Hakim Ad Hoc

1. Hakim Ad Hoc

Ditinjau dari beberapa Peraturan Perundang-Undangan yang ada, istilah Hakim Ad-Hoc didefinisikan secara berbeda-beda. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penjelasan Pasal 28 menjelaskan bahwa, Hakim ad hoc adalah;

“hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.”

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 78 (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan hakim ad hoc adalah; “seseorang yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan.”

Istilah ‘Ad-hoc’ sendiri menurut Black Laws Dictionary berarti — formed for a particular purpose (latin) —-, dibentuk atau diadakan untuk suatu tujuan khusus. 45 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hakim Ad-hoc adalah hakim, berasal dari luar pengadilan yakni orang yang punya pengalaman dan spesialisasi pengetahuan dalam bidang tertentu, yang direkuit secara khusus untuk tujuan tertentu, dalam menangani perkara tertentu. Dalam hal ini keberadaan hakim adhoc mempunyai tujuan untuk mengatasi atau menyelesaikan perkara tertentu, yakni perkara korupsi.

Keberadaan Hakim Ad-Hoc sebetulnya sudah lama diperkenalkan yaitu melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 46 Dalam perkembangannya,

45 Bryan A Garner (editor), “Black Laws Dictionary”, Eighth Edition,2004, hal. 43. 46 Pasal 135 (1) UU PTUN menyatakan bahwa: “Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara PTUN tertentu yang memerlukan keahlian

Naskah Akademis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

keberadaan hakim ad hoc diadakan pada Pengadilan-Pengadilan Khusus yang dibentuk, seperti pada Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hubungan Industrial (Perburuhan), dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Secara umum, alasan diperlukannya hakim Ad-hoc adalah karena rendahnya kepercayaan pada pengadilan, selain karena kebutuhan akan spesialisasi/keahlian untuk menyelesaikan perkara tertentu. Keberadaan Hakim Ad Hoc bisa juga dimaksudkan sebagai representasi dari kepentingan masyarakat, agar akuntabilitas pengadilan dapat lebih dipertanggungjawabkan. Hal ini seperti dalam System Peradilan di negara-negara Eropa. Misalnya, dalam sistem Peradilan Pidana di Belanda, sebagai bagian dari representasi masyarakat, dimungkinkan adanya hakim adhoc yang berasal dari universitas atau lawyer yang telah berpengalaman. 47

Barangkali hal ini dapat juga disebut sebagai sistem ’semi juri’. Artinya, hakim dimaksud bukan saja dipilih karena dasar pengetahuan yang dimilikinya tetapi juga dia akan bertindak mewakili kepentingan publik untuk memastikan jaminan keberpihakan hukum pada daulat rakyat serta nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Jadi sebagai upaya yang nyata menampung kehendak rakyat untuk ingin memiliki lembaga pemberi keadilan yang lebih baik. Bukan sekedar pen”stempel” pasti salah atau tidak bersalah.

Hanya saja dalam prakteknya, terdapat sejumlah masalah berkenaan dengan keberadaan hakim ad hoc. Hakim ad hoc pada Pengadilan Niaga jarang sekali digunakan dalam penyelesaian perkara. Hal itu disebabkan karena keberadaannya yang bersifat fakultatif, pengajuannya dilakukan oleh pihak yang berperkara, yang kemudian diputuskan oleh Ketua Pengadilan. Disamping itu karena adanya rangkap jabatan, sehingga pada beberapa kasus, Hakim Ad-

khusus, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk seorang Hakim ad hoc sebagai anggota majelis.”

47 Marijke Malsch, PhD, “Lay Participation In The Netherlands Criminal Law System” (Paper), 2003

Naskah Akademis & RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

hoc menolak untuk memeriksa perkara di Pengadilan Niaga dengan alasan kesibukan di tempat lain. 48 Di PTUN malah tidak pernah

ditunjuk hakim adhoc walaupun Undang-Undang memperkenankan. Hal ini dikarenakan prosedurnya pengangkatannya yang dianggap terlalu panjang dan bertele-tele. Sebagai penggantinya, hakim hanya tinggal memanggil saksi ahli saja. 49

Masalah yang timbul sebagaimana digambarkan di atas, sudah semestinya tidak terjadi lagi pada Pengadilan Tipikor. Dalam UU KPK sesungguhnya telah diatur beberapa hal untuk mengatasi persoalan tersebut. Seperti adanya penegasan keharusan hakim ad- hoc dalam komposisi majelis, syarat harus berpengalaman sebagai salah satu kualifikasi menjadi hakim ad-hoc, juga adanya larangan rangkap jabatan serta ditentukan masa jabatannya. Oleh karena itu, pada prinsipnya keberadaan hakim ad-hoc pada Pengadilan Tipikor masih tetap diperlukan. Ketentuan yang sudah ada itu, dapat dikatakan sudah tepat dan sebaiknya tetap diatur dalam UU Pengadilan Tipikor.

Yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut adalah menyangkut masalah kapasitas seorang hakim ad hoc. Sebagai seorang hakim yang nantinya turut menentukan arah atau jalannya persidangan, dan pasti berperanan di dalam memberikan putusan dengan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, tentunya diharapkan ia adalah orang yang menguasai hukum materiil (hukum materiil tindak pidana korupsi) dan hukum formil (hukum beracara tindak pidana korupsi) dan bagaimana praktek-praktek persidangan.

Pengetahuan istimewa apakah kiranya yang diharapkan dimiliki oleh hakim ad hoc?, mengingat kasus-kasus korupsi yang semakin kompleks kedepan. Kasus korupsi adalah kasus yang tidak sederhana penuh dengan kompleksitas yang pasti terkait dengan persoalan uang

48 Tim Pengarah Pengadilan Niaga Dan Persiapan Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, “ Cetak Biru dan Rencana Aksi Pengadilan Niaga”,

Mahkamah Agung dan Bappenas, 2004, hal. 31-32 49 Lihat hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) tentang Hakim

Ad hoc pada Pengadilan Niaga, 2005. hal. 8-9

Naskah Akademis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

atau keuangan. Uang dan persoalan keuangan, tentunya sangat terkait persoalan asal-usul, penghitungan, peruntukan atau penggunaan, kepemilikan, peredaran dengan semua dasar hukum yang melandasi keuangan atau mungkin yang dikenal dengan persoalan audit keuangan dan lembaga–lembaga keuangan. Pada bidang pengetahuan inilah seharusnya seorang hakim ad hoc akan berperan.