Pembelaan H.B. Jassin
4.4 Pembelaan H.B. Jassin
Hans Bague Jassin (H.B. Jassin) lahir di Gorontalo, 31 Juli 1917 dan meninggal di Jakarta 11 Maret 2001. Pendidikan yang ditempuhnya ialah HIS Gorontalo (tamat tahun 1932), HBS B Medan (tamat 1939), Fakultas Sastra Universitas Indonesia (tamat 1957). Pada 1958 s.d. 1959 ia memperdalam ilmu sastra bandingan di Universitas Yale, Amerika Serikat dan pada tahun 1975 menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. Pekerjaan yang pernah dijalaninya ialah sebagai pegawai Kantor Asisten Residen Gorontalo (1939), pegawai Balai Pustaka (1940-1947), pegawai Lembaga Bahasa dan Budaya (1954-1973), dan pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sejak 1953). Selain itu, ia pernah menjadi redaktur majalah Panji Pustaka, Panca Raya, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Bahasa dan Budaya, Seni, Buku Kita,
Medan Imu Pengetahuan, Sastra, Bahasa dan Sastra, dan Horison. Sejak tahun 1976 sampai meninggalnya ia memimpin Pusat Dokumentasi H.B. Jassin. Penghargaan yang diterimanya ialah Satyalencana Kebudayaan Pemerintah RI (1969), anggota Akademi Jakarta seumur hidup (1970), Hadiah Martinus Nijhoff dari Negeri Belanda atas Terjemahan Max Havelaar karya Multatuli, dan Penghargaan Pemerintah RI atas jasa-jasanya di bidang seni tahun 1983.
H.B. Jassin sebagai kritikus sastra Indonesia yang disegani tentu tidak tinggal diam. H.B. Jassin yang dimintai pertanggungjawaban selaku pemimpin redaksi majalah Sastra tampil paling depan. Takjarang pemikirannya yang jenius dan orisinal adalah endapan dari segala pengetahuannya yang sangat luas.
4.4.1 H.B. Jassin sebagai "Paus" Sastra Indonesia
Tidak ada yang dapat menyangkal betapa besarnya sumbangsih H.B. Jassin terhadap kesusastraan Indonesia. H.B. Jassin adalah pelopor yang berusaha mendokumentasikan karya-karya sastra Indonesia dengan teliti. H.B. Jassin adalah penerjemah yang baik yang memperkenalkan kita kepada sastra dunia semacam Max Havelaar karya Multatuli. H.B. Jassin adalah kritikus sastra kenamaan yang diakui memiliki pengaruh yang sangat kuat hingga dijuluki sebagai "Paus" sastra Indonesia oleh Gayus Siagian dalam tulisannya tentang "Esai dan Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini" yang pertama kali dimuat dalam majalah Kisah edisi Januari 1957 yang dipimpin oleh H.B. Jassin sendiri.
Namun, wibawa H.B. Jassin sebagai kritikus pada saat itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang tunggal. Penilaiannya menjadi mercusuar Namun, wibawa H.B. Jassin sebagai kritikus pada saat itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang tunggal. Penilaiannya menjadi mercusuar
Seorang kritikus sastra mungkin pada suatu ketika amat berwibawa dalam khalayak sastra, namun kewibawaan itu adalah hasil yang berlebih. Bukan hak dasar. Kemampuannya untuk memberikan keputusan dalam penilaian, meskipun berpengaruh juga tidak untuk dipatuhi. Kontrolnya terhadap kegiatan dan prestasi sastra seorang atau sejumlah sastrawan seharusnya dilihat dengan sikap yang lebih rendah berendah hati. Seorang kritikus seperti yang saya kutip dari Eugene Ionesco, bukanlah guru kepala, melainkan lebih berupa murid suatu hasil karya. Meskipun saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat ini, paling sedikit saya tidak bisa mengatakan seorang kritikus sebagai wakil masyarakat dan pembuat aturan. Juga ia bukan Paus (Mohamad, 1993: 90).
Penamaan "Paus Sastra Indonesia" kepada H.B. Jassin dipandang sebagai sebuah comooh terhadap masyarakat sastra Indonesia. Di dalamnya terkandung impian untuk berlindung di bawah pengayoman otoritas dan kegemaran untuk taklid pada keputusan seorang tokoh. Impian itu telah dilaksanakan secara beramai-ramai tanpa sepenuhnya disadari. H.B. Jassin telah diangkat menjadi seorang guru kepala sekolah pengarang-pengarang. Para penulis pemula datang kepadanya untuk meminta pengakuan. Penghormatan semacam itu merupakan sebuah ironi karena dengan demikian masyarakat telah mempercayakan sepenuhnya kepada seorang kritikus dengan segala kemungkinan hak kreatifnya, termasuk hak kreatif untuk berbuat salah dan gagal.
