proses yang didasarkan pada latar belakang dan pengalaman organisasi atau kegitan sosial politik seseorang. Misalnya LSM.

c. Immediate Survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang- orang yang akan direkrut.


(34)

d. Civil Service Reform, merupakan proses perekrutan berdasarkan kemampuan dan loyalitas seorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan yang lebih penting atau tinggi.11

6.1.3. Metode Rekrutmen Politik

Dalam melakukan rekrutmen politik, setiap partai politik memiliki metode yang berbeda- beda. Hal ini tentunya didasarkan pada perbedaan ideologi, garis perjuangan partai hingga proyeksi partai yang belum tentu sama antara partai satu dengan yang lainnya. Perbedaan- perbedaan inilah yang nantinya menentukan metode yang akan digunakan partai politik dalam melakukan rekrutmen politik. Tapi pada umumnya ada beberapa metode yang dilakukan dalam melakukan rekrutmen politik, yaitu sebagai berikut:

• Penarikan undian, metode ini ada metode tertua yang digunakan pada zaman Yunani kuno.

• Rotasi, metode ini digunakan untuk menghindari dominasi kekuasaan atas kelompok- kelompok tertentu.

• Perebutan kekuasaan, metode ini biasanya digunakan dalam penggulingan rezim politik.

Patronage, dalam hal ini kenaikan pangkat dapat dibeli oleh yang ingin naik jabatan dan metode ini tidak menjamin kualitas pemegang jabatan.

11


(35)

Co- Option, dalam metode ini menggunakan pemilihan oleh anggota yang ada.12

6.2. Partai Politik

6.2.1. Pengertian Partai Politik

Partai politik adalah suatu syarat mutlak dalam sebuah Negara yang menganut paham demokrasi.Di Indonesia sendiri keberadaan partai politik telah ada bahkan sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Dalam perjalanan sejarah partai politik di Indonesia tercetat telah banyak partai politik yang lahir dan malang melintang di percaturan politik nasional. Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa, partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui Pemilihan Umum.13

Partai politik bergerak dari anggapan bahwa dengn membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa

12

Ibid, hal 52

13


(36)

dikonsolidasikan.14

Ada beberapa pengertian partai politik yang didefenisikan oleh beberapa ahli.Carl J. Friedrich mendefenisikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan Dengan begitu mereka berharap dalam memberikan pengaruh yang lebih besar dan nyata dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Keterlibatan mereka dalam pembuatan keputusan akan menunjukan eksistensi mereka baik secara individu maupun secara kelompok.

Partai politik secara umum dapat digambarkan sebagai suatu kelompok yang anggota-anggotanya terorganisir dan mempunyai norma-norma, orintasi dan kesepakatan yang dijadikan tujuan bersama.Tujuan utama dari partai politik adalah untuk merebut kekuasaan politik sehingga mereka dapat menjalankan program-program ataupun kesepakatan yang ada dalam kelompok mereka. Dengan kata lain partai politik dibentuk dengan tujuan agar kepentingan dari setiap anggota yang telah diformulasikan dalam kepentingan kelompok/ partai dapat terealisasi dengan cara menduduki lembaga-lembaga kekuasaan Negara.

14 Miriam Budiardjo,

Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal.414.


(37)

merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.15

Sementara itu menurut Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties mendefenisikan partai politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguaasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

Pengertian partai politik yang dikemukakan oleh Carl J. Friedrich ini bertolak pada pemikiran bahwa pada awalnya partai politik merupakan kumpulan dari individu-individu yang terasosiasi atas asas-asas persamaan dan mempunyai tujuan yang sama. Untuk mencapai tujuan bersama tersebut kelompok yang dimaksud membutuhkan kewenangan-kewenangan yang bisa didapat dengan cara meerebut/menguasai sumber-sumber kekuasaan yang nantinya dapat bermanfaat bagi setiap individu yang berada di kelompok tersebut.

16

15Friederich,

Constitutional Government and Democracy, hlm.dalam Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 404.

16Sigmund Neumann,

Modern Political Parties, dalam Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 404


(38)

diberikan Sigmund Neumann ini merupakan pengetian partai politik di era modern dimana partai politik saling bersaing untuk merebut simpati masyarakat sehingga dapat dipercaya untuk menguasaai lembaga- lembaga kekuasaan.Dengan demikian partai politik menjadi sebuah perantara besar yang menghubungkan kekuatan- kekuatan politik dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintahan yang resmi.

Giovanni Sartori adalah ahli lain yang merintis mengenai studi kepartaian. Ia mendefenisikan partai politik sebagai suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon- calonnya untuk menduduki jabatan- jabatan politik.17

17

G. Sartori, Parties and Party Systems, hlm. 63 dalam Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 404

Defenisi ini lebih bersifat taktis karena menghubungkan langsung partai politik dengan pemilu dan tujuannya langsung untuk memperoleh kekuasaan dengan cara menempatkan wakil- wakilnya pada jabatan- jabatan publik. Pengertian yang dikemukan Giovanni Sartori ini mungkin dapat dikatakan sebagai cerminan partai- partai politik di era modern seperti sekarang ini.


(39)

6.2.2. Fungsi Partai Politik

Pandangan partai politik diantara negara yang menganut asas demokrasi tentulah berbeda dengan negara yang otoriter.Perbedaan pandangan ini tentulah berimplikasi kepada fungsi partai politik yang ada dalam negara tersebut.Di negara yang menganut paham demokrasi, partai politik menjalankan fungsi sesuai hakikat awal partai itu terbentuk.Yaitu sebagai sarana aspirasi bagi masyarakat untuk terlibat dalam persoalan persoalan negara. Sebaliknya dinegara yang menganut paham otoriter, partai politik cenderung menyimpang dari hakikatnya melainkan cenderung hanya menjadi motor yang menjalankan kehendak penguasa.

Dalam bagian ini peneliti akan menguraikan fungsi partai politik di negara yang menganut paham demokrasi seperti halnya Indonesia. Adapun fungsi partai politik di negara demokrasi adalah sebagai berikut.

