Resepsi Sastra di Media Massa

4.3 Resepsi Sastra di Media Massa

Perhatian pada sisi fungsi komunikasi sastra mengisyaratkan bahwa sastra yang terbaca dalam wujud teks sastra pada hakikatnya berada pada poros pengirim dan penerima (Teeuw dalam Jabrohim, 2003:136). Dari sejarah penerimaan karya sastra terlihat bahwa karya sastra tidak selalu mendapat penerimaan yang sama baik dari waktu ke waktu maupun dari satu indvidu pembaca ke individu pembaca yang lain atau dari suatu masyarakat pembaca ke masyarakat pembaca yang lain. Hal ini dapat diperjelas dengan memperhatikan penerimaan dan sambutan karya- karya sastra Indonesia dalam serangkaian penerimaannya. Situasi ini memperlihatkan proses penerimaan dan sambutan terhadap karya sastra yang menyimpan sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melihat sastra sebagai suatu sistem.

Jauss dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra Jerman abad pertengahan telah memperlihatkan dengan jernih perkembangan penerimaan pembaca dari waktu ke waktu yang muncul dalam bentuk sambutan yang bervariasi (Selden dalam Jabrohim, 2003: 137). Dalam dunia sastra Indonesia gejala-gejala tersebut dapat dilihat misalnya pada karya-karya Roro Mendut dalam babon dan Roro Mendut dalam versi Romo Mangun ataupun Roro Mendut versi Ajip Rosidi, novel Belenggu karya Armijn Pane yang pada awal kemunculannya menuai banyak pembicaraan karena tidak mematuhi konvensi pada masanya, ataupun karya-karya Chairil Anwar yang pada suatu waktu dipandang oleh masyarkat pembaca tertentu tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat, tetapi pada Jauss dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra Jerman abad pertengahan telah memperlihatkan dengan jernih perkembangan penerimaan pembaca dari waktu ke waktu yang muncul dalam bentuk sambutan yang bervariasi (Selden dalam Jabrohim, 2003: 137). Dalam dunia sastra Indonesia gejala-gejala tersebut dapat dilihat misalnya pada karya-karya Roro Mendut dalam babon dan Roro Mendut dalam versi Romo Mangun ataupun Roro Mendut versi Ajip Rosidi, novel Belenggu karya Armijn Pane yang pada awal kemunculannya menuai banyak pembicaraan karena tidak mematuhi konvensi pada masanya, ataupun karya-karya Chairil Anwar yang pada suatu waktu dipandang oleh masyarkat pembaca tertentu tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat, tetapi pada

Gejala tersebut memperkirakan adanya partisipasi pembaca dalam bentuk sambutan teks dan sekaligus memperlihatkan pentingnya peran pembaca dalam penentuan makna dalam komunikasi sastra. Pertisipasi pembaca menjadikan teks suatu karya sastra tidak stabil; berubah-ubah menurut pembacanya.

Di bawah ini digambarkan pula reaksi pembaca terhadap cerpen "Langit Makin Mendung" (LMM) karya Kipandjikusmin yang telah menyulut polemik yang berkepanjangan. Reaksi pembaca di bawah ini berupa tanggapan resepsi sastra terhadap teks. Seperti yang telah dirumuskan dalam kerangka teori resepsi sastra maka di bawah ini diperlihatkan keragaman pemaknaan terhadap karya sastra yang bergantung pada pembaca.

4.3.1 Wiratmo Soekito

Wiratmo Soekito lahir di Solo, 8 Februari 1929. Wiratmo berpendidikan Jurusan Filsafat Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Nijmegen, Belanda (1954-1955). Dalam perjalanan kariernya Wiratmo pernah menjadi redaktur majalah Gajah Mada (1958-1960), Buku Kita (1955), dan Indonesia (1958-1960). Wiratmo pernah menjadi Aggota Badan Pekerja BMKN (1958-1960), anggota DPRGR/MPRS (1968-1971), dan salah seorang ketua Liga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia (1969-1972). Selama dua puluh dua tahun (1970-1972) ia bekerja di RRI Jakarta, dan menjadi dosen di Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1960-1962). Sejak 1976, ia mengajar di Institut Kesenian Jakarta dan menjadi Wiratmo Soekito lahir di Solo, 8 Februari 1929. Wiratmo berpendidikan Jurusan Filsafat Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Nijmegen, Belanda (1954-1955). Dalam perjalanan kariernya Wiratmo pernah menjadi redaktur majalah Gajah Mada (1958-1960), Buku Kita (1955), dan Indonesia (1958-1960). Wiratmo pernah menjadi Aggota Badan Pekerja BMKN (1958-1960), anggota DPRGR/MPRS (1968-1971), dan salah seorang ketua Liga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia (1969-1972). Selama dua puluh dua tahun (1970-1972) ia bekerja di RRI Jakarta, dan menjadi dosen di Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1960-1962). Sejak 1976, ia mengajar di Institut Kesenian Jakarta dan menjadi

Tanggapan Wiratmo Soekito terhadap cerpen LMM lebih bersifat umum. Menurut Wiratmo dalam tulisannya yang berjudul "Soal Majalah Sastra" yang dimuat dalam artikel Harian KAMI No. 681, 16 Oktober 1968 bahwa tindakan pemberangusan majalah Sastra yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan telah menimbulkan reaksi protes di kalangan sejumlah pengarang terkemuka di Jakarta. Wiratmo menilai bahwa tindakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara adalah tidak sah secara hukum karena menjatuhkan putusan pemberangusan tanpa pengadilan dan pembelaan. Menurut Wiratmo, ada dua persoalan penting yang timbul akibat tindakan pemberangusan itu

1. bahwa pihak Kejaksaan Tinggi di Medan bukan saja telah bertindak sebagai kejaksaan, tetapi juga telah bertindak sebagai pengadilan yang telah mengadili majalah bulanan Sastra dengan in absentia, hal mana bertentangan dengan apa yang tersurat serta tersirat dalam pidato kenegaraan Presiden Soeharto "memperkuat pelaksanaan sistem konstitusionil, menegakan hukum, dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat sebagai syarat mutlak untuk mewujudkan stabilisasi politik."

2. bahwa pihak Kejaksaan Tinggi di Medan telah bertindak sebagai kritikus sastra, karena dalam dunia sastra pengadilan sastra merupakan wewenang kritikus sastra yang memiliki integritas sastra yang besar, sedang kita tidak dapat mengelakan pertanyaan apakah pihak Kejaksaan Tinggi di Medan itu mengenal seluk-beluk kritik sastra, apalagi dengan integritas sastra yang besar (Soekito dalam Dahlan, 2004: 137-138).

Pihak yang didakwa bersalah tidak diberi kesempatan di muka pengadilan untuk membela diri lantas dijatuhi vonis begitu saja. Ini merupakan suatu tindakan totaliterisme. Pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Walau Pihak yang didakwa bersalah tidak diberi kesempatan di muka pengadilan untuk membela diri lantas dijatuhi vonis begitu saja. Ini merupakan suatu tindakan totaliterisme. Pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Walau

Tindakan pengadilan in absentia yang dilaksanakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan menjadi tidak sah menurut Wiratmo Soekito jika melihat pidato kenegaraan Presiden Soeharto yang menghendaki tegaknya pemerintahan yang berdasarkan hukum. Wiratmo Soekito pun membandingkan bahwa tindakan-tindakan seperti itu sama halnya dengan apa yang dilakukan Uni Soviet terhadap karya-karya Boris Pasternak, Sinyavsky, Akhmatova, dll.

Wiratmo lebih khusus menyatakan bahwa cerpen LMM itu jelek dan merupakan kitsch yaitu karya sastra yang bermutu rendah karena karya tersebut hanya dimaksudkan untuk "memuaskan" cita rasa orang banyak, seni semu, seni yang murahan, picisan yang seringkali hanya ingin menonjolkan kekayaan pengetahuan si penulis yang disebut Umberto Eco sebagai sebagai dusta struktural.

Lebih lanjut, Wiratmo memandang bahwa karya sastra kontroversi seperti itu bukanlah hal baru. Hal ini tidak hanya berlaku pada umat beragama Islam, tetapi juga pada umat beragama Kristen. Sejarah pernah mencatat karya sastra yang bermutu tinggi yang diciptakan oleh March Connelly yang berjudul Green Pastures (Rumput-rumput Hijau) yang menggambarkan Tuhan di atas pentas Lebih lanjut, Wiratmo memandang bahwa karya sastra kontroversi seperti itu bukanlah hal baru. Hal ini tidak hanya berlaku pada umat beragama Islam, tetapi juga pada umat beragama Kristen. Sejarah pernah mencatat karya sastra yang bermutu tinggi yang diciptakan oleh March Connelly yang berjudul Green Pastures (Rumput-rumput Hijau) yang menggambarkan Tuhan di atas pentas

4.3.2 Goenawan Mohamad

Gambar 4.1 Goenawan Mohamad yang selalu berusaha menilai masalah dengan

tanpa keberpihakan (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999).

Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Goenawan mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), Kemudian memperdalam pengetahuan di College d’Europe, Bruge, Belgia (1965- 1966), Universitas Oslo, Norwegia (1966) dan Universitas Harvard (1989-1990).

Pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Express (1970-1971), pemimpin redaksi Tempo (1971-1994), dan Zaman (1979-1985). Melalui karyanya, Goenawan banyak memperoleh penghargaan antara lain pada 1972 menerima Anugrah Seni dari Pemerintah RI, pada 1981 menerima Hadiah Sastra ASEAN, dan menerima Hadiah A. Teeuw (1992). Karya-karyanya antara lain: Manifestasi (bersama Taufiq Islmail dan M. Saribi, Thn. 1963), Catatan Pinggir I dan II (1981 dan 1989), Asmarandana (1992).

Goenawan Mohamad dalam esainya yang berjudul "Tentang Kemungkinan-kemungkinan Kesusastraan" yang dimuat dalam majalah Horison No.10, Oktober 1968 menguraikan tentang kemerdekaan yang perlu diwaspadai. Berkaitan dengan masalah cerpen LMM, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak hanya membawa kebebasan yang positif, namun kebebasan membawa pula bahaya yang menggelisahkan. Demkian pula dengan merdekanya kesusastraan Indonesia dewasa ini.

