Kehidupan Sastra Periode 1961-1971

3.2 Kehidupan Sastra Periode 1961-1971

Masalah angkatan dan penulisan sejarah sastra Indonesia merupakan dua persoalan dalam satu wajah yaitu persoalan sejarah sastra. Masalah angkatan tidak lepas kaitannya dengan penulisan sejarah sastra Indonesia atau penulisan sejarah sastra Indonesia tidak dapat mengesampingkan pemecahan masalah angkatan dalam sastra Indonesia. Sejarah sastra merupakan salah satu cabang studi sastra. Rene Wellek membagi studi sastra menjadi tiga bagian yaitu: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra (Pradopo, 1995: 1).

Kesusastraan suatu bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan begitu pula halnya kesusastraan Indonesia. Dengan demikian, sejarah sastra taklain dari rangkaian atau jajaran periode-periode sastra. Pengertian periode di sini ialah seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya dapat dirunut (Wellek dalam Pradopo, 1995: 2). Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan sastra yang menempati periode-periode tersebut. Itulah sebabnya masalah angkatan tidak dapat dihindarkan dalam penulisan sejarah sastra Indonesia.

Angkatan sastra adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam kurun masa atau menempati suatu periode tertentu (Pradopo, 1995: 2). Mereka hidup

dalam kurun masa yang sama atau periode tertentu maka sangat dimungkinkan terjadi saling pengaruh satu sama lain sehingga mempunyai ide, gagasan, pikiran, atau semangat yang sama atau setidak-tidaknya memiliki kemiripan. Walau demikian, rangkaian periode sastra jangan dibayangkan seperti balok-balok batu yang dijajarkan secara berurutan, melainkan hendaklah dilihat bahwa periode sastra saling bertumpang tindih (Wellek dalam Pradopo, 1995: 3). Sebelum sebuah angkatan lenyap, sudah timbul benih angkatan baru sehingga terdapat banyak pemikiran mengenai pembagian periodisasi sastra Indonesia di antaranya dari H.B. Jassin (1953), Boejang Saleh (1956), Nugroho Notosusanto (1963), Bakri Siregar (1964) dan Ajip Rosidi (1969).

Guna mengetahui kehidupan sastra khususnya periode 1961 s.d. 1971 sebagai latar belakang kehidupan sastra sebelum munculnya cerpen "Langit Makin Mendung" pada tahun 1968 penulis memilih periodisasi Ajip Rosidi sebagai berikut

I. masa kelahiran dan masa penjadian (kl. 1900-1945)

1. periode awal hingga 1933

2. periode 1933-1942

3. periode 1942-1945

II masa perkembangan (1945 hingga sekarang)

1. periode 1945-1953

2. periode 1953-1961

3. periode 1961 - sampai sekarang (Ajip, 1968: 11-12)

Ajip mengelompokkan tahun 1961 sebagai sebuah permulaan periode sastra. Ajip dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia yang ditulisnya pada tahun 1968 tidak menunjukkan akhir periode 1961 yang ditulis dengan "1961 - sampai sekarang". Secara tersirat maksud "sampai sekarang" ialah tahun 1968 (tahun pada saat buku Ajip mengelompokkan tahun 1961 sebagai sebuah permulaan periode sastra. Ajip dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia yang ditulisnya pada tahun 1968 tidak menunjukkan akhir periode 1961 yang ditulis dengan "1961 - sampai sekarang". Secara tersirat maksud "sampai sekarang" ialah tahun 1968 (tahun pada saat buku

3.2.1 Sastra dan Kekuasaan

Sastra dan politik sangat erat kaitannya. Sejak awal tumbuh, sastrawan- sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius terhadap politik (Ajip,1968: 162). Para pengarang zaman sebelum perang banyak yang aktif dalam pergerakan kebangsaan pada masa itu. Bahkan, di antaranya lebih dikenal sebagai politikus daripada pengarang seperti Mohamad Yamin atau Roestam Efendi. Demikian pula pengarang-pengarang Pujangga Baru, mereka adalah orang-orang yang aktif dalam pergerakan nasional. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersikap apolitis. Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, dkk. adalah orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik.

Perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada pendirian politik sejak lama terlihat dalam kesusastraan Indonesia. Pada awal tahun 50-an terjadi polemik antara pihak yang membela hak hidup Angkatan ’45 dengan pihak yang menyatakan "Angkatan ’45 sudah mampus" yang berpangkal pada sikap politik.

Perbedaan pandangan tersebut takjarang menimbulkan polemik di masyarakat. Pada awal tahun 60-an pihak yang berpaham realisme sosialis yaitu paham yang menjadi falsafah seni kaum komunis secara aktif memunculkan Perbedaan pandangan tersebut takjarang menimbulkan polemik di masyarakat. Pada awal tahun 60-an pihak yang berpaham realisme sosialis yaitu paham yang menjadi falsafah seni kaum komunis secara aktif memunculkan

Pokok soal yang takhabis-habisnya dijadikan bahan polemik ialah paham "seni untuk seni" atau "seni untuk rakyat". Orang-orang yang menganut realisme sosialis berpaham "seni untuk rakyat" sambil mengutuk orang-orang yang berpaham "seni untuk seni" sebagai penganut humanisme universal yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis-kapitalis yang bobrok (Ajip, 1968: 163).