6.2.2.1. Sebagai Sarana Komunikasi politik

Seperti yang telah dikemukan diatas bahwa pada awalnya partai politik dibentuk untuk menampung aspirasi dari masyarakat untuk selanjutnya dapat disuksesikan kepada lembaga penyelenggara


(40)

negara. Aspirasi yang dimaksud dapat berupa tuntutan ataupun kepentingan yang dianggap menjadi sebuah permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan harapan apa yang menjadi aspirasi tersebut dapat diterima oleh lembaga negara dan kemudian dijadikan sebagai kebijakan umum. Itulah sebabnya partai politik dipandang sebagai media perantara antara rakyat dengan pemerintah atau dengan kata lain partai politik sebagai sarana komunikasi politik antara pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah.18

Dalam negara demokrasi yang pluralis seperti Indonesia tentu terdapat banayak suara-suara ataupun aspirasi yang berkembang dari setiap individu. Suara ataupun aspirasi tersebut akan hilang begitu saja apabila tidak dihimpun ataupun ditampung dengan aspirasi dari individu lain yang mempunyai suara yang senada. Proses seperrti ini dalam sebuah sistem politik dinamakan sebagai penggabungan kepentingan (interest aggregation). Langkah selanjutnya setelah proses penggabungan kepentingan tersebut adalah pengolahan dan perumusan Partai politik juga harus peka ataupun responsif terhadap tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat sehingga secara maksimal dapat disalurkan ke lembaga pemerintah pembuat kebijakan.

18 Budi Winarno,

Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta: Media Pressindo, 2007, hal. 98


(41)

dari kepentingan-kepentingan tersebut agar menjadi linear dan teratur. Proses seperti ini dinamakan sebagai perumusan kepentingan (interest articulation).

Apabila tidak ada yang bertugas untuk mengagregasi dan mengartikulasi maka kepentingan dari setiap individu akan ricuh dan saling berbenturan. Jadi proses agregasi dan artikulasi kepentingan tersebut dapat mengurangi benturan antara kepentingan- kepentingan individu tersebut. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi dari komunikasi partai politik19

19

Miriam Budiardjo, Op. Cit. 406.

.

Selanjutnya formulasi kepentingan tersebut dielaborasi ditatanan partai politik untuk disusun menjadi usulan kebijakan.Usulan kebijakan tersebut kemudian dibahas untuk dijadikan platform partai dan kemudian diperjuangkan ke pemerintah melalui wakil- wakil mereka di parlemen dengan harapan dapat diwujudkan menjadi sebuah kebijakan publik (public policy).Seperti itulah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui perantara partai politik.


(42)

Dalam uraian diatas telah dibahas bagaimana partai politik berfungsi sebagai sarana komunikasi politik yang sifatnya bergerak dari bawah (masyarakat) ke atas (pemerintah).Partai politik juga berperan sebagai sarana komunikasi politik dari atas ke bawah. Patai politik berperan untuk memperbincangkan rencana kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah untuk disampaikan kepada umum (masyarakat). Dengan begitu akan terjadi arus informasi yang berimbang dan dialog dua arah antara masyarakat dan pemerintah. Peran partai politik sebagai jembatan sangat perlu dijaga karena disatu sisi pemerintah perlu agar masyarakat mengetahui dan memahami kebijakan- kebijakan yang akan diambil dan di sisi lain pemerintah perlu untuk tanggap dan merespon kepentingan ataupun tuntutan yang ada di masyarakat.

Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik disebut sebagai perantara terhadap kepentingan antara pemerintah dan masyarakat.Terkadang sering dikatakan bahwa bagi pemerintah partai politik berperan sebagai alat pendengar sedangkan bagi masyarakat sendiri partai politik berperan sebagai pengeras suara yang bertindak untuk menyampaikan suara- suara masyarakat.Namun dalam kenyataannya sering sekali fungsi komunikasi politik dalam partai


(43)

politik berjalan berat sebelah yang dapat mengancam kehidupan politik yang tidak sehat.

6.2.2.2. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orintasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban.20

Dalam bebeapa konteks, sosialisasi politik juga di identikan dengan pendidikan politik. Yaitu bagaimana setiap individu mengalami sebuah proses pembelajaran untuk tanggap terhadap gejala- gejala politik yang ada disekitarnya. Proses sosialisasi politik berjalan secara bertahap dari anak- anak hingga dewasa. Ia berkembang dari

Sosialisai politik merupakan sebuah proses pengenalan terhadap norma- norma politik dari suatu generasi ke genarasi selanjutnya. Jadi menjadi wajar apabila sosialisasi politik di ibaratkan sebagai ciakal bakal bagi pembentukan budaya politik.

20


(44)

lingkungan keluarga, rekan kerja, ataupun pengalaman yang dialami oleh individu tersebut. Dengan demikian proses sosialisasi politik tidak akan berhenti hingga akhir hidup selama individu tersebut masih bersosialisasi dengan lingkungannya.

Partai politik sangat berperan dalam menyalurkan fungsi sosialisasi politik yang telah diuraikan diatas.oleh karena itu partai politik diharapkan mampu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar menanamkan nilai- nilai politik kepada generasi yang lebih muda. Hal ini berhubungan terhadap fungsi transformasi norma- norma politik. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat memahami tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Adapun cara- cara yang digunakan partai politik dalam melakukan sosialisasi politik adalah melalui media massa, kursus- kursus, penataran, dan sebagainya. Selain itu dalam fungsi sosialisasi politik ini partai politik juga berperan membantu sistem politik dalam mensosialisasikan sistem politik dan mendidik anggota- anggotanya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab terhadap kepentingan sendiri dan kepentingan nasional.21

2121


(45)

Jika kita mengamati sisi lain dari fungsi sosialisasi politik yang dilakukan partai politik adalah untuk menciptakan image/ citra bahwa partai benar- benar memperjuangkan kepeentingan masyarakat. Ini merupakan suatu hal yang sangat penting agar partai mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk menguasi kekuasaan pemerintah yang merpakan tujuan dari partai politik.Untuk itu setiap partai berusaha untuk mendapatkan dukungan seluas mungkin dan mengkader anggotanya agar mempunyai solidaritas terhadap partainya.

6.2.2.3. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik berhubungan kepada upaya partai politik untuk mencari dan mengajak orang- orang tertentu bergabung kedalam partai.Partai politik juga berperan untuk menyeleksi para anggotanaya kemudian untuk diusulkan menjadi calon pemimpin partai.Tentunya kader- kader yang diproyeksikan menjadi pemimpin partai adalah kader- kader yang berkualitas karena bertujuan untuk mengembangkan partai menjadi lebih besar. Untuk merekrut calon anggota cara yang digunakan mungkin dengan cara melakukan pengkaderan yang sebelumnya diawali dengan kontak pribadi, persuasi dan lain- lain. Sedangkan dalam hal perekrutan untuk calon pemimpin partai, biasanya setiap partai membentuk sebuah tim untuk membuat


(46)

kualifikasi calon pemimpin yang ideal. Kemudian barulah kemudian diadakan pemilihan untuk menentukan calon pemimpin partai politik tersebut.