Jika kesusastraan adalah sesuatu yang berada dalam kehidupan, maka ia bukan hanya menghidupkan kembali variasi-variasi itu, tapi juga menciptakan variasi-variasi baru yang mungkin salah satu diantaranya takterduga-duga. Dengan kata lain, kesusastraan bisa memberontak. Kaidah ditinggalkan. Dalam memberontak ia bisa berbahaya dan menggelisahkan (Mohamad dalam Dahlan, 2004: 200).

Kemungkinan kesusastraan seperti apa yang digambarkan oleh Goenawan Mohamad bisa saja tidak terduga dan memberontak. Namun, permasalahannya adalah bagaimana sikap kita (masyarakat pembaca) dalam menghadapinya. Perlukah kita menjadi kaum yang senantiasa curiga dan selalu syak-wasangka terhadap apa pun hingga marasa perlu membentuk kaum prohibisionis yang penuh prasangka.

Kecenderungan-kecenderungan yang akan terus ada di segala sudut tidak akan pernah bertanya. Mereka percaya bahwa manusia akan bisa dikalahkan oleh sejenis rambut gondrong (sastrawan-pen.) dan beberapa biji cerita pendek: satu angan-angan kekuatiran yang sungguh saya hargai. Tapi jika saya menghargainya maka saya menghargainya sebagai satu sikap was-was –karena itu pun perlu- dan tidak sebagai sesuatu yang dipaksakan atas nama hal-hal yang lebih suci.

Bukan hanya menolak hal-hal yang suci. Namun, bagi saya justru yang suci itu hanya akan kedengaran kasar dan takpenting bila senantiasa kita ikut sertakan dalam sikap was-was dan kecerewetan kita.

Sebab jika kita percaya kepada Tuhan, maka itu bukanlah bayangan yang dibentuk atas dasar definisi kaum prohibisionis: satu kekuatan yang serba curiga –dan sampai perlu menggerakan Jaksa Tinggi, Polisi, organisasi masa, sampai pendeta-pendeta. Jika kita percaya pada Tuhan, maka Tuhan adalah yang meniupkan hidup yang mempercayai kita dengan kemerdekaan (Mohamad dalam Dahlan, 2004: 201).

Goenawan Mohamad mengembalikan penilaian terhadap sastra kepada para pembacanya. Tidak perlu sampai dibuat lembaga yang mengadili karya sastra. Tidak perlu mengikutsertakan agama sebagai sesuatu yang suci karena dengan mengikutsertakannya hanya akan memperkerdil agama itu sendiri. Kedewasaan pembaca sangat diperlukan dalam menyikapi kemerdekaan kesusastraan Indonesia karena tidak dapat diduga berapa lagi hal serupa yang akan terjadi dikemudian hari.

Di bulan ini sebuah cerita pendek (LMM-pen) telah dilarang oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Di bulan-bulan sebelumnya sudah berapa banyak soal yang dilarang di Indonesia ini, dan di bulan-bulan yang akan datang akan ada berapa lagi? (Mohamad dalam Dahlan, 2004: 201).

Goenawan Mohamad menunjuk Amir Hamzah sebagai contoh yang sangat penting dalam menghadapi situasi seperti itu. Ketika Amir Hamzah dalam puisinya menyebut Tuhan sebagai "Engkau" seluruhnya adalah kemerdekaan. Ia tidak sedang menindas dirinya sendiri. Sang penyair tidak menemui rupa-Nya, sebab taksatu pun menyerupai-Nya. Penyair itu tidak menghadapi bentuk-Nya, Goenawan Mohamad menunjuk Amir Hamzah sebagai contoh yang sangat penting dalam menghadapi situasi seperti itu. Ketika Amir Hamzah dalam puisinya menyebut Tuhan sebagai "Engkau" seluruhnya adalah kemerdekaan. Ia tidak sedang menindas dirinya sendiri. Sang penyair tidak menemui rupa-Nya, sebab taksatu pun menyerupai-Nya. Penyair itu tidak menghadapi bentuk-Nya,

4.3.3 Jussuf Abdullah Puar

Jusuf Abdullah Puar lahir di Medan, 31 Agustus 1917. Pendidikannya di Mulo Medan (1938), Junior Cambridge dan Madrasah Tawalib Islam. Puar pernah manjabat sebagai Sekretaris Umum/Kepala Harian Jawatan Penerangan Sumatera di Medan (1946), mendampingi Menteri Negara Dr. Mohamad Amir sebagai Kepala Penerangan Dalam Negeri (Pendagri) di Kementrian Penerangan di Jakarta sampai 1970. Puar aktif menulis di berbagai majalah dan surat kabar sejak 1939. Ia pernah berkerja sebagai pemimpin redaksi majalah Islam Panji Masyarakat, Gema Islam, dan Harian Abadi. Buku-buku karyanya antara lain Pengetahuan Bernegara, Analisa Pancasila Indonesia, Peristiwa Lubang Buaya, Panca Agama di Indonesia, Peristiwa Gunung Tinambola, dll. Bukunya yang berjudul Perjuangan Ayatullah Khomeini (1979) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Jakarta.

Jusuf Abdullah Puar dalam tulisannya yang berjudul "Cerpen Sastra Menghina Nabi Muhammad Saw." yang dimuat pada Operasi Minggu, No. 783,

20 Oktober 1968 menjelaskan dengan gambaran bahwa cerpen LMM karya Kipandjikusmin jelas telah menghina Nabi Muhammad Saw.

Majalah bulanan Sastra No.8 Tahun 6 Agustus 1968, memuat sebuah cerpen berjudul "Langit Makin Mendung" pada halaman 3-8. Cukup panjang 6 halaman yang masing-masing halaman terdiri atas 3 kolom. Halaman 3, 4, 5, dan 6 memuat kalimat-kalimat yang menghina Nabi Muhammad saw., mencemooh para sahabat Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Di samping itu adanya suatu cynisma terhadap buraq hewan kendaraan Nabi sewaktu Isra dan Mi’raj. Sampai Nabi Adam pun termasuk dalam sindiran (Puar dalam Dahlan, 2004: 163).

Puar menilai bahwa permasalahan yang diributkan para sastrawan di Jakarta yang umumnya tidak setuju atas tindakan pemberangusan majalah Sastra perlu terlebih dahulu melihat apa yang dipermasalahkan umat Islam di Medan mengenai isi cerpen LMM yang dinilai telah menghina agama Islam.

Penulisnya Kipandjikusmin, satu kata, bukan Ki Pandji Kusmin. Diduga nama samaran dari seorang penulis yang banyak sedikitnya paham akan Islam. Majalah Sastra dipimpin oleh Dasraf Rahman (Pemimpin Umum), H.B. Jasssin (pemimpin Redaksi), dan Mahlil Lubis (Sekretaris Redaksi Penyelenggara). Bersemboyankan 'bimbingan pengertian dan apresiasi' yang 'dipujikan oleh Departeman Pendidikan dan Kebudayaan untuk sekolah-sekolah lanjutan dan perguruan tinggi.'

Cerpen Kipandjikusmin telah melahirkan kehebohan yang semakin menghangat terutama di Ibu Kota. Dimulai dengan sikap Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan yang memberangus majalah itu. Tindakan pemberangusan itu diprotes oleh sejumlah seniman dan pengarang- pengarang Indonesia di Jakarta. Tambahan diramaikan lagi oleh suara pers, tajuk rencana, dan penulisan komentar dan kolumnis (Puar dalam Dahlan, 2004: 164).

Tidak ada yang menyoroti apakah benar cerpen Kipandjikusmin itu menghina Nabi Muhammad Saw. Hal ini yang perlu dijernihkan dari pada lebih dahulu menyerang Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan dengan tuduhan tidak bisa membaca cerita pendek, telah bertindak sebagai kritikus sastra, tidak bisa membaca undang-undang kebebasan mengeluarkan pendapat, tidak tahu apa- apa tentang kesusastraan, dsb. Menurut Puar, semua masalah seperti di atas akan gugur jika cerpen tersebut terbukti menghina Islam, menghina Nabi Muhammad

Saw. dengan keempat sahabatnya, mencemooh buraq, dsb. Maka, Puar menuliskan bagian-bagian cerpen LMM yang dianggapnya bermasalah dan telah menghina agama Islam dengan panjang lebar.

Cerpen "Langit Makin Mendung" di halaman pertama dan

kalimat pertama dimulai dengan mengatakan, bahwa para nabi di sorga adalah berstatus pensiunan yang sudah merasa bosan,

termasuk yang paling utama Nabi Muhammad saw. Para nabi itu ingin cuti dan turba (turun ke bawah) ke bumi dengan mengirim petisi (permohonan resmi tertulis) yang ditandatangani oleh Muhammad dari Madinah, Arabiah yang oleh orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw.

Membaca petisi itu Tuhan menggeleng-gelengkan kepala karena takhabis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia. Bukankah Tuhan telah menyediakan dan memberikan di surga berjuta bidadari jelita, makanan, minuman, perhiasan, kesenangan, kebahagiaan, zamrud, mutiara, jubah, dan sorban cashmillon, dan sepatu aladin, mengapa masih bikin petisi?

Dikatakan Kipandjikusmin, Muhammad tertunduk terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyandang sedekah dari Tuhan. Ia (Muhammad) ingat waktu sowan ke sorga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.

Ketika ditanya Tuhan, apa sebenarnya yang kau cari di bumi, Muhammad menjawab, ingin mengadakan riset, terutama ke daerah tropis. Ketika Tuhan mengatakan, bahwa di situ (Indonesia) jiwa manusia telah keracunan Nasakom (nasionalis-agama-komunis), Muhammad memberi reaksi:

”Nasakom? Racun apa itu ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka (Muhammad saw. nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam.”

Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian, penuh kebapaan. Akhirnya Muhammad diizinkan turba ke bumi, dengan menyuruh Muhammad minta surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat.

”Bawalah Jibril serta supaya taksesat!” ”Daulat ya Tuhan.” Bersujud Muhammad penuh sukacita. Sesaat sebelum berangkat, sorga sibuk sekali, timbang terima

jawatan ketua kelompok grup Muslimin di sorga telah ditandatangani naskahnya. Abu Bakar tercantum sebagai pihak penerima.

Dikatakan Kipandjikusmin. Muhammad meminta kepada Jibril membawanya ke Madinah. Selanjutnya tulis Kipandjikusmin:

Seluruh penghuni sorga menghantar ke lapangan terbang. Lagu- lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut bidadari.