Gambar 4.3 H.B. Jassin berkacamata adalah seorang yang berpendirian teguh yang banyak ditampilkan dalam karikatur olok-olok versi Lekra sebagai pihak
yang dekat dengan Amerika (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999)
Kesalahan dan kegagalan bukan berarti sesuatu yang tidak bermanfaat. Suatu kesalahan akan memberikan kesempatan penilaian lain dari pihak lain yang akan memperkaya penilaian. Hal ini akan memelihara hubungan tegang yang lazim dan mesti ada di antara penulis di satu pihak dan kritik sastra di pihak lain karena tegangan memungkinkan terciptanya momentum kreatif.
Kegagalan seorang kritikus tidak ditentukan oleh kegagalannya mengkritisi karya sastra dari sudut manapun. Itulah sebabnya ketidakpuasan terhadap situasi kritik sastra Indonesia yang ditentukan oleh seorang "Paus" mengharuskan mundurnya kritikus yang dianggap tidak sejalan dengannya menjadi gagal. Padahal, betapa pun gagal, betapa pun buruk, mereka tetap merupakan unsur dalam perdebatan bersama yang perlu dijaga.
4.4.2 H.B. Jassin tentang Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta
H.B. Jassin pernah berjanji bahwa sampai kiamat pun ia akan tetap merahasiakan nama orang yang bersembunyi di balik nama samaran Kipandjikusmin yang mengarang cerpen LMM yang menyebabkan Hans berurusan dengan pengadilan. Kecuali, orang itu sendiri mengemukakan identitasnya sendiri. Di balik masalah selalu ada hikmah demikan pula hal itu menyebabkan Hans (sapaan akrab H.B. Jassin) lebih banyak mempelajari agama setelahnya.
"Banyak orang menduga Kipandjikusmin itu adalah saya sendiri. Tetapi itu tidak benar. Dia masih hidup dan masih berada di Indonesia ini. Profesinya sebagai pelaut. Sekiranya ia berani muncul di pengadilan, tentu tanggung jawab saya berkurang, tetapi tidak munculnya itu, justru menimbulkan manfaat berganda buat saya. Saya semakin mempelajari agama, bahasa Arab, seni, budaya, estetika, filsafat dan lain-lain." (Jassin dalam Rahman, 1986: 243).
H.B. Jassin selalu memublikasikan tulisan-tulisannya terkait dengan pembelajarannya kembali pada hal-hal di atas. Salah satunya adalah pemikiran
H.B. Jassin tentang "Tuhan, Imajinasi Manusia dan Kebebasan Mencipta" yang yang dimuat untuk pertama kali dalam majalah Horison, Thn. II, No. 11, November 1968. Tulisan itu dengan tegas menyatakan tentang konsepsi sastra dan sastrawan serta fungsinya. Dalam pandangan H.B. Jassin hasil imajinasi bukanlah kitab pelajaran dan tidak sama dengan kitab pelajaran, maka dengan sendirinya suatu karya hasil imajinasi tidak dapat dikaji seperti mengaji kitab pelajaran.
Saya berpendapat bahwa pengarang harus diberikan kebebasan mencipta yang mutlak. Tentu saja dengan kepercayaan, bahwa ia tidak akan menyalahgunakan kebabasan itu. Dan saya percaya, bahwa pengarang adalah orang yang baik dan mempunyai maksud-maksud yang Saya berpendapat bahwa pengarang harus diberikan kebebasan mencipta yang mutlak. Tentu saja dengan kepercayaan, bahwa ia tidak akan menyalahgunakan kebabasan itu. Dan saya percaya, bahwa pengarang adalah orang yang baik dan mempunyai maksud-maksud yang
Buah pikiran di atas merupakan permasalahan yang hampir sama dengan apa yang diperdebatkan antara sang guru Plato dengan sang mahamurid Aristoteles mengenai mimesis. Plato menilai bahwa mimesis adalah cermin kenyataan semata sehingga tidak akan pernah sebaik kenyataan sehingga tidak berguna menurut Plato, sedangkan Aristoteles memandang mimesis bukan hanya sekadar cerminan kenyataan yang tidak berguna. Justru dalam cerminan kenyataan manusia dapat bercermin dan merefleksikan dirinya dalam karya sastra. Maka, karya sastra menjadi istimewa dan berguna untuk memberi nikmat (dulce et utile) sebagaimana telah dirumuskan oleh Horatius.
Jassin pun memiliki gambaran ideal terhadap sastra dan sastrawan. Ia menilai bahwa pengarang dan seniman adalah hati nurani masyarakat, maka dengan kepercayaan yang penuh Jassin menyuarakan tentang kebebasan mencipta yang tidak disertai dengan kewaspadaan sebagaimana telah diperingatkan dalam tulisan Goenawan Mohamad tentang "Kemungkinan-kemungkinan Kesusastraan". Padahal hal ini adalah dasar pemikiran Aristoteles bahwa sastra sebagai cerminan kenyataan sangat rentan untuk disusupi muatan negatif. Hal ini terbukti sebagaimana telah dilakukan pada masa Lekra dengan maraknya sastra bertendens (bermuatan). Horatius telah mewanti-wanti sejak berabad yang lalu bahwa konsepsi sastra haruslah dulce et ultile, bukan kemerdekaan sepenuhnya.