Namun fungsi rekrutmen politik yang dijalankan oleh partai politik tidak hanya terbatas pada fungsi internal saja.Partai politik juga mempunyai peran rekrutmen politik terhadap calon pemimpin nasional. Namun biasanya calon yang akan direkrut untuk diusung menjadi pemimpin nasional merupakan calon yang berada dalam partai politik tersebut. Alasannya jelas agar calon tersebut dapat memperjuangkan apa yang selama ini diperjuangkan oleh partai politik. Sedangkan untuk merekrut calon yang berada di luar partai harus memperhatikan beberapa hal terutama masalah ideologi partai, garis perjuangan partai, dan kesempatan partai untuk berkuasa dalam pemerintahan.Rekrutmen partai politik meliputi perekrutan untuk diusulkan menjadi wakil- wakil rakyat dari pusat hingga daerah dan pemimpin pemerintahan pusat hingga daerah.

Fokus penelitian ini adalah mengenai perekrutan yang dilakukan oleh partai politik dalam menentukan calon yang akan diusung dalam pemilihan kepala daerah. Yaitu mengenai kebijakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menentukan pasangan


(47)

calon yang akan diusung dalam pemilihan kepala daerah di Sumatera Utara (pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur) 2013.

6.2.2.4. Sebagai Sarana Pengatur Konflik

Dalam negara yang komposisi masyarakatnya heterogen seperti Indonesia potensi untuk terrjadinya konflik mempunyai peluang yang cukup besar.Di negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan golongan maka sangat rentan untuk terjadi konflik horizontal. Dalam negara demokrasi yang menganut azas kebebasan maka akan sangat mungkin terjadi benturan- benturan pemikiran ataupun kepentingan yang dapat menyulut terjadinya konflik atas perbedaan- perbedaan tersebut. Potensi konflik seperti ini jelas harus dihindari agar terhindar dari masalah disintegrasi bangsa.

Dalam hal ini partai politik diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut atau paling tidak dapat membantu untuk menekan potensi konflik yang dapat timbul dari perbedaan- perbedaan yang ada di masyarakat.Elit partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.22

22

Op. Cit. hal. 409.


(48)

psikologis diantara warga- negara sehingga dapat menciptakan keakraban diantara masyarakat.

6.2.3. Sistem Kepartaian

Pada umumnya sistem kepartaian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi partai dan sistem multi partai. Penggunaan atas sistem kepartaian ini disesuaikan terhadap negara yang menerapkannya.Negara yang masyarakatnya majemuk seperti Indonesia cenderrung menggunakan sistem multi partai.Hal ini tentu berhubungan dikarenakan terdapat berbagai macam suku, agama, golongan dan kelompok kepentingan dalam negara tersebut. Sehingga setiap kelompok akan membentuk kelompok politiknya sendiri sesuai dengan prinsip yang lebih dekat kepada mereka. Maka oleh sebab itu sistem ini lebih mampu untuk menyalurkan keanekaragaman budaya dan politik dibandingkan sistem kepartaian lainnya.

Namun walaupun demikian bukan berarti sistem multi partai tidak mempunyai kelemahan. Kelemahan dari sistem kepartaian seperti adalah terjadinya pertumbuhan politik yang berlebihan dikarenakan banyaknya partai yang tumbuh dengan ideologi yang berbeda- beda. Hal ini kemudian dapat membuat masyarakat semakin terkotak- kotak


(49)

menurut ideologi partai politik tersebut. Persaingan antar partai juga tidak akan ada habisnya karena setiap partai mempunyai tujuan sama untuk merebut simpati masyarakat untuk kemudian merebut kekuasaan negara/ pemerintahan. Persaingan antara partai politik ini juga dapat memicu terjadinya persaingan diantara peendukung partai yang dapat menyebabkan konflik horizontal di masyarakat.

6.3.Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah

6.3.1. Pemilihan Umum

Pemilihan umum atau yang disingkat dengan Pemilu merupakan suatu partisipasi politik masyarakat biasa dalam mempengaruhi suatu kebiajakan.Pada hakikatnya Pemilu bertujuan untuk memilih wakil- wakil rakyat untuk menduduki jabatan- jabatan publik.Jabatan- jabatan publik yang dimaksud meliputi wakil- wakil legislatif dan eksekutif baik ditingkat pusat ataupun daerah.Wakil- wakil rakyat ini bertugas untuk menjalankan kedaulatan rakyat yang telah diserahkan kepada mereka.

Di Indonesia sendiri, pelaksanaan Pemilu pertama kali dilakukan pada tahun 1955. Dalam perjalanan sejarah pelaksanaan Pemilu di Indonesia, Pemilu tahun 1955 ini dinilai yang paling


(50)

demokratis karena memiliki jumlah peserta yang paling banyak dibandingkan dengan pemilu- pemilu lainnya. Memasuki masa Orde Baru ada penurunan terhadap jumlah peserta Pemilu.Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada saat itu yang melakukan fusi terhadap partai- partai pada Orde Lama.Dalam pemerintahan Orde Baru tercatat hanya ada 3 kompetitor dalam pemilu yaitu Partai Persatuan Pembangunan (fusi partai- partai Islam) dan Partai Demokrasi Indonesia (fusi partai- partai nasionalis dan Kristen).Banyak kalangan menilai bahwa era pemerintahan ini merupakan era pemerintahan yang anti demokrasi karena mengekang kebebasan individu dan kelompok.

Gulingnya rezim otoriter Orde Baru yang digantikan oleh Era Reformasi membawa semangat baru bagi pembangunan demokrasi di Indonesia.Hal ini dibuktikan dengan diambilnya kebijakan- kebijakan yang menyokong tonggak demokrasi di Indonesia.Salah satu buktinya adalah dengan adanya pembatasan masa kekuasaan presiden dua periode yang bertujuan untuk menghindari kekuasaan yang otoriter, yakni hanya 2 periode saja.23

23

Dpr.go.id diunggah tanggal 18 juli 2013 pukul 23.07

Selain itu kebebasan untuk mendirikan organisasi- organisasi politik menjadi sebuah pelepas dahaga


(51)

akankehidupan demokrasi yang telah di rampas oleh rezim militer orde baru. Kehidupan terus tumbuh di era reformasi sekalipun terkadang terjadi pasang surut dalam perjalanannya.

Salah satu produk reformasi yang membawa pencerahan bagi iklim demokrasi adalah dengan diselenggarakannya pemilihan kepala pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah secara langsung.Sebelumnya pemimpin pemerintahan pusat dan daerah hanya dilakukan oleh lembaga perwakilan saja, namun sekarang telah di serahkan kepada rakyat secara langsung. Ini bertujuan agar rakyat benar- benar terlibat langsung untuk ikut serta dalam menentukan orang/ individu yang akan memiliki kuasa di pemerintahan pusat maupun daerah. Sekalipun pelaksanaan pemilu langsung sangat menyedot anggaran negara, namun banyak pihak yang memberikan apresiasi atas pemilu langsung ini.