Entah dengan berapa juta lengan Muhammad saw. harus berjabat tangan tentang maksud penurbaan itu.

Menulis Kipandjikusmin:

Muhammad segera naik ke punggung buraq, kuda sembrani yang dulu menjadi tunggangannya waktu ia Mi’raj. Secepat kilat buraq terbang ke arah bumi dan Jibril yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang.

Mendadak sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara. ”Benda apa di sana?” Muhammad keheranan. ”Orang bumi bilang sputnik. Ada tiga orang didalamnya ya Rasul.” ”Orang? Menjemput kedatanganku?” kiranya gembira. ”Bukan, mereka justru rakyat negara kafir terbesar di bumi.

Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”

Dilanjutkan Kipandjikusmin:

Buraq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit dengan pedang apinya. Jibril memberi isyarat sputnik berhenti sejenak. Namun, sputnik-sputnik Rusia memang tidak ada remnya. Tubrukan takterhindakan lagi. Buraq beserta sputnik hancur jadi abu: tanpa suara tanpa sisa.

Kemudian bercerita Kipandjikusmin:

Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.

Kemudian diriwayatkan Kipandjikusmin tentang Muhammad dan buraq sampai ke atas bumi Jakarta, tentang Soekarno dan lain sebagainya.

Diterangkan Kipandjikusmin bahwa desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh menjalar dari mulut ke mulut. Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibril yang mengubah diri jadi sepasang

burung elang terbang di udara senja Jakarta. Penuh ragu Nabi hinggap di atas atap seng Stasiun Senen, sementara Jibril membuat lingkaran manis di atas gorong-gorong kereta daerah Planet (Jakarta).

Segala adegan di daerah pelacuran Planet disaksikan oleh Muhammad dan Jibril: pelacur-pelacur dan sundal-sundal ada yang

sedang mengerang kena raja singa, kemaluannya penuh borok, bernanah dihisap lalat, pemuda tanggung masuk kamar mandi mencuci lendir, perempuan gemuk kencing dan cebok dengan berkeringat hasil main akrobat di ranjang reot. Bandot tua main pompa di atas perempuan muda 15 tahun yang takacuh dihimpit karena sibuk cari tuma dan nyanyi lagu Melayu.

Nabi merentak, sesudah menanyakan kepada Jibril apakah Abu Bakar, Umar, dan Usman tidak meneruskan kepada kiai-kiai di situ bahwa orang berzina harus dilontar dengan batu. Ditanya Jibril, bahwa batu mahal di situ dan sundal-sundal diperlukan di negeri itu.

Menulis Kipandjikusmin: Muhammad membisu, wajah muram durja.

Kemudian katanya, Muhammad menyaksikan tentang aksi tukang jambret yang semuanya itu menurut Kipandjikusmin adalah mengasyikkan Muhammad, terbukti Kipandjikusmin menulisa tentang ucapan Muhammad:

”Betul, betul. Sesungguhnya tontonan ini menyasyikan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”

Kedua elang terbang di gelap malam...!

(Puar dalam Dahlan, 2004: 165-168).

Maksud menerangkan kembali kepada publik dengan cara meringkas cerita, secara tidak langsung adalah resepsi Puar dalam mengekpresikan kembali cerpen LMM yang dinilainya telah menghina kesucian agama Islam. Puar mengutip bagian-bagian cerpen LMM dengan tambahan interpretasinya terhadap keseluruhan cerpen tersebut. Hal ini ditempuh sebagai penekanan terhadap bagian-bagian tertentu cerpen LMM yang dianggapnya telah menghina Nabi Muhammad Saw. dan agama Islam.

Kami penulis artikel ini beranggapan cerpen "Langit Makin Mendung" itu tidak diragukan lagi telah menghina Nabi Muhammad

saw. telah melecehkan dan mencemoohkan dengan penuh tendensi

sinis terhadap jungjunan 500 juta muslimin, terlepas dari soal apakah penulis itu bersifat sindiran, pemisalan, olok-olok, atau pembadutan pengarangnya. Untuk menentukan sindiran seperi itu tidak perlu mesti menjadi kritikus sastra. Kami menyetujui dan memujikan tindakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara itu demi kesucian agama Islam dan keagungan Nabi Muhammad saw. persoalan yang sebenarnya tidak bersangkut paut dengan pelanggaran hak cipta dan kemerdekaan pers (Puar dalam Dahlan, 2004: 169).

Subjektivitas yang ditentukan oleh latar belakang pembaca, bacaan sebelumnya, pendidikan, dsb. membentuk proses pemaknaan seseorang terhadap karya sastra. Sudut pandang Puar dalam tulisannya yang mencoba menerangkan bahwa cerpen LMM telah menghina agama adalah subjektif. Subjektivitas dapat dilihat pada usaha Puar memberikan penekanan pada bagian tertentu cerpen LMM yang dianggap menghina agama berdasar hasil interpretasinya.

4.3.4 Bur Rasuanto

Bur Rasuanto lahir di Palembang, 6 April 1937. Bur Rasuanto adalah alumnus Filsafat Universitas Indonesia. Pernah bekerja di Stanvac Palembang (1957-1960), kemudian menjadi wartawan Harian KAMI, redaktur Harian Indonesia Raya, dan editor majalah Tempo. Pernah menjadi Koordinator Penerbitan Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta dan Direktur Utama Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Karya-karyanya antara lain Tuyet (...), Mereka Telah Bangkit (1966); Sang Ayah (1969); dan Manusia Tanah Air (1969). Bur Rasuanto adalah salah satu penanda tangan "Manifes Kebudayaan."

Gambar 4.2 Bur Rasuanto wartawan Harian KAMI yang merasa sepaham dengan

H.B. Jassin mengenai humanisme universal sehingga menjadi satu di antara

penanda tangan "Manifes Kebudayaan" (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999).

Bur Rasuato dalam tulisannya yang berjudul "Larangan Beredar Majalah Sastra" yang dimuat mingguan Angkatan Bersenjata, No. 221, 20 Oktober 1968 menanggapi cerpen LMM dengan positif. Rasuato membela dengan berusaha menerangkan bahwa cerpen LMM tidak menghina agama Islam dan bukan yang pertama kali cerpen seperti ini lahir di Indonesia. Lebih lanjut Bur Rasuato membandingkan cerpen LMM dengan cerpen "Robohnya Suarau Kami" karya

A.A. Navis yang menurutnya sejenis namun taksama. Cerita sebangsa ini bukanlah baru pertama kali lahir di Indonesia.

Pengarang A.A. Navis dengan cerpennya "Robohnya Surau Kami" adalah yang pertama menulis cerpen dengan cara ini yang disiarkan oleh majalah Kisah lebih dari 10 tahun yang lalu dan dengan sepintas lalu saja kita dapat tahu bahwa cerpen "Langit Makin Mendung" yang dimuat majalah Sastra ini hanyalah versi lain dari "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis.

Tapi apakah tulisan ini menghina Islam? Apakah tulisan "Langit Makin Mendung" ini penghinaan terhadap Tuhan dan Nabi Muhammad? Tidak dan tidak! Tulisan tersebut tidak menghina, tapi mengkritik! Dan ia bukan mengkritik Islam, Tuhan, atau Nabi Muhammad, ia mengkritik orang-orang yang katanya penganut-penganut Islam dan ia mengkritik Indonesia, mengkritik kejahatan blunder di tanah air ini. Ia mengkritik sebagaimana juga semua kita mengkritik berbagai hal yang kita rasakan tidak wajar, ia mengkritik sebagaimana juga surat-surat kabar dan pojok- pojok surat kabar mengkritik. Ia bahkan mengkritik keputusan Kejaksaan Tinggi Medan yang telah melarang beredar majalah yang memuat tulisan itu sendiri. Ia tidak menghina, seperti juga cerpen A.A. Navis "Robohnya Surau Kami," tidak menghina (Rasuanto dalam Dahlan, 2004: 172-173).

Bur Rasuato menggunakan semacam sinopsis dalam penjelasannya. Hal ini menarik karena bisa ditelusuri tanggapan (resepsi) yang khusus terhadap cerpen LMM sehingga memungkinkan menjadi kontras terhadap apa yang ditulis Jusuf Abdulah Puar yang menyatakan cerpen ini telah menghina agama Islam dengan apa yang ditulis oleh Bur Rasuanto. Berikut adalah resepsi (interpretasi ulang) yang ditulis oleh Bur Rasuanto bahwa cerpen LMM tidak sampai Bur Rasuato menggunakan semacam sinopsis dalam penjelasannya. Hal ini menarik karena bisa ditelusuri tanggapan (resepsi) yang khusus terhadap cerpen LMM sehingga memungkinkan menjadi kontras terhadap apa yang ditulis Jusuf Abdulah Puar yang menyatakan cerpen ini telah menghina agama Islam dengan apa yang ditulis oleh Bur Rasuanto. Berikut adalah resepsi (interpretasi ulang) yang ditulis oleh Bur Rasuanto bahwa cerpen LMM tidak sampai

untuk mengirim utusan turba ke dunia, dan Nabi Muhammad yang diputuskan untuk melakukan tugas ini dipanggil Tuhan untuk diminta penjelasan. Muhamaad menjelaskan bahwa turba (turun ke bawah) ini dirasa amat perlu untuk mencari tahu mengapa akhir-akhir ini sedikit sekali manusia yang masuk sorga. Tuhan mula-mula memperingatkan bahwa keadaan dunia sudah semakin bobrok dan takada gunanya lagi dilihat, tapi toh akhirnya Muhammad berhasil juga mendapat izin Tuhan, bahkan kepadanya oleh Tuhan disertakan malaikat Jibril untuk menjadi guide dan pengawal sekaligus. Upacara pemberangkatan diadakan di lapangan terbang di mana Nabi Adam sebagai sesepuh mengucapkan kata perpisahan atas nama seluruh penghuni sorga dan mengharapkan agar misi turba ini mendapat sukses.

Muhammad berangkatlah dengan pesawat buraq dengan dikawal Jibril. Di angkasa lepas mereka berpapasan dengan sputnik Rusia yang sedang mengedari bumi. Tabrakan takdapat dihindarkan, sputnik itu hancur lebur sementara Muhammad dan Jibril terpental ke segumpal awan. Tujuan Muhammad adalah daerah kelahirannya di negeri Arab, tapi ternyata mereka terjatuh di angkasa Jakarta yang pada pandangan pertama Muhammad menyangka tempat ini adalah satu lapisan neraka.

