T im Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN) yang berada di bawah naungan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP),

T im Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN) yang berada di bawah naungan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP),

menyelenggarakan pertemuan perdana Kegiatan Koordinasi Strategis RAN pada 10 Maret 2014 di Ruang SG-5 Kementerian PPN/ Bappenas. Tujuan dari pertemuan ini adalah penyepakatan rencana kerja Tim Koordinasi Strategis RAN Tahun 2014.

Kegiatan dibuka oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Dr. Ir. Oswar Mungkasa, MURP, selaku ketua tim pelaksana, dan didampingi Plt. Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN, Sunrizal, SE, MM. Dihadiri pula oleh seluruh anggota Tim Koordinasi Strategis RAN dari Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Perumahan Rakyat, beserta direktorat mitra K/L di Kementerian PPN/Bappenas. Dalam pertemuan ini Kasubdit Pertanahan - Kementerian PPN/Bappenas selaku sekretaris Tim Koordinasi Strategis RAN, Uke Mohammad

sumber: dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas

Hussein, S.Si., MPP, menjelaskan rencana kerja Tim Koordinasi Gambar 1 Pertemuan Perdana Tim Koordinasi Strategis RAN Strategis RAN.

Reforma Agraria

Reforma Agraria menjadi komitmen pemerintah Indonesia Pengertian reforma agraria dapat dibedakan menjadi 2 (dua), dalam sebagaimana tertuang dalam TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan

arti sempit, reforma agraria adalah redistribusi tanah ( land reform), Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), yang

misalnya pembagian tanah untuk petani yang tidak memiliki tanah menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria

( landless farmer); dan dalam arti luas, reforma agraria adalah dan pemanfaatan SDA secara berkeadilan dan berkelanjutan.

perombakan sistem dan pengelolaan pertanahan nasional. Secara umum, tujuan dari kegiatan koordinasi strategis RAN

Untuk perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional, adalah memperbaiki sistem pengelolaan pertanahan nasional, yang

Kementerian PPN/Bappenas telah menyusun White Paper Kebijakan diuraikan secara luas, mencakup: (1) pengkajian, perumusan, dan

Pengelolaan Pertanahan Nasional yang memuat arahan kebijakan pengembangan kebijakan pertanahan nasional yang mendukung

bidang pertanahan, meliputi: (a) sistem publikasi pendaftaran stelsel pelaksanaan reforma agraria; (2) koordinasi penyusunan rencana,

positif; (b) redistribusi tanah dan reforma akses; (c) pembentukan program, dan kebijakan (RPK) RAN serta pemantauan dan evaluasi

kamar khusus pertanahan pada pengadilan negeri; (d) pencadangan atas pelaksanaan RPK tersebut; dan (3) diseminasi kebijakan

tanah melalui pembentukan bank tanah; dan (e) penambahan SDM pertanahan, membangun konsensus dan mendapatkan dukungan

bidang pertanahan terutama juru ukur [gn/ay]. dari institusi dan pelaku terkait pelaksanaan RAN.

Pentingnya Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang MURP, turut hadir pula dua narasumber, yaitu Sekretaris Dinas mengamanatkan Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN)

Hukum TNI Angkatan Udara dan Kepala Badan Pembinaan Hukum pada pasal 6 ayat 5 yang berbunyi “Ruang laut dan ruang udara,

Nasional, DR. Wicipto Setiadi, SH, MH.

pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.” Saat Pengaturan pengelolaan ruang udara nasional dirasa perlu ini, UU PRUN belum tersusun, sehingga dirasa perlu melakukan

karena saat ini belum ada pengaturan/penentuan batas wilayah kajian mendalam terkait peraturan yang sudah ada, kewenangan

udara nasional. Hal ini menimbulkan kebutuhan akan kejelasan lembaga dan dampaknya. Hal tersebut dibahas dalam pertemuan

kewenangan dan pengaturan penegakan hukum, termasuk “Perumusan peran dan pentingnya UU Pengelolaan Ruang Udara

pemberlakuan sanksi. Dengan adanya pengaturan ini, diharapkan Nasional dalam Sistem Perencanaan Nasional,” yang diadakan oleh

pengelolaan ruang udara yang mencakup berbagai aspek

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, pada 5 Mei 2014 di Jakarta. diantaranya pertahanan/keamanan, perhubungan, lingkungan Pada pertemuan yang dipimpin oleh Direktur Tata Ruang dan

hidup, mitigasi bencana, dirgantara dapat terwakili [zh/ay]. Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas, Ir. Oswar Mungkasa,

20 buletin tata ruang & pertanahan

buletin tata ruang & pertanahan 21

Lima belas bab dalam buku ini mengemukakan berbagai hal mengenai kegamangan penyelesaian sengketa perkebunan manakala memilih antara menegakkan hukum secara tegas atau mengikuti kemauan masyarakat yang itu berarti penyimpangan hukum. Secara mendalam menguraikan mengenai kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) sebagai karya revolusioner bangsa Indonesia dengan gagasan yang ideal seperti anti penjajahan dan penindasan, populis, menampilkan identitas asli bangsa Indonesia dalam hukum adat, jiwa persatuan dan kesatuan, hak menguasai negara dan sifat lain yang menguntungkan keadilan bagi petani. Berikut ini ringkasan 10 dari 15 bab dalam Buku Politik Hukum Agraria.

