Tanda dalam Cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)

A. Tanda dalam Cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)

1. Tanda dalam Ranah Komunikasi Rabaan

1) “Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main- main, mulai main mata hingga main kelamin” (Djenar Maesa Ayu, 2008:1).

2) “Bagi mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin” (Djenar Maesa Ayu, 2008:2).

3) “Bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin” (Djenar Maesa Ayu, 2008:2).

4) “Bagi pria dan wanita secantik mereka berdua, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin” (Djenar Maesa Ayu, 2008:3).

5) “Sekali-kali, tak ada salahnya memberi istri sentuhan dan kepuasan” (Djenar Maesa Ayu, 2008:6).

6) “Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat” (Djear Maesa Ayu, 2008:6).

7) “Bisa juga seonggok daging itu hamil. Padahal saya hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan“ (Djenar Maesa Ayu, 2008:8).

8) “Dan ia melakukannya harus dengan kondisi lampu mati dan mata terpejam supaya memudahkannya untuk membayangkan tubuh tinggi 8) “Dan ia melakukannya harus dengan kondisi lampu mati dan mata terpejam supaya memudahkannya untuk membayangkan tubuh tinggi

Dari kutipan di atas, ditemukan pernyataan berunsur erotis yang mengandung unsur sentuhan dan rabaan di dalamnya. Pada kutipan nomor 1 sampai dengan nomor 8, terdapat pernyataan berunsur erotis yang masuk dalam ranah komunikasi rabaan dan memiliki persamaan makna. Pernyataan tersebut antara lain “… main kelamin” (kutipan nomor 1-4); “… memberi istri sentuhan dan kepuasan” (kutipan nomor 5); ”… kawin urat ….” (kutipan nomor 6); “… saya hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan” (kutipan nomor

7) dan “… ia melakukannya harus dengan kondisi lampu mati dan mata terpejam ….” (kutipan nomor 8). Dalam cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), delapan pernyataan tersebut memiliki makna hubungan seksual yang dilakukan antara tokoh suami dengan tokoh istri (kutipan nomor 5, 7 dan 8) atau antara tokoh suami dengan tokoh pacar gelap (kutipan nomor 1, 2, 3, 4 dan 6).

2. Tanda dalam Ranah Kode-Kode Kultural

1) Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin (Djenar Maesa Ayu, 2008:1).

2) Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin (Djenar Maesa Ayu, 2008:2).

3) “Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat” (Djenar Maesa Ayu, 2008:6). Dari kutipan-kutipan di atas terdapat pernyataan berunsur erotis yang

mengandung kode-kode kultural di dalamnya. Pada kutipan nomor 1, 2 dan 3 terdapat pernyataan yang masuk dalam ranah kode-kode kultural karena pernyataan itu bertentangan dengan kultur yang ada dalam masyarakat dan diindikasikan dengan pernyataan “… main kelamin” dan “… kawin urat ….”. Pernyataan-pernyataan tersebut dalam cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) bermakna hubungan seksual yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Pada kultur yang ada dalam masyarakat, untuk dapat melakukan hubungan seksual, laki-laki dan perempuan harus menjalani pernikahan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat masih memegang kuat norma-norma agama dan moral. Dalam norma agama, laki-laki dan perempuan yang belum menikah akan dianggap berzina jika melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, sedangkan dipandang dari norma moral dalam masyarakat, berhubungan seksual di luar pernikahan tidak pantas dilakukan. Di dalam kehidupan masyarakat, sebelum menjalani proses pernikahan, sepasang laki-laki dan perempuan terlebih dulu menjalani proses perkenalan antara pribadi masing-masing dan dengan keluarga pasangannya.

Terdapat pernyataan “… tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan” (kutipan nomor 2) dan “Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat” (kutipan nomor 3). Pernyataan dalam cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) tersebut bermakna bahwa tidak adanya keinginan dalam diri seorang perempuan untuk terikat dalam hubungan pernikahan. Pernyataan-pernyataan

