I ndonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Erupsi Gunung Sinabung, ibu kota tergenang air, dan kabut

I ndonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Erupsi Gunung Sinabung, ibu kota tergenang air, dan kabut

asap di wilayah Riau adalah sebagian kecil bencana yang terjadi di negara ini yang tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda namun juga menimbulkan korban jiwa. Perspektif mitigasi bencana dalam konsep pembangunan menjadi keharusan, salah satunya melalui

Rencana Tata Ruang (RTR). Kajian berikut menyediakan perspektif mitigasi bencana pada KSN Jabodetabekpunjur dengan menggambarkan tingkat risiko bencana ke dalam Rencana Tata Ruang (RTR).

kajian

buletin 12 tata ruang & pertanahan

Indikasi kerawanan bencana ini dapat digunakan dan diolah untuk mempersiapkan kemampuan kawasan di masa mendatang dalam menghadapi bencana dan dapat membantu fokus perencanaan tata ruang wilayah dalam mitigasi bencana, terutama untuk menyelamatkan pusat-pusat kegiatan nasional maupun sub-sub pusat kegiatan agar tetap tumbuh sebagaimana direncanakan.

Kerentanan adalah suatu kondisi dari masyarakat yang mengarah pada ketidakmampuan menghadapi ancaman bahaya, yang ditentukan oleh faktor bahaya dan kondisi yang rentan. Kondisi ini termasuk kehidupan sosial manusia, ekonomi wilayah, struktur fisik, dan lingkungan. Potensi kerugian akibat bencana banjir sangat tinggi di Provinsi Banten. Sementara di Provinsi DKI Jakarta, potensi kerugian fisik dan ekonomi hampir merata untuk 6 jenis bencana mencapai 1.148 trilyun Rupiah per bencana. Di Provinsi Jawa Barat, potensi kerugian fisik dan ekonomi hampir merata untuk 6 jenis bencana dengan rata-rata mencapai 734 trilyun rupiah per bencana. Selengkapnya pada Gambar 1.

Berdasarkan hasil kajian tingkat risiko bencana di masing- masing provinsi, dapat diketahui urutan jenis bencana tertinggi risikonya hingga terendah (lihat Tabel 2). Banjir menjadi bencana berisiko tinggi pada Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Sementara, Provinsi DKI dan Banten mempunyai tingkat risiko bencana yang tinggi untuk gelombang ekstrim dan abrasi. Selain itu, berdasarkan analisis kecenderungan kejadian bencana dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), maka bencana yang kecenderungannya naik setiap tahun di setiap provinsi adalah banjir.

Potensi dampak berbagai jenis bencana tersebut akan menimbulkan kerugian dan dampak yang tidak kecil bagi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat Jabodetabekpunjur dalam kurun waktu 5 tahun. Dengan diketahuinya kemungkinan dan besaran kerugian, maka fokus dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi maupun kabupaten/kota menjadi lebih efektif. Upaya mitigasi bencana dapat tepat sesuai dengan masing-masing bencana dan kebutuhan biaya bagi upaya pengurangan risiko bencana tersebut.

Analisis RTR KSN Jabodetabekpunjur dari Perspektif Risiko Bencana

Ketinggian lokasi di atas permukaan air laut menjadi faktor penentu dalam menggolongkan kawasan menjadi hulu, tengah dan hilir. Bencana berisiko tinggi untuk Jabodetabekpunjur terbagi menurut karakteristik wilayah tersebut, yaitu:

kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, kebakaran gedung dan permukiman, epidemi dan wabah penyakit, serta kegagalan teknologi;

kebakaran gedung dan permukiman, epidemi dan wabah penyakit, serta kegagalan teknologi;

penyakit, konflik sosial, serta kegagalan teknologi. Metode yang digunakan dalam analisis potensi risiko bencana ini adalah melalui tumpangsusun peta ancaman, kerentanan, dan risiko bencana dengan peta struktur dan pola ruang KSN Jabodetabekpunjur. Kemudian diperoleh zona-zona yang signifikan terkena dampak bencana pada KSN Jabodetabekpunjur, seperti terlihat pada Gambar 2.