Pada awalnya kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta dengan hati yang terbuka (Ajip, 1968: 163). Dialektika antara kedua belah pihak banyak menghasilkan pemikiran yang cemerlang, di antaranya bahasan mengenai sastra bertendens. Namun, seiring dengan menguatnya pergerakan politik PKI, pihak realisme sosialis (Lekra) lebih sering terjadi penindasan ide daripada dialog terbuka. Lekra memulai polemik menjadi tidak sehat dengan mengolok-olok, mengejek, bahkan menginjak-injak pihak yang berseberangan.

3.2.1 Teror Lekra

Pada tahun 1950 di Jakarta berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat

(Lekra). A.S. Dharta menjabat sekretaris jenderal (sekjen) yang pertama. Pada mulanya Lekra belum merupakan organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di antara yang hadir pada pembentukan Lekra terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh yang secara takampun dihantamnya, antara lain H.B. Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Baru kemudian setelah PKI kian kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaan PKI. Mukadimah Lekra dengan tegas menganut paham realisme sosialis "seni untuk rakyat" yang menjadi dasar pendirian dan dasar sikap para anggotanya.

Sementara itu, PKI dalam percaturan politik Indonesia semakin kuat. Tahun 1959 Presiden Soekarno mendekritkan Undang-Undang Dasar '45 berlaku lagi dan mengajukan Manifes Politik (Manipol) sebagai dasar dan haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk sedikit demi sedikit menempati posisi-posisi penting guna merebut kekuasaan. PKI mendapatkan angin segar ketika ajaran Nasakom (nasionlis-agama-komunis) dijadikan perbandingan kekuatan dalam lembaga-lembaga resmi dan takresmi. Pada satu pihak PKI memberikan tiupan angin kepada Soekarno untuk menjadi tiran (diktator) sedangkan pada pihak lain PKI mengobarkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. Hal itu dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan yang kemudian terjadi pada tanggal 30 September malam menjelang 1 Oktober 1965.

Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk melkukan perebutan kekuasaan, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang dan segala lapangan (Rosidi, 1968: 164). Bukan hanya dalam bidang politik dan kekuatan Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk melkukan perebutan kekuasaan, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang dan segala lapangan (Rosidi, 1968: 164). Bukan hanya dalam bidang politik dan kekuatan

Di lapangan kebudayaan, Lekra meneror orang-orang dan golongan yang dianggap tidak sepaham atau tidak bisa diajak sepaham dengan mereka. Dalam lapangan sastra satu demi satu pengarang yang berbeda paham dengan mereka dihantam dan dimusnahkan (Rosidi, 1968: 164). Sutan Takdir Alisyahbana (PSI) dan Hamka (Masjumi) menjadi sasaranya. Sutan Takdir yang secara kebetulan sedang berada di Malaysia segera dicap sebagai seorang kontrarevolusi karena Indonesia ketika itu sedang melakukan konfrontasi terhadap Malaysia. Mental Hamka dihantam secara politis. Bukunya, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, difitnah sebagai jiplakan roman Magdalena karya Madjulin Luthfi Al Manfaluththi untuk menghancurkan nama baik Hamka. Secara massal dan beramai-ramai, Hamka dijatuhkan. Buku-bukunya dituntut supaya dilarang dipergunakan, baik di sekolah maupun di masyarakat. Cara yang sama kemudian mereka gunakan untuk menghantam para pengarang penandatangan "Manifes Kebudayaan."

Pengarang, seniman, dan budayawan diteror agar bergabung dengan Lekra atau hancur ditumpasnya. Mereka menjalankan cara membagi orang menjadi kawan atau lawan. Kawan mereka dibesar-besarkan jasa-jasanya serta mereka diamkan atau mereka tutupi kesalahannya. Sedangkan, lawan mereka dihantam Pengarang, seniman, dan budayawan diteror agar bergabung dengan Lekra atau hancur ditumpasnya. Mereka menjalankan cara membagi orang menjadi kawan atau lawan. Kawan mereka dibesar-besarkan jasa-jasanya serta mereka diamkan atau mereka tutupi kesalahannya. Sedangkan, lawan mereka dihantam

Gambar 3.2 Karikatur olok-olok terhadap Manifes Kebudayaan yang digambarkan

sebagai orang yang selalu memakai kacamata yang dituntun oleh kepentingan Amerika yang digambarkan sebagai Mr. Jones yang menyeramkan dan berbahaya, dimuat Bintang Timur, 12 Mei 1964 (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999)

Teror intensif yang mereka lakukan menyebabkan banyak sastrawan, budayawan, seniman, dan pengarang menggabungkan diri kepada Lekra (Rosidi, 1968: 165). Sebagian sastrawan, budayawan, seniman, dan pengarang yang tetap Teror intensif yang mereka lakukan menyebabkan banyak sastrawan, budayawan, seniman, dan pengarang menggabungkan diri kepada Lekra (Rosidi, 1968: 165). Sebagian sastrawan, budayawan, seniman, dan pengarang yang tetap

Mengikuti PKI dengan Lekranya, partai-partai yang lain pun ikut membentuk organisasi kebudayaan yang meginduk kepada tubuh partai seperti membentuk organisasi buruh, petani, nelayan, dan pemuda yang bernaung pada partai masing-masing. Tahun 1959 PNI membentuk LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang pertama kali diketuai oleh Sitor Situmorang. NU (Nahdatul Ulama) membentuk Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dengan ketua Usmar Ismail dan Asrul Sani, begitu pula partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa untuk masuk salah satu kandang "politik". Jika tidak, mereka akan menjadi bulan-bulanan orang- orang Lekra dan PKI. Bahkan, organisasi-organisasi yang tidak berinduk kepada salah satu partai Nasakom segera didesak bubar. Organisasi mahasiswa yang mencoba berdiri sendiri (independen) terus menerus diteror dan difitnah seperti yang terjadi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).