tersebut bertentangan dengan kultur yang ada di dalam masyarakat, karena kenyataan di dalam masyarakat sendiri, apabila ada seorang perempuan yang telah menginjak akil baliq dan dirasa telah cukup umur, mereka diminta untuk segera menikah. Sementara pada masa sekarang ini, terdapat keinginan beberapa perempuan modern yang telah memiliki kehidupan mapan untuk tidak terikat dalam pernikahan. Penggambaran tersebut terlihat pada kutipan, “Tapi saya memang tak ada beban. Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat” (Djenar Maesa Ayu, 2008:6). Hal itu dapat terjadi karena di dalam diri mereka sudah tidak ada kepercayaan lagi terhadap hubungan pernikahan. Perempuan-perempuan tersebut berpendapat demikian, sebab adanya permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga, seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian, membuat mereka tidak lagi percaya dan yakin terhadap pernikahan itu sendiri. Permasalahan tersebut tergambar dalam kutipan berikut, “Saya sudah terbiasa mendengar keluhan suami-suami tentang istri-istri mereka” (Djenar Maesa Ayu, 2008:5). Menurut William J. Goode, “Di bawah norma- norma hak modern, kelakuan seorang suami mungkin membuat sang istri tidak bahagia” (1983:197). Pernyataan tersebut kemudian dapat menjadi salah satu gambaran mengenai alasan bagi sebagian perempuan memilih untuk hidup melajang. Jika kemudian timbul rasa ketertarikan terhadap pria, perempuan- perempuan tersebut memilih untuk membatasi hubungan mereka sejauh pada hubungan seksual yang terjadi tanpa ada ikatan pernikahan, seperti yang digambarkan dalam kutipan nomor 3 di atas. Hal ini terjadi karena perempuan- perempuan tersebut tidak ingin dipusingkan dan direpotkan oleh permasalahan- permasalahan yang terjadi dalam pernikahan.

Dari permasalahan tersebut, kemudian muncul pertanyaan tentang fungsi pernikahan dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Pernikahan bagi sebagian orang menyimpan makna tersendiri. Ada orang-orang yang begitu mendambakannya sehingga membuat mereka selalu terbayang-bayang akan keindahan dalam kehidupan pernikahan. Tetapi ada juga orang-orang yang begitu membencinya, seolah-olah pernikahan adalah sebuah sumber ketakutan dan keresahan yang tidak bisa ditoleransi keberadaannya. Ketakutan dan keresahan itu berasal dari permasalahan-permasalahan dan kegagalan dalam pernikahan yang akhir-akhir ini sering dibicarakan masyarakat. Sebenarnya, eksistensi menikah itu sendiri ada karena faktor kebutuhan manusia dalam membentuk sebuah lingkungan keluarga yang di dalamnya akan berdiri sebuah aturan tersendiri yang sifatnya bebas dan dapat dilaksanakan dengan sekehendak hati sesuai dengan keinginan setiap pasangan (http://www.kang-ian.com/2011/04/10/menentukan- tujuan-pernikahan/). Kebahagiaan merupakan sebuah puncak dari pernikahan yang dilandasi oleh cinta dan berbagai faktor lain yang mendukung hadirnya kebahagiaan tersebut dan penderitaan merupakan puncak dari pernikahan yang dilandasi oleh benih kebencian serta berbagai faktor pendukung rusaknya makna pernikahan tersebut. Faktor-faktor rusaknya sebuah pernikahan dapat berasal dari benih perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, dan masih banyak permasalahan lainnya dalam rumah tangga. Pada pernikahan yang dipenuhi penderitaan kemudian terjadi kegagalan dalam hubungan itu. Hal inilah yang terjadi dalam gambaran masyarakat modern sekarang ini, sehingga fungsi pernikahan menjadi kabur dalam masyarakat.

3. Tanda dalam Ranah Komunikasi Massa

1) Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin (Djenar Maesa Ayu, 2008:2).

2) Awalnya memang urusan kelamin. Ketika pada suatu hari saya terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging tak segar dipenuhi gajih yang tak akan mudah hilang dengan latihan senam maupun fitness setipap hari sekalipun. … Anehnya, sejak hari itu, saya lebih memilih lekas-lekas berada di tengah-tengah kemacetan dan segudang rutinitas yang membosankan itu ketimbang lebih lama di rumah melihat seonggok daging yang tak sedap dipandang dan suara yang tak sedap di dengar. Kalau saya saja sudah jengah bertemu, apalagi kelamin saya? (Djenar Maesa Ayu, 2008:3-4).

3) “Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat” (Djenar Maesa Ayu, 2008:6).

