Rekuitmen dan Pengangkatan Hakim.

2. Rekuitmen dan Pengangkatan Hakim.

Pada prinsipnya yang berwenang melakukan rekuitmen dan pengangkatan Hakim Pengadilan Tipikor adalah Ketua Mahkamah Agung dan Presiden. Ketua MA berwenang untuk mengangkat calon dari hakim karier, sedangkan Presiden berwenang mengangkat

Hakim ad-hoc berdasarkan usul Ketua MA. 50 Mengapa Presiden? Barangkali hal ini tidak semata-mata dimaknai sebagai bagian dari tugas administratif Presiden. Tetapi lebih dari itu, ada kepentingan dari masyarakat yang bisa diakomodir melalui peran Presiden. Apalagi bila mengingat saat ini Presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Selain itu, barangkali Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tipikor, diharapkan dapat menjadi ’bagian’ dari agenda Pemerintah/ Presiden dalam pemberantasan korupsi.

Dalam melakukan rekuitmen Hakim Pengadilan Tipikor, prosesnya harus dilakukan secara transparan dan partisipatif. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Tipikor, baik dari hakim karier maupuan hakim ad hoc, rekuitmennya dilakukan melalui panitia seleksi yang dibentuk oleh Mahkamah Agung. Panitia seleksi ini berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari unsur akademisi, praktisi hukum, tokoh masyarakat, dan dari unsur MA. Dalam rekruitmen ini, prosesnya dilakukan secara partisipatif dan transparan yang diumumkan melalui media cetak dan elektronik untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.

50 Sebagai catatan, secara umum hampir semua Hakim Ad-hoc yang ada di sejumlah Pengadilan dalam proses pengangkatan dan pemberhentiannya menjadi

kewenangan Presiden,

Naskah Akademis & RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Proses seleksi sebagaimana dikemukakan di atas, berlaku untuk hakim Pengadilan Tipikor di semua tingkatan. Hal ini perlu ditegaskan, mengingat pada Undang-Undang sebelumnya rekruitmen bagi hakim tingkat banding dan kasasi tidak diatur, dan pada prakteknya kemudian dilakukan secara tertutup oleh MA. 51 Sedangkan siapa yang berwenang mengusulkan dan mengangkat, sama seperti pengaturan sebelumnya. Hakim Pengadilan Tipikor yang berasal dari hakim karier diusulkan dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah, berapa jumlah minimal Hakim Pengadilan Tipikor yang harus direkuit atau dipersiapkan? Untuk menentukan hal ini tidaklah mudah, karena berhubungan dengan beban kerja Pengadilan Tipikor yang akan mengadili semua perkara korupsi, baik yang diajukan oleh Kejaksaan maupun KPK. Termasuk juga dari segi anggaran dan pembentukan Pengadilan Tipikor di sejumlah wilayah, perlu dipersiapkan/ diperhitungkan dengan baik.

Sebagai perbandingan, dalam “Cetak Biru dan Rencana Aksi Pembentukan Pengadilan Tipikor”, direkomendasikan jumlah hakim yang perlu direkuit adalah 11 Hakim Karir dan 16 Hakim ad hoc. Dengan rincian perhitungan sebagai berikut; 52 (a)pada Tingkat PN diusulkan ada 2 majelis yang terdiri dari 4 Hakim

karir dan 6 Hakim ad hoc;

51 Proses seleksi hakim Pengadilan Tipikor Tahap II dilaksanakan MA (sejak 5 April 2005), jauh lebih tertutup dibanding proses seleksi sebelumnya.

Hal itu diindikasikan dari komposisi Panitia Seleksi yang dibentuk MA pada 28 Februari 2005, hanya terdiri dari kalangan pejabat MA. Publik pun kurang mendapatkan informasi tentang tahapan-tahapan yang telah dan akan ditempuh dalam proses seleksi, serta tidak tahu sama sekali profil calon. Lihat siaran pers Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), “Mendorong Perbaikan Rekuitmen Hakim Ad hoc Pengadilan Tindak PIdana Korupsi”, 12 Mei 2005.

52 Tim Pengarah, “Cetak Biru….” Op.cit., hal. 33.

Naskah Akademis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

(b)pada Tingkat PT diusulkan ada 1 majelis yang terdiri dari 3 Hakim karir dan 4 Hakim ad hoc;

(c)pada MA diusulkan ada 2 majelis yang terdiri dari 4 Hakim Agung dan 6 Hakim ad hoc