Latar Belakang

3.1 Latar Belakang

Resepsi sastra meneliti teks dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap teks. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan golongan sosial budaya. Konsep horison harapan yang menjadi dasar teori Jauss ditentukan oleh tiga kriteria. Pertama, norma-norma umum yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca pembaca. Kedua, pengetahuan dan pengalaman pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks baru baik dalam horison sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison luas dari pengetahuan tentang kehidupan (Segers dalam Jabrohim, 2003: 109).

Mengacu pada kerangka teori estetika resepsi, maka diungkapkan terlebih dahulu norma-norma dan konvensi-konvensi sastra pada masa itu. Kehidupan sastra pada setiap masa tertentu berbeda dengan zaman lainnya. Begitu pula pada tahun 1968 peristiwa heboh sastra mencuat karena dimuatnya cerpen "Langit Makin Mendung" karya Kipandjikusmin pada majalah Sastra pimpinan H.B. Jassin.

Pasang-surut pergerakan nasional dapat dilihat dari karya-karya sastra yang timbul. Artinya, corak sastra itu terpengaruh dan terbentuk pula oleh pergerakan nasional (Sumardjo, 1979: 70). Karya-karya sastra setelah tahun 1960- an mulai ramai lagi dengan tema-tema kekuasaan dan politik, lebih-lebih dengan timbulnya sastrawan-sastrawan Lekra (Sumardjo, 1979: 76). Tidak sedikit karya- karya sastrawan Lekra yang kurang "murni" sastra. Bau propaganda politik terlalu dominan karena sebelum menulis karya sastra mereka terlebih dahulu telah merencanakan menulis propaganda. Karya sastra mereka bersifat politis sehingga karya sastra dijadikan alat politik belaka.

Karya-karya sastra yang demikian juga muncul lagi setelah Lekra dan komunismenya lenyap dari Indonesia yaitu pada masa pergolakan politik tahun 1966. Karya-karya protes dan penggugah semangat dengan dilandasi antipati pada kekuasaan politik tertentu bermunculan (Sumardjo, 1979: 70). Demikian Jakob Soemarjo menulis berdasar pemaknaannya terhadap karya-karya sastra yang ia baca setelah zaman Lekra tahun 1966.

Pemaknaan sebuah karya sastra tidak dapat terlepas dari apa yang menyelubungi karya sastra termasuk sejarah sehingga perlu diketahui terlebih dahulu kehidupan sastra pada masa itu. Sejarah mencatat peristiwa di masa lalu. Norma-norma umum perlu dirunut kembali guna mengetahui konvensi sastra. Kurun waktu saling berkait, maka perlu pula melihat konvensi pada masa sebelumnya. Dua subbab "Sastra Majalah" dan "Majalah Sastra" di bawah ini berusaha menerangkan gejala umum yang berlaku pada kurun waktu tertentu guna menggambarkan norma-norma umum yang berlaku pada kurun waktu itu.

3.1.1 Sastra Majalah

Kesusastraan Indonesia pada perjalanannya banyak mengalami perkembangan melalui media massa khususnya majalah-majalah kebudayaan (Sumardjo, 1992: ). Hal ini dimulai pada zaman pergerakan nasional seperti majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka pada dasawarsa 1930-an. Seiring dengan pemanfaatan sastra sebagai alat bonceng ideologi pada zaman Jepang dan zaman revolusi pada dasawarsa 1940-an, jumlah majalah yang memuat karya- karya sastra semakin banyak. Sampai tahun 1952, jumlah majalah kebudayaan yang memuat karya-karya sastra terbit cukup banyak antara lain Mimbar Indonesia dengan lampiran kebudayan Zenith (1947-1966), Siasat dengan ruang kebudayaan Gelanggang (1947-1959), harian Indonesia (1948-1965).

Majalah-majalah tersebut merupakan media bagi para sastrawan pada saat itu untuk menyebarluaskan karya dan hasil pemikirannya tentang sastra. Sejalan dengan melimpahnya minat masyarakat mengirimkan karya-karyanya, dengan sendirinya ruang sastra yang tersedia pada media tersebut menjadi semakin sempit sehingga kurang berpihak pada para penulis dan sastrawan pemula.