4) Padahal saya hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun karena kasihan. … Juga dengan catatan, lampu harus mati dan mata terpejam. Karena saya sudah terbiasa melihat dan menikmati keindahan. Tubuh tinggi semampai. Kaki belalang. Rambut panjang. Leher jenjang. Pinggang bak gitar. Dan buah dada besar. Ah… seperti apakah bentuknya nenti setelah melahirkan? (Djenar Maesa Ayu, 2008:8).

Pada kutipan nomor 1 dan 3, Djenar menggambarkan kepada masyarakat tentang fenomena sebagian perempuan modern masa kini yang memiliki kehidupan mapan, tidak ingin terikat pernikahan dengan seorang laki-laki. Sebagian perempuan yang memegang prinsip tersebut membatasi hubungan mereka dengan laki-laki yang mereka sukai, sejauh pada hubungan seksual yang dilakukan tanpa ada ikatan pernikahan. Djenar mengangkat fenomena atau permasalahan tersebut ke dalam teks-teks erotis untuk menarik minat masyarakat Pada kutipan nomor 1 dan 3, Djenar menggambarkan kepada masyarakat tentang fenomena sebagian perempuan modern masa kini yang memiliki kehidupan mapan, tidak ingin terikat pernikahan dengan seorang laki-laki. Sebagian perempuan yang memegang prinsip tersebut membatasi hubungan mereka dengan laki-laki yang mereka sukai, sejauh pada hubungan seksual yang dilakukan tanpa ada ikatan pernikahan. Djenar mengangkat fenomena atau permasalahan tersebut ke dalam teks-teks erotis untuk menarik minat masyarakat

Sarana industri yang dimaksud Eco dalam permasalahan tersebut adalah buku-buku bertema sastra yang dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu. Akhir-akhir ini terjadi kecenderungan dengan menyiasati penerbitan buku-buku sastra sebagai sebuah industri. Hal ini karena persaingan pasar yang makin ketat, kepentingan penerbit untuk mengembalikan modal dan meraih keuntungan, serta kesadaran untuk memberikan royalti yang layak guna meningkatkan kesejahteraan pengarang buku sastra, ikut mendorong ke arah tersebut (http://penerbitanbuku.wordpress.com/2007/11/23/). Lewat buku-buku sastra sebagai media industri, maka pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan pengarang kepada masyarakat akan tersampaikan karena karya mereka dapat dibaca dengan jangkauan yang lebih luas.

Pada kutipan nomor 2 dan 4, Djenar menggambarkan bahwa saat ini terdapat fenomena perselingkuhan yang terjadi dalam rumah tangga karena suami tidak lagi berhasrat kepada istrinya akibat fisik sang istri yang tidak menarik lagi seperti dulu. Untuk melampiaskan hasrat seksualnya, sang suami kemudian

menjalin hubungan gelap atau perselingkuhan dengan perempuan lain yang dipandang lebih menarik dibandingkan dengan istrinya, seperti yang tergambar dalam kutipan nomor 4. Djenar mengangkat fenomena tersebut dengan menggambarkannya ke dalam teks-teks erotis dengan tujuan agar dapat menarik minat masyarakat untuk membaca karyanya dalam bentuk cerpen Jangan Main- Main (dengan Kelaminmu). Diharapkan setelah membaca cerpen tersebut, masyarakat khususnya pembaca cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), mengetahui dan tidak menutup mata terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar mereka. Ini sejalan dengan pendapat Eco yang mengemukakan bahwa saluran-saluran komunikasi bukannya menjangkau kelompok-kelompok tertentu yang sudah jelas melainkan penerima yang tak terbatas yang hidup di berbagai macam situasi sosiologis (Eco, 2008:17).

Tanda-tanda dalam ranah komunikasi massa berdasarkan teori Umberto Eco yang terdapat dalam cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) diindikasikan dalam bentuk teks-teks yang berupa kata-kata, frasa dan kalimat berunsur erotis. Seluruh kata-kata, frasa dan kalimat berunsur erotis dalam cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) merupakan tanda dalam ranah komunikasai massa. Teks-teks berunsur erotis dimunculkan dengan tujuan untuk mengecoh pembaca, sehingga menarik masyarakat untuk membaca kumpulan cerpen tersebut. Kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), menyajikan tema tentang permasalahan yang ada di sekitar masyarakat dan belum banyak dikuak karena masih dianggap tabu oleh sebagian orang. Hal ini kemudian menjadikan karya-karya dalam kumpulan cerpen tersebut menarik untuk dibaca dan dinikmati.