Tabel 2 Urutan Jenis Bencana Risiko Tinggi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten

Sumber: Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, 2012-2016

Sumber: Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, 2012-2016

Gambar 1 Potensi Kerugian Fisik dan Ekonomi Provinsi (Triyun Rp)

No. Jenis Bencana

DKI Jakarta

Jawa Barat

4 Tanah Longsor

5 Letusan Gunung Api

6 Gelombang Ekstrim dan Abrasi

7 Cuaca Ekstrim

8 Kekeringan

9 Kebakaran Hutan dan Lahan

10 Kebakaran Gedung dan Permukiman

11 Epidemi dan Wabah Penyakit

12 Gagal Teknologi

13 Konflik Sosial

Gambar 2 Bencana Risiko Tinggi di Kawasan Jabodetabekpunjur Berdasarkan Ketinggian Wilayah

Sumber: Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas

Berdasarkan analisis risiko bencana terhadap peta struktur dan pola

3. Kawasan Tengah

ruang Jabodetabekpunjur, diketahui bahwa bencana banjir berisiko Kawasan ini merupakan wilayah DKI Jakarta dengan tingkat tinggi terjadi pada bagian utara, yang meliputi zona Budidaya

risiko cenderung tinggi karena kondisinya yang sudah terlampau (B1,B6, B7) dan Non budidaya (N1). Termasuk pada 3 titik Pusat

padat. Menurut Perpres, kawasan ini direncanakan sebagai Perkotaan (Jakarta Pusat, kota Tangerang, kota Bekasi) (lihat

perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri ringan gambar 3).

non-polutan dan berorientasi pasar (B1), juga perumahan hunian

1. Kawasan Barat rendah dengan koefisien zona terbangun (KZB) maksimal 50 Tingkat risiko kawasan ini sedang cenderung rendah akibat

persen (B6), perumahan hunian rendah dengan KZB maksimal kepadatan infrastruktur yang masih rendah, terutama untuk

40 persen (B7) dan kawasan hutan lindung, resapan air, mendukung area sekitar bandara (B2 dan B5). Risiko cenderung

kawasan pantai berhutan bakau (N1) di kawasan pantai utara meningkat apabila ada pembangunan infrastruktur strategis

Jakarta.

(misalnya pembangunan jalan tol dan rel kereta api ke arah Secara umum, upaya mitigasi bencana banjir dengan risiko Serpong atau Kalideres) atau konversi dari perumahan hunian

bencana yang tinggi, sebagai berikut:

sedang, perdagangan dan jasa, industri padat tenaga kerja (B2), maupun pertanian lahan basah beririgasi teknis (B5)

lebih tangguh menghadapi bahaya seperti penyusunan rencana ke perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri

kontijensi melalui koordinasi antar K/L, dan pelatihan untuk ringan non-polutan dan berorientasi pasar (B1). Hal tersebut

meningkatkan kesiagaan masyarakat maupun pemerintah di juga berpotensi meningkatkan risiko dan frekuensi bencana

tingkat Kecamatan/Kelurahan dalam menghadapi bencana banjir; banjir yang merugikan serta mengancam kehidupan manusia. Perlu dikembangkan pengelolaan lingkungan yang tepat untuk

lahan intensif (diperlukan arahan tentang intensitas ruang, melindungi kawasan bandara dari bencana banjir, dan perlu

pengaturan kawasan budidaya dengan instrumen KZB, koefisien studi lebih lanjut untuk melakukan realokasi arahan penggunaan

dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB)).Misalnya lahan menjadi kawasan lindung berupa situ, hutan bakau atau

pembangunan hunian vertikal (KDB ditekan sedang, KLB besar hutan kota.

atau sangat besar, KZB ditekan sekecil mungkin), pelarangan/

2. Kawasan Timur pengurangan hunian satu tingkat, transportasi masal, penataan Tingkat risiko kawasan ini sedang cenderung tinggi akibat

bantaran sungai Ciliwung melalui penertiban bangunan illegal, perkembangan kawasan industri, pergudangan dan pusat

penerapan sistem polder, normalisasi kali Ciliwung; transportasi di Pulo Gadung dan pertumbuhan permukiman.