Itulah sebabnya pada tahun 1953, Sudjati S.A. dan kawan-kawanya, menerbitkan majalah yang khusus memuat karya-karya sastra terutama cerita pendek yang diberi nama majalah Kisah, bersama H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto sebagai dewan redaksinya. Begitu majalah ini diterbitkan, dalam kurun waktu satu tahun, redaksi telah dibanjiri sekitar 600 naskah cerita Itulah sebabnya pada tahun 1953, Sudjati S.A. dan kawan-kawanya, menerbitkan majalah yang khusus memuat karya-karya sastra terutama cerita pendek yang diberi nama majalah Kisah, bersama H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto sebagai dewan redaksinya. Begitu majalah ini diterbitkan, dalam kurun waktu satu tahun, redaksi telah dibanjiri sekitar 600 naskah cerita

Selama satu tahun penerbitan majalah Kisah, telah muncul sekitar 75 nama sastrawan baik yang telah lama menulis sebelum tahun itu maupun yang baru mulai. Di antara nama-nama penulis lama yang menulis di majalah tersebut adalah Mochtar Lubis, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Buyung Saleh, Sitor Situmorang. Namun, nama-nama penulis baru yang muncul jauh lebih banyak di antaranya Nugroho Notosusanto, Yusach Ananda, A.A. Navis, Trisnoyuwono, Sukanto S.A., S.M. Ardan, Subagio Sastrowardoyo, Ajip Rosidi, Riyono Praktikto, Husein Umar, dkk.

Karena berbagai sebab pada awal tahun 1960-an majalah Kisah akhirnya tutup usia. Walau demikian, para awak majalah Kisah tidak tinggal diam. Pada 1965 diterbitkan majalah Sastra dengan moto Sastra Bimbingan Pengertian + Apresiasi yang dipimpin oleh Dasraf Rahman dan H.B. Jassin. Dengan mempertahankan format dan tata letak hingga dibuat mirip majalah Kisah, majalah Sastra segera mendapat sambutan luas guna memuaskan dahaga para pembaca setia majalah Kisah yang gulung tikar. Masih pada periode 1960-an muncul pula majalah serupa yang diawaki oleh Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad yang diberi nama

Horison dengan moto Horison Majalah Sastra. Tepatnya Horison mulai terbit pada tahun 1966 dengan dikeluarkannya surat izin terbit tertanggal 28 Juni 1966.

Malang, majalah Sastra berumur pendek karena dibredel pemerintah pada tahun 1968 dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap agama atas dimuatnya cerpen "Langit Makin Mendung" karya Kipandjikusmin –nama samaran yang tidak diketahui siapa sosok sebenarnya- pada edisi Agustus 1968.

H.B. Jassin sebagai pemimpin redaksi diseret ke pengadilan dan dihukum dengan percobaan selama dua tahun. Walau demikian, pembelaan atau pelurusan atas pembredelan majalah Sastra masih dapat dilacak pada majalah Sastra edisi penghabisan yang disambung oleh majalah Horison.

Dengan demikian, majalah Horison menjadi satu di antara (untuk tidak menyebut satu-satunya) majalah sastra yang besar dan bergairah di zamannya. Jakob Sumardjo menyebut pertengahan dasawarsa 1960-an adalah masa kembalinya zaman keemasan sastra majalah, setelah berjaya pada periode 1930-an s.d. awal 1950-an dan mengalami kemunduran pada periode 1955-an s.d. 1965 dan mulai bergairah kembali pada akhir dasawarsa 1960-an.

Takterhitung banyaknya penulis baru yang muncul pada majalah Horison, mulai dari Danarto sampai Wing Kardjo atau esais terkemuka mulai dari Goenawan Mohamad sampai Ignas Kleden atau sastrawan semacam Sutardji sampai Sapardi dan masih banyak lagi. Tidak hanya memuat esai, cerita pendek, dan puisi, Horison mulai menerjemahkan karya sastra dunia, biografi penulis mancanegara dan menyerap pemikiran filsuf dunia (Jakob Sumardjo, 1992: 147).

Demikian gambaran sastra majalah pada masa itu. Maka, aktivitas sastra Demikian gambaran sastra majalah pada masa itu. Maka, aktivitas sastra

3.1.2 Majalah Sastra

Atas usaha H.B. Jassin dan beberapa orang penyelenggara majalah Kisah, pada bulan Mei 1961 diterbitkan majalah Sastra dengan H.B. Jassin sebagai ketua redaksi dan D.S. Moeljanto sebagai redaktur penyelenggara. Ada pun pada nomor-nomor pertama turut pula M. Balfas sebagai anggota redaksi. Semuanya adalah orang-orang lama majalah Kisah. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kebijaksanaan redaksi majalah Sastra merupakan kelanjutan dari majalah Kisah.

