Politik Hukum Agraria
Politik Hukum Agraria
Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. Ringkas Buku
buletin 22 tata ruang & pertanahan
pendudukan tanah oleh rakyat secara besar-besaran. Namun menjelang dan setelah pergantian rezim terjadi pengambilalihan tanah-tanah perkebunan; (iv) karena tanah terlantar, banyaknya tanah perkebunan HGU (Hak Guna Usaha) yang terlantar secara fisik tetapi belum jelas status hukumnya, dikuasai oleh masyarakat sekitar; (v) reclaiming sebagai tanah adat, pembukaan areal baru HGU seringkali memunculkan masalah reclaiming yakni tuntutan kembali hak adat kepada pemegang HGU. Di sisi lain batas tanah ulayat dan tanah negara bebas tidak jelas. Dilihat dari segi hukum, hukum yang menyatakan “bahwa seseorang tidak boleh mendapatkan suatu keuntungan dari suatu keuntungan dari suatu kesalahan yang ia perbuat” harus tetap diperhatikan untuk tidak menghalalkan segala cara guna mencapai suatu tujuan.
Beberapa usulan disampaikan Prof. Sodiki sebagai usaha preventif dan penyelesaian sengketa, yaitu: (i) terhadap tanah HGU yang masih dikelola dengan baik perlu dijaga kelestariannya, sebab menurut UUPA setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya, diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan; (ii) terhadap HGU yang bermasalah hendaknya diselesaikan lewat jalur hukum yang berlaku; dan (iii) jika memang terdapat cukup fakta terdapat HGU terlantar, maka hendaknya instansi yang terkait melakukan tindak peringatan dan upaya lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Bab V Konsep-Konsep Kebijakan yang Melatarbelakangi Masalah dalam Ketimpangan Struktur dan Sengketa Penguasaan Tanah serta Pengelolaan Sumber Daya Alam Lainnya . Prof. Sodiki menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai konsep-konsep kebijakan tersebut harus diubah mengarah pada konsep yang berorientasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan, dan lestari dalam pengelolaannya. Konflik agraria sesungguhnya banyak dilatarbelakangi oleh penerapan konsep ekonomi liberal yang menggejala secara global. Sentralisasi pemerintahan dengan sistem komando menempatkan hukum adat menjadi hukum yang kedua dalam sistem hukum nasional sepanjang hal itu menyangkut kepentingan pemodal atau negara. Hal ini terjadi karena hukum adat dianggap tidak bisa menjamin kepastian hukum karena sifatnya tidak tertulis. Penulis menilai bahwa sesungguhnya tidak perlu mempertentangkan antara hukum agraria nasional dengan hukum adat. Kebutuhan unifikasi hukum agraria sejak awal kemerdekaan sangat diidam-idamkan, sekalipun proses ke arah unifikasi itu tidak perlu sekaligus terjadi, tetapi hendaknya terjadi secara gradual dan alamiah. Penulis menambahkan bahwa proses dialogis diperlukan agar tidak terjadi “cultural shock”, sehingga orang tidak kehilangan pegangan dalam hidup dan tata kehidupan.
Bab VI Eksistensi Hukum Adat: Konseptualisasi, Politik Hukum, dan Pengembangan Pikiran Hukum sebagai Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Adat . Pilihan haluan politik pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan, memerlukan hukum yang mendorong akselerasi pembangunan, seperti hukum ekonomi dan cabang-cabang hukum yang berkaitan dengan hukum ekonomi tersebut. Sebaliknya, hukum adat justru sangat kurang mendapat perhatian. Dominasi hukum negara sebagai bagian dari perkembangan proses politik atas segala segi kehidupan masyarakat nasional sudah menjadi kenyataan. Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat justru diperintahkan untuk diatur dalam undang-undang, sehingga kekuatan hukumnya lebih kuat dari peraturan pemerintah atau keputusan presiden.
Undang-undang pemerintahan daerah memberikan wewenang
kepada daerah (otonomi) yang lebih luas dari pada masa lalu, memberikan peluang yang lebih baik untuk memberdayakan masyarakat hukum adat. Namun demikian, konflik yang timbul karena perebutan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria tidak lepas dari konflik ekonomi. Pada bab ini, penulis menyampaikan bahwa penyelesaian masalah kedudukan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya tidak bisa diselesaikan tanpa terlebih dahulu memberikan jaminan nyata atas berlangsungnya hak-hak ekonomi dan hak-hak lainnya. Masyarakat adat diharapkan untuk dapat beradaptasi, sehingga sejajar dan mampu mengejar ketertinggalan mereka dalam proses pembangunan.
