BAB II LANDASAN TEORI
A. Penerapan
Penerapan adalah kemampuan menggunakan atau menafsirkan suatu bahan yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru atau situasi yang konkrit seperti
menerapkan suatu dalil, metode, konsep, prinsip atau teori.
9
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerapan adalah proses, cara, perbuatan untuk menerapkan suatu hal.
10
Sumber lain menyebutkan bahwa penerapan adalah menggunakan ilmu yang kita miliki untuk mengatasi suatu
masalah yang timbul. Artinya, memanfaatkan ilmu yang telah diperoleh untuk membuat suatu solusi pada sebuah masalah.
11
B. Metode Bimbingan
1. Metode
Berbicara mengenai metode, menurut bahasa Yunani diambil dari kata methodos
yang mengandung arti cara atau jalan.
12
Sedangkan metode dalam bahasa Arab kata metode disebut thariqat dan manhaj.
13
Sumber lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica, artinya ajaran
9
Muhammad Ali, “Penerapan Metode Unres Tricted dalam Tata Boga”, artikel diakses pada 17 September 2008 http:digilib.upi.edupascasubmittidetd-0524107-
102147unrestrictedBAB_I.pdf.
10
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-3, h. 491.
11
Socrates, Menepis Impian, Yogyakarta : Media Abadi, 1994, Jilid 2, hal. 89.
12
Koencaraningrat, Ed., Metodologi Penelitian Ilmiah, Jakarta : Gramedia, 1997, h. 16.
13
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986, Cet. Ke-9, h. 649.
tentang metode. Metode berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.
14
Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai cara teratur untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai
dengan yang dikehendaki, atau dapat juga diartikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang dikehendaki.
15
Selanjutnya, menurut M. Arifin metode secara harfiah adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Namun pengertian hakiki dari metode
adalah segala sasaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
16
Menurut Arif Burhan, metode adalah menunjukkan pada proses, prinsip serta prosedur yang kita gunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban
atas masalah tersebut.
17
Melalui beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa metode adalah suatu cara yang dilakukan dalam melaksanakan proses pembinaan agar tujuan
yang dicapai dapat terlaksana dengan baik.
14
M. Munir., Metode Dakwah, Jakarta : Kencana, 2006, Cet. Ke-2, h. 6.
15
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-3, h. 415.
16
M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta : PT. Golden Terayon Press, 1998, Cet. Ke-6, h. 43.
17
Arif Burhan, Pengantar Metode Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional, 1992, h. 17.
2. Pengertian Bimbingan
Bimbingan merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupan manusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya sering
menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti Berdasarkan kenyataan bahwa manusia itu tidak sama satu dengan yang
lainnya, baik dalam sifat-sifatnya maupun dalam kemampuannya, maka diantara manusia ada yang sanggup mengatasi persoalan tanpa bantuan orang lain, tetapi
tidak sedikit manusia yang tidak sanggup mengatasi persoalannya jika tidak dibantu oleh orang lain. Oleh karena itu, bimbingan sangat diperlukan.
Contohnya, dalam hal menghafal al-Qur’an. Orang yang belum mampu menghafal al-Qur’an, maka perlu adanya bimbingan agar orang tersebut dapat menghafal al-
Qur’an dengan baik, yang mana menghafal al-Qur’an itu amat diperlukan oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan agar dapat melaksanakan shalat
dengan baik. Secara etimologi kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata
“Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti
“menunjukkan, membimbing, menuntun ataupun membantu”.
18
Guidance dikaitkan dengan asal kata guide, yang diartikan sebagai
“menunjukkan jalan showing the way; memimpin leading; menuntun conducting; memberikan petunjuk giving instruction; mengatur regulating;
mengarahkan governing; memberikan nasehat giving advice”.
18
Hallen A, Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Ciputat Press, 2002, Cet. Ke-1, h. 3.
Kalau istilah bimbingan dalam bahasa Indonesia diberi arti yang selaras dengan arti-arti yang disebutkan di atas, akan muncul dua pengertian yang agak
mendasar, yaitu: a.
Memberikan informasi, yaitu menyajikan pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengambil suatu keputusan, atau memberitahukan
sesuatu sambil memberikan nasehat. b.