Dari sini mulailah pengarang memotret rangkaian segi-segi hitam kehidupan di tanah air ini, bahwa meskipun menurut statistik penduduknya

90 persen beragama Islam, tapi di sini terdapat perkembangan yang subur bagi pelacuran, berbagai maksiat dan kejahatan, bahwa di masa Nasakom orang-orang di sini bertuhan kepada Nasakom, bahwa mereka menciptakan sikap 'ganyang Malaysia', bahwa berbagai blunder yang dijalankan oleh Tuhan Nasakom telah menyebabkan timbulnya segala ketidakberesan di tanah air ini, menyebabkan kian pincangnya kehidupan, menyebabkan konspirasi komunis yang berujung terbunuhnya jendral- jendral di Lubang Buaya, peranan RRT, musik anjuran makan jagung, dan sebagainya yang semuanya telah kita sama ketahui dan rasakan. Tercekam oleh kenyatan-kenyataan yang dilihatnya di negeri yang namanya Indonesia ini, maka Muhammad jadi lupa mengunjungi negeri kelahirannya itu. Untuk keperluan penyamaran dan mengatasi masah pengangkutan, Muhammad dan Jibril menyamar jadi burung elang (Rasuanto dalam Dahlan, 2004: 172).

Sebagaimana dimungkinkan dalam teori resepsi sastra bahwa karya sastra tidak hanya menampakkan satu wajah pada pembaca-pembacanya, namun perbedaan itu justru menambah keberagaman atas pemaknaan karya sastra. Bur Rasuanto dalam sinopsisnya di atas memandang cerpen LMM dari sisi lain yang Sebagaimana dimungkinkan dalam teori resepsi sastra bahwa karya sastra tidak hanya menampakkan satu wajah pada pembaca-pembacanya, namun perbedaan itu justru menambah keberagaman atas pemaknaan karya sastra. Bur Rasuanto dalam sinopsisnya di atas memandang cerpen LMM dari sisi lain yang

Sebagai cerita pendek "Langit Makin Mendung" bukanlah karya sastra yang berhasil, akan tetapi melarang dan menyita majalah Sastra karena telah memuat cerpen ini, hanyalah mempertontonkan bahwa sikap beragama kita hanyalah sikap sekuler dan bukan sikap religi, bahwa kita mementahkan Islam dengan memeluknya sebagai sikap politik dan bukan mendekap dan menghayatinya sebagai sikap kulturil (Rasuanto dalam Dahlan, 2004: 174).

demikian Bur Rasuanto menulis mengenai masalah cerpen LMM yang telah menyebabkan kehebohan. Subjektivitas telah memperkaya sudut pandang dalam melihat suatu permasalahan.

4.3.5 A.A. Navis

A.A. Navis lahir 17 November 1924 di Padang Panjang, Sumatera Barat dan meninggal dunia pada 22 Maret 2003 di Padang. A.A. Navis mendapat pendidikan di Perguruan INS Kayutanam (tamat 1945). Ia pernah menjadi kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Tengah di Bukittinggi (1952-1955), pemimpin redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1982), dan sejak 1969 menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidikan INS Kayutanam. Karya- karyanya adalah Jiwa Seragam (tahunnya tidak terlacak); Hujan Panas (1964); Robohnya Surau Kami; Kemarau (1967); Di Lintasan Mendung (1983); Alam Terkembang Jadi Guru (1984); Bertanya Kerbau pada Pedati (2002); dan

Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (2002). Beberapa cerpennya di terjemahkan ke pelbagai bahasa, seperti Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, dan Malaysia. Salah satu cerpennya yang paling berhasil adalah “Robohnya Surau Kami.”

Menurut A.A. Navis dalam tulisannnya yang berjudul "Sekitar Tindakan Terhadap Majalah Sastra di Medan" yang dimuat dalam media lokal Aman Makmur (Padang) No. 254, 24 Oktober 1968, menerangkan bahwa pemberangusan di Indonesia telah terjadi sejak zaman permerintahan Belanda. Sebuah novel karya Maisir Thalib yang berjudul Ustadzama’sjuk diberangus oleh pemerintah Belanda karena segolongan ulama Indonesia menghendakinya hingga sang pengarang ditangkap dan dipenjarakan.

Di dalam pemerintahan Orde Lama puluhan judul buku kesusastraan telah dibakar dan dilarang beredar. Beberapa majalah dilaramg terbit oleh pemerintah karena menganggap pengarang-pengarangnya antipemerintah meskipun bukunya sendiri tidak bersangkut-paut dengan politik. A.A. Navis melihat masalah pemberangusan majalah Sastra oleh Kejaksaaan Tinggi di Medan dalam empat aspek yaitu (1) aspek hukum, (2) aspek politik, (3) aspek kebebasan mencipta, dan (4) aspek keagamaan

Pertama, aspek hukum, tindakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan telah melanggar hukum dengan menjatuhkan putusan pemberangusan tanpa pengadilan dengan mengutip pendapat Wiratmo Soekito (tidak sah).

Kedua, aspek politik, peristiwa yang terjadi pada majalah Sastra sangat memungkinkan untuk ditunggangi kepentingan politik. Tindakan pelarangan secara setempat (hanya di Medan) hanyalah merupakan pengulangan sejarah Kedua, aspek politik, peristiwa yang terjadi pada majalah Sastra sangat memungkinkan untuk ditunggangi kepentingan politik. Tindakan pelarangan secara setempat (hanya di Medan) hanyalah merupakan pengulangan sejarah

Ketiga, aspek kebebasan mencipta akan tetap menjadi tanpa dasar jika pihak-pihak yang tidak memiliki integritas di bidang kesusastraan tetap ikut campur dalam menentukan nilai-nilai suatu karya sastra. Seharusnya pihak pengadilan meminta pertimbangan kritikus sastra terlebih dahulu. Dan apabila seorang penulis tidak memahami apa yang ditulisnya sendiri maka ia adalah seorang yang tidak bertanggung jawab. Sastrawan dengan hak memiliki kebebasan berkarya harus dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah ditulisnya di depan hukum yang berlaku di Indonesia.

Keempat, aspek keagamaan, pandangan umat Islam di Indonesia menurut

A.A. Navis memiliki kencenderungan tertentu Memang pandangan umat Islam di negeri kita mempunyai suatu

anggapan, tarohlah suatu pemujaan yang murni terhadap kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak dapat dirupakan, sehingga banyak karya sastra menjadikan umat Islam bersakit hati. Umpamanya karya Maisir Thalib yang berjudul Ustadzama’sjuk dianggap menghina golongan guru agama pada saat itu. Hamka diejek karena dia sebagai ulama telah mengarang buku-buku percintaan. Sebuah cerpen saya yang berjudul “Man Robbuka” pernah mendapat protes dari beberapa ulama pada tahun 1957, hingga penerbit majalah merasa tersinggung. Kemudian cerpen saya “Robohnya Surau Kami” pernah menjadi pokok persoalan di suatu seminar di Malang. Karena golongan cendekiawan di waktu itu lebih kuat mendukung cerita pendek saya, maka cerpen itu takjadi diganyang (Navis dalam Dahlan, 2004: 183).

Pandangan terhadap kepercayaan memang sangat peka. Akan tetapi, kepekaan itu bukanlah merupakan alasan yang baik untuk pengekangan dari paham-paham ajaran agama yang dianggap sudah benar secara tradisional.

A.A. Navis pun menyorot cerpen LMM karya Kipandjikusmin dengan ulasan yang dititikberatkan pada pengarang sebagai berikut Khusus bagi cerpen Kipandjikusmin ini, bukan tidak mungkin,

bahwa pengetahuannya tentang ajaran Islam belum atau tidak mendalam sama sekali, sehingga di dalam cerpennya tangannya tidak menjadi kelu untuk merupakan Tuhan dan mereinkarnasikan nabi-nabi kepada elang. Perbedaan antara pendangan umat Islam dengan umat yang lain, justru umat Islam tidak akan mengatakan atau melukiskan Tuhannya seperti manusia, meskipun cerita simbolik ataupun visual nyata. Itulah sebabnya umat Islam tidak mengenal ‘wajah’ Tuhannya, tidak mengenal ‘wajah’ nabi-nabinya, baik di dalam gambar-gambar atau cerita (Navis dalam Dahlan, 2004: 184).

Lebih lanjut A.A. Navis menerangkan bahwa di dalam ajaran agama Islam telah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa kemampuan manusia tidak akan dapat membayangkan bagaimana bentuk Tuhan sebenarnya. Agar umat Islam tidak keliru membayangkan wajah Tuhannya maka Imam Syafi’i lebih suka menganjurkan untuk melarang agar umat Islam jangan menghayalkan atau menggambarkan bentuk-Nya.

Akan tetapi kebebasan pengarang untuk membicarakan agama Islam yang menyimpang, tidak perlu mengguncangkan sentimen umat Islam. Umat Islam dewasa ini bukan lagi terdiri atas orang-orang awam semata. “Dengan menghormati kebebasan mengemukakan pendapat, maka disitulah dakwah Islam akan mencapai nilai-nilai yang tepat dan aktual.” demikian pandangan A.A. Navis mengenai sastra yang kontroversi.

4.3.6 Taufiq Ismail

Taufiq Ismail, penyair yang menganggap masa Demokrasi Terpimpin adalah periode utama dalam pertumbuhan kepengarangannya ini, lahir di

Bukittinggi, 25 Juni 1935. Ia dibesarkan di Pekalongan, Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia berpendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor (sekarang IPB). Berkerja sebagai redaktur majalah sastra Horison. Gemuruh demo pelajar dan mahasiswa setelah Gestapu dituliskannya dalam kumpulan puisi Tirani (1966) dan Benteng (1966). Karya-karya lainnya adalah Manifestasi (kumpulan puisi bersama Ali Audah dan Geonawan Mohamad, 1963); Sajak Ladang Jagung (1974); Kenalkan, Saya Hewan (puisi anak-anak, 1976); Puisi-puisi Langit (1990); Malu (aku) Jadi Orang Indonesia (1998) dan Taufiq menerjemahkan karya filsafat Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1964).

