2007 Heboh Sastra 1968 Kontroversi Cerp

HEBOH SASTRA 1968: KONTROVERSI CERPEN "LANGIT MAKIN MENDUNG" KARYA KIPANDJIKUSMIN (Sebuah Telaah Estetika Resepsi) SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi persyaratan akademik program Strata Satu Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran

Oleh Indra Sarathan HIA03032

SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN

2007

ABSTRAK

Skripsi ini membahas satu di antara peristiwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia yang dikenal sebagai peristiwa heboh sastra 1968. Peristiwa heboh sastra 1968 berpangkal pada kontroversi sebuah cerpen yang berjudul "Langit Makin Mendung" (1968) karya Kipandjikusmin. Guna mengetahui peristiwa heboh sastra 1968, ditelitilah tanggapan-tanggapan pembaca mengenai cerpen tersebut, dengan berpijak pada teori estetika resepsi. Dengan kerangka teori estetika resepsi Hans Robert Jauss, penelitian ini menempatkan karya sastra pada konteks sosial budaya, merunut kembali semangat zaman, horison harapan pembaca, dan konvensi sastra berdasar kurun waktu. Dari hasil analisis tanggapan-tanggapan pembaca dapatlah diketahui seluk-beluk permasalahan yang memicu peristiwa heboh sastra 1968. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjadi satu di antara model alternatif penulisan sejarah kesusastraan Indonesia.

ABSTRACT

This research focused to the one of event in history of Indonesian literature which known as incident of art 1968. The incident of art 1968 is about controversy of a short story "Langit Makin Mendung" (1968) by Kipandjikusmin. Utilize, to reconstruct this event of art by study the readers response of concerning the short story by tread on theory of aestheticreception. With the framework of theory aestheticreception of Hans Robert Jauss, this research place the belleslettres at cultural social context, return the epoch spirit, horison of expectation reader, and art convention based on range of time. From result the analyse knowable reader response indepth problems triggering the event incident of art 1968. With as the result this reseach that enable to make the alternative of Indonesian literature historiography.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang telah memberikan kekuatan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Heboh Sastra 1968: Kontroversi Cerpen "Langit Makin Mendung" Karya Kipandjikusmin ini diajukan untuk dipertahankan dalam ujian Sidang Sarjana Strata Satu di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Dekan Fakultas Sastra, Dr. Dadang Suganda, M.Hum.

2. Ketua Jurusan Sastra Indonesia sementara, M. Irfan Hidayatullah, M.Hum.

3. dosen pembimbing utama, Abdul Hamid, Drs.

4. dosen pembimbing pendamping, R. Yudi Permadi, M.Pd.

5. dosen pembimbing pengganti, Kusman K. Mahmud, S.U.

6. dosen wali, Ibu Lina Meilinawati, M.Hum.

7. para pejuang angkatan 2003,

8. Papap yang membiayai semua pendidikanku, dan

9. terutama Mamah yang telah memberi kasih dan sayang yang takterhingga, mangrebu nuhun ka sadayana.

Skripsi ini adalah hasil karya penulis sendiri. Penulis bertanggung jawab penuh atas isi skripsi ini. Semoga bermanfaat.

Sumedang, November 2007

Penulis

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Artikel "Manifes Tidak Mati" di majalah Sastra No.1 Tahun IV, 1964 diblok-tutup (lihat gambar bagian yang dhitamkan) karena Presiden Soekarno telah melarang "Manifes Kebudayaan" pada 8 Mei 1964............................................. 42

Gambar 3.2 Karikatur olok-olok terhadap "Manifes Kebudayaan" yang digambarkan sebagai orang yang selalu memakai kacamata yang dituntun oleh kepentingan Amerika yang digambarkan sebagai Mr. Jones yang menyeramkan dan berbahaya, dimuat Bintang Timur, 12 Mei 1964.................................................... 51

Gambar 3.3 Karikatur olok-olok terhadap "Manifes kebudayaan" dan majalah Sastra (H.B. Jassin) yang digambarkan sebagai dua ekor tikus yang selalu memakai kacamata, dimuat Warta Bhakti, 27 Februari 1964 ...................................... 53

Gambar 3.4 Mohammad Dipenogoro (M. Dipo) salah seorang pengarang muslim (Muhammadiyah) yang produktif menulis cerpen, novel, dan drama. Dramanya yang berjudul Iblis menjadi populer di tahun 60-an dan takjarang mendapat kritik dan kecaman kerena mementaskan sosok Nabi Ibrahim dan Ismail di atas pentas ...... 62

Gambar 3.5 Gerakan 30 September, Letkol Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa menyelamatkan Presiden dan Republik Indonesia dari Dewan Jendral yang disokong Amerika. Karikatur versi Partai Komunis Indonesia, Harian Rakyat, 2 Oktober 1965 .................................................................................... 72

Gambar 4.1 Goenawan Mohamad yang selalu berusaha menilai masalah dengan tanpa keberpihakan (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999) .............................. 85

Gambar 4.2 Bur Rasuanto wartawan Harian KAMI salah seorang penanda tangan "Manifes Kebudayaan" (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999) ........................ 93

Gambar 4.3 H.B. Jassin berkacamata adalah seorang yang berpendirian teguh yang banyak ditampilkan dalam karikatur olok-olok versi Lekra sebagai pihak yang dekat dengan Amerika (Sumber: Moeljanto, Prahara Budaya, 1999) ................ 122

Gambar 4.4 Bagan spektrum sastra Robert Scholes ..................................................... 128

Gambar 4.5 Tabel perbandingan genre, latar, dan oposisi subjek-objek ...................... 130

"Supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian dari kita, dan boleh diingatkannya oleh segala mereka itu, syahdan adalah beroleh faidah

daripadanya."

–Tun Seri Lanang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hakikat dan fungsi karya sastra adalah dulce et utile ‘menyenangkan dan berguna’, demikian menurut Horatius. Fungsi sastra bukan saja sekadar memberikan hiburan. Tujuan penyair ialah berguna sekaligus mengatakan hal-hal yang berfaidah untuk kehidupan.

Karya sastra sebagai wacana ambigu terbuka bagi banyak penafsiran. Membaca dalam arti ini adalah proses nominasi, pencarian makna yang berfaidah untuk kehidupan. Namun, membaca menjadi sebuah kegiatan pencarian makna yang mengundang ketidakpastian karena karya sastra sebagai wacana yang ambigu. Pemerolehan makna atas karya sastra, menurut Pradopo (1995: 141), baru tercapai jika karya sastra tersebut dipahami dan dinilai secara utuh berdasarkan pemahaman tempat dan fungsi unsur-unsur dalam keseluruhan teks.