Mengarahkan, menuntun ke suatu jalan. Tujuan itu mungkin hanya diketahui oleh pihak yang mengarahkan; mungkin perlu diketahui oleh
kedua belah pihak.
19
Untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas, berikut ini dikutip beberapa definisi. Menurut Arthur J. Jhones yang dikutip Dewa Ketut Sukardi
menyebutkan: “ bimbingan ialah bantuan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lainnya dalam menetapkan pilihan dan penyesuaian diri, serta di dalam
memecahkan masalah-masalah. Bimbingan bertujuan membantu penerimaan secara bebas dan mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri”.
20
Sedangkan Djumhur dan Moh. Surya memberikan pengertian tentang bimbingan sebagai proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman
dan pengarahan dari pembimbing untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal kepada sekolah, keluarga serta masyarakat. Dan dalam “year book of
education” Djumhur dan Moh. Surya juga mengemukakan bahwa bimbingan
adalah: “suatu proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk
19
Winkel dan Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Yogyakarta : Media Abadi, 2004, Cet. Ke-3, h. 27.
20
Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Konseling, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1988, h. 8.
menemukan dan mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial”.
21
Adapun menurut Crow crow 1960, seperti yang dikutip Prayitno dan Erman Amti, bimbingan adalah “bantuan yang diberikan oleh seseorang, laki-laki
atau perempuan, yang memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada individu-individu setiap usia untuk membantunya mengatur kegiatan
hidupnya sendiri dan menanggung bebannya sendiri”.
22
Dengan demikian, dari beberapa pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa bimbingan ialah bantuan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
dalam usaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya dan menjadi lebih mampu untuk menghadapi masalah yang akan dihadapi kelak,
sehingga tercapainya kesejahteraan atau kebahagiaan dalam hidupnya.
3. Tujuan dan Fungsi Bimbingan
a. Tujuan Bimbingan
Setelah mengetahui pengertian bimbingan yang ditinjau secara umum, bahwa sangatlah tepat bila bimbingan diselenggarakan di lembaga pendidikan,
baik formal maupun non formal. Mengingat masalah itu meliputi pada diri setiap orang, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Manusia di manapun
dia berada akan selalu menghadapi masalah oleh karena itu manusia memerlukan bantuan untuk mengatasi masalahnya. Dengan selalu berdoa,
berusaha dan juga selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan timbul
21
Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan Penyuluhan di Sekolah “Cevidance and Conseling”
Bandung : CV. Ilmu, 1985, h. 26.
22
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta, 2004, Cet. Ke-2, h. 94.
keyakinan bahwa pertolongan-Nya akan senantiasa siap untuk dianugrahkan kepada siapa saja yang dekat dengan-Nya. Orang-orang tersebut akan
menghadapi masalah dengan tenang dan pikiran yang jernih. Adapun tujuan bimbingan menurut Aunur Rahim Faqih adalah sebagai
berikut: 1.
Membantu individu agar tidak menghadapi masalah, maksudnya pembimbing berusaha membantu mencegah jangan sampai
individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya.
2. Membantu individu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.
3. Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan
kondisi yang baik atau yang telah baik tetap menjadi baik, sehingga tidak menjadi masalah bagi dirinya dan orang lain.
23
b. Fungsi Bimbingan
Bimbingan berfungsi mengarahkan individu agar terhindar dari masalah dan berusaha mengembalikan kondisinya menjadi lebih baik.
Bila dilihat dari tujuannya maka fungsi bimbingan menurut Aunur Rahim Faqih adalah sebagai berikut:
1 Fungsi Preventif, yakni membantu individu menjaga atau
mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. 2
Fungsi Kuratif, yakni membantu individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.
3 Fungsi Preservatif, yakni membantu individu menjaga agar situasi
yang semula tak baik mengandung masalah menjadi baik dan kebaikan itu bertahan lama in state of good.
23
Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, Yogyakarta : UII Press, 2001, h. 36.
4 Fungsi Pengembangan, yakni membantu individu memelihara dan
mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik. Sehinga tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya.
24
4. Bentuk-bentuk Bimbingan
a. Bimbingan Kelompok group guidance
Bimbingan kelompok adalah cara pengungkapan jiwabatin serta pembinaannya melalui kegiatan kelompok seperti ceramah, diskusi, seminar,
simposium, atau dinamika kelompok group dinamics, dan sebagainya.
25
Bimbingan kelompok ini dipergunakan untuk membantu anak atau sekelompok anak dalam memecahkan masalah-masalahnya dengan melalui
kegiatan kelompok. Bimbingan kelompok dimaksudkan untuk membantu seorang individu yang menghadapi masalah dengan menempatkannya dalam
suatu kehidupan kelompok.
26
b. Penyuluhan Individual individual counseling Dalam bimbingan ini dilakukan dengan hubungan yang bersifat face to
face relationship hubungan empat mata yang dilaksanakan dengan
wawancara antara pembimbing dengan anak asuh. Masalah yang dipecahkan melalui teknikbimbingan counseling ini ialah masalah-masalah yang sifatnya
pribadi. Pada umumnya ada tiga teknik khusus dalam counseling yaitu:
24
Ibid., h. 37.
25
H. M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta : PT. Golden Terayon, 1982, Cet. Ke-1, h. 45.
26
Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Bandung: CV. Ilmu, 1985, h. 32.
1 Directive Counseling, yaitu teknik counseling di mana yang paling
berperan ialah counselor, counselor berusaha menyerahkan counselee sesuai dengan masalahnya.
2 Non Directive Counseling, teknik ini kebalikan dari teknik di atas, yaitu
semuanya berpusat pada counselee. Counselor hanya menampug pembicaraan, yang berperan adalah counselee.
3 Elective Counseling, yaitu campuran dari kedua teknik di atas.
27
C. Pemahaman Tentang Menghafal Al-Qur’an
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran”?Q.S.
Al-Qamar: 17.
Berangkat dari ayat di atas, bahwa al-Qur’an memang merupakan kitab yang mudah untuk dipelajari, difahami, dan dihafalkan. Oleh karenanya tidak
heran jika banyak umat muslim yang hafal al-Qur’an seluruhnya maupun separuhnya atau hanya beberapa surat. Namun demikian, hal tersebut menjadi
bukti bahwa al-Qur’an memang mudah dipelajari dan dihafalkan. Nabi Muhammad Saw adalah seorang Nabi yang ummi, yakni tidak
pandai membaca dan tidak pandai menulis. Hal ini secara jelas dinyatakan dalam firman-Nya:
27
M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta : PT. Golden Terayon Press, 1982, Cet. Ke-1, h. 49.
☺ ☺
Artinya: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya al-Qur’an sesuatu Kitab pun dan kamu tidak pernah menulis suatu Kitab dengan
tangan kananmu; andaikata kamu pernah membaca dan menulis, benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu”. Q.S. Al-
Ankabuut : 48.
Karena kondisinya yang demikian tak pandai membaca dan menulis, maka tak ada jalan lain beliau Saw. selain menerima wahyu secara hafalan.
Setelah suatu ayat diturunkan, atau suatu surah beliau terima, maka segeralah beliau menghafalnya dan segera pula beliau mengajarkannya kepada para
sahabatnya, sehingga benar-benar menguasainya, serta menyuruhnya agar mereka menghafalnya.
28
Selain itu beliau juga memerintahkan para sahabat untuk menulis ayat tersebut agar mudah dihafal dan diingat. “…Tiap-tiap
diturunkan ayat-ayat itu, Nabi Saw menyuruh menghafalnya, dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar kurma, dan apa saja
yang bisa disusun dalam suatu surat.”
29
Banyak hadits Rasulullah Saw yang mendorong untuk menghafal al- Qur’an atau membacanya di luar kepala, sehingga hati seorang individu
muslim tidak kosong dari sesuatu bagian Kitab Allah SWT. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara marfu’,
بﺮ ا ﺎآ نﺁﺮ ا ءﻰﺷ ﻮﺟ ﻰ ىﺬ ا نإ
28
Ahsin W. Al-Hafidz, Bimbingan Prakits Menghafal Al-Qur’an, Jakarta : Bumi Aksara, 1994, Cet. Ke-1, h. 5-6.
29
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, Jeddah : tt, h. 19.
Artinya: “Orang yang tidak mempunyai hafalan al-Qur’an sedikit pun adalah seperti rumah kumuh yang mau runtuh.”
30
Juga telah diketahui bersama, bahwa bacaan al-Qur’an di dalam melaksanakan shalat merupakan keharusan, sehingga para sahabat yang telah
mendengarkannya berusaha menghafalnya, dan kemudian dibaca ketika melaksanakan shalat.
Kalau dimasa lampau penghafalan al-Qur’an merupakan dasar bagi pendidikan muslim, maka dewasa ini tampak adanya perubahan titik berat
dalam pendidikan Islam. Namun demikian, tampak bahwa penghafalan al- Qur’an masih tetap diperlukan bagi seluruh umat muslim, dikarenakan oleh
alasan seperti berikut
31
: 1. Bahwa menghafal al-Qur’an merupakan sunnah Rasul, dan hal ini
dilaksanakan oleh para sahabat, tabi’in, dan orang-orang sahih terdahulu. 2. Kemampuan membaca al-Qur’an dalam bentuk hafalan amat diperlukan
agar dapat melaksanakan shalat dengan baik. 3. Hafalan al-Qur’an tetap merupakan “modal dasar” bagi pelaksanaan
dakwah yang baik. 4. Penghafalan akan mengarah pada pemahaman dan keimanan yang lebih
dalam terhadap kandungan pesan al-Qur’an. 5. Penghafalan dan pengulangan al-Qur’an akan membawa ke arah untuk lebih
mengingat dan sadar akan kehadiran Allah SWT dan firman-Nya.
30
Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi dari Ibnu Abbas 2914, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
31
Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Qur’an Pengenalan Dasar, Jakarta : Penerbit Rajawali Press, 1988, Cet. Ke-1, h. 204.
Menghafal al-Qur’an merupakan suatu perbuatan yang sangat terpuji dan mulia. Banyak hadits-hadits Rasulullah Saw yang mengungkapkan
keagungan orang yang belajar membaca, atau menghafal al-Qur’an. Rasulullah Saw bersabda:
ا ْ ﻋ ر
. ع
. لﺎ
: ﷲا لْﻮ ر لﺎ
ﺻ :
ﱠ ﺟو ﱠﺰﻋ ﷲ ﱠنا لﺎ سﺎﱠ ا ْ ْها
: لﺎ ؟ ﷲا لْﻮ رﺎ ْ ه ْ ْ
: ناْﺮ ا ْها
ﱠﺻ ﺎ و ﷲا ْها ْ ه ءﺎ او ﻰ رﺪ او ﺟﺎ او ﺪ ﺣا اور
Artinya: “Dari Anas r.a. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang
terdiri dari para manusia. Kata Anas selanjutnya: Lalu Rasulullah Saw. ditanya: Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Jawab
beliau: Yaitu Ahlul Qur’an. Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang istimewa baginya.” HR. Ahmad, Ibnu Majah, An-
Nasa’I, Ad-Darami.
Adapun problema yang dihadapi oleh orang yang sedang dalam proses menghafal al-Qur’an memang banyak dan bermacam-macam. Mulai dari
pengembangan minat, penciptaan lingkungan, pembagian waktu sampai kepada metode menghafal al-Qur’an itu sendiri. Pada garis besarnya
problematika yang dihadapi oleh para penghafal itu dapat dirangkum seperti: 1. Menghafal itu susah.
2. Ayat-ayat yang sudah dihafal lupa lagi. 3. Banyaknya ayat-ayat yang serupa.
4. Gangguan-gangguan kejiwaan. 5. Gangguan-gangguan lingkungan.
6. Banyaknya kesibukan, dan lain-lain.
32
32
Ahsin W. Al-Hafidz, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, Jakarta : Bumi Aksara, 1994, Cet. Ke-1, h. 39.
Maka untuk memecahkan sejumlah problematika tersebut, perlu adanya beberapa pendekatan yang diharapkan akan memberikan masukan
sebagai terapi terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh para penghafal Al-Qur’an pada umumnya, yaitu pendekatan operasional, seperti minat
desire, menelaah expectation, dan perhatian interest kemudian pendekatan intuitif penjernihan batin, seperti qiyamul-lail shalat malam,
puasa, dan memperbanyak zikir dan doa.