6.3.2. Pemilihan Umum Kepala Daerah

Pemilihan kepala daerah dan wakil daerah berdasarkan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan kepala daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor


(52)

49 tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 adalah “ sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dibawah pemerintahan Provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.24

Pasal 56 (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. (2) Pasangan calon sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan pasal 56 ayat (2) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah salah satu kepala daerah dari NTB mengajukan pengujian Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terkhusus dengan kaitannya terhadap calon perseorangan untuk ikut dalam pemilihan umum kepala daerah. Setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan atas calon perseorangan tersebut, maka pada tanggal 28 pemerintah menerbitkan


(53)

Undang- Undang nomor 12 Tahun 2008 sebagai pengganti Undang- Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Diterapkannya sistem pemilihan langsung merupakan sebuah koreksi atas penyelenggaraan pemilu kepala daerah yang selama ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penggunaan format pemilihan langsung merupakan sebuah tuntutan dari era demokrasi yang menginginkan liberalisasi dibidang politik. Pemilihan umum kepala daerah juga menunjukan perkembangan kehidupan demokrasi di daerah kearah yang lebih baik. Ini disebabkan karena rakyat didaerah diberi kebebasan dan kesempatan untuk memilih kepala daerahnya sendiri tanpa proses perwakilan.

Di Provinsi Sumatera Utara sendiri, pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang akan dilaksanakan pada tahun 2013 merupakan pemilukada kedua yang dilakukan secara langsung. Sebelumnya pemilukada langsung dilakukan untuk memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur Periode 2008- 2013.Pada pemilukada tersebut pasangan Syamsul Arifin- Gatot Pujonugroho yang di usung gabungan partai- partai kecil mampu mengalahkan calon- calon yang di usung oleh partai- partai besar. Jadi menarik untuk diteliti apakah pada pemilihan umum Gubernur dan Wakli Gubernur Sumatera Utara


(54)

tahun 2013 calon yang diusung partai besar seperti halnya PDIP mampu memenangkan Pemilukada tersebut.

7. Metodologi Penelitian

7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu dengan menggunakan pendekatan analisis yaitu suatu metode dalam meneliti satu objek, kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu peristiwa yang terjadi di masa sekarang. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah- masalah yang ada dalam masyarakat dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta hubungan- hubungan kegiatan, sikap- sikap, pandangan dan proses yang sedang berlangsung juga suatu pengaruh- pengaruh dari suatu fenomena.25

25

Mohamad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1998, hal. 4.

7.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Provinsi Sumatera utara, yang terletak di JL. Hayam Wuruk No 11 Medan.


(55)

7.3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh informasi, keterangan- keterangan atau fakta- fakta yang diperlukan, maka penulis menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Metode Library Research atau Studi Kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan buku- buku, makalah, jurnal, ataupun literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Metode Penelitian Lapangan ( Field Research), yaitu dengan cara datang langsung ke lokasi penelitian untuk menghimpun data- data yang diperlukan dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber terkait.

7.4. Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan metode kualitatif. Jenis analisa data seperti ini banyak digunakan pada jenis penelitian yang bersifat deskriftif, yaitu suatu metode yang lebih didasarkan kepada pemberian gambaran yang terperinci yang mengutamakan penghayatan dan berusaha memahami suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut


(56)

pandangan peneliti.26

Pada Bab ini akan menggambarkan lokasi penelitian, dalam hal ini adalah profil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan khususnya Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan provinsi Sumatera Utara

Untuk analisis data kualitatif dilakukan pada data yang tidak dapat dihitung berwujud kasus- kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka- angka.

7.5. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

Bab ini akan menguraikan latar belakang masalah, pokok permasalahan yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi yang digunakan dalam penelitian, kerangka teori yang menjadi landasan pemikiran serta sistematika penelitian.

BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian

26


(57)

BAB III Hasil dan Analisa Data

Pada bab ini akan memuat hasil dan analisa data yang didapat dalam proses penelitian ini. Yaitu mengenai proses rekrutmen yang dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menyeleksi calon Gubernur dan Wakil Gubernur masa periode 2013- 2018 yang akan bertarung dalam Pemilihan Umum kepala daerah di Provinsi Sumatera Utara.

BAB IV Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini, yaitu berisi mengenai kesimpulan yang diperoleh dari hasil- hasil pembahasan pada bab- bab sebelumnya. Serta saran- saran yang diberikan penulis dalam melihat masalah yang terdapat dalam penelitian ini.


(58)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

II.1. Sejarah Lahirnya PDI Perjuangan

Sejarah lahirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDI Perjuangan) tidak bisa dilepas dari konflik yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan menguatnya sosok Megawati Soekarnoputri di panggung politik.

PDI lahir pada 10 Januari 1973, sebagai fusi dari 5 partai politik (parpol) pasca Pemilu 1971, yang tergabung dalam Kelompok Demokrasi Pembangunan. Kelima parpol tersebut adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik. Berfusinya kelima parpol memang tak lepas dari peranan pemerintah saat itu yang berupaya menjalankan agenda politik memperkecil jumlah parpol dengan alas an untuk lebih mudah mengendalikan stabilitas politik.


(59)

Para deklarator PDI yang terlibat pada saat fusi itu antara lain : Mohammad Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI), Ben Mang Reng Say dan FS Wignyosumarsono (Partai Katolik), Sabam Sirait dan A.Wenas (Parkindo), S Murbantoko dan Djon Pakan (Partai Murba) sementara dari IPKI diwakili Achmad Sukmadidjaja dan MH Sadri. Namun di kemudian hari, pada 11 Oktober 1994, IPKI menyatakan diri kembali kepada jati diri ormas yang independen, non politik dan non afiliasi.

Komposisi partai menyusun yang terdiri dari berbagai latar belakang itu membuat PDI harus mengakomodasi berbagai perbedaan bentuk dan warna politik.Secara umum dua parpol Kristen menganut aliran keagamaan, sementara sisanya nasionalisme dalam variasi masing-masing. Pada rapat pertama lima pimpinan parpol, Mohammad Isnaeni, Ketua PNI, terpilih menjadi Ketua Umum PDI yang pertama. Sementara petinggi dari partai kepengurusan PDI saat itu terdiri dari 25 anggota MPP (Majelis Pimpinan Pusat) dan 11 DPP (Dewan Pimpinan Pusat) termasuk Ketua Umum, 5 Ketua dan 4 Sekjen.