Di sini pembaca menjadi penentu dalam model semiotik sebab pembaca berperan sebagai pemberi makna karya sastra. Tiap pembaca dapat berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Menurut Hans Robert Jauss (dalam Pradopo, 1995: 207), hal ini disebabkan tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca karya sastra. Dengan arti lain, pembaca mempunyai Di sini pembaca menjadi penentu dalam model semiotik sebab pembaca berperan sebagai pemberi makna karya sastra. Tiap pembaca dapat berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Menurut Hans Robert Jauss (dalam Pradopo, 1995: 207), hal ini disebabkan tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca karya sastra. Dengan arti lain, pembaca mempunyai

Ketidaksesuaian horison harapan pembaca dengan karya sastra dapat menimbulkan perbedaan. Perbedaan ini dalam skala tertentu dapat menimbulkan kontroversi dalam arti menimbulkan pertentangan yang melibatkan banyak orang dan banyak pihak. Hal ini dimungkinkan jika karya sastra tersebut dibaca oleh banyak orang dari berbagai kalangan.

Cerita pendek "Langit Makin Mendung" (LMM) karya Kipandjikusmin yang dimuat majalah Sastra edisi Agustus 1968 telah menimbulkan kontroversi. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang terbit dan menarik kembali majalah tersebut karena dianggap menghina agama Islam.

Pembaca khusus segera bereaksi. Di Medan, Sori Siregar, dkk. membuat pernyataan protes atas tindakan sepihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Di Jakarta, Umar Kayam, Taufiq Ismail, Trisno Sumardjo; Ketua Dewan Kesenian Jakarta saat itu, D. Djajakusuma, dan Slamet Soekirnanto ikut menandatangani pernyataan protes atas diberangusnya majalah Sastra. Nama Kipandjikusmin segera menjadi bahan perbincangan banyak kalangan hingga disangkutpautkan dengan semangat neokomunisme sebagai akronim "Kibarkan pandji-pandji komunis internasional".

H.B. Jassin selaku pemimpin redaksi majalah Sastra diseret ke pengadilan. Di pengadilan H.B. Jassin bersikeras tidak mengungkapkan identitas

Kipandjikusmin dengan berpegang pada UU Pers 1966: Bila sang pengarang tidak membuka identitasnya, redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya. Di pengadilan H.B Jassin mengaku hanya berhubungan dengan Kipandjikusmin lewat surat. Ia hanya mengungkapkan sang pengarang berprofesi sebagai pelaut karena alamatnya selalu berpindah-pindah. Spekulasi pun bermunculan, bahkan ada yang menuding H.B. Jassin sendirilah sang Kipandjikusmin.

Kipandjikusmin sendiri tidak tinggal diam. Pengarang misterius ini lewat kolom redaksi Harian KAMI tanggal 24 Oktober 1968 mengeluarkan pernyataan mencabut cerpennya dan memohon maaf, serta menganggap cerpennya tidak pernah ada.

"Sebermula sekali bukan maksud saya menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi s.a.w, sorga, dan lain-lain; di samping menertawakan kebodohan di masa regim Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya ke dalam bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam." (Kipandjikusmin dalam Jassin, 1970: 47).

Di tengah polemik, sebagian orang berpendapat bahwa cerpen LMM hanyalah sindiran terhadap kebobrokan zaman Nasakom, seperti yang diungkapkan S. Tasrif, S.H. dalam artikelnya yang berjudul "Sekitar Majalah Sastra" (dalam Dahlan, 2004: 158). Ia menyatakan bahwa meski mungkin bukan cerita pendek yang baik dari segi sastra, cerita itu adalah satire yang mengkritik kebobrokan masyarakat dan bukan menghina agama Islam atau Nabi Muhammad Saw.

Kontroversi cerpen LMM tidak menjadi surut meski majalah yang memuat Kontroversi cerpen LMM tidak menjadi surut meski majalah yang memuat

Kemunculan cerpen LMM menjadi pemantik yang melahirkan polemik yang berkepanjangan. Polemik berlangsung hampir tiga tahun, dari 1968 hingga 1970, melahirkan puluhan tanggapan di media massa. Polemik pun melibatkan nama-nama besar seperti Wiratmo Soekito, A.A. Navis, Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Bahrum Rangkuti hingga Buya Hamka. Polemik menyentuh banyak aspek mulai dari perdebatan kualitas sastra, hukum, politik, hingga agama. Polemik pun melibatkan seorang penulis dari Malaysia yang membela H.B. Jassin. Peristiwa itu disebut oleh H.B. Jassin sendiri sebagai peristiwa "heboh sastra 1968."

H.B. Jassin sebagai kritikus sastra yang disegani pada saat itu dalam pembelaannya terhadap peristiwa heboh sastra lebih menitikberatkan pada sifat karya sastra yang tidak dapat disamakan dengan bacaan nonsastra. H.B. Jassin pun mempertanyakan pembaca yang kurang dewasa dalam menyikapi bacaan sastra. Hal ini diungkapkan H.B. Jassin dalam bukunya Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab yang terbit pada tahun 1970 yang sempat dicekal karena melampirkan cerpen LMM di akhir halamannya. Memang pada dasarnya tidak dapat dikelompokkan mana pihak yang benar dan mana yang salah karena semua hal yang melingkupi peristiwa heboh sastra telah menjadi sebuah paradoks dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia.

Sebagian orang menilai bahwa cerpen LMM telah menghina Tuhan, Nabi Muhammad Saw., dan agama Islam karena kebebasan mencipta takberarti orang bebas menyiarkan pikiran dan tulisan sekenanya apalagi jika menyentuh aspek yang sudah nyata-nyata dilarang dalam ajaran agama Islam seperti menggambarkan Tuhan dan Nabi Muhammad Saw. Menggambarkan Tuhan dan Rasul adalah haram. Cerpen LMM dianggap lancang dan vulgar dengan melukiskan Tuhan dan Nabi Muhammad Saw. tidak dalam proporsinya.

Lama 2 mereka bosan djuga dengan status pensiunan-nabi di sorgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan 2

diberi tjuti bergilir turba ke bumi, jang konon makin ramai sadja. - Refresing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan djustru siksaan bagi manusia yang biasa berdjuang. Kami bukan malaikat atau burung

perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal 2 kedjang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti.

Membatja petisi para nabi, Tuhan terpaksa meng-geleng 2 kan kepala, tak habis pikir pada ketidak-puasan di benak manusia ….

Dipanggilah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnja Muhammad s.a.w. (Kipandjikusmin dalam Jassin, 1970: 87).

Paragraf pertama cerpen LMM menggambarkan para nabi sebagai orang yang merasa bosan tinggal di sorga dan memohon turun ke bawah, ke bumi yang konon makin ramai. Jelas, dalam hal ini cerpen LMM menggambarkan para nabi tidak dalam proporsinya. Pada paragraf kedua cerpen LMM, malaikat disejajarkan dengan burung perkutut. Di sini digambarkan pula bahwa para nabi telah bosan dan pegal memuji kebesaran Tuhan. Takcukup sampai di situ, pada paragraf ketiga, Tuhan agama Islam digambarkan dalam cerpen LMM sebagai makhluk yang memiliki kepala. Bukankah dalam ajaran agama Islam sifat Tuhan berbeda dengan makhluk-Nya seperti yang ditegaskan oleh Ajip Rosidi dalam tanggapannya yang berjudul "Jassin Cari Mujtahid Ketemu Gambar Buraq"

(dalam majalah Horison, 5 Mei 1969). Permasalahan di atas adalah bagian kecil dari apa yang dipermasalahkan pada cerpen LMM yang dituduh telah menghina agama Islam. H.B. Jassin menganggap tuduhan itu terlampau berlebihan sebab cerpen LMM bagi H.B. Jassin taklebih dari sindiran yang mengkritik kebobrokan masyarakat.

Sepasang elang terbang di udara sendja Djakarta jang berdebu, menjesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.

Di atas pasar Senen tertjium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum. Kemesuman makin keras terbau di atas stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas atap-seng, sementara Djibrail membuat lingkaran

manis di atas gerbong 2 kereta Daerah Planet.

2 2 Pelatjur 2 dan sundal asjik berdandan. Bedak penutup bopeng,

2 gintju 2 merah murahan dan pakaian pengantin bermuntjulan. Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang – lagi

palang merah – kena radja singa. Kemaluannja penuh borok, lalat 2 pesta menghisap nanah. Sendja terkapar menurun, diganti malam bertebar

bintang di sela 2 awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, tjutji lendir. Menjusul perempuan gemuk penuh panu di

punggung, kentjing dan tjebok. Sekali bau tjengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, hasil main akrobat di randjang reot.

Di kamar lain, bandot tua asjik main pompa di atas perut perempuan muda 15 tahun. Siperempuan tak atjuh dihimpit, sibuk tjari tuma dan njanji lagu Melayu.

Hansip 2 repot mengontrol, jari uang rokok. (Kipandjikusmin dalam Jassin, 1970: 94-95).

Begitulah salah satu gambaran yang dilukiskan dalam cerpen LMM tentang bobroknya bangsa Indonesia. Kipandjikusmin pun banyak menyinggung persoalan politik Soekarno tentang nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) sebagai racun yang memabukkan bangsa Indonesia. Kipandjikusmin mencoba melukiskan gambaran kritis Orde Lama zaman Soekarno (1945-1965). Namun, jika dilihat dari tahun terbit cerpen LMM (1968) hal ini menjadi tidak istimewa sebab semangat zaman telah banyak berubah.

Wiratmo Soekito dalam artikelnya "Soal Majalah Sastra" yang dimuat Harian KAMI, 16 Oktober 1968, menyatakan bahwa cerpen LMM itu jelek dan merupakan kitsch yaitu karya sastra yang bermutu rendah karena karya tersebut hanya dimaksudkan untuk memuaskan cita rasa orang banyak; seni semu; seni yang murahan; picisan yang seringkali hanya ingin menonjolkan kekayaan pengetahuan si penulis yang disebut Umberto Eco sebagai dusta struktural.

Senada dengan Wiratmo Soekito, Bur Rasuanto wartawan Harian KAMI dalam arikelnya "Larangan Beredar Majalah Sastra" yang dimuat mingguan Angkatan Bersenjata, Oktober 1968, dengan tegas menyatakan bahwa cerpen LMM tidak menghina Tuhan dan Nabi Muhammad. Walau demikian, ia mengakui bahwa Kipandjikusmin sebenarnya tidak lebih dari mengumpulkan guntingan-guntingan berita surat kabar dan menyulamnya menjadi sebuah cerita pendek.

Kipandjikusmin pun menyulamkan penggalan puisi Rendra yang berjudul "Besatulah Pelatjur 2 Kota Djakarta" dalam cerpen LMM

- Sundal! 2 diperlukan di negeri ini, ja Rasul. - Astaga! Sudahkah iblis menguasai dirimu Djibrail!

- Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan hadir sebuah sajak, begini bunyinya:

Pelatjur 2 kota Djakarta Naikkan taripmu dua kali

dan mereka akan kelabakan mogoklah satu bulan dan mereka akan pujeng lalu mereka akan berjina dengan istri saudaranya

(Kipandjikusmin dalam Jassin, 1970: 95).

sehingga sempatlah sebagian orang menyangka W.S. Rendra-lah sang Kipandjikusmin. Namun, jika kita cermati, puisi Rendra tersebut telah terbit pada sehingga sempatlah sebagian orang menyangka W.S. Rendra-lah sang Kipandjikusmin. Namun, jika kita cermati, puisi Rendra tersebut telah terbit pada

Terlepas dari disengaja atau tidaknya pengarang cerpen LMM berniat menghina agama, sebagian orang lebih percaya bahwa Kipandjikusmin yang misterius itu taklebih dari seorang penulis muda yang masih belajar mencari formula kepengarangannya dan terlepas dari latar belakang Kipandjikusmin yang samar –yang kemudian diketahui sebagai nama samaran milik Sudihartono (dalam Denis Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II, 2005: 353). Penelitian ini lebih menitikberatkan bagaimana tanggapan pembaca mengenai teks cerpen LMM yang telah memungkinkan terjadinya kontroversi yang berlaut-larut yang kemudian dikenal sebagai peristiwa heboh sastra 1968.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis merumuskan judul penelitian ini sebagai berikut: Heboh Sastra 1968: Kontroversi Cerpen "Langit Makin Mendung" Karya Kipandjikusmin (Sebuah Telaah Estetika Resepsi Model Robert Jauss).

