Kehidupan Sastra Pasca-Orde Lama dan Awal Orde Baru

3.3 Kehidupan Sastra Pasca-Orde Lama dan Awal Orde Baru

Sejarah adalah apa yang digoreskan penguasa. Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI) yang dilancarkan pukul empat pagi, 1 Oktober 1965, menurut buku putih Orde Baru adalah pemberontakan bersenjata Sejarah adalah apa yang digoreskan penguasa. Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI) yang dilancarkan pukul empat pagi, 1 Oktober 1965, menurut buku putih Orde Baru adalah pemberontakan bersenjata

Bnyak informasi simpang-siur mengenai peristiwa berdarah itu. Sedikitnya ada lima versi mengenai peristiwa G-30-S/PKI selain apa yang telah diungkapkan Orde Baru, antara lain adalah (1) versi Cornell Paper bahwa G-30-S/PKI adalah persoalan intern Angkatan Darat yang pada saat-saat terakhir berupaya memancing PKI untuk terlibat, (2) versi Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson bahwa dalang utama G-30-S/PKI adalah CIA yang ingin menjatuhkan pemerintahan Soekarno dan kekuatan Komunis di Indonesia, (3) versi Antoinie Dake dan John Hughes bahwa G-30-S/PKI merupakan sekenario yang disiapkan Soekarno untuk melenyapkan sebagian Jendral dan PKI terlibat karena sangat bergantung pada Seokarno, (4) versi Manai Sophiaan, Oei Tjoe Tat, dan Soekarno bahwa G-30-S/PKI adalah sebuah konspirasi yang berusaha menggagalkan revolusi Indonesia, (5) versi A. Latief, Wimandjadja bahwa dalam peristiwa G-30- S/PKI adalah Soeharto memancing di air keruh.

G-30-S/PKI adalah noda dalam sejarah kemerdekaan bangsa. Dalam peristiwa itu ratusan ribu manusia menemui ajalnya, enam jendral tewas mengenaskan dalam peristiwa itu. Akibat dari segala yang telah terjadi pemerintah selanjutnya secara politis melarang paham dan ajaran komunisme-marxisme- leninisme secara formal hidup dan berkembang di Indonesia dan PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Ketentuan ini dikeluarkan oleh Orde Baru dalam TAP MPRS Nomor: XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966.

PKI dan ormas-ormasnya sesaat sebelum terjadi peristiwa G-30-S/PKI merupakan partai yang telah menempati kedudukan kuat di kancah politik Indonesia. Kebijakan Lekra memisah-misahkan golongan menjadi lawan atau kawan berdampak besar pada lahirnya lembaga-lembaga, golongan-golongan, kubu-kubu tertentu. Mereka merasa perlu menyatakan sikap karena semangat zaman pada saat itu menuntutnya. Sedikit banyak hal ini memengaruhi kehidupan sastra pada saat itu.

Gambar 3.5 Gerakan 30 September, Letkol Untung, Komandan Batalion "Cakrabirawa" menyelamatkan Presiden dan Republik Indonesia dari Dewan Jendral yang disokong Amerika. Karikatur versi Partai Komunis Indonesia, Harian Rakyat, 2 Oktober 1965. (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1995)

Pada masa Orde Lama penggiat seni terbagi menjadi dua kubu. Pertama, adalah yang lemah secara politis (artinya tidak mempunyai akses dengan kekuasaan pada masa yaitu) yaitu yang tergabung ke dalam kubu "Manifes Kebudayaan". Mereka adalah seniman dan budayawan yang gandrung kepada kemerdekaan kreatif (ini merupakan bagian integral dari hak ekspresi dalam Pada masa Orde Lama penggiat seni terbagi menjadi dua kubu. Pertama, adalah yang lemah secara politis (artinya tidak mempunyai akses dengan kekuasaan pada masa yaitu) yaitu yang tergabung ke dalam kubu "Manifes Kebudayaan". Mereka adalah seniman dan budayawan yang gandrung kepada kemerdekaan kreatif (ini merupakan bagian integral dari hak ekspresi dalam

Kedua, adalah kubu realisme sosialis yang tergabung dalam Lekra yang memiliki akses kuat terhadap dunia politik. Dengan berkiblat pada komunisme, kubu realisme sosialis berpandangan bahwa politik sebagai panglima terhadap seni. Seni untuk rakyat menjadi semboyan bagi mereka yang bergabung dengan Lekra.

Hubungan kesusastraan dengan kekuasaan sangat menentukan pada saat itu. Kekuasaan pada saat itu bisa mengatur segala aspek kehidupan. Pergolakan pemikiran yang seyogianya melahirkan karya sastra pun mau diaturnya. Bisa dilihat bagaimana usaha kekuasaan berusaha mengontrol pergolakan pikiran guna melanggengkan kekauasaan tergambar dalam berbagai peristiwa. Salah-satunya adalah Ikrar Pengarang Indonesia tahun 1964. Kekuasaan politik berusaha membatasi kerativitas pengarang Indonesia dengan semacam aturan-aturan pemerintah.