Taufiq Ismail dalam tulisannya yang berjudul "Beberapa Pikiran tentang Pelarangan Sastra" yang dimuat dalam artikel Harian KAMI, No. 688, 25 Oktober 1968 memberikan tanggapan terhadap cerpen LMM sebagai berikut

Dikisahkan, ketika situasi Indonesia porak-poranda di zaman Nasakom (nasionalis-agama-komunis), Rasulullah gelisah di sorga dan minta izin kepada Tuhan untuk turun. Rasulullah bersama Malaikat Jibril. Mereka melihat Indonesia yang kacau balau. Penggambaran Rasulullah berhenti di sini, kemudian Kipandjikusmin asik menceritakan praktek- praktek kejelekan di zaman pra-Gestapu itu.

Cerita itu malang sekali karena secara literatur dia buruk. Ini tidak perlu dipersoalkan lagi. Yang menjadi soal: penampilan Tuhan dan Muhammad Rasulullah saw. di dalam cerita itu (Ismail dalam Dahlan, 2004: 187).

Lebih lanjut Taufiq Ismail membahas adab dalam agama Islam. Tentang kebebasan dalam berkarya. Namun, bukan berarti bebas sebebasnya tanpa batasan karena manusia makhluk yang memiliki keterbatasan. Dalam agama apa pun masalah adab, sopan-santun, dan akhlak mendapat tempat yang tinggi. Khusus Lebih lanjut Taufiq Ismail membahas adab dalam agama Islam. Tentang kebebasan dalam berkarya. Namun, bukan berarti bebas sebebasnya tanpa batasan karena manusia makhluk yang memiliki keterbatasan. Dalam agama apa pun masalah adab, sopan-santun, dan akhlak mendapat tempat yang tinggi. Khusus

Dapatkah dalam karya sastra, di samping menampilkan tokoh- tokoh manusia, daun-daun, binatang, alam, ditampilkan pula Tuhan, rasul- rasul, dan para nabi lainnya? Tentu dapat. Ada kebebasan untuk itu. Puncak-puncak sastra Islam karya Sufi membuktikannya. Namun, bukan tidak ada batas-batasnya. Batas-batasnya adalah adab dan logika. Adab adalah lawan dari tidak beradab dan logika digariskan dalam Qur’an serta hadis yang secara historis dapat dipertanggungjawabkan (Ismail dalam Dahlan, 2004: 188).

Menurut Taufiq Ismail, soal adab adalah soal yang kuno sekali (orthodoks), dan sama tuanya dengan manusia pertama di dunia. Orthodoks secara etimologi berasal dari ortho dan doksa. Ortho berari patuh; tetap; kolot dan doksa (dogma) berarti aturan sehingga dapat diartikan patuh terhadap aturan. Maka, tidak patuh terhadap aturan berarti melanggar aturan yang berarti dosa dalam peraturan agama.

4.3.7 Yahaya Ismail (Malaysia)

Yahaya Ismail seorang penulis warga negara Malaysia dalam artikelnya yang berjudul "Sekitar Langit Makin Mendung" yang dimuat Minggu Rakyat Indonesia, No. 232, 24 November 1968 berusaha membandingkan hebohnya Yahaya Ismail seorang penulis warga negara Malaysia dalam artikelnya yang berjudul "Sekitar Langit Makin Mendung" yang dimuat Minggu Rakyat Indonesia, No. 232, 24 November 1968 berusaha membandingkan hebohnya

Islam dari karya yang termuat di majalah Sastra, ingin saya menarik perhatian pembaca tentang sebuah sajak di Malaysia yang pernah memeranjatkan segolongan masyarakat Melayu yang beragama Islam di Malaysia. Saya rasa peristiwa ini penting untuk menunjukkan bahwa masyarakat intelek Melayu masih bisa menilai soal-soal sastra yang intrinsik dan soal-soal sastra yang ekstrinsik.

Sajak yang menggemparkan masyarakat intelek Melayu itu berjudul "Sidang Ruh" karya Kassim Ahmad, seorang sarjana sastra yang pernah menjadi dosen di Universitas London dan kini (1968) menjadi ketua Partai Rakyat sebuah partai politik sosialis yang terkemuka di Malaysia (Yahaya Ismail dalam Dahlan, 2004: 247).

Berikut adalah sajak "Sidang Ruh" karya Kassim Ahmad yang dimaksud oleh Yahaya Ismail pernah mengagetkan para peminat sastra di negeri Malaysia pada tahun 1967.

SIDANG RUH

I perlu satu satu diperhitungkan kembali hari ini kita dewasa tanpa tuhan tanpa impian karena besok mungkin terlalu lewat bagi kiamat yang telah ditangguhkan

bukan aku sinis kau jangan mengateish beritaku dari mereka yang lupa bagaimana untuk hidup maka demikian perlu kata kata supaya maut kita jangan karena bisu

kalau kau percaya pada manusia sejahtera jangan kau bergembira mengikut hukum (karena kemenangan) kalau kau percaya pada manusia bebas jangan kau berkata menurut hukum (karena taat setia) karena tidak akan ada hukum yang berlaku (namun digubal dalam pi bi bi) yang tidak berperlembagaan di hati

II sudah datang berita yang paling kejam bagi mereka yang lagi hidup karena bisa berharap dunia ini penjara nasi kita akan cukup di sorga

di atas belakang Dajjal telah diperdagangkan hidup gelak dan nilai bukan karena bahagia gelak dan nilai karena papa

akan bersidang segala ruh anakmu hari ini makan apa nasi atau beer ketawanya palsu tangisnya tanpa suara

III nanti akan padamlah dengan sendirinya lampu dari menara tinggi karena dibawahnya kian mabuk dan tuhan telah mati

(1960) Dipetik dari Kemarau Dilembah, 1967 (oleh Yahaya Ismail dalam Dahlan, 2004: 247).

Sajak "Sidang Ruh" ini hangat dibicarakan oleh peminat-peminat sastra dan ulama-ulama di Malaysia, khususnya di Kuala Lumpur. Berbagai pendapat pro dan kontra bermunculan. Ada pula yang beranggapan bahwa Kassim Ahmad yang menulis puisi tersebut adalah seorang murtad yang sudah tidak percaya kepada Tuhan. Namun, setelah diadakan forum yang diselenggarakan di Kolej Islam Kuala Lumpur pihak yang kontra bersimpulan bahwa Kassim Ahmad hanya "diragukan keimanannya" tidak sampai harus dipermasalahkan pada hukum negara di Malaysia. Puisi "Sidang Ruh" karya Kassim Ahmad tidak sampai menjadi permasalahan yang menggelisahkan sebagaimana terjadi pada cerpen LMM karya Kipandjikusmin di Indonesia.

Lebih lanjut Yahaya Ismail mengutip bagian-bagian cerpen LMM yang menurutnya tidak lebih berani dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan Kassim Ahmad dalam puisi "Sidang Ruh."

Kalau dibandingkan gambaran ketuhanan yang ditujukan oleh Kassim Ahmad dan dibandingkan dengan gambaran Kipandjikusmin yang antara lain menggambarkan “Tuhan terpaksa mengeleng-gelengkan kepala....” dan Tuhan “memakai kacamata model kuno dari emas....”dan lain-lain saya rasa gambaran ketuhanan yang dicipta Kassim Ahmad adalah lebih "berani" lagi (Yahaya Ismail dalam Dahlan, 2004: 250-251).

Namun, barangkali lupa apa yang dibandingkan Yahaya Ismail ialah puisi dan prosa. Dalam sudut pandang kajian kesusastraan, genre yang berbeda perlu diperlakukan berbeda pula. Puisi dalam bahasanya lebih padat perumpamaan. Apa yang dibahasakannya cenderung bukan makna sebenarnya. Di dalam bahasa puisi terdapat lebih banyak lapisan makna, sedangkan dalam prosa gaya bahasa cenderung memaparkan hal yang sebenarnya. Hal ini dibahas panjang lebar dalam sebuah perbandingan pada subbab Kegagalan Cerpen "Langit Makin Mendung."

4.3.8 Mochtar Lubis

Mochtar Lubis lahir di Padang, 7 Maret 1922. Ia menamatkan pendidikan di SD Padang, lalu melanjutkan sekolah di Sekolah Ekonomi yang didirikan S.M. Latif di Kayutanam, dan selanjutnya belajar otodidak. Ia pernah menjadi wartawan LKBN Antara, wartawan harian Merdeka, kemudian memimpin majalah Masa Indonesia (1947), Majalah Mutiara dan harian Indonesia Raya (1951-1974). Ia pernah menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan International Press Institute. Ia menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Perusahaan Horison, Ketua Yayasan Obor, dan anggota Akademi

Jakarta. Pada 1956 s.d. Mei 1966 Mochtar Lubis masuk penjara karena tulisan- tulisannya dalam harian Indonesia Raya dianggap membahayakan Negara. Kesan dan pemikirannya selama dalam penjara ditulisnya dalam buku Catatan Subversif (1980). Sebagai wartawan, ia pernah menerima Hadiah Magsaysay dari yayasan Magsaysay Filipina (1958) dan Hadiah Pena Emas dari World Federation of Editor and Publishers (1967). Novelnya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung (1952) mendapat hadiah sastra Nasional BMKN 1952 dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh A.H. Johns menjadi A Road with no end (sic), London (1968). Karya-karya Mochtar antara lain: kumpulan cerita pendek Perempuan (1956) meraih Hadiah Sastra nasional BMKN (1956), Harimau! Harimau! (1975) memperoleh Hadiah Sastra Yayasan Buku Utama Departemen P&K, Tak ada Esok (1951), Senja di Jakarta (1970) diterjemahkan oleh Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta, London (1963), Bromocorah (1983), Perlawatan ke Amerika Serikat (1951), dan Indonesia di Mata Dunia (1955).

Mochtar Lubis dalam esainya yang berjudul "Kebebasan Berpikir" yang dimuat majalah Horison, Thn.IV, No.1, Januari 1969 menyinggung kembali masalah pemberangusan majalah Sastra. Pemberangusan majalah Sastra di Medan dan pembicaraan yang sumbing mengenai majalah Sastra yang dikaitkan dengan PKI sedikit banyak berpengaruh pada keberlangsungan majalah Sastra yang berusaha bertahan pada awal tahun 1969. Setelah ditimpa badai cobaan pada 1968, majalah Sastra mulai ditinggalkan. Sebagai saudara kandungnya, mencuatlah majalah Horison. Mengenai masalah majalah Sastra Mohctar Lubis menulis pada majalah Horison sebagai berikut.