1.2 Pembatasan Masalah

Sebagai objek penelitian, cerpen LMM memiliki banyak kandungan masalah yang dapat diteliti baik unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Walau demikian, suatu karya sastra memiliki "keinginan tersendiri" untuk diteliti maka pada kesempatan kali ini peneliti hanya memfokuskan kajian pada masalah Sebagai objek penelitian, cerpen LMM memiliki banyak kandungan masalah yang dapat diteliti baik unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Walau demikian, suatu karya sastra memiliki "keinginan tersendiri" untuk diteliti maka pada kesempatan kali ini peneliti hanya memfokuskan kajian pada masalah

1. Bagaimana peristiwa heboh sastra 1968 bermula?

2. Bagaimana tanggapan pembaca terhadap cerpen "Langit Makin Mendung"?

3. Bagaimana kontroversi teks cerpen "Langit Makin Mendung"

4. Bagaimana peristiwa heboh sastra 1968 dapat menjadi sebuah polemik?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Mendeskripsikan latar belakang peristiwa heboh sastra 1968 bermula.

2. Mendeskripsikan tanggapan pembaca terhadap cerpen LMM

3. Mengetahui kontroversi teks cerpen "Langit Makin Mendung".

4. Merekonstruksi peristiwa heboh sastra 1968.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mendeskripsikan salah satu peristiwa sejarah kesusastraan Indonesia yang dikenal sebagai peristiwa heboh sastra 1968. Pokok permasalahannya adalah sebuah cerita pendek yang dimuat majalah Sastra edisi Agustus 1968 yang berjudul "Langit Makin Mendung" karya Kipandjikusmin. Hal ini diteliti untuk mengetahui kontroversi teks cerpen LMM guna menghindari hal serupa agar tidak terjadi lagi dikemudian hari.

1.5 Metode dan Teknik Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode estetika resepsi dengan menitikberatkan penerimaan sastra pada pembaca. Guna Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode estetika resepsi dengan menitikberatkan penerimaan sastra pada pembaca. Guna

1.6 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerita pendek "Langit Makin Mendung" yang dimuat majalah Sastra edisi Agustus 1968. Namun, majalah Sastra edisi Agustus 1968 ditarik dari peredarannya sebab dengan dimuatnya cerpen LMM pada majalah tersebut dianggap telah menodai agama. Penulis sampai saat ini belum mendapatkan data primer tersebut. Sementara, digunakan lampiran cerpen LMM sebagai data sekunder via H.B. Jasssin dalam bukunya Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab yang terbit pertamakali pada tahun 1970 sebagai pertanggungjawaban H.B. Jassin selaku pemimpin redaksi tentang dimuatnya cerpen LMM pada majalah Sastra yang ia pimpin.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Sastra dan Karya Fiksi

Guna mengenal sastra sebagai karya fiksi perlu diketahui terlebih dahulu apa itu sastra. Setiap definisi sastra terikat pada waktu dan budaya karena sastra adalah hasil kebudayaan (Luxemburg, 1995: 21). Walau demikian, dapat dikelompokkan beberapa faktor yang menyebabkan suatu teks disebut sastra.

Pertama, dalam teks sastra ada penanganan bahan yang khusus (Luxemburg, 1995: 21), yaitu bagaimana sebuah kejadian, peristiwa, pengalaman, atau perasaan dituangkan dalam sebuah puisi, prosa maupun drama. Cara penanganan bahan dapat berbeda-beda. Kemampuan pengamatan atas penggunaan bahasa yang khusus bergantung pada pengetahuan bahasa yang khusus serta pengalaman sastra si pembaca. Kedua, pada umumnya teks sastra ditandai dengan fiksionalitas atau rekaan. Namun, ada pula teks sastra yang bukan rekaan (Luxemburg, 1995: 21). Ketiga, dengan mengungkapkan hal yang khusus, sastra dapat memberikan wawasan yang lebih umum (Luxemburg, 1995: 21) baik tentang hal yang manusiawi, sosial, maupun intelektual yang hanya digambarkan dengan peristiwa tertentu saja. Keempat, melalui penanganan bahan secara khusus, melalui fiksionalitas, dan melalui gambaran hubungan antara yang khusus

dan yang umum, pembaca dimungkinkan menginterpretasi teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri (Luxemburg, 1995: 21). Teks mencakup banyak hal secara implisit, mempunyai banyak tempat terbuka (open places), dan dapat dibaca dari berbagai tataran. Kelima, dalam setiap karya sastra ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi (Luxemburg, 1995: 21). Seringkali dalam tegangan antara konvensi dan inovasi ada tuntutan mengenai originalitas dalam bentuk isi, sekaligus sifat kesastraan sangat bergantung pada konvensi tertentu. Keenam, teks sastra kebanyakan tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis (Luxemburg, 1995: 21). Menurut jenis teks, sastra cenderung dilihat sebagai salah satu atau perpaduan fungsi teks di bawah ini.

Sastra dapat berfungsi memberi kesantaian atau kesenangan; sifat kesenangan bisa bermacam-macam. Kadang benar-benar terjadi pelepasan ketegangan (misalnya justru dengan ketegangan ), adakalanya diperoleh kenikmatan estetik yang aktif, yaitu apresiasi teks karena didapat kesenangan dalam mengikuti liku-liku dan kesemauan dalam teks. Dapat juga tejadi identifikasi, yaitu pelibatan pribadi dengan apa yang dikisahkan. Indentifikasi dapat didorong oleh sifat fiksionalitas teks.

Fungsi lain ialah manfaat yang diperoleh secara tak langsung Baik itu pendewasaan batin, atau informasi yang dikandung teks sastra (Luxemburg, 1995: 21-22).

2.1. Kekhususan Cerita Pendek

Jika sastra Indonesia modern dibuka dengan sajak dan roman pada tahun 1920-an, cerita pendek (cerpen) muncul 15 tahun kemudian. Di Indonesia cerpen muncul setelah bentuk roman atau novel berkembang (Sumardjo, 1980: 12). Sebagai genre yang dikenal kemudian –jika dibandingkan dengan puisi dan novel dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia modern- cerpen menunjukkan perkembangan yang pesat. Hal ini dimungkinkan karena cerpen Jika sastra Indonesia modern dibuka dengan sajak dan roman pada tahun 1920-an, cerita pendek (cerpen) muncul 15 tahun kemudian. Di Indonesia cerpen muncul setelah bentuk roman atau novel berkembang (Sumardjo, 1980: 12). Sebagai genre yang dikenal kemudian –jika dibandingkan dengan puisi dan novel dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia modern- cerpen menunjukkan perkembangan yang pesat. Hal ini dimungkinkan karena cerpen

Ciri cerpen adalah sifat naratifnya atau sifat ceritanya. Cerpen bukan argumentasi atau analisis atau deskripsi belaka, bukan pula sebuah sketsa berita, atau kisah perjalanan yang juga mempunyai sifat naratif berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada dan terjadi. Cerpen adalah fiksi yang berarti ciptaan rekaan yang bersifat fiktif (Sumardjo, 1980: 13). Sifat kekiniannya yang lebih menampakkan pada persoalan aktual di dalam masyarakat, menjadikan cerpen mudah menemukan pembacanya secara massal. Di samping itu, perkembangan media massa sangat berperan dalam perkembangan cerpen Indonesia.

Cerpen sebagai salah satu genre karya sastra dapat dipandang sebagai sebuah struktur. Teori strukturalisme mengelompokkan struktur pembangun cerita pendek sebagai satu kesatuan. Guna memudahkan pengelempokkan maka dapatlah dipilah struktur pembangun cerita pendek sebagai berikut.

Pertama, tokoh atau character, menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995: 165), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang memiliki kualitas moral dan berkecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Bila dilihat dari segi peranan atau dari tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga ia terasa mendominasi sebagian besar cerita dan sebaliknya ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu pun bisa dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama Pertama, tokoh atau character, menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995: 165), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang memiliki kualitas moral dan berkecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Bila dilihat dari segi peranan atau dari tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga ia terasa mendominasi sebagian besar cerita dan sebaliknya ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu pun bisa dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama

Tokoh dalam cerita jika dilihat berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan kedalam dua kriteria: (1) tokoh sederhana, dan (2) tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu atau satu sifat dan watak tertentu, sedangkan tokoh bulat merupakan tokoh yang memiliki berbagai kemungkinan sisi kehidupan, sisi kepribadian, dan jati diri. Atau, jika dilihat berdasarkan tingkat perkembangan kepribadiannya, tokoh dapat dibedakan ke dalam (1) tokoh statis dan (2) tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang pada hakikatnya tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, sedangkan tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa yang dikisahkan.

Teknik pelukisan tokoh dalam suatu cerita secara garis besar berupa penggambaran sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan hal lain yang berhubungan dengan jatidiri tokoh. Teknik pelukisan tokoh dapat dibagi ke dalam dua cara yaitu (1) teknik ekspositori (analitis) dan (2) teknik dramatik. Pelukisan tokoh dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung disebut teknik analitis, sedangkan teknik dramatik mirip dengan apa yang ditampilkan pada drama yaitu penggambaran secara tidak langsung.

Kedua, sudut pandang atau point of view merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton (dalam Nurgiantoro, 1995: 246) digolongkan sebagai sarana Kedua, sudut pandang atau point of view merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton (dalam Nurgiantoro, 1995: 246) digolongkan sebagai sarana

Ketiga, plot atau alur menurut Stanton (dalam Nurgiantoro, 1995: 110), adalah cerita yang berisi urutan kejadian yang mengandung hubungan kausalitas atau yang memiliki hubungan sebab akibat. Plot adalah peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang bisa tidak sederhana karena merupakan hubungan sebab akibat.

Keempat, latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 1995: 216). Latar bersama dengan tokoh dan plot dikelompokkan ke dalam fakta cerita, sebab ketiga hal inilah yang dihadapi dan diimajinasikan oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Adapun unsur-unsur latar itu dapat dibedakan ke dalam unsur pokok yaitu (1) latar tempat, (2) latar waktu, dan (3) latar sosial.

Kelima, struktur lain pembangun karya sastra adalah gaya bahasa (style). Style secara etomologi diturunkan dari bahasa Latin stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan memengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, style berubah Kelima, struktur lain pembangun karya sastra adalah gaya bahasa (style). Style secara etomologi diturunkan dari bahasa Latin stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan memengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, style berubah

Pada zaman Yunani dikenal dua aliran gaya bahasa yaitu (1) aliran Platonik dan (2) aliran Aristoteles. Aliran Platonik beranggapan bahwa gaya bahasa tidak terdapat pada setiap ungkapan, sedangkan aliran Aristoteles menganggap bahwa gaya bahasa adalah suatu kualitas yang inheren yang ada dalam tiap ungkapan sebab semua karya memiliki gaya, tetapi ada yang tinggi ada yang rendah dan ada yang kuat ada yang lemah sesuai dengan kadarnya masing- masing.

Dewasa ini gaya bahasa atau style telah menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadirkan situasi tertentu. Persoalan gaya bahasa telah meliputi semua hierarki kebahasaan mulai dari pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan.

Style secara umum dapat dikatakan sebagai cara mengungkapkan diri sendiri baik itu dengan tingkah laku, berpakaian, berbahasa dan sebagainya. Dilihat dari segi bahasa, maka gaya bahasa adalah cara bahasa itu sendiri "dibahasakan". Lebih lanjut, gaya bahasa memungkinkan kita untuk menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang menggunakan bahasa tersebut. Semakin baik bahasanya, semakin baik juga penilaian orang terhadapnya dan sebaliknya, semakin buruk gaya bahasa seseorang semakin buruk pula penilaian diberikan kepadanya.

Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis sebagai pemakai bahasa tersebut.

Keenam, struktur lain pembangun karya sastra adalah tema. Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita atau makna khusus yang mendominasi cerita (Stanton dalam Nurgiantoro, 1995:66). Jika terdapat tema-tema lain di dalam satu cerita, dapat dikatakan bahwa hal tersebut termasuk tema tambahan atau subtema.

Pada akhirnya, secara keseluruhan, struktur pembangun cerpen tidak ada bedanya dengan genre sastra yang lainnya (novel). Namun, kekhususan cerpen adalah keterbatasan ruang dalam mengolah struktur pembangun karya di atas sebab cerpen adalah kisahan pendek yang memberikan kesan tunggal yang dominan yang umumnya memusatkan diri pada satu tokoh di dalam suatu situasi pada suatu ketika.

2.3 Estetika Resepsi

Dalam tradisi sastra Barat, tujuan penyair adalah berguna untuk memberi nikmat atau mengatakan hal-hal yang enak dan berfaidah untuk kehidupan, demikian menurut Horatius dalam Ars Poetica yang ditulisnya pada tahun 14 sebelum Masehi. Horatius dalam bahasa aslinya menggunakan kata utile dan dulce bersama-sama bagi tujuan penyair atau efek puitis yang mungkin atau harus dihasilkan: menggabungkan yang bermanfaat dengan yang enak (Teeuw, 1984: 152). Hal ini tidak hanya berlaku dalam tradisi sastra dan teori sastra Barat, tetapi Dalam tradisi sastra Barat, tujuan penyair adalah berguna untuk memberi nikmat atau mengatakan hal-hal yang enak dan berfaidah untuk kehidupan, demikian menurut Horatius dalam Ars Poetica yang ditulisnya pada tahun 14 sebelum Masehi. Horatius dalam bahasa aslinya menggunakan kata utile dan dulce bersama-sama bagi tujuan penyair atau efek puitis yang mungkin atau harus dihasilkan: menggabungkan yang bermanfaat dengan yang enak (Teeuw, 1984: 152). Hal ini tidak hanya berlaku dalam tradisi sastra dan teori sastra Barat, tetapi

Dalam tradisi sastra Indonesia belum diketahui bagaimana pandangan tradisional di Indonesia terhadap fungsi sastra secara eksplisit teoretis, tetapi secara implisit dari berbagai karya sastra sendiri dapat dikatakan bahwa kedua aspek utile dan dulce bagi sastra Indonesia juga cukup esensial, dengan mungkin sekali aspek moralitas yang biasanya didahulukan (Teeuw, 1984: 152). Sebagai salah satu di antara banyak contoh berikut kutipan arahan Sultan Malaka kepada Tun Seri Lanang ketika diperintahkan menulis kembali Naskah dari Goa: "Supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian dari kita, dan boleh diingatnya oleh segala mereka itu, syahdan adalah beroleh faidah daripadanya." (Sejarah Melayu, 1952: 1). Hal ini menggambarkan bahwa tidak hanya keindahan karya yang dianggap penting tetapi juga fungsi karya guna menyampaikan hal-hal berguna.

Dalam tradisi sastra Barat penekanan fungsi sastra untuk memengaruhi pembaca mengakibatkan pembauran antara teori sastra dan retorika yang berusaha untuk meneliti setepat, selengkap, dan seakurat mungkin sarana-sarana bahasa yang dapat atau harus dimanfaatkan oleh pemakai bahasa untuk mencapai efek yang maksimal terhadap pendengar atau pembaca yang hendak diyakinkannya (Teeuw, 1984: 152). Namun, meski aspek pragmatik ditonjolkan dalam ilmu sastra modern pangkal pendekatannya berbeda. Ilmu sastra modern lebih Dalam tradisi sastra Barat penekanan fungsi sastra untuk memengaruhi pembaca mengakibatkan pembauran antara teori sastra dan retorika yang berusaha untuk meneliti setepat, selengkap, dan seakurat mungkin sarana-sarana bahasa yang dapat atau harus dimanfaatkan oleh pemakai bahasa untuk mencapai efek yang maksimal terhadap pendengar atau pembaca yang hendak diyakinkannya (Teeuw, 1984: 152). Namun, meski aspek pragmatik ditonjolkan dalam ilmu sastra modern pangkal pendekatannya berbeda. Ilmu sastra modern lebih

Pergeseran minat ke arah tanggapan pembaca mulai mendapatkan perhatian dari Mukarovsky dan Vodica dalam perkembangan teori strukturalisme Praha. Perkembangan ini telah berlangsung sejak tahun 1930-an, tetapi karena kebanyakan karya peneliti Praha ditulis dalam bahasa Cek (Cekoslovakia) hasil penelitiannya belum diketahui luas di Eropa. Mukarovsky baru dikenal lewat tulisan terjemahannya dalam bahasa Inggris pada tahun 1970-an oleh Steiner (1977) dan Burbank (1978) (Teeuw, 1984: 153).

Teori Mukarovsky tentang karya sastra berpangkal pada aliran formalis sebagai usaha untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi puitis bahasa. Sarana-sarana bahasa yang secara keseluruhan menghasilkan efek estetik dan membongkar penyimpangan dari norma-norma yang berlaku (Teeuw, 1984: 153). Di awal kemunculannya, Mukarovsky telah menekankan fungsi karya seni sebagai tanda dan fakta sosial supra-individual yang membangun komunikasi. Kaitan antara karya sastra dan kode sistem yang mendasarinya mulai ditonjolkan. Mukarovsky berpandangan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dari konteks sosial; dengan kata lain kode sastra bagaimanapun saling berkaitan dengan kode-kode lain; dan fungsi estetik tidak lepas dari fungsi sosial

(Teeuw, 1984: 154). Sebagai umpama, manusia membangun rumah tidak akan hanya memperhatikan segi praktis dan efektif untuk melindunginya dari cuaca panas dan dingin, hujan dan kemarau, melainkan juga sering kita lihat usaha untuk memberikan kualitas estetik terhadap rumah itu agar telihat indah, cantik, dan menarik.

Dalam perkembangan ide Mukarovsky terjadi pergeseran terhadap konsep fungsi tersebut. Dalam buku yang ditulisnya pada tahun 1936 yang berjudul Aesthetic Fungtion, Norm, and Value as Social Fact terdapat definisi fungsi sebagai hubungan yang aktif antara sebuah objek dan tujuan yang dilayani objek tersebut sehingga tujuan harus tidak terikat pada seorang pribadi saja (Teeuw, 1984: 155). Mukarovsky menempatkan seni sebagai faktor semiotik yang komunikatif dalam kerangka sosial.

Mukarosky memberikan pandangan bahwa makna tujuan merupakan ragam realisasi diri seorang subjek terhadap dunia luar (Teeuw, 1984: 155). Jadi, lewat fungsi sastra pembaca mewujudkan diri (konkretisasi). Pembacalah yang menjadi pusat peristiwa semiotik. Dalam seni bukan tujuan akhir yang penting, namun proses pemberian makna. Dalam fungsi estetik, fungsi semiotik melatardepankan tindakan penilaian sebab karya seni tidak memiliki realita semiotik. Dengan kata lain, satu-satunya kenyataan yang diacu oleh tanda estetik ialah kenyataan pengamatnya sehingga tidak ada realitas objektif di belakang tanpa seni itu (Mukarovsky dalam Teeuw, 1984: 155).

Perkembangan pemikiran Mukarovsky menempatkan pembaca sebagai subjek yang takkalah pentingnya dalam fungsi semiotik karya sastra daripada Perkembangan pemikiran Mukarovsky menempatkan pembaca sebagai subjek yang takkalah pentingnya dalam fungsi semiotik karya sastra daripada

Dalam pendekatan Mukarovsky, pengalaman estetik justru ditentukan oleh tegangan antara struktur karya sastra sebagai tanda dan subjektifitas pembaca bukan subjektifitas mutlak, melainkan subjektifitas yang bergantung pada lingkungan sosial dan kedudukan sejarah penanggapnya (Teeuw, 1984: 156). Penanggap dalam arti luas dengan segala kompleksitasnya baik itu pengamatan, penanggapan, penilaian, pengalaman, asosiasi, maupun perasaan pembaca ikut memberikan andil.

Demikianlah Mukarosky meletakkan dasar estetika resepsi dalam model semiotik sehingga terdapat hubungan dinamis dan tegangan terus-menerus antara ke empat faktor: pencipta, karya, pembaca, serta kenyataan. Itulah yang disebut dynamic strukturalism (strukturalisme dinamik) di mana karya seni terwujud sebagai tanda dalam struktur intrinsik dalam hubungannya dengan kenyataan dan juga hubungannya dengan masyarakat, pencipta, dan penanggapnya (Mukarovsky dalam Teeuw, 1984: 151).

2.4 Model Estetika Resepsi Hans Robert Jauss

Tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peran pembaca adalah Hans Robert Jauss yang pada tahun 1967 membuka mata dunia ilmu sastra tradisional di Jerman tentang fungsi dan peran pembaca dengan makalahnya yang berjudul Sejarah Sastra Sebagai Sebuah Tantangan yang kemudian dijadikan sebuah buku dengan judul yang sama yang pertama terbit pada tahun 1970.

Jauss mempunyai latar belakang sebagai seorang medievis yaitu peneliti sejarah sastra abad pertengahan di Eropa Barat. Menurut Jauss, penelitian sejarah sastra di dunia Barat menemui jalan buntu (Teeuw, 1984: 159). Walau demikian, setelah mengalami beberapa perkembangan, muncullah gagasan tentang sejarah sebagai rangkaian periode yang masing-masing memiliki ciri khas yang harus diteliti secara objektif tanpa melibatkan peneliti secara pribadi. Maka, muncullah cita-cita objektivitas dengan pendekatan positivisme yang secara mendetail meneliti hubungan sebab akibat sehingga terdapat penekanan pada hal asal-usul gejala, motif atau tema tertentu, dan bentuk purba atau asli sebuah cerita sehingga karya sastra sebagai ciptaan yang hidup dan berfungsi bagi manusia yang nyata seringkali hilang (Teeuw, 1984: 159). Aliran lain sebagai reaksi terhadap positivisme yang menghilangkan karya sastra sebagaimana adanya dan terutama menaruh minat pada "karya yang langgeng nilainya" (kanon) lepas dari latar belakang sejarahnya yang diteliti bukan lagi yang berubah yang hidup sebagai gejala kemasyarakatan, melainkan yang langgeng, universal, dan abadi (Teeuw, 1984: 159).

Dalam situasi abad ke-20 menurut Jauss ada dua aliran yang menentang

baik "empiri buta aliran positivis" maupun "metavisis sejarah kebudian". Aliran pertama yang dimaksud oleh Jauss adalah pendekatan oleh kaum Marxis (Teeuw, 1984: 159). Mereka ingin mengembalikan karya sastra dalam kaitan sejarah dan fungsi kemasyarakatannya, tetapi menurut Jauss kelemahan utama mereka adalah terbatasnya visi mereka terhadap fungsi karya seni khususnya sastra yang dianggapnya mencerminkan perkembangan dan keadaan masyarakat: sastra tunduk pada ekonomi; teori marxis-leninis memang melihat sastra sebagai pencerminan realitas ekonomi politik. Baru setelah marxis modern seperti Kosik mulai sadar bahwa sastra tidak hanya meneladani kenyataan, melainkan pula tak kurang pentingnya fungsi sastra sebagai sesuatu yang menciptakan kenyataan dan yang mengarahkan pengamatan manusia terhadap kenyataan (Teeuw, 1984: 159). Baru berdasarkan kesadaran itulah mata mereka terbuka untuk melihat sifat revolusioner yang sering kali dimiliki oleh karya sastra.

Aliran kedua yang menentang pendekatan tradisional, menurut pendapat Jauss, ialah aliran formalis Rusia (Teeuw, 1984:159). Jauss menekankan perkembangan dalam visi para formalis yang berkembang ke arah pendekatan struktural. Pada tahap ini kaum formalis Rusia sudah tidak lagi melihat karya sastra sebagai keseluruhan anasir yang bersama-sama merupakan struktur yang koheren sehingga setiap prosode atau sarana harus dipandang dalam keseluruhan itu, melainkan mereka menempatkan karya sastra dalam hubungan dengan karya- karya lain (Teeuw, 1984: 159). Gagasan kaum formalis Rusia mengenai sastra sebagai penyimpangan dari norma-norma lebih ditekankan pada tegangan intrinsiknya. Karya baru lewat penyimpangan dari konvensi yang berlaku pada Aliran kedua yang menentang pendekatan tradisional, menurut pendapat Jauss, ialah aliran formalis Rusia (Teeuw, 1984:159). Jauss menekankan perkembangan dalam visi para formalis yang berkembang ke arah pendekatan struktural. Pada tahap ini kaum formalis Rusia sudah tidak lagi melihat karya sastra sebagai keseluruhan anasir yang bersama-sama merupakan struktur yang koheren sehingga setiap prosode atau sarana harus dipandang dalam keseluruhan itu, melainkan mereka menempatkan karya sastra dalam hubungan dengan karya- karya lain (Teeuw, 1984: 159). Gagasan kaum formalis Rusia mengenai sastra sebagai penyimpangan dari norma-norma lebih ditekankan pada tegangan intrinsiknya. Karya baru lewat penyimpangan dari konvensi yang berlaku pada

Demikianlah ringkasan konsepsi Jauss mengenai perkembangan sejarah sastra Barat pada abad ke-20. Berdasarkan survey mengenai berbagai pendekatan dalam penelitian sastra dahulu dan sekarang, Jauss dianggap telah mengemukakan gagasan baru dalam rangka ilmu sastra tradisional. Menurut Jauss, para peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis melupakan atau menghilangkan faktor yang terpenting dalam proses semiotik kesusastraan yaitu pembaca (Teeuw, 1984: 161). Justru, pembaca menentukan karya sastra. Kesejarahan sastra bersama dengan sifat komunikasinya mengandaikan hubungan dialogis dan sekaligus hubungan proses antar karya, sidang pembaca, dan karya baru (Jauss dalam Teeuw, 1984: 161).

Rezeption (tanggapan) dan wirkung (efek) menjadi kata kunci. Pembaca yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya menentukan nasib dan peranannya dari sejarah dan estetika (Teeuw, 1984: 161). Jauss mengintroduksi konsep ewartunghorizont (horison harapan) dari Gadamer dengan konsep setiap pembaca mempunyai horizon harapan yang tercipta karena pembacaannya yang terdahulu, pengalamannya selaku manusia berbudaya, dan seterusnya (Teeuw, 1984: 161). Efek nilai sebuah karya sastra untuk pembaca tertentu bergantung pada relasi struktur, ciri-ciri, dan unsur-unsur karya itu dengan horison harapan pembaca. Pembaca, khususnya pembaca modern dalam kebudayaan Barat, ingin dan berharap agar ia terkejut karena diguncangkan oleh

hal-hal yang baru yang memecahkan atau menggeser horison harapannya. Jauss menekankan bahwa penilaian sebuah karya bersifat relatif dalam arti bahwa biasanya dalam perjalanan sejarah kita lihat pergeseran penilaian (Teeuw, 1984: 161). Sebuah karya bisa sangat mengagetkan bagi pembaca yang sezaman dengan penulis, tetapi mungkin bagi pembaca generasi kemudian sudah tidak mengejutkan lagi karena telah terbiasa, sudah masuk horison harapannya. Mungkin pula penilaian itu tetap tinggi, tetapi kriteria pembaca berubah. Mungkin pula penilaian sebuah karya tertentu pada masa tertentu mengalami kemunduran atau dianggap tidak baik kemudian ditemukan kembali oleh generasi berikutnya karena horison harapan mereka telah bergeser sehingga karya yang tidak menarik generasi sebelumnya mendapat relevansi baru.

Peneliti sastra dan sejarah sastra, menurut Jauss, bertugas untuk menelusuri resepsi karya sastra sepanjang zaman (Teeuw, 1984: 162). Keindahan sebuah karya bukanlah sesuatu yang mutlak, abadi, dan tetap. Keindahan adalah pengertian yang nisbi tergantung pada situasi sosial-budaya pembaca (Teeuw, 1984: 162). Dalam visi Jauss setiap peneliti sastra mau takmau bersifat historis (Teeuw, 1984: 162). Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaian pembaca tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Pembaca mau takmau ditempatkan dalam kerangka sejarah tertentu.

2.5 Tujuh Tesis Jauss

Dalam perkembangan teori estetika resepsi telah dapat dipahami tentang

karya sastra yang tidak cuma menampakkan wajah yang sama kepada tiap pembaca. Sebuah karya sastra jauh lebih menyerupai orkestrasi yang selalu membunyikan suara-suara baru kepada para pembacanya. Adanya perbedaan tanggapan para pembaca itu disebabkan oleh apa yang disebut horison harapan atau cakrawala harapan (horizon of expectation). Setiap pembaca mempunyai konsep-konsep tertentu atas karya sastra yang disebabkan oleh pengalaman, pendidikan, bacaan-bacaan, kecakapan dan kemampuan pemahaman atas norma- norma sastra dan pemahaman kehidupan (Segers dalam Pradopo, 1995: 9). Adanya konsep tentang sastra yang berbeda ini menyebabkan perbedaan pemahaman dan penilaian atas karya sastra antara seorang dan yang lain atau antara periode dengan periode yang lain.

Penyusunan sejarah sastra berdasarkan teori estetika resepsi dititikberatkan pada tanggapan pembaca sebagai penyambut karya sastra pada saat itu. Sejarah sastra takdapat dimengerti tanpa partisipasi aktif pembaca (Jauss dalam Pradopo, 1995: 8). Seorang ahli sejarah sastra harus terlebih dahulu menjadi seorang pembaca bagi dirinya sendiri sebelum ia dapat memahami sebuah karya sastra. Dengan kata lain, ia dapat menimbang penilaiannya sendiri dengan penerangan posisinya sekarang dalam kemajuan sejarah para pembaca (Jauss dalam Pradopo, 1995: 8).

Sejarah sastra secara metodologis diberi dasar untuk ditulis kembali yang dijelaskan dalam tujuh tesis Jauss. Tesis 1. Pembaharuan sejarah sastra menuntut pembuangan

prasangka objektivisme historis dan dasar-dasar estetika karya sastra penggambaran kenyataan yang tradisional. Kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer yang dihubungkan oleh post prasangka objektivisme historis dan dasar-dasar estetika karya sastra penggambaran kenyataan yang tradisional. Kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer yang dihubungkan oleh post

Karya sastra dari waktu ke waktu mendapatkan tanggapan pembaca. Selalu mendapat penilaian kembali. Sebuah karya sastra nilainya tidak tetap sepanjang sejarahnya. Memang identitas struktur substansinya akan tetap sama dari waktu ke waktu. Namun, struktur ini dinamis berubah melalui proses sejarah pikiran-pikiran pembacanya, para kritikus, dan para sastrawan (Wellek dalam Pradopo, 1995: 8).

Karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri menawarkan pandangan yang sama kepada setiap pembaca dalam setiap periode. Karya sastra bukanlah sebuah monumen yang secara monologis menyatakan esensi (makna) sepanjang masa. Karya sastra lebih mirip sebagai orkestrasi yang selalu memberi resonansi baru di antara para pembacanya dan membebaskan teks dari materi kata-kata dan membawa pada eksistensi kontemporer. Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani dalam horison harapan dan pengalaman kesusastraan. Mungkin tidaknya memahami dan menggambarkan sejarah sastra dalam kesejarahan yang unik bergantung pada dapat tidaknya horison harapan dinyatakan.

Tesis 2. Analisis pengalaman kesastraan pembaca menyisihkan perangkap-perangkap psikologi yang mengancam jika analisis itu mendeskripsikan penerimaan (resepsi) dan pengaruh karya sastra dalam sistem harapan yang dapat dinyatakan yang muncul untuk masing-masing dalam momen historis kemunculannya dari pemahaman genre sebelumnya, dari bentuk dan tema karya-karya sastra yang telah diakrabinya, dan dari perbedaaan antara poetica dan bahasa praktis (Jauss dalam Jabrohim, 2003: 120).

Tesis ini menentang skeptisme yang meragukan analisis pengaruh estetik