Gambaran Perkembangan Psikososial Anak Usia 3-6 Tahun Di Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa Cipayung

(1)

   

ANAK BALITA TUNAS BANGSA CIPAYUNG

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S. Kep)

Oleh

Santi Yuniartiningsih

NIM: 107104000195

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1433 H/2012 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Santi Yuniartiningsih Tempat, tanggal lahir : Kebumen, 4 Juni 1989 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Komplek Pelni Blok CC4 No. 1 Rt/Rw 09/08 Bekasi Jaya-Bekasi Timur

No. Telp : 08568149946/02195633260 Email : s4nti_689@yahoo.com Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 1 Sidomukti (1995-1998) 2. SD Negeri 1 Bekasi Jaya (1998-2001) 3. SMP Negeri 3 Bekasi (2001-2004)

4. SMA Negeri 1 Tambun Utara (2004-2007)

5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Ilmu Keperawatan (2007-2012) Pengalaman Organisasi :

1. Sekretaris 2 OSIS SMA Negeri 1 Tambun Utara (2005-2006)

2. Anggota saman Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Jakarta (2007-2011)

3. Ketua Koordinator Departemen Sosial Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan Ilmu Keperawatan (2008-2010)

4. Sekretaris 2 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan Ilmu Keperawatan (2010-2011)


(7)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, Juli 2012

Santi Yuniartiningsih, NIM: 107104000195

Gambaran Perkembangan Psikososial Anak Usia 3-6 Tahun Di Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa Cipayung

xv + 73 Halaman + 6 Tabel + 2 Bagan + 7 Lampiran ABSTRAK

Perkembangan psikososial merupakan proses sepanjang hayat, apa yang dipelajari dalam tahun-tahun pertama kehidupan akan membentuk perkembangan di masa yang akan datang. Perkembangan psikososial terdiri dari delapan tahapan perkembangan. Anak usia 3-6 tahun sedang dalam tahapan ketiga perkembangan psikososial yaitu inisiatif versus rasa bersalah. Panti asuhan adalah tempat untuk mengasuh anak-anak yang tidak memiliki orang tua, sehingga peran orang tua digantikan oleh pengasuh, selain itu panti asuhan juga memberikan pelayanan untuk menunjang tumbuh kembang anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Peran orang tua yang digantikan oleh pengasuh, dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan psikososial anak di masa yang akan datang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun di panti asuhan. Penelitian ini dilakukan dengan desain deskriptif. Analisa data menggunakan analisa univariat dengan jenis penelitian kuantitatif. Sampel penelitian adalah anak usia 3-6 tahun yang tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Balita Tunas Bangsa Cipayung. Jumlah populasi sebanyak 35 anak, jumlah sampel yang sesuai dengan kriteria sebanyak 29 anak. Anak-anak yang menjadi sampel sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sebanyak 22 anak (75,9%), sedangkan perempuan sebanyak 7 anak (24,1%). Teknik pengambilan sampel yang digunakan total sampling. Data diperoleh dengan cara pengamatan menggunakan lembar observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak usia 3-6 tahun yang tinggal di panti asuhan memiliki perkembangan psikososial baik sebanyak 11 anak (37,9%), perkembangan psikososial cukup sebanyak 18 anak (62,1%), perkembangan psikososial kurang tidak ada. Berdasarkan penelitian tersebut anak yang memiliki perkembangan psikososial tahap inisiatif baik sebanyak 17 anak (58,6%), cukup 12 anak (41,4%), kurang tidak ada, sedangkan anak yang memiliki perkembangan psikososial tahap rasa bersalah baik sebanyak 13 anak (44,8%), cukup 16 anak (55,2%), kurang tidak ada. Berdasarkan hasil tersebut, penulis menyarankan untuk diterapkannya pengasuhan yang demokrasi, pengasuhan yang konsisten, tidak berganti-ganti pengasuh serta jumlah pengasuh yang sesuai standar.

Kata Kunci: Perkembangan psikososial, anak usia 3-6 tahun, panti asuhan, inisiatif, rasa bersalah.