33
Sebelum seseorang memasuki periode menghafal al-Qur’an, ada beberapa hal yang harus terpenuhi di dalam menghafal al-Qur’an, seperti:
mampu mengosongkan benaknya dari pikiran-pikiran dan teori-teori, atau permasalahan-permasalahan yang sekiranya akan mengganggu, niat yang
ikhlas, memiliki keteguhan dan kesabaran, Istiqamah konsisten, menjauhkan diri dari maksiat dan sifat-sifat tercela, izin dari orangtua, wali atau suami, dan
mampu membaca dengan baik. Orang yang menghafal al-Qur’an menunjukkan betapa besar dan tinggi
kedudukannya di sisi Allah SWT, maka karena itu para penghafal pun dituntut untuk bersikap konsekuen terhadap kedudukan dan predikatnya yang tinggi
itu. Diantara etikanya sebagai penyandang hafidz al-Qur’an antara lain ialah: 1. Harus bertingkah laku terpuji dan mulia, yakni berakhlak al-Qur’an.
2. Melepaskan jiwanya dari segala yang merendahkan dirinya terhadap orang- orang ahli keduniaan.
3. Khusyu’, sakinah dan waqar tenang.
33
Ibid., h. 41-47.
4. Memperbanyak shalat malam. 5. Dan memperbanyak membaca al-Qur’an pada malam hari, sebagaimana
banyak yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Menghafal al-Qur’an hukumnya adalah fardhu kifayah. Ini berarti
bahwa orang yang mengahafal al-Qur’an tidak boleh kurang dari jumlah mutawatir
34
sehingga tidak akan ada kemungkinan terjadinya pemalsuan dan pengubahan terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an.
35
ﻰ ﻋ ﺟو ﻇ ْ ﺣ ﻚ ا اﺬآو ﺔ آ ضْﺮ ناْﺮ ا ْ ْﻐ ﺔﱠ ﻷْا
.
Artinya: “Belajar al-Qur’an hukumnya fardhu kifayah begitu pula memeliharanya wajib bagi setiap umat”.
Dari teks di atas jelas bahwa hukum menghafal al-Qur’an adalah fardhu kifayah
atau kewajiban bersama atau kewajiban kolektif umat Islam. Sebab jika tidak ada yang hafal al-Qur’an, dikhawatirkan akan terjadi
perubahan terhadap teks-teks al-Qur’an. Oleh karena itu harus selalu ada kelompok penghafal al-Qur’an dalam bilangan yang sudah dianggap
mutawatir, satu jumlah yang bisa yakin 100 kebenaran al-Qur’an.
36
Pemahaman fardhu kifayah dalam menghafal al-Qur’an juga harus dipahami secara proporsional. Fardhu kifayah yang dimaksud adalah ukuran
34
Mutawatir yaitu suatu bacaan al-Qur’an qiraat yang disampaikan oleh sejumlah perawi yang cukup banyak sehingga tidak memungkinkan mereka berdusta dalam setiap angkatan
serta sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Para ulama al-Qur’an dan ulama hukum Islam lainnya telah sepakat bahwa bacaan al-Qur’an yang sah adalah bacaan yang
diriwayatkan secara mutawatir.
35
Ahsin W. Al-Hafidz, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, h. 24.
36
Abi Abdullah Muhammad bin Ahmad Qurthubi, Attidzkar fi Afdalil Adzkar Al- Qur’anul Karim.
yang dianggap mencukupi, sehingga sangat perlu digali potensi menghafal al- Qur’an ini melalui lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran al-Qur’an.