Konflik dalam tubuh partai hasil fusi dengan banyaknya jajaran pimpinan (ketua dan sekjen) segara terlihat sejak tahun – tahun awal.Baru berusia tiga tahun, struktur kepemimpinan PDI sudah goyah oleh pertentangan antara Mohammad Isnaeni yang pada saat itu


(60)

menjabat sebagai Ketua DPR/MPR dengan Soenawar Soekawati, yang menjabat Menteri Negara Bidang Kesra Kabinnet Pembangunan II.Banyak pertentangan yang terjadi pada kepemimpinan PDI dan tidak jelas penyebab pertentangan petinggi PDI tersebut.Dan akhirnya di dalam Kongres I PDI pada 13 April 1976 akhirnya diputuskan bahwa kedua petinggi yang bertentangan tidak lagi menjadi pemimpin DPP.

Setelah konflik tersebut, rentetan konflik dalam struktur DPP kembali terjadi berulang-ulang.Secara umum pemicunya adalah adalah tokoh elite yang sebelumnya pernah berseteru. Dua tahun setelah penyelesaian konflik di tingkat DPP PDI selesai, pada 2 Januari 1978 muncul DPP tandingan dengan pimpinan Mohammad Isnaeni. Kubu Isnaeni berupaya menyaingi Ketua DPP hasil Kongres Usep Ranuwidjaya.Sebagai perwujudan sikap oposisi, mereka berencana merayakan HUT ke-5 PDI dengan tanggal yang berbeda. Kubu Isnaeni akan merayakan pada tanggal 17 Januari 1978. Sementara DPP hasil Kongres menyatakan HUT PDI akan dirayakan lebih awal pada tanggal 10 Januari 1978. Meski tampak kronis, perseteruan antara kedua kelompok petinggi yang bersaing ini akhirnya bisa dipersatukan kembali dalam sebuah pertemuan di gedung BAKIN Jakarta.Sebagai


(61)

langkah kompromi, Mohammad Isnaeni dan kelompoknya dimasukkan ke dalam jajaran kepengurusan Ketua DPP.

Pasca penyelesaian konflik di antara kelompok tersebut, masalah bukannya selesai.Keresahan timbul di antara kader pada lapisan bawahnya.Kelompok Isnaeni tampaknya tidak berhenti oleh kesepakan di lapisan DPP.

Ragam konflik yang terjadi dalam lima tahun pertama berdirinya PDI pada dasarnya menjadi ciri khas dinamika internal PDI yang berkelanjutan pada wktu-waktu sesudahnya. Di tengah percaturan politik nasional yang terjadi saat itu terdiri 3 orsospol, PDI menjadi satu-satunya partai yang paling sering dilanda kegudahan internal.Pada satu sisi, demokrasi dan kebebasan banteng ini. Namun di sisi lain, kebebasan berpendapat membuat friksi antarkader mudah meledak menjadi konflik terbuka. Hingga pada tahun 1978, belum ada konflik di tubuh PDI yang mejadi pertentangan fisik.Namun keadaan mulai berubah. Tercatat pada tanggal 15 Desember 1979 sebuah kelompok menamakan diri Pimpinan Pelaksana Harian DPP yang diketuai AP Batubara menganmbil alih kantor DPP PDI dan menjalankan tugas keseharian DPP. Demikian pula pada era 1980-an, konflik yang terjadi


(62)

masih melibatkan nama tokoh-tokoh elit lama seperti Hardjanto Sumodisastro yang berseteru dengan Soenawar Soekawati.

Satu dekade setelahnya, PDI masih terus direpotkan oleh berbagai pertentangan di antara jajaran elit partai. Ketua Umum pada saat itu, Soerjadi, ditentang kelompok Achmad Subagyo yang membuat maneuver politik dengan membentuk DPP Peralihan pada 21 Agustus 1991. Kelompok Subagyo yang didukung oleh aparat keamanan beranggapan DPP PDI pimpinan Soerjadi sudah demisioner sejak 2 Mei 1991.Perjalanan konflik itu terus berlanjut hingga terselenggaranya Kongres PDI VI di Medan.

Intervensi pemerintah PDI melalui tangan-tangan aparat keamanan dan pejabat sospol dalam berbagai kemelut di tubuh PDI sudah berlangsung sejak lahirnya PDI.Peranan pemerintah juga sangat kentara dalam era naiknya Soerjadi sebagai DPP PDI.Saat itu pemerintah menunjuk Soerjadi menduduki tampuk pimpinan partai periode 1986-1993, setelah kegagalan Kongres III PDI di Jakarta. Sama seperti kekisruhan sebelumnya, kekisruhan selalu terjadi pada bagian tata cara pemilihan pengurus baru di DPP, alias terjadi perebutan jabatan partai. Melalui Mentri Dalam NegerinSupardjo Rustam, pemerintah sebagai pemegang mandate pembentukan


(63)

kepengurusan DPP PDI saat itu menunjuk Soerjadi sebagai Ketua Umum yang didampingi Sekjen Nicolaus Daryanto.

Namun dalam perjalannya, sikap Soerjadi yang diharapkan akomodatif terhadap kebijakan Presiden Soeharto, dalam kenyataannya justru berlawanan.Tidak tanggung-tanggung kritik bahkan ditujukan kepada Presiden Soeharto langsung.

Isu paling berani adalah tentang pembatasan masa jabatan Presiden serta pemilihan Presiden dan Wapres dengan mekanisme suara terbanyak.Pada saat itu, mekanisme suara terbanyak (voting) merupakan barang “halal” yang dianggap tabuh.Pemerintahan Soeharto pada saat itu berusaha keras menekankan perlunya dikedepankan musyawarah mufakat dalam mengambil sebuah keputussan bersama.Dalam tubuh partai PDI, Soerjadi mendorong keberanian kader PDI agar menolak menandatangani perolehan suara Pemili 1993 jika mereka menilai hasil itu mengandung kecurangan.

Terlepas dari intervensi dan tekanan terhadap DPP PDI, di tangan Soerjadi PDI berkembang pesat menjadi partai yang kian di perhitungkan.Artinya, niat pemerintah yang ingin mengkerdilkan PDI tidak berhasil.Sebaliknya pada pemilu 1992 perolehan suara PDI


(64)

meningkat.Yang menjadi salah satu strategi PDI adalah mengakomodir tampilnya Keluarga Bung Karno dan menonjolkan semangat Soekarnoisme. Pada masa inilah muncul nama-nama seperti Megawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, BN Marbun, Laksamana Sukardi,maupun Soegeng Sarjadi. Hasilnya, dua kali masa kepemimpinan Soerjadi, PDI berhasil menambah perolehan 32 kursi di DPR-RI.