Bab I Reformasi Hukum dan Kebijakan Pertanahan Nasional untuk Menjamin Hak dan Akses Masyarakat atas Tanah . Landasan yuridis untuk memecahkan permasalahan pertanahan di Indonesia yakni UUD 1945 dan TAP MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta UUPA. Amandemen beberapa pasal UUD 1945 memberikan perlindungan setiap warga negara termasuk kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, hak asasi manusia, dan sebagainya. Prof. Achmad Sodiki menggambarkan betapa rumitnya pengaturan tanah dan sumber daya agraria lainnya karena adanya perbedaan dua rezim hukum yakni hukum perdata Barat dan hukum adat. Hukum adat dianggap bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan. Dalam bab ini disampaikan pula gagasan mengenai pentingnya pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang memuat basis data tanah-tanah aset negara/ pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Informasi tersebut akan dikembangkan untuk aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah. Menurut pandangan penulis, kelemahan perundang-undangan agraria selama ini kurang memperhatikan aspek kepastian hukum, perlindungan hukum, keadilan, dan kemakmuran masyarakat tempat sumber daya agrarian dan sumber daya alam itu sendiri. Pada kenyataannya, sumber daya alam tersebut banyak dieksploitasi.

Bab II Masalah Konflik Peraturan-Undangan dan Konflik di Lapangan Agraria dan Usulan Penanganannya: Mencari

Format Penanganan Konflik Agraria . Pada bagian ini Prof. Sodiki menyampaikan gagasan mengenai format kedudukan

hukum adat dan masyarakat adat dengan hukum negara (hukum agraria nasional) yang meliputi: (i) hukum agraria sebagai bingkai pemersatu dari semua persoalan agraria di wilayah Republik Indonesia; (ii) hak masyarakat hukum adat yang seharusnya

mendapat perlakuan khusus; (iii) konflik antar peraturan hukum tertulis dapat diselesaikan lewat asas-asas yang lazim misalnya

hukum yang derajatnya lebih tinggi membatalkan hukum yang derajatnya lebih rendah (lex superior derogat legi inferior), hukum khusus membatalkan hukum umum (lex specialis derogat legi generali), dan hukum yang kemudian membatalkan hukum yang terdahulu (lex posterior derogat legi prior). Dalam hal penerapan asas-asas umum tersebut diperlukan kajian yang bersifat formal dan substansial. Kajian formal sifatnya prosedural yaitu apakah secara formal suatu hukum sudah dianggap sah. Sementara kajian substansial mementingkan isinya, apakah sudah mengandung rasa keadilan, kepastian ataukah kemanfaatan.

Bab III Konflik Perkebunan: Kontestasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia . Bagian ini menjelaskan sejarah konflik perkebunan yang

dimulai sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang, termasuk di dalamnya mencerminkan kepentingan bisnis dan kepentingan rakyat jelata. Sebagian besar masyarakat Indonesia bertumpu pada bidang pertanian untuk mendapatkan penghasilan, sehingga masalah tanah yang merupakan sumber kehidupan menjadi sumber konflik. Permasalahan utamanya adalah kelangkaan tanah. Terlebih lagi program land reform tidak dijalankan secara sungguh- sungguh karena tidak adanya political will dari pemerintah. Di sisi lain perluasan sektor pertanian lebih banyak didominasi perluasan perkebunan yang dimiliki oleh swasta, sehingga banyak keluhan munculnya gugatan terhadap pelanggaran pemilikan atau penguasaan tanah terhadap pihak swasta.

Bab IV Kebijakan Pertanahan dalam Penataan Hak Guna Usaha untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat . Pembukaan tanah perkebunan besar pada masa Hindia Belanda selalu menimbulkan sengketa antara pengusaha/onderneming dengan rakyat. Hal ini disebabkan tanah perkebunan baru berada dalam kawasan tanah yang dikuasai oleh rakyat dengan hak-hak adat. Beberapa penyebab timbulnya sengketa yaitu: (i) kebijaksanaan negara masa lalu, misalnya pada zaman Belanda adanya pengakuan eksistensi hukum adat namun tetap saja tidak melindungi hak-hak adat seperti hak ulayat, sehingga timbul sengketa batas antara wilayah hukum adat dengan wilayah konsesi perkebunan; (ii) masalah kesenjangan sosial, pengambilalihan dan pengelolaan kebun seringkali diikuti pula dengan budaya kebun yang dibangun oleh pemilik kebun lama yang semata-mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyak- banyaknya tetapi kurang memperhatikan masyarakat sekelilingnya; (iii) lemahnya penegakan hukum, selama Hindia Belanda maupun pada masa Orde Baru (sebelum tahun 1997) sangat kecil

B uku Politik Hukum Agraria karya Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., memuat gagasan-gagasan beliau yang disampaikan dalam berbagai forum ilmiah mengenai pasang surut politik agraria di Indonesia. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang ini, mengungkapkan berbagai permasalahan pertanahan yang selama ini belum mendapat pemecahan dan penyelesaian dari segi ketentuan

yuridisnya. Oleh karena itu, ke depan, dalam rangka reformasi agraria hal tersebut harus menjadi prioritas utama untuk diatasi. Penulis juga melontarkan gagasan mengenai konsep-konsep kebijakan yang melatarbelakangi ketimpangan struktur penguasaan tanah dan melahirkan sengketa tanah serta sumber daya alam lainnya. Menurutnya, konsep kebijakan tersebut harus diubah sehingga mengarah pada konsep kebijakan yang berorientasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan, dan lestari dalam pengelolaannya.

ringkas buku: