Cerpen "Langit Makin Mendung" sebagai Karya Fiksi

4.1 Cerpen "Langit Makin Mendung" sebagai Karya Fiksi

Fiksi dan nonfiksi dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria. Pada umumnya teks sastra ditandai dengan fiksionalitas atau rekaan (Luxemburg, 1995: 21). Beberapa faktor di bawah ini secara spesifik menunjukkan cerpen "Langit Makin Mendung" (LMM) sebagai sebuah karya fiksi.

Pertama, dalam teks sastra ada penanganan bahan yang khusus (Luxemburg, 1995: 21). Bagaimana sebuah kejadian, peristiwa, pengalaman, atau perasaan dituangkan dalam sebuah teks. Cerpen LMM karya Kipandjikusmin sebagai karya sastra memenuhi syarat sebagai teks yang memiliki penanganan secara khusus. Kenyataan diolah sedemikian rupa. Bagaimana penggambaran alam akhirat versi penulis dapat ditelusuri pada cerpen LMM. Sudut pandang pengarang tentang Orde Lama adalah sebuah penanganan yang khusus guna mengolah bahan-bahan kenyataan. Cara penanganan bahan dapat saja berbeda- beda, namun kemampuan pengamatan atas penggunaan bahasa yang khusus bergantung pada pengetahuan bahasa yang khusus pula.

Kedua, pada umumnya teks sastra ditandai dengan fiksionalitas atau rekaan (Luxemburg, 1995: 21). Kenyataan diolah sedemikian rupa. Penanganan bahan yang khusus memungkinkan karya sastra tidak sebangun dengan kenyataan objektif. Dalam cerpen LMM digambarkan latar mengenai kota Jakarta (stasiun Senen) pada saat itu. Namun demikian, kenyataan sastra tidak identik dengan kenyataan sebenarnya.

Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu, menyesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.

Di atas pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum. Kemesuman makin keras terbau di atas stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas atap-seng, sementara Jibrail membuat lingkaran manis di atas gerbong-gerbong kereta Daerah Planet.

Pelacur-pelacur dan sundal-sundal asik berdandan. Bedak-bedak penutup bopeng, gincu-gincu merah murahan dan pakaian-pakaian pengantin bermunculan.

Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta menghisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekali bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, hasil main akrobat di ranjang reot.

Di kamar lain, bandot tua asik main pompa di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan takacuh dihimpit, sibuk cari tuma dan nyanyi lagu Melayu.

Hansip-hansip repot mengontrol, cari uang rokok. (Kipandjikusmin dalam Jassin, 1970: 94-95).

Sudut pandang pengarang membangun fiksionalitas. Kadar fiksi bergantung pada cara pengolahan bahan yang khusus oleh pengarang. Pengetahuan pembaca pada akhirnya berperan besar dalam pemaknaan fiksi. Walau demikian, secara umum ada pula teks sastra yang bukan rekaan.

Ketiga, dengan mengungkapkan hal yang khusus, sastra dapat memberikan wawasan yang lebih umum (Luxemburg, 1995: 21). Baik tentang hal yang Ketiga, dengan mengungkapkan hal yang khusus, sastra dapat memberikan wawasan yang lebih umum (Luxemburg, 1995: 21). Baik tentang hal yang

Pelacur-pelacur kota Jakarta Naikkan taripmu dua kali dan mereka akan kelabakan mogoklah satu bulan dan mereka akan puyeng lalu mereka akan berzina dengan istri saudaranya. (Kipandjikusmin dalam Jassin, 1970: 95).

Hanya dengan menggambarkan hal yang khusus seperti di atas, pembaca dapat menginterpretasi pelataran sosial yang lebih luas. Hanya dengan penggambaran hal yang khusus seperti di atas, pengarang berusaha menggambarkan betapa bobroknya keadaan pelataran sosial saat itu pada umunya.

Keempat, melalui penanganan bahan secara khusus, melalui fiksionalitas, dan melalui gambaran hubungan antara yang khusus dan yang umum, pembaca dimungkinkan menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri (Luxemburg, 1995: 21). Teks sastra mencakup banyak hal secara implisit, mempunyai banyak tempat terbuka dan dapat dibaca dari berbagai tataran. Pembaca dalam sudut pandang semiotika mendapat peranan yang lebih dominan dalam menentukan makna. Mari kita lihat bagian cerpen LMM di bawah ini.

Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan-nabi di sorgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan- pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.

- Refresing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu ; beratus tahun tanpa henti.

Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, takhabis pikir pada ketidak-puasan di benak manusia …. Dipanggilah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad s.a.w. (Kipandjikusmin dalam Jassin, 1970: 87).

Paragraf pertama LMM menggambarkan para nabi sebagai orang-orang yang merasa bosan tinggal di surga dan memohon turun ke bawah (turba) ke bumi yang konon makin ramai. Cerpen LMM menggambarkan nabi menurut sudut pandang pengarang sebagaimana fiksi dibangun dengan cara penanganan yang khusus. Digambarkan pula bahwa para nabi telah bosan dan pegal memuji kebesaran Tuhan. Pada paragraf ketiga, Tuhan agama Islam digambarkan dalam cerpen LMM sebagai makhluk yang memiliki kepala. Hal ini memungkinkan timbulnya ketegangan antara maksud pengarang dan penafsiran pembaca. Penafsiran pembaca ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, dan latar belakang pembaca.

Kelima, dalam setiap karya sastra ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi (Luxemburg, 1995: 21). Keenam, teks sastra kebanyakan tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis (Luxemburg, 1995: 21). Menurut jenis teks, sastra cenderung dilihat sebagai salah satu fungsi perpaduan beberapa fungsi teks. Sastra dapat berfungsi memberikan kesantaian atau kesenangan. Sifat kesenangan bisa bermacam-macam. Kadang benar-benar terjadi pelepasan ketegangan misalnya justru dengan ketegangan diperoleh kenikmatan estetik yang aktif, yaitu apresiasi teks karena didapat kesenangan dalam mengikuti liku-liku dan kesemauan dalam teks. Dapat juga terjadi identifikasi, yaitu pelibatan pribadi dengan apa yang dikisahkan. Indentifikasi dapat didorong oleh sifat fiksionalitas teks. Fungsi lain dari teks sastra ialah manfaat yang diperoleh Kelima, dalam setiap karya sastra ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi (Luxemburg, 1995: 21). Keenam, teks sastra kebanyakan tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis (Luxemburg, 1995: 21). Menurut jenis teks, sastra cenderung dilihat sebagai salah satu fungsi perpaduan beberapa fungsi teks. Sastra dapat berfungsi memberikan kesantaian atau kesenangan. Sifat kesenangan bisa bermacam-macam. Kadang benar-benar terjadi pelepasan ketegangan misalnya justru dengan ketegangan diperoleh kenikmatan estetik yang aktif, yaitu apresiasi teks karena didapat kesenangan dalam mengikuti liku-liku dan kesemauan dalam teks. Dapat juga terjadi identifikasi, yaitu pelibatan pribadi dengan apa yang dikisahkan. Indentifikasi dapat didorong oleh sifat fiksionalitas teks. Fungsi lain dari teks sastra ialah manfaat yang diperoleh