3.2.2 Manifes Kebudayaan

Manifes Kebudayaan yang dicetuskan oleh para sastrawan, seniman, dan cendekiawan pada 17 Agustus 1963 yang dengan tegas menyatakan "Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami" dilarang pada 8 Mei 1964 dengan alasan menandingi Manipol dan kontrarevolusi (Jassin, 1968: 8). Menifes kebudayaan Manifes Kebudayaan yang dicetuskan oleh para sastrawan, seniman, dan cendekiawan pada 17 Agustus 1963 yang dengan tegas menyatakan "Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami" dilarang pada 8 Mei 1964 dengan alasan menandingi Manipol dan kontrarevolusi (Jassin, 1968: 8). Menifes kebudayaan

Gambar 3.3 Karikatur olok-olok terhadap Manifes kebudayaan dan para pengurus

majalah sastra (H.B. Jassin) yang digambarkan sebagai dua ekor tikus yang memakai kacamata, dimuat Warta Bhakti, 27 Februari 1964 (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999)

Lahirnya "Manifes Kebudayaan" berawal dari pandangan mengenai humanisme universal oleh H.B. Jassin di tahun 1948 dalam Gemma Tanah Air, Lahirnya "Manifes Kebudayaan" berawal dari pandangan mengenai humanisme universal oleh H.B. Jassin di tahun 1948 dalam Gemma Tanah Air,

Golongan humanisme universal menafsirkan realisme sosialis ada dua macam. Hal ini diungkapkan dalam "Penjelasan Manifes Kebudayaan" sebagai berikut. Pertama, realisme sosialis langsung merupakan kelanjutan dari konsepsi kultural Josef Stalin. Dalam tahun-tahun 30-an dengan berkembangnya fetisisme modern dengan Stalin sebagai suatu fetisy, barang pujaan yang seakan-akan mengundang suatu kekuatan gaib, maka kebudayaan Rusia sedang terancam bahaya kultus otoriter. Dengan Stalin, metode kritik adalah deduktif. Artinya, konsepsi telah ditetapkan terlebih dahulu untuk menertibkan kehidupan kesenian dan kebudayaan. Ciri pokok pada kesenian dan kebudayaan yang telah ditertibkan itu adalah adanya konsepsi yang sama mengenai kritik seni. Itulah sebabnya, jiwa objektif yang berpangkal pada nurani universal tidak selaras dengan realisme sosialis sehingga penganut humanisme universal menolak realisme sosialis dalam pengertian itu. Dasarnya adalah paham politik di atas estetika.

Kedua, realisme sosialis menurut jalan pikiran Maxim Gorki yang dianggap otak dari realisme sosialis yakni sejarah yang sesungguhnya dari rakyat pekerja takdipelajari tanpa suatu pengetahuan tentang dongengan kerakyatan yang secara terus-menerus dan pasti menciptakan karya sastra yang bermutu tinggi Kedua, realisme sosialis menurut jalan pikiran Maxim Gorki yang dianggap otak dari realisme sosialis yakni sejarah yang sesungguhnya dari rakyat pekerja takdipelajari tanpa suatu pengetahuan tentang dongengan kerakyatan yang secara terus-menerus dan pasti menciptakan karya sastra yang bermutu tinggi

Berdasarkan fenomena sejarah, kebudayaan suatu periode adalah senantiasa kebudayaan kelas yang berkuasa. Akan tetapi, sejarah juga mencatat justru karena tidak termasuk pada kelas yang berkuasa manusia berhasil membentuk kekuatan baru. Politik sebagai kekuatan baru yang terbentuk di tengah-tengah penindasan kekuatan lama merupakan faktor positif yang menentukan perkembangan kebudayaan dan kesenian.

Sebagaimana terjadi di Prancis, sejarah mengajarkan bahwa kekuatan yang dibangun borjuis revolusioner adalah kekuatan yang menentukan dalam melawan penindasan monarki absolut. Tapi sayang, bahwa elan kreativitas yang menyala- nyala bersama-sama kekuatan baru itu menjadi padam setelah kekuatan borjuis revolusioner itu menjadi sempurna. Bahkan, kekuatan yang sempurna itu merintangi kebudayaan dan kesenian. Penindasan baru yang dilakukan oleh kelas baru itu di bidang kesenian dan kebudayaan khususnya telah menyebabkan timbulnya suatu kekuatan baru dengan lahirnya angkatan 1830 yang mula-mula dipelopori oleh Victor Hugo dan kemudian dilanjutkan oleh Theophile Gautier

(Moeljanto, 1995: 166). Maka, kosekuensi paham politik di atas estetika merumuskan bahwa politik primer dan estetika adalah sekunder. Dilihat dari sudut kebudayaan dan kesenian hal itu adalah suatu utopia, sebab paham itu jika dilaksanakan dengan tidak jujur merupakan tipu muslihat kaum politikus yang ambisius.