Apa yang dialami oleh redaksi majalah Sastra adalah akibat dari sikap tidak toleran dalam dunia pikiran. Kita hendaknya mendidik diri kita untuk mendengarkan, melihat pikiran-pikiran baru dari siapa pun juga datangnya. Beta pun gilanya sesuatu pikiran, tidaklah perlu reaksi kita terlalu hendak menghantam dan menggantung orang yang punya pikiran. Seperti dahulu ketika Galileo mengatakan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari maka nyaris ia dibakar dianggap seorang murtad. Dan orang yang pertama yang mengatakan bumi bulat dan tidak datar dianggap orang edan (Lubis dalam Dahlan, 2004: 281).

Mochtar Lubis dalam esainya membahas perbedaan antara kebebasan menyatakan pikiran dan kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir adalah langkah pertama untuk menuju kebebasan menyatakan pikiran. Namun, banyak orang takut membiarkan pikirannya bebas. Menurut Mochtar Lubis, orang yang seperti itu jangan diharapkan akan dapat melaksanakan kebebasan menyatakan pikiran sebaik-baiknya dan pasti pula mereka tidak akan bersedia memperjuangkan kebebasan menyatakan pikiran dengan segala konsekuensinya.

Mochtar Lubis memberikan bandingan situasi kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran di Indonesia pada saat itu dengan suasana kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran di Amerika. Mochtar Lubis dalam lawatannya ke Amerika mendapat kesan bahwa kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran di Amerika telah sedemikian terbuka. Saat itu, sampai ada yang berani memikirkan dan menanya apakah benar manusia ini ciptaan Tuhan ataukah Tuhan yang diciptakan akal manusia, karena manusia dalam keterbatasan akalnya memerlukan suatu pegangan, perlindungan dari kekuasaan yang lebih besar yang misterius yang tidak tercapai oleh akal manusia. Ada yang menyatakan jika Tuhan yang menciptakan manusia dan menurunkan nabi-nabi dengan agama ke dunia, mengapa menurunkan agama yang berbeda-beda hingga ada yang saling Mochtar Lubis memberikan bandingan situasi kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran di Indonesia pada saat itu dengan suasana kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran di Amerika. Mochtar Lubis dalam lawatannya ke Amerika mendapat kesan bahwa kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran di Amerika telah sedemikian terbuka. Saat itu, sampai ada yang berani memikirkan dan menanya apakah benar manusia ini ciptaan Tuhan ataukah Tuhan yang diciptakan akal manusia, karena manusia dalam keterbatasan akalnya memerlukan suatu pegangan, perlindungan dari kekuasaan yang lebih besar yang misterius yang tidak tercapai oleh akal manusia. Ada yang menyatakan jika Tuhan yang menciptakan manusia dan menurunkan nabi-nabi dengan agama ke dunia, mengapa menurunkan agama yang berbeda-beda hingga ada yang saling

Demikian apa yang ditulis Mochtar Lubis guna menyatakan bahwa perlu pula kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran di Indonesia pada saat itu. Mochtar Lubis menghimbau masyarakat pembaca agar lebih dewasa dalam menyikapi terobosan dan hal-hal yang bersifat baru.

4.3.9 Ajip Rosidi

Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938. Sejak 1981, Ajip menjadi Professor Tamu di Osaka Gaidai Jepang (Osaka University of Foreign Studies). Ajip pernah menjadi ketua Paguyuban Pengarang Sastra Sunda (1966-1975), dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (1967-1970), Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (1973-1979), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1973-1981). Ajip pernah meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk puisi pada 1955. Kumpulan cerpennya, Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957), mendapat hadiah serupa pada 1958. Karya-karya lainnya antara lain Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (1964), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1968), Masalah Angkatan dan Periodesasi Sastra Indonesia (1973), Sajak-sajak Anak Matahari dll. Selain menuslis buku dalam bahasa Sunda, Ajip menulis kembali cerita-cerita lama, antara lain Lutung Kasarung (1958), Roro Mendut (1961). Ajip pun menulis buku umum Mengenal Jepang (1981), Undang- Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938. Sejak 1981, Ajip menjadi Professor Tamu di Osaka Gaidai Jepang (Osaka University of Foreign Studies). Ajip pernah menjadi ketua Paguyuban Pengarang Sastra Sunda (1966-1975), dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (1967-1970), Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (1973-1979), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1973-1981). Ajip pernah meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk puisi pada 1955. Kumpulan cerpennya, Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957), mendapat hadiah serupa pada 1958. Karya-karya lainnya antara lain Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (1964), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1968), Masalah Angkatan dan Periodesasi Sastra Indonesia (1973), Sajak-sajak Anak Matahari dll. Selain menuslis buku dalam bahasa Sunda, Ajip menulis kembali cerita-cerita lama, antara lain Lutung Kasarung (1958), Roro Mendut (1961). Ajip pun menulis buku umum Mengenal Jepang (1981), Undang-

Dalam majalah Horison tahun IV No. 3, Maret 1969, H.B. Jassin menulis dalam kolom "Catatan Kebudayaan" dengan judul "Dicari: Mujtahid Modern". Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu H.B. Jassin menulis "Dicari: Penyalin dan Penerbit" dan sekarang agaknya setelah menemukan penerbit dan penyalin yang dicarinya, ia sibuk cari mujtahid. Mudah-mudahan tidak usah menunggu 20 tahun lagi sebelum ia menemukan apa yang dicarinya sekarang.

Agaknya tulisan itu lahir dari tangan H.B. Jassin masih sehubungan dengan serangkaian tulisannya mengenai pertalian agama dan kesenian, yaitu pusat perhatian minatnya setelah terjadi heboh majalah Sastra dengan cerita pendek Kipandjikusmin "Langit Makin Mendung" tahun yang lalu. Meski mendung itu kini kelihatannya sudah buyar, terutama setelah segala yang bersangkutan meminta maaf dan menarik lagi tulisannya yang beredar, namun minat Jassin terhadap masalah-masalah agama dalam hubungannya dengan kesenian terutama kesusastraan tidaklah padam (Rosidi dalam Dahlan, 2004: 301).

Di balik bahasanya yang santun apa yang disampaikan Ajip dalam tulisannya adalah kritik yang tajam terhadap Jassin. Dalam tulisan sebelumnya ("Dicari: Mujtahid Modern"), menurut Jassin terdapat suatu konsensus umum umat Islam, bahwa segala makhluk yang bernyawa tidak boleh dirupakan. "Saya telah mencoba mencari ayat-ayat, hadis-hadis, ataupun fatwa-fatwa yang jelas mengenai dilarangnya pemahatan, pematungan, atau pelukisan makhluk hidup, tetapi tidak bertemu" menurut Jassin dalam tulisan sebelumnya. Jassin yang mencari-cari keterangan tidak pula menemukan jawabannya dalam buku Prof. H.M. Toha Jahja M.A. seorang muslim intelektual pada saat itu yang banyak Di balik bahasanya yang santun apa yang disampaikan Ajip dalam tulisannya adalah kritik yang tajam terhadap Jassin. Dalam tulisan sebelumnya ("Dicari: Mujtahid Modern"), menurut Jassin terdapat suatu konsensus umum umat Islam, bahwa segala makhluk yang bernyawa tidak boleh dirupakan. "Saya telah mencoba mencari ayat-ayat, hadis-hadis, ataupun fatwa-fatwa yang jelas mengenai dilarangnya pemahatan, pematungan, atau pelukisan makhluk hidup, tetapi tidak bertemu" menurut Jassin dalam tulisan sebelumnya. Jassin yang mencari-cari keterangan tidak pula menemukan jawabannya dalam buku Prof. H.M. Toha Jahja M.A. seorang muslim intelektual pada saat itu yang banyak

Ajip menegaskan bahwa sangat mudah menemukan hadis dan keterangan perihal seni dalam Islam pada sumber yang benar. Namun, apa yang dilakukan Jassin dalam mencari keterangan tersebut merupakan kesalahan fatal karena salah memilih sumber. Buku-buku yang dirujuk Jassin adalah Allgemeine Geschiche der Literature karangan Gustav Karpeles, De Ontwikkelingsgang der Historie karangan Ripjma en Roelofs, dan Anthology of Islamic Literature yang disusun oleh James Kritseck.

Maka mengerti jugalah kita mengapa Jassin tidak menemukan apa yang dicarinya. Daripada menemukan hadis-hadis dan fatwa-fatwa tentang larangan menggambar mahluk bernyawa, malah ia menemukan gambar Nabi Muhammad yang sedang menunggang buraq dalam buku Gustav Karpeles! (Rosidi dalam Dahlan, 2004: 302).

Hal ini menjadi fatal karena Jassin dalam tulisannya menunjukkan kebebasannya yang keras agar para seniman bisa melukiskan nabi-nabi, bahkan Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya dalam bentuk lukisan atau cerita saja, melainkan juga dalam rangka zaman memanfaatkan teknik modern penemuan- penemuan seperti film dan radio, berikut adalah tulisan Ajip mengenai hal itu.

Saya sangat kagum akan Jassin yang dengan tegas menyatakan “Kita sekarang hidup dalam zaman teknik modern yang mempunyai persyaratan lain dan ukuran yang lain dari zaman teknik kuno.” dan dengan demikian mengharapkan “di tengah kemajuan teknik sekarang ini diharapkan tampilnya mujtahid-mujtahid yang tidak sekadar bersandar pada fatwa-fatwa alim ulama zaman dahulu, tapi mula-mula yang berani berpikir sesuai dengan zamannya sendiri.” ... tapi sayang bahwa tidak juga saya merasa yakin bahwa ... sesungguhnya tidak ada jaminan kelak para seniman melukiskan wajah Nabi Muhammad saw. lantas tidak akan terjadi penyembahan atau pemberhalaan kepada gambar tersebut (Rosidi dalam Dahlan, 2004: 305).

Demikian Ajip Rosidi seorang penulis muda pada saat itu yang menohok

H.B. Jassin yang seorang "penjaga" kesusastraan Indonesia, dengan membongkar kesalahannya yang mendasar. Dengan demikian kredibilitas H.B. Jassin sebagai "Paus" Sastra Indonesia mulai dipertanyakan. Walau demikian, H.B. Jassin tidak tinggal diam, ia tetap menulis dengan sudut pandangnya hingga menghasilkan sebuah buku Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab yang terbit di tahun 1970. Demikianlah sekelimut permasalah yang melingkupi hebohnya cerpen LMM hingga meluas dan terus menerus dibicarakan oleh berbagai kalangan dari berbagai generasi.