Bab VII Reformasi Hukum Agraria: Penyimpangan ataukah Penegakan Hukum? Aset negara maupun swasta yaitu perkebunan, saat ini dalam keadaan mengkhawatirkan karena penjarahan dan pendudukan disertai perusakan oleh rakyat, yang mengakibatkan kerugian baik materi maupun non materi, serta ancaman ketidakpastian hukum yang semakin meningkat. Sengketa tanah perkebunan diarahkan untuk diselesaikan melalui musyawarah antara para pihak perkebunan dengan rakyat, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan penyelesaian lewat pengadilan. Undang-undang menentukan bahwa sengketa tanah perkebunan dan kehutanan diselesaikan oleh menteri yang berwenang. Namun demikian, pemerintah daerah dapat memberikan alternatif atau usulan terbaik jika aktif mempertemukan para pihak yang bersengketa sesuai dengan wewenang yang melekat pada mereka. Dalam hal ini, pemilik perkebunan harus memahami dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang juga membutuhkan ketenangan dalam usaha. Oleh karena itu, prinsip fungsi sosial hak atas tanah memberikan jalan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Bab VIII Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat: Implementasi Reformasi Agraria . Bagian ini menjelaskan bagaimana implementasi reformasi agraria untuk dapat menciptakan tanah bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebagai negara agraris, petani menjadi tulang punggung, sehingga founding fathers bangsa Indonesia menempatkan peningkatan kesejahteraan petani menjadi prioritas utama dan dipilihlah landreform sebagai upaya mensejahterakan kehidupan petani tersebut. Hal ini berimplikasi pada UUPA yang mengandung jiwa landreform yang menghendaki adanya suatu perubahan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah, dan mencerminkan rasa keadilan bagi bagian terbesar rakyat Indonesia yakni petani. Program landreform gagal dilaksanakan dan diganti dengan program revolusi hijau, dengan harapan dapat memberikan perubahan pada kehidupan petani. Namun pada kenyataannya, petani masih tetap pada lapisan masyarakat miskin, sementara sumber daya agraria yakni tanah dan sumber daya alam lainnya semakin lama semakin mudah menjadi milik lapisan orang-orang kaya yang tidak pernah “netes” ke bawah. Hal ini dijelaskan oleh teori pertumbuhan ekonomi “trickle down effect”. Ke depan, kebijakan Indonesia harus menempatkan pertanian sebagai fokus utama dan bukan sekedar memproduksi komoditas, tetapi juga harus dilengkapi dengan penciptaan nilai tambah. Maka dari itu, jenis industri yang diciptakan harus terkait dengan kepentingan petani yang jumlahnya merupakan mayoritas di Indonesia.
Bab IX Empat Puluh Tahun Masalah Dasar Hukum Agraria . Perubahan di bidang hukum agraria ditandai dengan berbagai masalah dasar yang muncul, antara lain: (i) keadilan sosial, hal ini sangat terkait dengan kepemilikan dan penguasaan pada sumber daya alam, yaitu tanah yang selama ini menjadi sumber
buletin tata ruang & pertanahan 23
penghidupan bagi sebagian besar rakyat; (ii) hubungan negara dengan individu berkaitan dengan tanah, interaksi antara hak individu dengan hak negara akan tercermin pada tegangan antara kebutuhan melindungi hak individual dengan kepentingan umum; (iii) petani dan pengaruh global, saat ini, petani banyak berhadapan dengan modal besar dalam industri serta orang-orang kaya kota yang memborong tanah di daerah pinggiran kota maupun di perdesaan; (iv) masalah unifikasi hukum agraria kaitannya dengan persatuan dan kesatuan nasional, pemberlakuan hukum (tanah) nasional jika berhadapan dengan hukum adat hendaknya tetap menjamin sumber penghidupan, kepercayaan, harkat, dan martabat mereka sesuai dengan hak asasi mereka. Fungsi hukum agraria di samping menjadi sarana perubahan serta perlindungan normatif, baik pada segmen masyarakat yang telah maju maupun yang masih terbelakang, tetapi juga sekaligus menjaga integritas bangsa dan negara.
Bab X Ide dan Konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria 1960 . Secara ideologis, UUPA merupakan pencerminan tekad dan kemauan bangsa yang sepenuhnya ingin melepaskan belenggu penindasan, anti penjajahan dalam segala bentuknya, dan anti modal asing; pemihakan yang kuat kepada kepentingan rakyat petani; menampilkan identitas asli bangsa yang tercermin dari penetapan hukum adat sebagai hukum agraria nasional; jiwa kesatuan dan persatuan ukuran-ukuran yang dipakai tidak mencerminkan sifat kedaerahan ataupun kesukuan, tetapi persamaan derajat antara pria dan wanita dalam memperoleh hak, mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi walaupun tanpa menghilangkan akar dan nilai tradisional; penonjolan kekuasaan negara atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat dalam mengatasi kepentingan perseorangan.