Banjir menyebabkan kerugian di kawasan industri Pulo Gadung

bencana;

Tahun 2012 yang lalu. Sebagian kawasan dengan tingkat risiko sedang menurut rencana dalam Perpres No. 54 /2008

dan pemompaan di polder (terutama di wilayah Istana Merdeka); adalah zona pertanian lahan basah beririgasi teknis (B5). Perlu

dipertimbangkan alternatif peruntukan ruang yang lebih optimal

Utara dan Kota Jakarta Pusat.

di kawasan tersebut. Alternatifnya yaitu: konversi dari sawah ke Secara khusus, upaya mitigasi telah disusun untuk setiap jenis biofarming (tambak), atau menjadi situ dan hutan kota untuk

bencana pada wilayah hulu, tengah, dan hilir, sebagaimana dapat meningkatkan daya dukung dan kualitas lingkungan sekaligus

dilihat pada Tabel 3.

tempat wisata.

buletin tata ruang & pertanahan 13

Kesimpulan Dari hasil kajian ini, disimpulkan bahwa:

dapat digunakan untuk melengkapi muatan teknis RTRWP DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Jawa Barat, maupun Banten belum lengkap sehingga diperlukan penggunaan lahan lain dengan potensi tingkat risiko bencana langkah untuk melengkapinya kelak apabila RTRWP akan yang tinggi yang tidak sesuai dengan Perpres No. 54/2008; dievaluasi. sehingga alternatif rekomendasinya adalah: (i) dilakukan

perubahan pola pemanfaatan ruang; dan (ii) dilakukan upaya bahwa peta multi risiko yang dibuat di skala 1:50.000 masih pengendalian pemanfaatan ruang. Diperlukan studi lebih lanjut terlalu umum dan informasi di dalamnya tidak dapat digunakan. untuk mengkaji secara lebih detail terhadap hal ini melalui RDTR. Kondisi ini akan menyulitkan pembuatan jalur evakuasi dan

identifikasi kerusakan terparah. Dengan demikian, untuk pembangunan infrastruktur kesiapsiagaan dianjurkan untuk

melakukan analisis pada kota Jakarta Timur, diperlukan peta dilakukan pada wilayah yang sudah padat dan sudah tidak dengan kedalaman informasi pada skala 1:25.000. bisa diubah peruntukannya. Diperlukan studi lebih lanjut untuk

mengkaji secara lebih detail terhadap hal ini melalui RDTR. yang tersedia saat ini dan data spasial BNPB yang meliputi

ancaman, kerentanan dan risiko bencana pada skala 1:250.000, Jabodetabekpunjur, diperlukan studi lebih lanjut untuk me dapat dimanfaatkan pada perencanaan KSN dan RTRWP pada

review terhadap sub-sub pusat perkotaan tersebut mana yang akan

skala peta 1:250.000 dan tidak dapat dimanfaatkan untuk lebih dominan sehingga dapat direkomendasikan untuk digabung perencanaan tata ruang tingkat kabupaten/kota.

menjadi satu pusat perkotaan.

substansi tinjauan ulang RTR KSN (kasus studi RTR KSN Rekomendasi khusus untuk wilayah hulu, tengah, dan hilir adalah: Jabodetabekpunjur), RTRW Provinsi DKI Jakarta, RTRW Provinsi

1) melengkapi aspek kebencanaan pada kegiatan evaluasi RTRWP Jawa Barat dan RTRW Provinsi Banten dengan substansi kajian

untuk masing-masing jenis bencana; dan 2) kedalaman materi risiko bencana.

aspek kebencanaan yang telah ada sebaiknya disesuaikan dengan hasil Kajian Risiko Bencana (KRB) masing-masing provinsi.

tata ruang skala kabupaten/kota masih membutuhkan data Rekomendasi khusus juga diberikan untuk instansi terkait, spasial yang meliputi ancaman, kerentanan dan risiko bencana

diantaranya:

pada skala 1:25.000 dan lebih detil dengan kualitas data yang lebih baik.