37
Untuk mencari alternatif terbaik dalam menghafal al-Qur’an, ada beberapa metode yang mungkin bisa dikembangkan dan dapat memberikan
bantuan kepada para penghafal untuk mengurangi kepayahan dalam menghafal al-Qur’an yang menurut Drs. Ahsin W. Al-Hafidz yaitu
38
: 1. Metode Thariqah Wahdah
Yang dimaksud dengan metode ini, adalah menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yang hendak dihafalnya, setiap ayat bisa dibaca sebanyak
sepuluh kali, atau dua puluh kali, atau lebih sehingga proses ini mampu membentuk pola dalam bayangannya dan membentuk gerak refleks pada
lisannya. Untuk menghafal cara seperti ini, maka langkah selanjutnya ialah membaca dan mengulang-ngulang tiap lembar sehingga semakin banyak
diulang maka kualitas hafalan akan semakin representative. 2. Metode Thariqah Kitabah
Kitabah artinya menulis. Pada metode ini penghafal terlebih dahulu
menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas, kemudian ayat- ayat tersebut dibacanya sehingga lancar dan benar bacaannya, lalu
dihafalkannya. Menghafalnya bisa dengan metode wahdah, atau dengan berkali-kali menuliskannya sehingga penghafal dapat sambil memperhatikan
dan sambil menghafalkannya dalam hati. Metode ini cukup praktis dan baik, karena di samping membaca dengan lisan, aspek visual menulis juga akan
37
A. Muhaimin Zen., Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 1996, Cet. Ke-1, h. 37.
38
Ahsin W. Al-Hafidz., h. 63-66.
sangat membantu dalam mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam bayangannya.
3. Metode Thariqah Sima’i
Sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini adalah
mendengarkan sesuatu bacaan untuk dihafalkannya. Metode ini akan sangat efektif bagi penghafal yang mempunyai daya ingat ekstra, terutama bagi
penghafal tunanetra, atau anak-anak yang masih dibawah umur yang belum mengenal tulis baca al-Qur’an. Pada metode ini dapat dilakukan dengan dua
alternative yaitu mendengar dari yang membimbingnya, terutama bagi penghafal tunanetra atau anak-anak, dan yang kedua merekam terlebih dahulu
ayat-ayat yang akan dihafalkannya ke dalam pita kaset sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
4. Metode Thariqah Jama’
Yang dimaksud dengan metode ini, ialah cara menghafal yang dilakukan secara kolektif, yakni ayat-ayat yang dihafal dibaca secara kolektif,
atau bersama-sama, dipimpin oleh seorang pembina. Pertama, pembina membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan santri menirukan secara
bersama-sama. Kemudian Pembina membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut dan santri mengikutinya sampai bacaannya baik
dan benar, selanjutnya santri mengikuti bacaan Pembina dengan sedikit demi sedikit mencoba melepaskan mushaf tanpa melihat mushaf dan demikian
seterusnya sehingga ayat-ayat yang sedang dihafalnya itu benar-benar sepenuhnya masuk dalam bayangannya.
Pada prinsipnya semua metode di atas baik sekali untuk dijadikan pedoman menghafal al-Qur’an, baik salah satu diantaranya, atau dipakai
semua sebagai alternatif atau selingan dari mengerjakan suatu pekerjaan yang berkesan monoton, sehingga dengan demikian akan menghilangkan kejenuhan
dalam proses menghafal al-Qur’an. Untuk membantu mempermudah membentuk kesan dalam ingatan
terhadap ayat-ayat yang dihafal, maka diperlukan strategi menghafal yang baik. Yaitu dengan strategi pengulangan ganda, tidak beralih pada ayat
berikutnya sebelum ayat yang sedang dihafal benar-benar hafal, menghafal urutan-urutan ayat yang dihafalnya dalam satu kesatuan jumlah setelah benar-
benar hafal ayat-ayatnya, menggunakan satu jenis mushaf, memahami pengertian ayat-ayat yang dihafalnya, memperhatikan ayat-ayat yang serupa,
dan disetorkan pada seorang pembimbing.
39
Sedangkan menurut Ahmad Von Denffer ada beberapa strategi dalam menghafal al-Qur’an yaitu: jadikanlah kegiatan menghafal al-Qur’an sebagai
bagian kegiatan sehari-hari. Lakukan sedikit demi sedikit, walau sebentar, tetapi teratur, kemudian baca dan hafalkan ayat-ayat tersebut dengan keras
beberapa kali, dan ulang kembali hafalan yang tadi dalam pelbagai kesempatan seperti dalam shalat, dan lain-lainnya.
40
Sumber lain menyebutkan diantara hal-hal yang dapat membantu menghafal secara khusus yaitu: selalu
melakukan tasmi’ memperdengarkan bacaan kepada diri sendiri atau orang lain terhadap ayat atau surat yang sudah dihafal dan antusias untuk membaca
39
Ibid., h. 67.