Sebagai kaum realis, golongan humanisme universal tidak menerima setiap bentuk utopia karena menyadari bahwa dunia ini bukan suatu tempat yang sempurna ideal sebagaimana yang dicita-citakan kaum relisme sosialis pada saat itu. Dengan pola pikir dialektik, golongan humanisme universal mengakui bahwa kenyataan-kenyataan lingkungan sosial senantiasa mangandung masalah dan tantangan yang tidak akan habis. Oleh karena itu, kaum humanisme universal tidak pernah berpikir tentang suatu zaman yang tidak memiliki masalah lagi karena setiap pikiran yang demikian itu adalah terlalu idealis.

Menurut golongan humanisme universal, pekerjaan seorang seniman senantiasa harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan masalah- masalah. Hal ini analog dengan seorang pekerjaan dokter yang senantiasa harus dilakukan di tengah dunia yang penuh dengan penyakit. Apabila dunia ini telah sempurna, tidak perlu lagi ada seniman. Oleh karena itu, paham yang merumuskan bahwa politik adalah primer dan estetika adalah sekunder tidak memahami realisme menurut pandangan kaum humanisme universal.

Golongan humanisme universal lebih memilih tidak mengorbankan politik bagi estetik, tetapi sebaliknya tidak pula mengorbankan estetik bagi politik. Karena pengorbanan itu tidak menunjukkan adanya dinamika. (Moeljanto, 1995:

169). Setelah melewati berbagai seminar dan diskusi panjang akhirnya pada 23 Agustus 1963 bertempat di Jalan Raden Saleh no.19 diadakan pertemuan khusus merumuskan "Manifes Kebudayaan" yang dianggap perlu segera dideklarasikan menyangkut realisasi pemikiran-pemikiran di atas yang pada akhirnya melahirkan naskah "Manifes Kebudayaan" sebagai berikut

MANIFES KEBUDAYAAN

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai Bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami. Jakarta, 17 Agustus 1963 (Moeljanto, 1995: 160).

Ditandatangani oleh Drs. H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A.Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartono Andangdjadja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Drs. Taufik Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi Afn, Poernawan Tjondronagoro, dam Dra. Boen S. Oemarjati.

Naskah "Manifes Kebudayaan" pertama kali dipublikasikan pada majalah Sastra, Thn.III, No.9/10, 1963 yang memuat lengkap "Mukadimah, Penjelasan Manifes Kebudayaan" dan "Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan" lalu dimuat dalam surat kabar Berita Republik dalam ruang Forum Sastra dan Budaya No.1 Thn.I, 19 Oktober 1963 dan kemudian dikutip dan disiarkan oleh seluruh pers, Naskah "Manifes Kebudayaan" pertama kali dipublikasikan pada majalah Sastra, Thn.III, No.9/10, 1963 yang memuat lengkap "Mukadimah, Penjelasan Manifes Kebudayaan" dan "Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan" lalu dimuat dalam surat kabar Berita Republik dalam ruang Forum Sastra dan Budaya No.1 Thn.I, 19 Oktober 1963 dan kemudian dikutip dan disiarkan oleh seluruh pers,

3.2.3 Pengarang Keagamaan

Di samping gambaran kehidupan sastra yang telah diuraikan di atas, pada pertengahan dasawarsa 1960-an juga marak bermunculan pengarang keagamaan (Rosidi, 1968: 172). Partai-partai keagamaan tidak ketinggalan mendirikan lembaga kebudayaan seperti halnya PKI dengan Lekra-nya. Namun, usaha lembaga-lembaga kebudayaan tersebut dalam bidang penerbitan cukup terbatas. Misalnya, Lesbumi (Lembaga Kebudayaan yang menginduk kepada NU) menerbitkan majalah bulanan Gelanggang yang dipimpin oleh Asrul Sani, namun hanya terbit sampai tiga nomor.

Yang (mau) menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja (Rosidi, 1968: 172). Lekrindo menerbitkan beberapa buku kumpulan sajak dan cerita-cerita para pengarang Kristen. Oleh penerbit ini pernah diterbitkan antara lain Kidung Keramahan (1963) kumpulan sajak Soepawarta Wiraatmadja, Hari-hari Pertama karya Gerson Poyk, dan kumpulan sajak Malam Sunyi (1961) juga Darah dan Peluh (1962) keduanya buah tangan Fridolin Ukur.

Karya sastra yang bernapaskan Islam cenderung tidak diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan atau suatu badan yang bernafaskan agama Islam. Kumpulan cerpen Djamil Suherman yang berjudul Umi Kalsum dan Perjalanan ke Akhirat diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn. Gema Lembah Cahaya (1964) diterbitkan oleh penerbit Pembangunan, dan Karya sastra yang bernapaskan Islam cenderung tidak diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan atau suatu badan yang bernafaskan agama Islam. Kumpulan cerpen Djamil Suherman yang berjudul Umi Kalsum dan Perjalanan ke Akhirat diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn. Gema Lembah Cahaya (1964) diterbitkan oleh penerbit Pembangunan, dan

Orang-orang Katolik mempunyai sebuah majalah bulanan kebudayaan umum yang terbit di Yogyakarta, Basis yang terbit sejak tahun 1951 tetapi baru pada paruh kedua tahun 50-an memberikan pehatian dan tempat lebih banyak buat masalah sastra dan karya-karya sastra (Rosidi, 1968: 173). Majalah Basis pada mulanya hanya memuat sajak dan esai kemudian memuat cerpen. Dick Hartoko sebagai pengasuh majalah Basis tidak menitikberatkan persoalan hanya pada masalah sastra yang berhubungan dengan agama Katolik. Pada akhir lima puluhan (1957-1960) ketika majalah-majalah kebudayaan yang lain sulit terbit bahkan gulung tikar, majalah Basis merupakan satu-satunya majalah kebudayaan yang terbit secara tetap.