mempersiapkan dukungan untuk penyusunan RDTR berbasis mitigasi bencana pada skala 1:5.000 dan 1:10.000 khususnya

Rekomendasi pada KSN Jabodetabekpunjur untuk: kota Bogor, kabupaten Untuk meningkatkan kualitas perencanaan ke depan, rekomendasi

Bogor, kota Depok, kota Tangerang, kabupaten Tangerang, kota yang diusulkan sebagai berikut:

Bekasi, kabupaten Bekasi, kota Jakarta Utara, kota Jakarta Pusat,

Gambar 3 Peta Risiko Bencana

Sumber: Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas

14 buletin tata ruang & pertanahan 14 buletin tata ruang & pertanahan

mengintegrasikan sistemnya dengan infrastruktur data memperhatikan aspek-aspek kebencanaan pada struktur dan spasial nasional yang sedang dikerjakan BIG sehingga tujuan

pola ruang.

UU No. 4 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan Informasi Geospatial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik

penyusunan RTR KSN dan RTRWP dengan analisis risiko bencana (IGT) dalam One-Map Policy dapat terwujud. Selain itu, untuk

dalam penyusunan rencana tata ruang. peta ancaman, kerentanan dan risiko bencana diharapkan

(Disarikan dari Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: tidak berhenti pada tingkat provinsi (skala 1:250.000) tetapi

Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan bisa dikembangkan sampai kedetilan skala kabupaten yakni

Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas) 1:50.000 dan untuk kota yakni 1:25.000 atau lebih detail. BNPB

Tabel 3 Upaya Mitigasi Bencana di Wilayah Hulu, Tengah, Hilir

Sumber: Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas

buletin tata ruang & pertanahan 15

buletin 16 tata ruang & pertanahan

Pengelolaan WP-3-K meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berasaskan pada keberlanjutan, kepastian hukum, peran serta masyarakat, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan.

Perencanaan Perencanaan pengelolaan WP-3-K terdiri atas Rencana Strategis

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K). Empat rencana tersebut wajib disusun oleh Pemerintah Daerah yang memiliki WP-3-K sebagai acuan pengelolaan sumber daya.

RSWP-3-K merupakan bagian dari RPJPD yang wajib mempertimbangkan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Rencana ini berlaku 20 Tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di WP-3-K yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW. Sama dengan RSWP-3-K, RZWP-3-K berlaku 20 tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RZWP-3-K ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dan dalam proses perencanaannya harus mempertimbangkan:

a) Keserasian dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan;

b) Keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan; dan

c) Kewajiban alokasi ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan WP-3-K yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.

RPWP-3-K memberikan arahan kebijakan pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang. Selain itu, rencana ini berisi skala prioritas pemanfaatan sumber daya, jaminan terakomodasinya pertimbangan hasil konsultasi publik, mekanisme pelaporan, dan ketersediaan SDM terlatih dalam pengelolaan WP-3-K. Rencana ini berlaku 5 tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali.

RAPWP-3-K disusun untuk mengarahkan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis. Rencana ini berlaku 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun.

Mekanisme Penyusunan Dokumen Rencana Dokumen rencana (RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RRPWP-

3-K) disusun oleh pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dengan melibatkan Masyarakat. Usulan penyusunan rencana dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha. Dalam prosesnya, Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan konsep rencana untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan.

Bupati/walikota menyampaikan dokumen final perencanaan pengelolaan WP-3-K kab/kota pada gubernur dan Menteri untuk

diketahui, begitu juga gubernur menyampaikan dokumen final perencanaan pengelolaan WP-3-K provinsi pada Menteri dan

bupati/walikota di wilayah bersangkutan. Kemudian gubernur atau Menteri memberikan tanggapan dan/atau saran terhadap usulan dokumen final dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja. Pemerintah daerah wajib melakukan perbaikan serta memublikasikan dokumen final berdasarkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan yang diterima dari pihak penanggap. Jika dokumen tersebut tidak mendapat tanggapan, maka dokumen final diberlakukan secara definitif. Pemanfaatan

Pemanfaatan ruang secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi, yang nantinya menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan. Izin lokasi dan izin pengelolaan diberikan kepada: a) orang perseorangan warga negara Indonesia; b) korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau 3) koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.