Apakah seniman atau pengarang tidak ada tanggung jawabnya terhadap masyarakat? Apakah tidak ada sesuatu pesan yang hendak disampaikan oleh sesuatu cerita, kecuali hanya imajinasi pengarang belaka? Tentu saja ada. Ada yang hendak dikatakan oleh pengarang. Mungkin dia hendak mengkritik sesuatu keadaan, atau hendak memperlihatkan keburukan sesuatu keadaan, atau hendak memperlihatkan keburukan sesuatu keadaan, supaya orang menghilangkan keburukan itu dan supaya keadaan itu diubah. Mungkin ia mengkritik seorang pembesar atau penguasa yang melakukan kezaliman terhadap rakyatnya, agar supaya timbul semangat perlawanan terhadap pembesar atau penguasa itu. Dalam hal ini memang musuh penguasa dan musuh keadaan yang buruk. Ia adalah penegak kebenaran dan keadilan dan inilah tugas hidup setiap seniman (Jasssin, 1970: 20).
Demikian konsepsi Jassin tentang sastra yang ia pegang teguh dengan pendiriannya. Lebih lanjut Jassin membahas tentang kebebasan seniman dalam mencipta dan pembaca tidak serta merta harus turut pada maksud pengarang. Pembaca bebas menafsirkan makna. Sejalan dengan kerangka teori resepsi sastra yang didasari oleh pemikiran Mukarovsky di Praha. Jassin telah menyadari akan kemungkinan itu, maka ia pun menulis sebagai berikut.
Sebagai seniman bebas dalam mencipta, kita pun sebagai penikmat bebas dalam menanggapi. Kita boleh percaya boleh tidak percaya, menyimpan hasil ciptaan itu atau membuangnya jauh-jauh. Kita tidak membacanya sebagai karya ilmiah yang objektif, kita turut terlibat di dalamnya.
Saya tidak mengingkari adanya pengaruh dari suatu hasil karya. Dan pengaruh itu sangat besar sekali, karena meresapi perasaan, pikiran peminat (pembaca). Pengaruh ini adalah pengaruh kreatif karena peminat akan tergugah untuk berpikir dan merasa, bersikap dan bertindak, sesuai watak dan pengalamannya. Masing-masing akan menghayatinya dengan caranya masing-masing (Jassin, 1970: 20-21).
H.B. Jassin dalam endapan segala bacaannya telah memunculkan pemikiran-pemikiran yang brilian. H.B. Jassin telah menyadari konsepsi teori estetika resepsi yang mutakhir pada saat itu di Eropa. Teori estetika resepsi pada dasarnya berprinsip sama seperti apa yang ditulis Jassin bahwa pembaca menjadi H.B. Jassin dalam endapan segala bacaannya telah memunculkan pemikiran-pemikiran yang brilian. H.B. Jassin telah menyadari konsepsi teori estetika resepsi yang mutakhir pada saat itu di Eropa. Teori estetika resepsi pada dasarnya berprinsip sama seperti apa yang ditulis Jassin bahwa pembaca menjadi
7 Agustus 1970 sebagai berikut: Proses (majalah) Sastra masih jalan terus. Sesudah dua kali
diundur mudah-mudahan Jaksa akan membacakan replikanya tanggal 12 depan. Tapi saya kuatir dia belum sembuh, sebab menurut Hakim Ketua dia masuk sanatorium. Mestinya segera digantikan orang lain, supaya jangan terus berlarut-larut.
Tentu saudara baca di koran-koran, sesudah wawancara dalam Ekspres, orang ingin supaya Kipandjikusmin tampil ke depan. Tapi saya bertekad akan terus memikul tanggung jawab. Kipandjikusmin tidak akan membuka aspek-aspek baru dalam masalah ini (Jassin, 1984: 314).
H.B. Jassin dengan keteguhann hati dan segala kecemerlangan pekertinya telah menerapkan dan mengakui bahwa pengarang telah mati. Dalam sudut pandang semiotika komunikasi sastra pada perkembangannya pengarang telah dianggap mati (the outhor is dead). Pembacalah yang berhak menentukan makna karya sastra.
H.B. Jassin pun menjadi pelopor bahwa sastra adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan dan memang harus bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya bualan hasil lamunan semata. H.B. Jassin telah mengorbankan dirinya demi generasi penerus. H.B. Jassin menilai penulis cerpen LMM adalah seorang muda berbakat yang memiliki banyak pengetahuan. H.B. Jassin adalah kritikus sastra terkemuka berkat buah pikirannya yang original. H.B. Jassin bisa disejajarkan dengan para filsuf pencetus teori sastra. Takbisa ditawar lagi H.B. Jassin adalah kritikus sastra Indonesia kanamaan.