Pada mulanya para pengarang keagamaan hanya menempatkan sastra sebagai bingkai ajaran agama. Walau demikian, pada perkembangannya tema- tema keagamaan mulai digali dan digarap dengan aktual oleh A.A. Navis dan W.S. Rendra. A.A. Navis mengkritik orang-orang Islam ortodoks yang hanya bisa fanatik dan taklid saja. Rendra banyak mengkritik dogma-dogma Katolik dan pastoral. Goenawan Mohamad dan Taufik Ismail pun mewarnai sastra Indonesia dengan sajak-sajak yang bernapaskan Islam.

Para pengarang Islam menilai humanisme universal sebagai lawan dari realisme sosialis yang berakar pada komunisme. Singkat kata, humanisme ala manifes kebudayaan itu oleh para pendukungnya dipandang bukan sebagai humansime sekuler, melainkan humanisme yang religius (Awuy, 1999: 228).

Penelaah yang pengetahuannya terbatas tentang dunia spiritualisme timur, apalagi peneliti yang marxis, biasanya bingung membaca penjelasan "Manifes Kebudayan" ini, antara lain tentang pengertian "Cahaya Ilahi". Mereka tidak akan bisa memahami hal itu selama mereka tidak mengenal pengertian "Jauhar Al Ghariyah" yang terdapat dalam Ar-Risalah Al-Laduniyyah karya Imam Al Ghazali (Awuy, 1999: 227).

Humanisme religius ini dibaca sebagai humanisme yang Islami oleh seniman muslim pada saat itu. Tidaklah mengherankan jika "Menifes Kebudayaan" mendapat persetujuan dari sejumlah seniman muslim antara lain dari mereka yang bergabung dalam organisasi Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI). Mereka membaca paham humanisme universal terbuka untuk diberi kandungan isi (tafsir) yang Islami, karenanya menyetujui perumusan humanisme universal (Awuy, 1999: 228). Hal ini menjadi masuk akal karena pilihan yang ada pada saat itu adalah humanime universal atau realisme sosialis yang berakar pada komunisme yang dianggap sangat bertentangan dengan agama Islam.

Ali Achmad dalam tulisannya tentang "Nasib Sastrawan Islam dan Hasil Sastranya" merumuskan tugas seorang pengarang muslim adalah sebagai berikut Tugas pengarang-pengarang Islam cukup berat karena di samping

berusaha membendung bacaan-bacaan yang melanggar norma-norma kesusilaan dan agama, juga harus menghadapi kaum komunis juga yang terkenal liciknya. Tidak saja dalam hal penerbitan buku, majalah, brosur, dan surat kabar yang mempunyai lembaran kebudayaan, tapi juga dalam organisai kebudayaan, seperti Lekra telah mereka kangkangi (Ali Achmad dalam Kratz, 2000: 346).

Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan Moral dan Seni yang berlangsung menjelang akhir tahun 1963 para peserta musyawarah menyetujui Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan Moral dan Seni yang berlangsung menjelang akhir tahun 1963 para peserta musyawarah menyetujui

Dalam serbapertanyaan itu dan serbaprasangka dari orang-orang tua terhadap seni yang kadang-kadang diharamkan dalam pandangan Islam ortodoks, lahirlah "Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam" yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional Pembangunan Moral dan Seni yang dirumuskan oleh para seniman, sarjana, dan ulama Islam.

Musyawarah Nasional Pembangunan Moral dan Seni Islam yang berlangsung dari tanggal 10 s.d. 15 Desember 1963 di Jakarta yang didukung dan diikuti oleh wakil-wakil organisasi kebudayaan dan kesenian, tokoh-tokoh, seniman, budayawan, sarjana, dan ulaman Islam suruh Indonesia merumuskan pandangan sebagai berikut

MANIFES KEBUDAYAAN DAN KESENIAN ISLAM

Seni Islam adalah seni karena Allah untuk ummat manusia (l’art par et l’art pour humanite) Berketetapan hati bahwa dengan kesenian Islam sebagai media dakwah membawa ummat Islam kepada cita-citanya. Dan dengan media kebudayaan dan kesenian Islam bertekad menyumbangkan segenap kemampuan yang ada untuk pembinaan kebudayaan nasional dalam rangka menyelesaikan revolusi Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.

Djakarta, 27 Radjab 1383 H/13 Desember 1963 M (dalam Kratz, 2000: 510).

Apa yang dapat dibaca dari "Manifes Kebudayaan dan Kesenian" ini adalah suatu ketegasan sikap dan merupakan upaya penemuan kembali kepribadian umat Islam Indonesia terhadap seni. Karena makna yang terkandung dalam manifes ini tidak hanya diwujudkan dalam kegiatan atau kreasi kebudayaan dan kesenian semata, tapi mencakup segala bidang-bidang kehidupan yang lebih luas (Kratz, 2000: 510). H. Djamaludin Malik yang menjadi Ketua Eksekutif musyawarah itu menyatakan umat Islam telah bangkit kembali.Umat Islam Indonesia pada saat itu berusaha memasuki gerbang persatuan yang kuat di tengah arus zaman.