Bab XI Undang-undang Pokok Agraria 1960 Ditinjau dari Politik Hukum . Warisan nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA yang sampai saat ini masih relevan antara lain: (i) anti penjajahan dan eksploitasi kekayaan Indonesia yang tidak untuk kemakmuran bangsa; (ii) pemihakan yang kuat kepada kepentingan rakyat petani; (iii) kuatnya hasrat menampilkan identitas hukum asli; (iv) egaliter serta persamaan di muka hukum; dan (v) kedudukan negara kuat, sehingga negara dapat menjamin terpenuhinya kepentingan umum.
Bab XII Politik Hukum Agraria: Unifikasi atau Pluralisme Hukum . Timbulnya unifikasi hukum sejalan dengan upaya persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, UUPA mencerminkan kehendak yang sejalan dengan persoalan besar bangsa, yaitu menciptakan suatu undang-undang agraria yang sederhana dan menjamin kepastian hukum. Pemberlakuan hukum nasional jika berhadapan dengan hukum adat hendaknya tetap menjamin sumber penghidupan, kepercayaan, harkat, dan martabat mereka sesuai dengan hak asasi manusia. Masyarakat adat dengan hukum adatnya harus dilihat sebagai bagian dari penglihatan nasional yang tidak dapat terpisahkan. Dengan demikian, mengharuskan adanya harmonisasi hukum antara perlindungan kepentingan daerah, termasuk kepentingan masyarakat adat, dengan kepentingan nasional. Hal tersebut dapat diatur lebih lanjut dalam suatu perundang-undangan otonomi daerah.
Bab XIII Undang-undang Pokok Agraria: Antara Harapan dan Kenyataan . Salah satu tujuan yang diinginkan UUPA ialah terciptanya keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani. Perjalanan pelaksanaan UUPA masih menimbulkan berbagai persoalan terutama keadilan sosial, seperti terjadinya pertikaian atau sengketa antara pihak-pihak tertentu. Masalah agraria tidak hanya terjadi pada sisi implementasinya, tetapi juga munculnya
kembali persoalan-persoalan lama yang terpendam, dan persoalan- persoalan baru yang diakibatkan oleh perkembangan kebutuhan atas tanah. Persoalan lama yang terjadi misalnya, pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya dan pengerjaan tanah- tanah perkebunan oleh rakyat yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Sementara persoalan baru yang terjadi yakni, masalah pembebasan hak atas tanah, pemalsuan sertipikat, sertipikat asli tapi palsu, persoalan waris dan transaksi tanah. Penyelesaian permasalahan pertanahan seharusnya bukan hanya persoalan yuridis belaka, tetapi juga memasukan alasan kemanusiaan sebagai pertimbangan yang penting.
Bab XIV Perkembangan Hukum Agraria dalam Putusan MK Mengenai Hak Menguasai Tanah oleh Negara dan Eksistensi Tanah Adat . Konsideran UUPA yang mencerminkan politik hukum tanah nasional, menimbang perlu adanya hukum agraria nasional yang didasarkan pada hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Mengenai hak menguasai negara (HMN) adalah hak tingkatan tertinggi yang dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, yaitu: (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya; (2) menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa; (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Pelaksanaan HMN ini dapat dikuasakan kepada daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, jika diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Hal ini berkenaan dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Namun hal-hal yang berkenaan dengan hak menguasai dari negara yang sangat penting dan menduduki posisi sentral, sebagaimana kedudukan hak milik dalam sistem hukum perdata, tidak diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Perlu segera dilakukan identifikasi eksistensi masyarakat hukum dengan hak ulayatnya atas dasar penelitian dan kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. HMN yang dikuasakan kepada masyarakat adat hendaknya diberikan semacam hak penguasaan kepada masyarakat hukum tersebut. Apabila hak penguasaan tersebut diberikan kepada masyarakat hukum adat untuk bisa bekerjasama dengan pihak ketiga, maka bentuknya adalah hak pengelolaan. Sementara jika hanya digunakan sendiri hendaknya dalam bentuk hak pakai. Perkembangan masyarakat hukum adat hendaknya diarahkan pada tujuan masa depan yang lebih maju, mandiri, dan terbuka agar dapat menyatukan dirinya dengan masyarakat lain.
Bab XV Putusan MK yang Berkenaan dengan Sumber Agraria . Eksploitasi hutan, mineral, dan laut oleh perusahaan bermodal besar yang juga berkelindan dengan kepentingan rakyat semakin banyak, baik yang telah muncul di permukaan (konflik terbuka) maupun yang potensial akan muncul. Perkara yang diajukan ke MK merupakan permohonan pengujian undang-undang atau sengketa kewenangan lembaga negara. Beberapa contoh perkara yang telah diputuskan antara lain: (i) Putusan mengenai Privatisasi Minyak dan Gas Bumi; (ii) Putusan mengenai Penanaman Modal; (iii) Putusan mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral; (iv) dan Putusan mengenai Perkebunan [ih].