40
Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Qur’an Pengenalan Dasar, Jakarta : Rajawali Press, 1988, Cet. Ke-1, h. 204-205.
beberapa kali sehingga dapat mengucapkannya secara benar terdahulu sebelum menghafal.
41
Di dalam menghafal al-Qur’an, banyak sekali faedah yang muncul dari kesibukan menghafal al-Qur’an. Faedah-faedah terpenting dari menghafal itu
adalah
42
: 1. Kebahagiaan atau kemenangan di dunia dan akhirat, jika disertai dengan
amal saleh dan menghafalnya. 2. Tajam ingatannya dan cemerlang pemikirannya. Karena itu para penghafal
al-Qur’an lebih cepat mengerti, teliti, dan lebih apik karena banyak latihan untuk mencocokkan ayat serta membandingkannya ke porosnya.
3. Bahtera ilmu, dan ini sangat terperhatikan dalam hafalan. Di samping itu, menghafal bisa mendorong seseorang untuk berprestasi lebih tinggi dari
pada teman-teman mereka yang tidak hafal dalam banyak segi, sekali pun umur, kecerdasan, dan millive mereka berdekatan.
4. Memiliki identitas yang baik dan berprilaku jujur. Seorang yang hafal al- Qur’an sudah selayaknya bahkan menjadi suatu kewajiban untuk
berprilaku jujur dan berjiwa Qur’ani. Identitas demikian akan selalu terpelihara karena jiwanya selalu mendapat peringatan dan teguran dari
ayat-ayat al-Qur’an yang selalu dibacanya. 5. Fasih dalam berbicara, ucapannya benar dan dapat mengeluarkan fonetik
Arab dari landasannya secara tabi’i alami.
41
Haya Ar-Rasyid, Kiat Mengatasi Kendala Membaca dan Menghafal Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Al-Sofwa, 2004, Cet. Ke-1, h. 83-84.
42
Abdurrab Nawabuddin, Teknik Menghafal Al-Qur’an Kaifa Tahfadzul Qur’an, Bandung : PT. Sinar Baru Al-Gensindo, 1991, Cet, Ke-1, h. 21.
6. Memiliki doa yang mustajab, orang yang hafal al-Qur’an yang selalu konsekuen dengan predikatnya sebagai Hamalatul Qur’an, yakni orang
yang hafal al-Qur’an, memahami dan mengamalkan isi kandungannya merupakan orang yang dikasihi Allah SWT.
43
43
Ahsin W. Al-Hafidz, h. 40.
BAB III GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL ASUHAN RABBANI
A. Sejarah Berdirinya
Latar belakang didirikannya Panti Sosial Asuhan Rabbani diawali dari cita-cita seorang duta besar Indonesia untuk Arab Saudi yaitu Bapak Djanamar
Adjam. Beliau ingin sekali mengasuh dan menyantuni anak-anak yatim piatu, fakir miskinkurang mampu, dan anak-anak terlantar. Tetapi sebelum keinginan
tersebut terlaksana beliau meninggal dunia. Kemudian cita-cita mulia tersebut dilanjutkan atau diwujudkan oleh istrinya tercinta yaitu Ibu Hj. Syilvinia
Djanamar Adjam. Sehingga pada tanggal 13 oktober 1993 didirikanlah sebuah tempat yang
diberi nama “Panti Sosial Asuhan Rabbani” di atas tanah 2 hektar yang terletak di jalan raya Parung Gunung Sindur 27 Tulang Kuning Parung Bogor. Tetapi kini
istrinya pun telah meninggal dunia dan urusan panti pun diserahkan kepada keluarga dari istri Bapak Djanamar Adjam karena beliau tidak mempunyai anak.
Dan sebagai kepala panti keluarga tersebut mengangkat Bapak Solhanuddin S. Ag yang juga sebagai orangtua asuh di panti tersebut sebagai kepala dan dai panti
ini.
44
Dalam panti tersebut anak-anak fakir miskin, yatim piatu, tidak hanya disantuni, seperti: pangan, papan, sandang saja namun mereka juga mendapatkan
44
Solhannuddin, Pimpinan Panti Sosial Asuhan Rabbani Parung Bogor, Wawancara Pribadi, Bogor, 30 Juni 2008.
28