Sosok Megawati Soekarnoputri, putri Soekarno yang awalnya hanya sebagai vote getter , pelan namun pasti, kian akrab dikenal publik. Naiknya nama Megawati Soekarnoputri sedikit banyak merupakan boomerang akibat menggebunya intervensi oleh pemerintah sendiri. Kekisruhan Kongres IV PDI, 21-25 Juli di Medan, berakibat tidak diakuinya segala keputusan dalam kongres, termasuk terpilihnya Soerjadi sebagai pimpinan DPP PDI. Padahal, saat itu Soerjadi terpilih secara aklamasi.Untuk mengisi kekosongan pimpinan PDI, sebagai pimpinan sementara PDI, pemerintah menunjuk DPP caretaker pimpinan Latief Pudjosakti yang saat itu menjabat ketua DPD Jawa Timur.Latief bertugas mempersiapkan Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya.


(65)

Dua pecan menjelang KLB, nama Megawati mulai disebut-sebut sebagai salah satu calon Ketua Umum. Yang pertama kali melontarkan adalah para pengurus PDI Solo dengan dikordinir Makyo Sumarno, ketua DPC PDI Solo. Tak dinyana sebelumnya, lontaran Makyo itu rupanya mengena di hati anggota dan simpatisan PDI yang lain.

Pemerintah pun dibuat kelabakan oleh strategi Makyo itu. Niat menjegal Soerjadi justru memunculkan “musuh” politik yang lebih berbahaya: anak Soekarno. Kekhawatiran pemerintah itu memang terbukti.Sejak pencalonan Megawati sebagai Ketua Umum PDI, dukungan spontan datang dari berbagai lapisan.Tak hanya dari anggota PDI, namun juga dari kalangan masyarakat luas. Demi mempersiapkan pencalonannya yang serius, maka Tim Sukses pun dibentuk. Anggotanya antara lain Taufik Kiemas~suaminya, Aberson Marle Sihaloho, Mangara Siahaan, Suparlan, Panda Nababan, dan Sophan Sopiaan. Megawati juga meluncurkan buku Bendera Sudah Saya Kibarkan yang berisi tentang program-program politik dan ekonomiyang akan dicanangkan Megawati seandainya kelak bisa memimpin partai.


(66)

Melihat gelagat terbitnya anggota keluarga Soekarno di tubuh PDI, pemerintah menyikapi dengan berbagai cara. Salah satunya, melalui jaringan pejabat sospol daerah menghambat para pendukung Megawati menjadi utusan dalam KLB Surabaya. Utusan-utusan PDI yang mendukung Megawati seperti Tarmidi Soehardjo, Azis Boeang dan Subur Budiman, sebagian dicekal dan digantikan orang-orang yang sebelumnya pernah mengacaukan Kongres Medan.

Tak luput pula Megawati sendiri sempat mengalami percobaan pencekalan, ketika recomendasi sebagai utusan DPC PDI Jakarta Selatan ditahan Ketua DPD Jakarta, Alex Asmasoebrata. Akhirnya meski digoyang kiri-kanan, dukungan terhadap Megawati bukannya berkurang namun sebaliknya.

Langkah terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Surabaya mirip-mirip dengan pola curi kesempatan saat proklamasi Kemerdekaan. Betapa tidak, KLB yang berlangsung lima hari tersebut (2-6 Desember 1993) akhirnya tidak menemukan titik temu. Para pesaing Megawati dengan dukungan sebagian besar DPP caretaker berhasil menghambat jalannya kongres dengan memaksakan sistem formatur dalam tata tertib pemilihan ketua umum. Meskipun hamper seluruh peserta tidak


(67)

setuju dan menginginkan sistem pemilihan langsung, namun Latief Pudjosakti sebagai pimpinan siding tetap bersikeras memakai sistem formatur sebagaimana diinginkan pula oleh pemerintah. Hasilnya, KLB PDI Surabaya dinyatakan macet.

Namun Megawati tak ingin menunggu terlalu lama. Beberapa menit sebelum izin KLB habis, Megawati menyatakan diri secara de facto sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998 lewat sebuah konperensi pers di hadapan seluruh utusan DPC-DPC dan media massa. Segera setelah pernyataan selesai dilontarkan, tepat pukul 00.00 WIB, sekitar 500 polisi dan pasukan anti huru-hara membubarkan seluruh peserta KLB dan mengambil ahli seluruh kendali asrama Haji Sukolilo,Surabaya.

Selesai KLB di Surabaya, berbagai upaya lanjutan dilakukan kubu caretaker dan DPP Peralihan untuk menjegal Megawati masih berlangsung hingga saat penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta. Latief Pudjosakti, Ketua caretaker menyatakan bahwa KLB Surabaya telah gagal dan memohon kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini.


(68)

Besarnya dukungan terbuka dari public berupa gerakan-gerakan massa menyebabkan pemerintah dan Presiden Soeharto merubah haluannya dalam menghadapi Megawati. Terlebih, Megawati sendiri tidak tinggal diam. Selepas KLB Surabaya, bersama para pendukungnya ia melakukan manuver safari politik ke beberapa petinggi pemerintahan dan ABRI.

Boleh jadi, karena pertimbangan politik atas kondisi di masyarakat, pada saat Munas berlangsung 22 Desember 1993, langkah pengukuhan Megawati sebagai Ketua Umum mulus tak terhalang sama sekali. Proses pemilihan hanya berlangsung lima menit, tepat pada pukul 20.40 WIB sebanyak 54 fungsionaris DPD dari 27 Provinsi secara aklamasi memilih Megawati. Kekuasaan de facto dan de jure sebagai ketua Umum PDI akhirnya sampai juga ke tangan Megawati.

Tak disangkal, naiknya Megawati Soekarnoputri ke tampuk PDi mengkhawatirkan pemerintah. Berbagai hasil analisis ahli politik Soeharto menyatakan, munculnya sosok Megawati akan meradikalisasi suara masyarakat yang sudah jenuh dengan segala stabilitas ala Orde Baru menyikapi hal itu, langkah-langkah penggembosan PDI yang selama ini dilakukan pun kemudian lebih diintensifkan, salah satunya dengan memfasilitasi dan memperbesar konflik yang sedang terjadi


(69)

antara kubu Megawati dan kubu Soerjadi maupun di dalam jajaran pengurus PDI lainnya.

Puncak kemelut penjegalan Megawati oleh pemerintah terjadi dalam scenario Kongres Medan yang digelar kubu Soerjadi pada tahun 1996.Pada awalnya, sejumlah cabang di daerah memberitahukan Mega bahwa mereka telah ditekan oleh pihak militer setempat agar mau mendukung penyelenggaraan Kongres Medan. Sebaliknya, ABRI saat itu berkilah bahwa apa yang dilakukan semata-mata permintaan dari para senior PDI di bawah koordinasi Fatimah Achmad.