4.3.10 Bahrum Rangkuti

Bahrum Rangkuti lahir di Pulau Tagor, Galang, Sumatera pada 7 Agustus 1919 dan meninggal dunia pada, 13 Agustus 1977 di Jakarta. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Direktorat Rohani Islam ALRI dengan pangkat Kolonel Tituler dan pada 1977 menjabat Sekretaris Jendral Departemen Agama RI. Karya- karyanya antara lain: Laila dan Majnun (1949), Sinar Memancar dari Jabal An- Nur (1949), Nafiri Khatulistiwa (1963), dan Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya (1963).

Haji Bahrum Rangkuti dalam artikelnya yang berjudul "Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung" yang dimuat dalam harian Merdeka, Thn. 24, No. 6915, 25 Februari 1970 berusaha membahas secara "objektif dan ilmiah" cerpen LMM dengan terlebih dahulu menyindir Hamka sebagai saksi ahli di pengadilan yang memerkarakan cerpen LMM menghina Haji Bahrum Rangkuti dalam artikelnya yang berjudul "Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung" yang dimuat dalam harian Merdeka, Thn. 24, No. 6915, 25 Februari 1970 berusaha membahas secara "objektif dan ilmiah" cerpen LMM dengan terlebih dahulu menyindir Hamka sebagai saksi ahli di pengadilan yang memerkarakan cerpen LMM menghina

Tidak mudah melukiskan secara objektif dan ilmiah judul di atas ("Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung"), lebih-lebih karena cerpen "Langit Makin Mendung" karangan Kipandjikusmin sangat dihebohkan oleh golongan besar umat Islam. Hamka sendiri sebagai saksi ahli dalam sidang pengadilan atas dimuatnya cerpen tersebut dalam majalah Sastra, merasa dirinya sangat tersinggung dan menyatakan kepada Hakim Ketua, ia akan murtad jika ia sebagai penanggung jawab majalah Kiblat memuatkannya (cerpen LMM –pen.) dalam majalah yang dipimpinnya itu. Antara dua kurung, dapatlah diambil kesimpulan bahwa oleh ucapannya itu, H.B. Jassin pun telah dicapnya keluar dari Islam, karena telah mempublisir cerpen "Langit Makin Mendung" dalam (majalah) Sastra?

Kita tidak tahu apakah Buya Hamka sejauh itu pikirannya waktu melontarkan kata-kata keras tersebut. Atau emosinya sudah amat memuncak sehingga sikap radikalnnya taksempat disentuh oleh kelembutan dan belas kasihan Muslim sebagaimana termaktub dalam Qur'an: "Faman'afaa wa wa aslaha faajruhu ala'alahi innahu laa yuhibu zaalimiin" (Asy Syura'a ayat 40), artinya: Maka siapa-siapa yang memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain, karena mengandung maksud akan mewujudkan perbaikan, beroleh pahala di sisi Allah. Dan Ia pun tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Yakni, Tuhan swt. yang mengetahui watak dan kelemahan insan dalam berbagai kondisi mengadakan 'restriksi' (pembatasan) pada ancaman, tuntutan yang bersifat apa pun, jika pengampunan (pemaafan) dapat menimbulkan 'impresi' yang baik pada si yang bersalah (Rangkuti dalam Dahlan, 2004: 323-324).

Selanjutnya Bahrum Rangkuti kembali menyindir ulama yang menurutnya kurang menjalankan tugasnya: karena seseorang yang kurang benar atau kurang mendalam pengetahuan agamanya lebih disebabkan oleh tidak adanya orang yang menyampaikan kebenaran kepadanya sampai diketahuinya seluk-beluk suatu masalah. Bukan agama yang tidak benar tetapi para pemuka agama yang kurang giat menjalankan dakwah, terlebih di zaman "guncang-guntainya" masyarakat dengan gejala-gejala kekaburan makna dan tafsir kaum alim ulama.

Apakah sebabnya seseorang kurang benar atau mendalam pengetahuannya? Karena memang takpernah dibacanya ataupun takada Apakah sebabnya seseorang kurang benar atau mendalam pengetahuannya? Karena memang takpernah dibacanya ataupun takada

Demikian Bahrum Rangkuti mendahului tulisannya tentang cerpen LMM. Rangkuti menilai cerpen LMM dari sadut pandang "untuk merangsang umat mendalami nilai-nilai agama." Di bawah ini adalah kutipan dari tulisan Bahrum Rangkuti.

Saya melihat cerpen "Langit Makin Mendung" yang menghebohkan itu dari sudut pandang pikiran-pikiran di atas ini. Tujuan pengarang dengan nama samaran Kipandjikusmin ialah: hendak mensucikan Islam dari racun-racun paham baru yang menyesatkan (Nasakom) sehingga banyak dari pengikutnya-pengikutnya dengan sadar ataupun tidak memperpincang dan melumpuhkan Islam. Iman dan Islam menjadi permainan bibir semta-mata. Ada pula dari orang-orang Islam yang karena putus asa atau takmenghayati inti hakikatnya mencari hiburan pada perempuan-perempuan bunga raya, minum alkohol, gadis-gadis, dan lain-lain. Krisis akhlak, derita, kemiskinan merajalela, di mana-mana. Sebagian besar pemimpin hanya ngomong doang, takmemperlihatkan leadership yang meyakinkan (Rangkuti dalam Dahlan, 2004: 326).

Semua peristiwa dan gejala yang destruktif terhadap kebesaran agama Islam ini, menurut Rangkuti, mendasari imajinasi Kipandjikusmin dalam menulis cerpen LMM. Adapun observasi yang dimaksud Rangkuti dalam cerpen LMM adalah segala peristiwa kebobrokan dan kemiskinan yang dilukiskan Kipandjikusmin merupakan sebuah fakta observasi. Menurut Rangkuti, hal itu benar-benar terjadi dan memang demikian kenyataannya pada masa itu, Semua peristiwa dan gejala yang destruktif terhadap kebesaran agama Islam ini, menurut Rangkuti, mendasari imajinasi Kipandjikusmin dalam menulis cerpen LMM. Adapun observasi yang dimaksud Rangkuti dalam cerpen LMM adalah segala peristiwa kebobrokan dan kemiskinan yang dilukiskan Kipandjikusmin merupakan sebuah fakta observasi. Menurut Rangkuti, hal itu benar-benar terjadi dan memang demikian kenyataannya pada masa itu,

Sabda Allah takakan kalah. Begitu pun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekali pun. Suara nabi mengguntur dasyat, menggema bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas. Gemanya terdengar sampai ke sorga, disambut takzim ucapan serentak: amien, amien, amien! Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahutan.... (Rangkuti dalam Dahlan, 2004: 326).

Demikian apa yang diungkapkan Bahrum Rangkuti mengenai imajinasi, observasi, dan intuisi dalam cerpen LMM. Rangkuti membahas cerpen LMM yang menggambarkan Tuhan dengan sifat insan dari sudut pandang kesusastraan sebagai higher sufism (tasawuf mendalam). Cerpen LMM disejajarkan dengan karya-karya agung sufisme yang banyak menggunakan bahasa anthropomorphism (melukiskan Tuhan secara simbolik). Seperti halnya karya-karya Omar Khayyam dan Mohammad Iqbal pada mulanya dimaki hingga akhirnya diakui sebagai sastrawan yang mumpuni.

Di luar hal kesusastraan, perlulah diketahui bahwa Bahrum Rangkuti adalah saksi ahli bersama Fuad Hasan dan Ali Audah yang diajukan oleh H.B. Jassin di pengadilan. Hal ini diajukan guna memosisikan Fuad Hasan, Ali Audah, dan Bahrum Rangkuti sebagai saksi ahli yang akan memperingan H.B. Jassin. Namun, pengadilan hanya sampai pada keputusan mempertimbangkannya. Kejaksaan Agung hanya menunjuk Buya Hamka sebagai saksi ahli yang dinilai Di luar hal kesusastraan, perlulah diketahui bahwa Bahrum Rangkuti adalah saksi ahli bersama Fuad Hasan dan Ali Audah yang diajukan oleh H.B. Jassin di pengadilan. Hal ini diajukan guna memosisikan Fuad Hasan, Ali Audah, dan Bahrum Rangkuti sebagai saksi ahli yang akan memperingan H.B. Jassin. Namun, pengadilan hanya sampai pada keputusan mempertimbangkannya. Kejaksaan Agung hanya menunjuk Buya Hamka sebagai saksi ahli yang dinilai

4.3.11 Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981. Hamka nyaris tidak mengecap pendidikan formal, namun demikian kegeniusannya membuat ia tetap cemerlang. Hamka hanya menempuh sekolah dasar sampai kelas 2 kemudian lebih memilih mengikuti pendidikan agama dan bahasa Arab di Parabek, Bukit Tinggi dan pada 1924 dititipkan kepada H.O.S Tjokroaminoto untuk menimba ilmu di Surabaya. Pada 1956, Hamka menerima penghargaan gelar Doktoral (Dr.) Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1939) pada 1962 disebut-sebut sebagai karya jiplakan dari pengarang Prancis Alphonse Karr (1808-1890). Karya-karya lainnya adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Cermin Penghidupan (1962), Ayahku (1967), dan banyak buku umum dan kitab yang ditulis oleh Hamka.