Gambar 3.4 Mohammad Dipenogoro (Muhammadiyah) salah satu pengarang muslim yang produktif menulis cerpen, novel, dan drama. Dramanya yang berjudul Iblis menjadi populer di tahun 60-an dan takjarang mendapat kritik dan

kecaman kerena mementaskan sosok Nabi Ibrahim dan Ismail di atas pentas (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999)

Pengarang keagamaan yang telah menulis sajak atau cerpen yang dimuat dalam berbagai majalah antara lain M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M., B. Jass,

M. Yusa Biran, Mohammad Dipenogoro (M. Dipo), dll. dari agama Islam. Poppy Hutagalung, Andrea Hardjana, Satyagraha Hoerip, Bakdi Soemanto, J. Sijaranamaul dll. dari agama Kristen dan Katolik (Rosidi 1968: 174).

3.2.3 Kerancuan Angkatan '66

Pada periode '45 terbitlah dua buah bunga rampai yang disusun oleh H.B. Jassin. Kesusastraan Indonesia pada Masa Jepang (1948) yang berisi ulasan dan kumpulan karya sastra pada masa pendudukan Jepang dan Gema Tanah Air Prosa dan Puisi (1948) yang berisi ulasan dan karya sastra pada masa pendudukan zaman Jepang sampai tahun 1948 yang keduanya diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Balai Pustaka adalah salah-satu badan penerbit yang paling tua di Indonesia. Balai Pustaka atau Commisie voor de Volkslectuur pada zaman Belanda difungsikan untuk mengatur sekat bacaan masyarakat pribumi. Namun, setelah pengakuan kedaulatan Balai Pustaka diserahkan ke tangan pemerintah Indonesia, Balai Pustaka yang secara kontinyu menerbitkan karya sastra mulai mengalami berbagai kemacetan dan kesukaran. Hanya sampai tahun 1953 Balai Pustaka dapat melakukan fungsinya dengan baik kemudian statusnya menjadi tidak jelas dan terus berubah-ubah menyebabkan penerbitan buku-buku sastra menjadi sepi bahkan mandek. Penerbit-penerbit partikelir seperti penerbit Pembangunan dan Pustaka Rakyat tidaklah dapat menggantikan fungsi dan peran Balai Pustaka (Rosidi, 1988: 105).

Sejak itu, penerbitan buku-buku karya sastra sangatlah tidak menggembirakan di Indonesia. Selama kurang lebih lima belas tahun, hanya satu Sejak itu, penerbitan buku-buku karya sastra sangatlah tidak menggembirakan di Indonesia. Selama kurang lebih lima belas tahun, hanya satu

Untunglah, meskipun tidak secara kontinyu, ada majalah-majalah sastra yang menampung sebagian dari karya-karya sastra. Dengan demikian, bakat-bakat baru tetap dapat kesempatan untuk muncul. Tetapi, tentu saja majalah tidak dapat menampung segala kegiatan sastra. Roman dan drama yang lebih dari satu babak misalnya merupakan karya-karya sastra yang takselamanya tertampung oleh majalah (Rosidi, 1988: 105).

Karena kegiatan sastra pada masa itu terutama dimuat dalam lembar- lembar majalah, munculah istilah "sastra majalah" oleh Nugroho Notosusanto. Bentuk sastra majalah memiliki konsekuansi tertentu. Sastra majalah tidak kekal dibandingkan dengan penerbitan buku karena majalah lekas rusak dan lekas dibuang ke dalam keranjang sampah. Juga hal itu yang menyebabkan para pengarang yang muncul tidak sampai sempat menampilkan sosoknya secara menyeluruh.

Kenyataan bahwa tidak ada buku pengantar sejarah kesusastraan Indonesia yang lengkap dan menyeluruh. Takaneh jika ada kesan seolah-olah yang mengetahui kehidupan sastra Indonesia secara lengkap dan menyeluruh hanyalah orang-orang yang hidup dalam dunia sastra sejak lampau saja. Seolah-olah sejarah Kenyataan bahwa tidak ada buku pengantar sejarah kesusastraan Indonesia yang lengkap dan menyeluruh. Takaneh jika ada kesan seolah-olah yang mengetahui kehidupan sastra Indonesia secara lengkap dan menyeluruh hanyalah orang-orang yang hidup dalam dunia sastra sejak lampau saja. Seolah-olah sejarah

Beberapa masalah di atas sengaja dikemukakan guna menempatkan H.B. Jassin sebagai penyusun bunga rampai Angkatan ’66 Prosa dan Puisi di tengah- tengah situasi lesu kehidupan sastra pada saat itu. Peranan bunga rampai tidak hanya sebagai bunga rampai kumpulan karya semata. Pada saat itu bunga rampai cenderung dianggap sebagai tanda pengakuan seseorang sebagai sastrawan. H.B. Jassin sebagai penyusunnya dianggap sebagai orang yang punya wewenang memberikan semacam tanda "lulus ujian" kepada para pengarang. Pengarang yang tidak masuk bunga rampai otomatis dianggap tidak berhasil.

Berbagai antologi sastra disusun dan diterbikan orang-orang di luar negeri dengan penerbitan sastra yang maju. Ada yang menurut bentuk, ada yang menurut sifat, dan ada pula yang menurut isi atau temanya: masing-masing dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Banyak di antaranya yang semata-mata berdasarkan selera penyusunnya. Dengan demikian, antologi-antologi tersebut lebih dipentingkan sebagai hasil pilihan selera penyusunnya daripada kelengkapannya sebagai antologi yang mencakup suatu kurun masa (Rosidi, 1988: 105).

Tidaklah demikian halnya dengan antologi-antologi yang terbit pada masa itu di Indonesia. Kecuali Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menyusun dan menerbitkan antologi Puisi Lama (1941) dan Puisi Baru (1946) boleh dikata H.B.