Seperti juga majalah Kisah, majalah Sastra mengutamakan pemuatan cerpen disamping sajak, kritik, dan esai (Rosidi, 1968: 166). Walau demikian, kebijakan majalah Sastra lebih berani memuat karangan penulis-penulis pemula dibanding majalah Kisah. Untuk menyebut beberapa nama penulis muda pada saat itu ialah Goenawan Mohamad, Arif Budiman (Soe Hok Djin), D.A. Peransi. Sementara penulis esai yang sudah dikenal sebelumnya adalah Iwan Simatupang, dan Wiratmo Soekito. Di samping esai, penulisan kritik sastra juga mulai ramai. Boen S. Oemardjati, M.S. Hutagalung, Virga Belan, Salim Said dan beberapa Seperti juga majalah Kisah, majalah Sastra mengutamakan pemuatan cerpen disamping sajak, kritik, dan esai (Rosidi, 1968: 166). Walau demikian, kebijakan majalah Sastra lebih berani memuat karangan penulis-penulis pemula dibanding majalah Kisah. Untuk menyebut beberapa nama penulis muda pada saat itu ialah Goenawan Mohamad, Arif Budiman (Soe Hok Djin), D.A. Peransi. Sementara penulis esai yang sudah dikenal sebelumnya adalah Iwan Simatupang, dan Wiratmo Soekito. Di samping esai, penulisan kritik sastra juga mulai ramai. Boen S. Oemardjati, M.S. Hutagalung, Virga Belan, Salim Said dan beberapa

Gambar 3.1 Arikel "Manifes Tidak Mati" di majalah Sastra No.1 Tahun IV, 1964

diblok-tutup/ disensor (lihat gambar bagian yang dhitamkan) karena Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan pada 8 Mei 1964 (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999)

Para pengarang cerpen pemula mendapat keleluasaan untuk tampil dan berkembang dalam majalah Sastra. Untuk menyebut beberapa nama pengarang muda pada saat itu antara lain B. Soelarto, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Pyok. Sedangkan para penyair antara lain Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C. Noer, Sapardi Djoko Damono. (Rosidi, 1968: 166- 167).

Pada masa pemaksaan "politik sebagai panglima" atau "seni untuk rakyat" oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) terhadap kesusastraan Indonesia, majalah Sastra menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang yang mempertahankan "otonomi seni dalam kehidupan" atau "seni untuk seni". Majalah Sastra pula yang pertama kali memuat "Manifes Kebudayaan" pada 17 Agustus 1963 yang dengan berani menyatakan sikap yang bersebrangan dengan Lekra yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Manifes Kebudayaan segera mendapat sambutan dari seluruh pelosok tanah air (Ajip, 1968: 167). Para budayawan, seniman, dan para pengarang dari berbagai daerah yang hidup dalam suasana teror Lekra melihat manifes kebudayaan sebagai juru selamat. Mereka berlomba-lomba menyatakan dukungan terhadap manifes kebudayaan yang dipublikasikan melalui majalah Sastra.

Di sisi lain lahirnya "Manifes Kebudayaan" mempermudah Lekra berserta kompanyonnya untuk menumpas orang-orang yang selama ini mereka anggap sebagai musuh. Orang-orang yang menentang komunis dan PKI yang sulit dipukul oleh Lekra secara terbuka muncul ke permukaan. Manifes Kebudayaan Di sisi lain lahirnya "Manifes Kebudayaan" mempermudah Lekra berserta kompanyonnya untuk menumpas orang-orang yang selama ini mereka anggap sebagai musuh. Orang-orang yang menentang komunis dan PKI yang sulit dipukul oleh Lekra secara terbuka muncul ke permukaan. Manifes Kebudayaan

Segera "manikebu" menjadi istilah yang populer untuk menuduh seseorang kontra revolusi, anti-Manipol, anti-Nasakom dan sebagainya. Majalah Sastra dituntut supaya dilarang terbit, demikian juga majalah-majalah lain yang dianggap menjadi penyambung lidah "Manifes Kebudayaan". Meski larangan itu tidak sampai dikeluarkan pemerintah, namun majalah-majalah itu berhenti dengan sendirinya karena tekanan Lekra yang terlalu kuat. Para pengarang penanda tangan Manifes Kebudayaan terpaksa sering memakai nama samaran (Ajip, 1968: 169). Walau demikian, tidak semua majalah atau surat kabar bersedia memuatnya karena takut memikul risiko ketahuan oleh Lekra.

Situasi ini memberikan ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan pada periode ini. Di tengah-tengah sajak, cerpen, dan esai yang menyanyikan kemenangan perjuangan yang ditulis oleh para pengarang Lekra, timbulah perlawanana para pengarang yang ingin mempertahankan martabat manusia dan membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik. Sajak-sajak dan cerpen-cerpen, terutama esai yang ditulis pada masa itu kebanyakan merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjak-injakan martabat manusia. Puncak sastra perlawanan ini ialah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansyur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dkk. yang ditulis di tengah- Situasi ini memberikan ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan pada periode ini. Di tengah-tengah sajak, cerpen, dan esai yang menyanyikan kemenangan perjuangan yang ditulis oleh para pengarang Lekra, timbulah perlawanana para pengarang yang ingin mempertahankan martabat manusia dan membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik. Sajak-sajak dan cerpen-cerpen, terutama esai yang ditulis pada masa itu kebanyakan merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjak-injakan martabat manusia. Puncak sastra perlawanan ini ialah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansyur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dkk. yang ditulis di tengah-