Toh, gerakan kelompok Fatimah Achmad yang didikung pemerintah akhirnya berhasil menyelenggarakan Kongres PDI di Medanyang hasilnya menunjuk Sorjadi sebagai Ketua Umum.Kemesraan Soerjadi dengan pemerintah dan ABRI dalam perencanaan dan pelaksanaan kongres membuktikan lagi ambivalensi penguasa yang dahulu memusuhi Soerjadi.Setelah diorbitkan pada 1986, Soerjadi dihempaskan lagi pada 1993 dan akhirnya dirangkul kembali pada 1996.

Di antara berbagai kemelut politik yang pernah menimpah PDI, Kongres Medan yang bertujuan menggoyang kepemimpinan Megawati


(70)

ini memiliki akibat yang paling merusak. Pendukung dan simpatisan Megawati/PDI di berbagai kota bergerak. Kemarahan pendukung dan simpatisan Megawati di beberapa kota mengundang terjadinya bentrok berdarah dengan aparat keamanan. Sehari sebelum kongres versi Soerjadi dibuka 20 Juni 1996, ribuan warga PDI di Jakarta melakukan gerakan long march menolak kongres.

Pendukung dan simpatisan Megawati mengubah jalanan di depan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat menjadi ajang mimbar bebas. Setiap hari selama kongres berlangsung dan sesudahnya, kantor itu menjadi ajang tumpahnya unek-unek dan kekecewaan terhadap berbagai kondisi politik yang ada. Tak hanya soal kongres, namun melebar pula pada kondisi politik negara.Tak hanya kader PDI, namun juga tokoh-tokoh LSM. Kondisi itu terus berlanjut hingga akhirnya pemerintah habis kesabaran dan atas permintaan kubu Soerjadi, memutuskan merebut kantor DPP PDI.

Pada peristiwa yang terkenal dengan peristiwa “27 Juli” tersebut, kelompok massa yang menamakan dirinya Pro Kongres medan dibantu aparat keamanan, merebut secara paksa kantor DPP PDI. Dengan alasan merebut kantor DPP dari pendudukan pengurus illegal. Akibat peristiwa tersebut, tercatat lima korban tewas, puluhan


(71)

hilang dan ratusan luka-luka. Peristiwa itu menjadi pengalaman paling kelabu dalam sejarah PDI hingga saat ini.

Tejadinya dualisme PDI menimbulkan berbagai friksi di lapisan bawah, mulai dari demo-demo hingga berbagai aksi penolakan pada tokoh PDI Soerjadi. Demonstrasi antara lain terjadi di Jakarta pada 19 Desember 1996, di mana massa pendukung Megawati mendatangi gedung DPR/MPR, Markas Besar Kepolisian hingga rumah dinas Soerjadi.

Menjelang Pemilu 1997, persaingan antara PDI Soerjadi dan Mega kembali terjadi dalam proses pengajuan caleg yang mewakili PDI. Keduanya mengajukan daftar caleg namun pemerintah tampak condong mengakui PDI pro Soerjadi.Yang diterima pencalonannya ole LPU adalah daftar caleg versi Soerjadi meski hal ini banyak diprotes masyarakat luas.

Akibat berbagai perlakuan pemerintah yang dipandang tak adil dan mengingkari PDI yang sejati, Megawati pada 22 Mei 1997 secara resmi menyatakan tidak menggunakan hak pilihnya. Sementara kepada para pendukungnya, Megawati mempersilahkan mengikuti keinginan hati masing-masing.


(72)

Imbas dari berbagai kemelut internal PDI serta sikap Megawati terhaddap Pemiluterlihat dalam perolehan kursi PDI. Dibandingkan hasil Pemilu 1992, perolehan suara PDI secara nasional anjlok dari 14,89 persen menjadi 3.09 persen. Akibatnya, kursi DPR yang diraih juga terpapas dari 56 kursi menjadi 11 kursi.

Sebaliknya, berbagai tekanan yang dilakukan rezim yang berkuasa terhadap Megawati tidak membuat partai yang rawan konflik ini menjadi surut.Bahkan, simpati dan dukungan spontan dari masyarakat khususnya lapisan bawah kian besar.Posko-posko PDI didirikan di berbagai wilayah dam tumbuh seperti jamur di musim hujan.Masyarakat dengan sukarela menyumbangkan sebagian miliknya untuk menunjukan pembelaan terhadap PDI pimpinan Megawati.Kedekatan PDI dengan warga masyarakat kelas bawah akhirnya merembet pada kelas menengah dan kian mengokohkan citra PDI.

Boleh jadi, karena banyaknya gugatan hukum yang diajuhkan kepada PDI versi Soerjadi, maka pemerintah akhirnya mengakui keberadaan PDI Megawati secara terbuka. Pada 16 Juli 1997 melalui Mendagri Syarwan Hamid dinyatakan bahwa tidak keberatan dengan


(73)

adanya dua PDI. Setelah itu peringatan peristiwa 27 Juli diperbolehkan di kota-kota besar selain Jakarta oleh Menhankam Wiranto.

Menguatnya citra PDI dibawah pimpinan Megawati membuat partai ini memiliki kesempatan melakukan pembenahan internal. Merebaknya aksi massa dan lengsernya presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 membuka lembaran baru bagi PDI Perjuangan untuk kian mengokohkan organisasi partai yang selama ini kerap dilupakan.

Angina politik mulai berhembus kea rah PDI Megawati itu disambut dengan percaya diri oleh kader PDI. Di Sumatera Utara, massa PDI pro Mega bentrok dengan massa Soerjadi untuk merebut kantor DPC PDI-Sumut. Melalui Syarwan Hamid, pemerintah kembali membuka “ kesempatan” kepada Megawati dengan mendorong membentuk partai baru. Pernyataan itu dikeluarkan Syarwan pada 28 Mei 1998 setelah berbagai peristiwa hilangnya aktivis demokrasi termasuk kader PDI, Haryanto Taslam.

Dalam perkembangan selanjutnya, serta didorong oleh tuntutan situasi dalam kondisi politik nasional, maka pada tanggal 1 Februari 1999, PDI pro Mega akhirnya membentuk partai baru yang merupakan kelanjutan tak terpisahkan dari PDI yang didirikan pada 10 Januari


(1)

menetapkan Calon wakil Gubernur rapat ini berlangsung di Kantor DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara. PDI Perjuangan akhirnya menetapkan Jumiran Abdi sebagai calon Wakil Gubernur mendampingi Effendi Simbolon.