Jassin adalah satu-satunya penyusun bunga rampai sastra Indonesia. Dari tangannya telah lahir antologi-antologi Pancaran Cinta (1948) yang memuat cerita-cerita pendek yang ditulis pada masa Jepang, Kesusastraan Indonesia pada Masa Jepang (1948), Gema Tanah Air (1948), Pujangga Baru Prosa dan Puisi (1963) dan Angkatan '66 Prosa dan Puisi (1968). Judul-judul antologi yang disusun H.B. Jassin berusaha untuk mewakili suatu kurun masa. Mekipun waktu penyusunannya tidak kronologis jelaslah bahwa antologi Pujangga Baru meliputi karya-karya tahun 1920-1940, Gema Tanah Air meliputi tahun 1942-1948 yang kemudian diperluas sampai tahun 1955, dan Angkatan '66 meliputi tahun 1955-an sampai 1960-an

Dengan kata lain, Angkatan '66 disusun H.B. Jassin untuk melengkapi ketiga antologinya yang terdahulu. Hal ini ditulisnya dalam kata pengantar Angkatan ’66 Prosa dan Puisi sebagai berikut

"Semenjak terbitnya Gema Tanah Air tahun 1948 dengan tambahnya kemudian hingga tahun 55-an, kesusastraan Indonesia seolah- olah terhenti pada tahun-tahun tersebut bagi para pelajar sekolah dan panitia ujian yang menyusun ujian tiap tahun, karena guru-guru hanya mendasarkan pengajarannya atas hasil-hasil pengarang-pengarang yang ditampilkan dalam bunga rampai tersebut, jarang yang keluar dari padanya. Maka sudah waktunyalah sekarang untuk memperkenalkan pengarang-pengarang dan hasil-hasil kesusatraan sesudah tahun 55-an tersbut." (Jassin, 1968: xiii).

Dari keterangan di atas, motif di balik sikap Jassin bersikeras mempertahankan buku tersebut tetap berjudul Angkatan '66 adalah untuk memperkenalkan kepada para pelajar sekolah dan guru-guru, juga panitia penyusun ujian tentang pengarang-pengarang dan hasil-hasil kesusastraan sesudah tahun 1955. Namun, Ajip Rosidi penulis muda pada saat itu menilai H.B Jassin Dari keterangan di atas, motif di balik sikap Jassin bersikeras mempertahankan buku tersebut tetap berjudul Angkatan '66 adalah untuk memperkenalkan kepada para pelajar sekolah dan guru-guru, juga panitia penyusun ujian tentang pengarang-pengarang dan hasil-hasil kesusastraan sesudah tahun 1955. Namun, Ajip Rosidi penulis muda pada saat itu menilai H.B Jassin

Hal itu akan terus menjadi pertanyaan selama kita tidak mau percaya bahwa alasan-alasan mau sensasional dan motif-motif komersialah yang telah menyebabkan Jassin tetap mempertahankan judul Angkatan '66 yang lagi populer (Rosidi, 1988: 109). Karena itu, dimuatnya karangan Jassin yang berjudul "Bangkitnya Satu Generasi" sehabis kata pengantar sesungguhnya ditulis terlepas dari maksud menyusun sebuah bunga rampai yang menyebabkan tujuan penyusunan bunga rampai itu mejadi tidak jelas (Ajip, 1988: 110)

Penamaan Angkatan '66 menimbulkan reaksi pula dari Taufiq Ismail dan Arief Budiman. Mereka menyatakan keberatan kalau nama Angkatan '66 itu dipergunakan untuk suatu bunga rampai yang di dalamnya dimuat juga karangan- karangan para pengikut Soekarno yang menjadi dedengkot Orde Lama. Padahal, itulah yang menjadi sasaran pendobrakan Angkatan '66. Hal ini disinggung oleh Jassin dalam pengantarnya dengan alasan "saya tetap menghargai nilai" (Jassin, 1968: xiv) dan "apabila seniman berjaya menuangkan nilai-nilai itu dalam hasil seninya, maka ia telah berhasil mengatasi dataran politik" (Jassin, 1968: xv) karena menurut hematnya "sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal: cinta tanah air, bahagia hidup kemasyarakatan, anti kebatilan" (Jassin, 1968: xiv). Namun, Penamaan Angkatan '66 menimbulkan reaksi pula dari Taufiq Ismail dan Arief Budiman. Mereka menyatakan keberatan kalau nama Angkatan '66 itu dipergunakan untuk suatu bunga rampai yang di dalamnya dimuat juga karangan- karangan para pengikut Soekarno yang menjadi dedengkot Orde Lama. Padahal, itulah yang menjadi sasaran pendobrakan Angkatan '66. Hal ini disinggung oleh Jassin dalam pengantarnya dengan alasan "saya tetap menghargai nilai" (Jassin, 1968: xiv) dan "apabila seniman berjaya menuangkan nilai-nilai itu dalam hasil seninya, maka ia telah berhasil mengatasi dataran politik" (Jassin, 1968: xv) karena menurut hematnya "sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal: cinta tanah air, bahagia hidup kemasyarakatan, anti kebatilan" (Jassin, 1968: xiv). Namun,

Arif Budiman pun menyambut bunga rampai Angkatan '66 dengan kritik yang menengarai adanya semacam kultus terhadap Jassin. Di kalangan para pengarang Indonesia pada saat itu ada anggapan bahwa apabila ia sudah masuk bunga rampai Jassin berarti kedudukannya sebagai pengarang sudah resmi diakui. Lantaran tidak ada bunga rampai lain sebagai perbandingan. Apa yang dipilih dan dikemukakan H.B. Jassin selalu diterima sebagai sesuatu yang representatif mewakili zamannya.