(8)

FACULTY OF MEDICINE AND SCIENCE OF HEALTH NURSING SCIENCE PROGRAM

ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) Syarif Hidayatullah JAKARTA Undergraduate, July 2012

Santi Yuniartiningsih, NIM: 107104000195

Psychosocial Development Description of Children Aged 3-6 years in Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa

xv + 73 Pages + 6 Table + 2 Chart + 7 Appendix

ABSTRACT

Psychosocial development is a lifelong process, what is learned in the first years of life will establish developments in the future. The psychosocial development consists of eight stages of development. Children aged 3-6 years of being in the third stage of psychosocial development, initiative versus guilt. The child care is a place to raise children who do not have parents, so the role of parents is substituted by a caregiver, in addition to the child care also provides services to support the growth and develop of children who live in child care. The role of parents is substituted by a caregiver, to give effect to the psychosocial development of children in the future.

The goal of this research is find out the description of the psychosocial developmental in children aged 3-6 years who live in orphanage. This research was conducted with descriptive design. Analizing the data is using univariate analysis with the type of quantitative research. Sample research is children aged 3-6 years living in Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Balita Tunas Bangsa Cipayung. The number of population are 35 children, the number of samples in accordance criteria of as much as 29 children. Children who are being samples most of the male sex as much as 22 children (75.9%), where as women were 7 children (24.1%). Sampling technique used total sampling . Data obtained by means of observation using the observation sheet.

The results showed that the most of children aged 3-6 years living in child care have a good psychosocial development as much as 11 child (37.9%), psychosocial development is quite as much as 18 children (62.1%), lack psychosocial development is nothing. According to the research children have a good initiative stage of psychosocial development as much as 17 children (58.6%), quite 12 children (41.4%), lack is nothing, while the psychosocial development of children have a good guilt stage as much as 13 children (44.8% ), quite as much as 16 children (55.2%), lack is nothing. Based on these results, the authors recommend the implementation of democratic parenting, patten consistent, not changing the number of caregivers and caregivers who meet standards of child care.

Keywords: psychosocial development, children aged 3-6 years, child care, initiative, guilt.


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat segala nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal ini. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, dan sabahat-sahabatnya. Untaian rasa syukur penulis panjatkan karena dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun di Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa Cipayung”.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat akhir dari program akademik Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapat gelar S. Kep., akan tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan penulis terhadap pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis melihat fakta dan realita yang ada serta bagaimana pemecahan masalah dari suatu fenomena yang terjadi disekitarnya.

Penulis banyak mendapatkan dukungan, bantuan, dan motivasi dari berbagai pihak dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis ingin memberikan ucapan terimakasih yang mungkin hanya bisa dituliskan dalam skripsi kepada: 1. Prof. Dr (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And sebagai Dekan Fakulas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Achmad Gholib, MA, selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(10)

3. Dra. Farida Hamid, M. Pd, selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Tien Gartinah, MN, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Rita Yuliani, S. Kp., M. Si dan Ibu Uswatun Khasanah, MNS, selaku pembimbing proposal yang telah meluangkan waktu dan memcurahkan pikirannya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, masihat, dan arahan kepada penulis.

6. Ibu Kepala Bidang Pengasuhan yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama penelitian, Ibu Kepala PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung dan Ibu Kepala Bidang Keperawatan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitan.

7. Seluruh dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan khususnya dosen-dosen Ilmu Keperawatan yang tidak bisa disebutkan satu persatu serta staf akademik, dan petugas laboratorium.

8. Ucapan terimakasihku teristimewa untuk ibu dan ayah yang telah memberikan doanya, motivasinya, kasih sayangnya dan dukungan baik moral maupun spritualnya demi keberlangsungan studiku.

9. Sahabat-sahabat terbaikku di keperawatan (Tya, Ai, Nisa, Nurul) yang selalu memberikan motivasi dan doanya.

10.Keluarga besar PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya teman-teman angkatan 2007, kakak-kakak dan adik-adik PSIK yang tidak bisa


(11)

penulis sebutkan satu persatu namanya. Terima kasih atas semangat dan dukungan kalian.