Hamka dalam tulisannya yang ditujukan sebagai tanggapan atas tulisan Bahrum Rangkuti, menulis sanggahan terhadap apa yang telah dikemukakan Rangkuti dengan judul "Sambutan terhadap Tulisan Kolonel Drs. H. Bahrum Rangkuti Berjudul Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung." yang dimuat harian Merdeka, Thn.24, No. 6920-22, 3 s.d. 5 Maret 1970. Dalam sanggahannya, Hamka pertama kali menyayangkan ketidakhadiran Bahrum Rangkuti selama sidang pengadilan Kejaksaan Agung untuk yang keempat kalinya yang mengadili H.B. Jassin dalam dakwaan sebagai pemimpin Hamka dalam tulisannya yang ditujukan sebagai tanggapan atas tulisan Bahrum Rangkuti, menulis sanggahan terhadap apa yang telah dikemukakan Rangkuti dengan judul "Sambutan terhadap Tulisan Kolonel Drs. H. Bahrum Rangkuti Berjudul Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung." yang dimuat harian Merdeka, Thn.24, No. 6920-22, 3 s.d. 5 Maret 1970. Dalam sanggahannya, Hamka pertama kali menyayangkan ketidakhadiran Bahrum Rangkuti selama sidang pengadilan Kejaksaan Agung untuk yang keempat kalinya yang mengadili H.B. Jassin dalam dakwaan sebagai pemimpin

Selama sidang yang keempat kali itu, saudara Ali Audah dan Prof. Fuad Hassan tetap hadir menyimak dialog hakim dengan terdakwa dengan pembela dengan jaksa dan saksi ahli. Meski Hakim Ketua pernah mengatakan bahwa permohonan H.B. Jassin agar diberi kelapangan mengemukakan tiga saksi ahli masih akan dipertimbangkan. Ali Audah dan Fuad Hassan tetap hadir sebab itupula mereka mengetahui perkembangan pemeriksaan selengkapnya.

Tetapi saudara H. Bahrum Rangkuti tidak pernah kelihatan dalam keempat sidang itu ataupun dalam salah satunya. Harapan Jassin, harapan saya, dan harapan banyak orang dikecewakan oleh saudara B. Rangkuti.

Tiba-tiba hari Rabu tanggal 25 Februari 1970 tepat pada hari sidang keempat muncullah karangan saudara Rangkuti dalam harian Merdeka yang berjudul "Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung."

Maksud saudara Rangkuti dengan menyiarkan tulisan itu ialah hendak membantu saudara Jassin dan membelanya dari jauh. Dengan mengemukakan beberapa hadis qudsi yang katanya menaruh imajinasi juga dapatlah kiranya saudara H.B. Jassin dan pembelanya bahan yang penting buat membuktikan Kipandjikusmin tidak salah! (Hamka dalam Dahlan, 2004: 335).

Apa yang dicita-citakan Wiratmo Soekito agar terlaksananya pengadilan yang berlandaskan hukum akhirnya mulai digelar pada 30 April 1969 hingga persidangan berlanjut sampai tahun 1970. Kipandjikusmin takkunjung muncul, maka H.B. Jassinlah yang tampil di depan pengadilan selaku pemimpin redaksi yang bertanggung jawab atas dimuatnya cerpen LMM di majalah Sastra yang ia pimpin.

Hamka dengan tegas mengemukakan pendangannya bahwa Kipandjikusmin bersalah dengan menyamakan sifat Allah yang mahaagung Hamka dengan tegas mengemukakan pendangannya bahwa Kipandjikusmin bersalah dengan menyamakan sifat Allah yang mahaagung

Pembela telah mencoba mengemukakan hadis-hadis itu di muka sidang pengadilan. Namun, setiap hadis-hadis yang didroping saudara Rangkuti itu dikemukakannya, setiap itu pula saya patahkan sebab perbandingannya tidak kena-mengena. Malahan ada hadis-hadis yang dipotong-potong. Lantaran tangkisan-tangkisan saya itu, habislah bahan yang dikirim saudara Rangkuti dan buyarlah pertahanan dari segi hadis dan mengakulah Pembela di muka yang dihadiri beratus-ratus orang itu bahwa beliau meskipun seorang Islam namun dari kecil mendapat didikan Belanda, tidaklah mengetahui Islam dengan mendalam.

Syukur alhamdulillah satu rangkaian kata-kata yang oleh saudara Rangkuti dikatakan hadis nabi yang ditulisanya begini bunyinya: 'Innama Kullu'l A'malu bin-niyati' (lihat harian Merdeka, Rabu 25-2-1970, muka 3 kolom 3 baris 21 dari bawah) tidak dikemukakan pula oleh Pembela. Kalau yang dikatakan hadis oleh saudara Rangkuti itu dikemukakan pula niscaya para hadirin yang mengerti ilmu nahwu dan ilmu hadis akan ribut sehingga terpaksa pula Hakim Ketua menjatuhkan palu memberi teguran sebab belum ada sebuah sebuah pun bertemu hadis Rasulullah yang sekacau itu bahasanya di dalam kitab hadis yang mana pun, kecuali dalam catatan saudara Rangkuti (Hamka dalam Dahlan, 2004: 335).

Selanjutnya dalam tulisannya yang panjang itu (sampai harus dimuat bersambung sebanyak tiga terbitan dalam harian Merdeka Thn. 24, No. 20-22, 3-5 Maret 1970), Hamka menjawab tudingan-tudingan yang dialamatkan padanya atas fatwanya yang telah menyebut bahwa Jassin telah murtad. Sesungguhnya hal itu adalah sebuah konklusi yang salah dari Bahrum Rangkuti. Berikut adalah petikan tulisan Hamka mengenai tudingan telah mencap H.B. Jassin sebagai seorang murtad.

Ketika Hakim bertanya kepada saya sebagai penanggung jawab majalah Pandji Masyarakat, maukah saya memuat tulisan Kipandjikusmin Ketika Hakim bertanya kepada saya sebagai penanggung jawab majalah Pandji Masyarakat, maukah saya memuat tulisan Kipandjikusmin

Entah karena tidak hadir atau karena tidak jujur Rangkuti mengambil konklusi sendiri sebab perkataan saya seperti demikian bahwa saya mengeluarkan Jassin dari lingkungan Islam (Hamka dalam Dahlan, 2004: 336).

Mencap H.B. Jassin murtad menurut Hamka adalah sebuah kesalahan besar. Pertama, dirinya tidak pernah memimpin majalah Kiblat sebagaimana ditudingkan oleh Bahrum Rangkuti. Kedua, sikap Hamka adalah tegas menyalahkan Kipandjikusmin dengan tulisannya "Langit Makin Mendung." H.B. Jassin adalah korban dari seorang penulis pengecut yang tidak bertanggung jawab. Hamka meminta agar Jassin dihukum seringan-ringannya atas kejadian ini. Berikut adalah petikan tulisan Hamka mengenai kesannya terhadap H.B. Jassin.

Di hadapan Hakim saya katakan dia adalah sahabat saya sejak 30 tahun. Dia saya kenal sebagai seorang Islam yang baik. Saya harap dia dibebaskan saja, moga-moga dengan dibawanya perkara ini ke pengadilan, saudara Jassin telah salah, moga-moga tidak terulang lagi karena kita di dunia ini tidaklah berhenti belajar. Kalau tak dapat bebas biarlah diberikan hukuman seringan-ringannya. Hakim menegur saya, mengatakan bahwa permohonan demikian belum waktunya saya kemukakan (Hamka dalam Dahlan, 2004: 338).

Hamka dan Jassin memang telah bersahabat dan saling mengenal sejak lama. Hamka adalah orang yang sangat dihormati Jassin dalam bidang agama. Begitu pula Jassin adalah orang pertama yang tampil kedepan ketika karya-karya Hamka difitnah sebagai jiplakan secara tidak mendasar. Mereka adalah dua sahabat yang saling menghormati dan menghargai pribadi masing-masing.

Dalam persidangan di pengadilan Jassin menolak untuk menyebut Buya Hamka dengan panggilan "saudara Hamka" seperti yang dianjurkan dalam suatu persidangan formal. Jassin berkata "Berat buat saya membahasakan beliau dengan

(sebutan) saudara Hamka sebab dalam hal agama bagaimanapun dia adalah guru saya." Demikian adanya Hamka dan Jassin adalah dua sahabat yang saling menghormati dan mencintai kebenaran. Hamka bersedia ditunjuk sebagai saksi ahli sebab merasa mencintai kebenaran sebagaimana Jassin membela kebenaran atas fitnah Lekra terhadap Hamka.

Selanjutnya mengenai permasalahan anthromorphism dan tasawuf mendalam, Rangkuti membela Kipandjikusmin dalam melukiskan Tuhan dengan definisi tasafuw mendalam (higher sufism) dan bahasa anthromorfism yang meminjam istilah Dr. Muhammad Iqbal. Hamka memastika bahwa hal tesebut adalah salah besar. Hal ini dikarenakan bahasa anthromorfism yang dituliskan oleh para sufi adalah berdasar rasa cintanya terhadap Tuhan, tidak seperti apa yang dituliskan oleh Kipandjikusmin dalam cerpen LMM.

Bahasa simbolik dalam tasawuf muncul dari perasaan cinta, yaitu rasa cinta si hamba kepada Tuhan-nya sehingga ia merasa bersatu dengan Tuhan. Meski demikian, seorang darwis masih saja meminta diberi maaf jika mereka terlanjur berkata demikian sebab mereka merasa sedang "mabuk kepayang" hingga tidak sadarkan diri yang dinamai sya-taat. Itulah yang menyebabkan mereka berkata "Amat suci aku. Alangkah besarnya keadaanku." (ucapan Abu Yazid Al-Bustami), atau "Sayalah Tuhan itu." (ucapan Al-Hallaj).

Apa yang dikatakan higher sufism itu menurut penyelidikan saya yang mungkin masih dangkal (berusaha merendah untuk menyindir-pen.) bukanlah menurunkan sifat Allah ke dalam sifat yang baru (mahluk) melainkan mempertinggi sifat diri sehingga mendekai sifat Allah (wihdatusy-syuhud) atau bersatu padu insan ke dalam Allah (wihdatul wujud). Inilah yang dirumuskan orang jawa dengan sebutan "Kawulo Gusti." (Hamka dalam Dahlan, 204: 344).

Menurut Hamka, menafsirkan Allah memakai kacamata walaupun kacamata itu terbuat dari emas bukanlah higher sufism karena berkacamata adalah tanda kurang penglihatan (rabun) atau hanya sebagai pelagak. Meski seorang ahli, Hamka dalam uraiannya tetap berusaha merendah. Padahal, Hamka adalah pakar ilmu agama. Ia adalah dosen mata kuliah Tasawuf di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogjakarta selama 5 tahun, 7 tahun di Universitas Negeri Islam Jakarta, dan 2 tahun di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ciputat.

Demikian polemik menjadi luas mencapai aspek-aspek di luar kesusastraan. Namun, semua pihak sepakat hal ini ditempuh guna memecahkan masalah untuk memperoleh keadilan demi kebenaran.