Anggapan ini diperkuat oleh posisi Jassin sebagai pemimpin atau anggota redaksi majalah-majalah sastra yang paling berwibawa. Pada masa sebelum perang ia menjadi sekretaris redaksi majalah Poedjangga Baroe. Pada zaman Jepang ia duduk sebagai redaktur Pandji Poestaka. Pada zaman Republik, Jassin menjadi redaktur majalah Pantja Raja (1945-1947) di samping menjadi redaktur penerbitan Balai Pustaka. Kemudian ia menjadi redaktur Mimbar Indonesia (1947-1966) dan Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969) dan Horison (1966-...) (Ajip, 1988: 112) sehingga hampir di mana-mana setiap pengarang harus bertemu dengan Jassin. Hal ini tentu bukan sesuatu yang salah dilihat dari reputasi Jassin sendiri, bahkan suatu hal yang patut dipuji dan dibanggakan. Tetapi, karena kurangnya media yang lain, selera dan cita rasanya tidaklah mendapat imbangan atau bandingan yang wajar Anggapan ini diperkuat oleh posisi Jassin sebagai pemimpin atau anggota redaksi majalah-majalah sastra yang paling berwibawa. Pada masa sebelum perang ia menjadi sekretaris redaksi majalah Poedjangga Baroe. Pada zaman Jepang ia duduk sebagai redaktur Pandji Poestaka. Pada zaman Republik, Jassin menjadi redaktur majalah Pantja Raja (1945-1947) di samping menjadi redaktur penerbitan Balai Pustaka. Kemudian ia menjadi redaktur Mimbar Indonesia (1947-1966) dan Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969) dan Horison (1966-...) (Ajip, 1988: 112) sehingga hampir di mana-mana setiap pengarang harus bertemu dengan Jassin. Hal ini tentu bukan sesuatu yang salah dilihat dari reputasi Jassin sendiri, bahkan suatu hal yang patut dipuji dan dibanggakan. Tetapi, karena kurangnya media yang lain, selera dan cita rasanya tidaklah mendapat imbangan atau bandingan yang wajar

Angkatan ’66 Prosa dan Pusi jika diukur oleh maksud penyusunnya sendiri seperti yang dikemukakan Jassin dalam kata pengantarnya "untuk memperkenalkan pengarang-pengarang dan hasil kesusastraan sesudah tahun 55- an" tidaklah dapat disebut representatif (Rosidi, 1988: 112). Terlalu banyak pengarang baik prosa maupun puisi yang cukup bernilai dan cukup penting tidak dimuat di dalamnya. Dalam hal ini mungkin ada perbedaan selera, tetapi kalau melihat siapa-siapa dan mana-mana yang masuk dan siapa-siapa serta mana-mana yang tertinggal, ada kesan bahwa yang terutama mendapat tempat di dalamnya hanyalah mereka yang rajin memuatkan tulisannya dalam majalah-majalah yang diasuh oleh Jassin saja. Mereka yang takpernah memuatkan tulisannya dalam majalah-majalah yang diasuh oleh Jassin meskipun banyak mengumumkan karya- karya sastra yang mumpuni tidaklah beruntung masuk ke dalam bunga rampai Jassin yang biasanya dijadikan semacam barometer perkembangan sastra Indonesia. Misalnya Saini K.M., Ajatrohaedi, Nasjah Djamin, Wing Kardjo tidaklah kita lihat dalam bunga rampai tersebut, padahal karya-karya sastra mereka yang bernilai bertebaran di majalah-majalah budaya -tetapi yang tidak ada Jassin sebagai redaksinya- seperti Siasat, Konfrontasi, Basis, Indonesia, Gelora, Budaya, dll. (Rosidi, 1988: 112)

Meskipun bunga rampai adalah pilihan selera seseorang terhadap karya sastra, H.B. Jassin adalah satu-satunya penyusun bunga rampai yang selalu berhasil menerbitkan buah usahanya dan dengan demikian dianggap sebagai Meskipun bunga rampai adalah pilihan selera seseorang terhadap karya sastra, H.B. Jassin adalah satu-satunya penyusun bunga rampai yang selalu berhasil menerbitkan buah usahanya dan dengan demikian dianggap sebagai

Kenyataan bahwa Angkatan '66 sebagai bunga rampai tidaklah representatif mewakili masanya (Ajip, 1988: 114-115). Kritik tajam yang dilontarkan Ajip sebagai pemuda pada saat itu menandai bahwa pandangan lain mengenai sesuatu taklagi tabu. Otoritas tunggal "Paus" Sastra Indonesia pun mulai dipertanyakan. Hal ini bukan menyangkut wibawa, namun kesusastraan Indonesia sedang berada pada tahap dialektika yang sesungguhnya. Menyangkal sesuatu yang tunggal. Mendobrak pandangan kolot. Kesusastraan Indonesia menuju merdeka seutuhnya. Namun, kemerdekaan yang seutuhnya seyogianya membawa kebebasan yang menggelisahkan. Kesusastraan bisa melenceng membawa suatu petaka yang menggelisahkan yang menghadirkan peristiwa heboh sastra 1968.