Izin lokasi diberikan berdasarkan RZWP-3-K, yang wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing. Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Sanksi administratif berupa pecabutan izin lokasi dapat dikenakan kepada pemegang izin lokasi jika pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin lokasi yang diberikan dan jika tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama

2 tahun sejak izin diterbitkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian, pencabutan, dan berakhirnya izin lokasi dan izin pengelolaan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Izin pengelolaan wajib dimiliki setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau- pulau kecil untuk kegiatan: a) produksi garam; b) biofarmakologi laut; c) bioteknologi laut; d) pemanfaatan air laut selain energi; e) wisata bahari; f) pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan g) pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.

U ndang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP-3-K) mengatur pengelolaan ruang dalam lingkup wilayah pesisir hingga sejauh 12 mil laut dari garis pantai. Undang-Undang

ini ditetapkan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau- pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP-3-K)

Sosialisasi

buletin tata ruang & pertanahan 17

Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya, dengan kepentingan yang diprioritaskan diantaranya:

a) Konservasi;

b) Pendidikan dan pelatihan;

c) Penelitian dan pengembangan;

d) Budidaya laut;

e) Pariwisata;

f) Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari;

g) Pertanian organik;

h) Peternakan; dan/atau

i) Pertanahan dan kemananan negara. Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta

penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya wajib: a) memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; b) memerhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat; dan c) menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

Untuk wilayah Masyarakat Hukum Adat, pemanfaatan ruang dan sumber daya di wilayah tersebut menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat. Kewajiban memiliki izin lokasi dan izin pengelolaannya dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat, dan pengakuannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengawasan dan Pengendalian Pengawasan dan pengendalian dilakukan oleh pejabat pegawai

negeri sipil (PPNS) di bidang pengelolaan WP-3-K terhadap pelaksanaan ketentuan pengelolaan WP-3-K untuk menjamin terselenggarannya pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. PPNS ini berwenang untuk:

1) Mengadakan patroli/perondaan di WP-3-K atau wilayah hukumnya; serta

2) Menerima laporan yang menyangkut perusakan Ekosistem Pesisir, Kawasan Konservasi, Kawasan Pemanfaatan Umum, dan Kawasan Strategis Tertentu.

Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pemantauan, pengamatan lapangan, dan/atau evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaannya, dan masyarakat dapat berperan serta.

Dalam pelaksanaan pengendalian, Pemerintah wajib menyelenggarakan Akreditasi terhadap program pengelolaan WP- 3-K. Pemerintah dapat melimpahkan wewenang penyelenggaraan akreditasi kepada Pemerintah Daerah. Standar dan pedoman akreditasi mencakup:

a) Relevansi isu prioritas;

b) Proses konsultasi publik;

c) Dampak positif terhadap pelestarian lingkungan;

d) Dampak terhadap peningkatan kesejahteraan Masyarakat;

e) Kemampuan implementasi yang memadai; dan

f) Dukungan kebijakan dan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Nantinya, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan insentif kepada pengelola program yang telah mendapat akreditasi berupa bantuan program dan/atau bantuan teknis [gp].

tahukah anda

Indonesia memiliki garis pantai dengan panjang mencapai lebih dari 95.181 kilometer (km), ini berdasarkan pengumuman PBB pada tahun 2008.

Dengan demikian Indonesia berada di posisi keempat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang setelah Rusia.

Sedangkan negara pemilik garis pantai terpanjang diduduki Amerika Serikat (AS) dan diikuti Kanada.

Sebelumnya Kanada menduduki urutan pertama dengan panjang garis pantai 243.792 km.

Sebagai negara kepulauan terbesar dengan luas lautan tiga per empat dari luas daratan, Indonesia sekarang ini memiliki lebih dari 17.500 pulau.

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Kawasan pesisir DKI Jakarta (sumber:www.shnews.co)

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah

Sosialisasi