PDI Perjuangan melakukan pendekatan kepada partai yang tidak dapat mengusung sendiri calon Gubernur. Pada saat itu partai PPRN memiliki 4 kursi dan PDS yang memiliki 5 kursi belum memiliki partai yang bermitra untuk pencalonan. PDI Perjuangan Menawarkan Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi sebagai Calon Gubernur dan PPRN setuju, dengan demikian Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi secara administrasi telah memenuhi persyaratan. Setelah PPRN sepakat bergabung dengan PDI Perjuangan pada saat sebelum pendaftaran ke kantor KPU Sumatera Utara PDS juga setuju untuk bergabung untuk mendukung pencalonan Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi.


(2)

BAB IV KESIMPULAN

Rakyat semakin berdaulat dengan diakhrinya monopoli pemilihan kepala daerah oleh sekelompok kecil orang di lembaga perwakilan (DPRD) dan menggantinya dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Pemilukada langsung sebenarnya tidak dapat dilihat hanya sebuah mekanisme atau prosedur demokratis untuk memilih kepala daerah, sebagaimana diamanatkan pasal 18 UUD 1945. Hadirnya kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat pada akhirnya diharapkan dapat mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif jika pemilukada langsung, demokratisasi, dan good governace di tingkat lokal adalah sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan, maka perlu ada evaluasi apa saja yang mendukung dan menghambat pencapaian tiga hal tersebut. Satu dari sekian evaluasi yang diperlukan adalah evaluasi terhadap kinerja partai politik dalam pemilukada langsung. Hal ini terutama terkait dengan partai politik dalam proses nominasi dan pencalonan, sebagaimana diatur dalam ketentuan penyelenggaraan pemilukada langsung hingga saat in. Meskipun kepala daerah tidak ditentukan lagi


(3)

ditentukan oleh perwakilan partai-partai di DPRD . tapi satu-satunya jalan bagi dalam pencolan dalam pemilukada langsung adalah melalui partai politik Pasal 36 ayat (1) PP 6 tahun 2005 menyebutkan “ Peserta pemilihan adalah pasangan yang diusulkan partai politik “

Selain itu, meskipun di banyak pemilukada yang lalu faktor popularitas dianggap lebih menentukan , partai politik yang tersebar sampai pelosok desa tetap merupakan instrumen yang potensial bagi mobilisasi dukungan, terutama bagi calon yang tidak mempunyai sumber daya yang memadai. Setidaknya dari kedua hal tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa kualitas pemilukada langsung serta pencapaian demokratisasi dan good governance di tingkat lokal.

DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara melalui rapat kordinasi (Rakor) menetapkan sistem penjaringan dan penyaringan kandidat pada pemilihan langsung kepala daerah (Pemilukada) Sumut periode 2013-2018 yaitu, menampung serta mendukung dan mengusung lebih dari satu pasang calon gubernur (Cagub) dan wakil calon gubernur (Cawagub) Sumut nantinya. Terobosan PDI Perjuangan dengan menetapkan penjaringan dengan sistem menerima kandidat siapa dan darimana saja ini merupakan kebijakan majemuk yang menunjukan keberpihakan kepada masyarakat dengan arti sebenarnya.


(4)

PDI Perjuangan Sumut harus menggandeng "perahu" lain (Parpol) yaitu Partai Damai Sejaterah (PDS) dan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dalam memuluskan langkah menuju Sumut 1, hal ini dikarenakan PDI Perjuangan hanya memperoleh 12 kursi di DPRD Sumut. Yang berarti belum mencukupi persentase kursi DPRD untuk mengajukan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur untuk ikut dalam Pemilukada.Untuk itu perlu koalisi dengan PDS yang memiliki 5 kursi dan PPRN yang memiliki 4 kursi.

Berdasarkan pedoman pelaksanaan penjaringan dan penyaringan Calon kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan menegasakan bahwa DPD melaksanakan proses penjaringan dan penyaringan bakal calon. DPP melalui DPD melakukan survey terhadap bakal calon yang mendaftar dan melalukan fit and profer test terhadap bakal calon yang mendaftar. Yang kemudian DPD memberikan hasil survey dan uji kelayakan dan kepatutan kepada DPP. DPD Partai sekurang-kurangnya merekomendasikan 2 (dua) bakal calon kepala daerah dan 2 (dua) bakal calon wakil kepala daerah untuk diusulkan ke DPP Partai.


(5)

DPP Partai menetapkan pasangan calon dengan mempertimbangkan hasil survey, dukungan internal Partai dan peluang memenangkan pemilukada.namun dalam keadaan luar biasa DPP Partai dapat menetapkan calon di luar yang diusulkan melalui tahapan sebelumya. Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud adalah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan, tidak berjaIannya mekanisme organisasi yang berakibat tidak adanya pasangan calon yang memenuhi kriteria hingga batas akhir waktu pendaftaran; dan pertimbangan khusus oleh Ketua Umum Partai.


(6)

Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995.

Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Nursal, Adman, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Parulian, Donald, Menggugat Pemilu, Jakarta: PT. Penebar Swada, 1997.

Putra, Fadilah, Kebijakan Publik Analisis Terhadap Kongruensi Janji Politik Partai Dengan Realisasi Produk Kebijakan Publik di Indonesia 1999-2003, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Rahman, Arif, Sistem Politik Indonesia dalam Presfektif Struktural Fungsional, Surabaya: SIC, 2002.

Sastroatmodjo, Sudijono, Prilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Usman, Hubi dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: Bumi Aksara, 2000.

Winarno, Budi, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta: Media Pressindo, 2007.

Sarundajang, S.H, Drs, Pilkada Langsung:Problematika dan Prospek, Jakarta: Kata Hasta Pustaka


Dokumen yang terkait

Rekrutmen Partai Politik Dalam Pencalonan Pemilu Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus : Partai Golongan Karya Dewan Pimpinan Daerah Sumatera Utara)

1 59 98

Rekrutmen Calon Legislatif (Studi Tentang Mekanisme Penetapan Calon Legislatif DPRD Provinsi Sumatera Utara 2014 di DPW Partai Nasdem Sumatera Utara)

3 124 98

Rekrutmen Calon Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Provinsi Lampung Tahun 2013

1 17 79

WACANA IKLAN PEMILIHAN GUBERNUR SUMATERA UTARA 2013 – 2018: KAJIAN SEMIOTIK.

0 3 21

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 12

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 2

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 7

Opini Mahasiswa Kota Medan Terhadap Iklan Politik Calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2018

0 0 10

2.1 Sejarah Singkat Berdirinya Partai Nasdem - Rekrutmen Calon Legislatif (Studi Tentang Mekanisme Penetapan Calon Legislatif DPRD Provinsi Sumatera Utara 2014 di DPW Partai Nasdem Sumatera Utara)

0 1 18

Rekrutmen Calon Legislatif (Studi Tentang Mekanisme Penetapan Calon Legislatif DPRD Provinsi Sumatera Utara 2014 di DPW Partai Nasdem Sumatera Utara)

0 0 11