11.Seluruh staf panti asuhan, pengasuh anak-anak panti asuhan yang telah membantu kelancaran proses penyusunan skripsi ini serta anak-anak PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung yang menjadi responden pada penelitian ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kesempurnaan itu dapat terbentuk dengan sebuah kritikan dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Juli 2012


(12)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN...xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

A. Rumusan Masalah ... 7

B. Pertanyaan Penelitian ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

1.Tujuan Umum ... 8

2.Tujuan Khusus ... 8

D. Manfaat penelitian ... 8

1.Pelayanan keperawatan ... 8

2.Pendidikan keperawatan ... 8

3.Panti asuhan ... 8

4.Penelitian Keperawatan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkembangan……….10

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan...11

C. Perkembanganpsikososialanakusia 3-6 tahun………...19

1. Anakusia 3-6 tahun………...19


(13)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhiperkembangan

Psikososial………..22

D. Kompetensipsikososialanakprasekolah……….33

1. Anakusia 3 tahun………..33

2. Anakusia 4 tahun………..34

3. Anakusia 5 tahun………..34

4. Anakusia 6 tahun………..35

E. Karakteristik perkembangan psikososial usia 3-6 tahun...35

F. Pantiasuhan……….41

G. Kerangkateori……….44

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangkakonsep……….45

B. Definisioperasional……….46

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desainpenelitian……….48

B. Populasidansampel………48

1. Populasipenelitian………48

2. Sampelpenelitian………..48

C. Pengumpulan data………..49

1. Instrumenpenelitian……….49

2. Teknikpengumpulan data………50

3. Teknikuji instrument………...51

D. Tempatdanwaktupenelitian……….52

E. Pengolahan data……….53

F. Analisis data………..54

G. Etikapenelitian………..54

BAB V HASIL PENELITIAN A. GambaranUmumLokasiPenelitian……….56

B. AnalisaUnivariat………..57

1. Gambaranusiaresponden………...57

2. Gambaran jenis kelamin anak usia 3-6 tahun...58


(14)

4. Gambaran perkembangan psikososial tahap inisiatif...59

5. Gambaran perkembangan psikososial tahap rasa bersalah...59

BAB VI PEMBAHASAN A. GambaranPerkembanganPsikososial………..61

B. GambaranPerkembanganPsikososialTahapInisiatif……….65

C. Gambaran Perkembangan Psikososial Tahap Rasa Bersalah...69

D. KeterbatasanPenelitian………71

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………...73

B. Saran……….73 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 DefinisiOperasional ………. 46 Tabel 5.1 DistribusiSentralTendensiRespondenMenurutUsiaAnak yang

Tinggal di PSAA Balita Tunas BangsaCipayung ………....57 Tabel 5.2 DistribusiFrekuensiAnakUsia 3-6 Tahun di PSAA Balita Tunas

BangsaTahun 2012 MenurutJenisKelamin ………....58

Tabel 5.3 DistribusiFrekuensiPerkembanganPsikososialAnakUsia 3-6 Tahun di PSAA Balita tunas BangsaTahun 2012 ………58

Tabel 5.4 DistribusiFrekuensiTahapInisiatifAnakUsia 3-6 Tahun di PSAA Balita Tunas BangsaTahun 2012 ……….59 TAbel 5.5 DistribusiFrekuensiTahap Rasa BersalahAnakUsia 3-6 Tahun di


(16)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka teori ………44


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 LembarPersetujuanMenjadi Responden

Lampiran 2 LembarObservasi

Lampiran 3 Surat izinpenelitian

Lampiran 4 Surat keterangandariDepartemenSosial DKI Jakarta

Lampiran 5 Surat izin validitas

Lampiran 6 Hasilperhitunganuji validitas dan reliabilitas

Lampiran 7 Hasilpenelitian


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia selalu mengalami perubahan sepanjang siklus kehidupan. Perubahan yang terjadi meliputi dua yaitu, pertumbuhan yang diartikan sebagai perubahan yang bersifat kuantitatif, bertambahnya ukuran dan struktur, dan perkembangan yang diartikan sebagai perubahan kualitatif, progresif, koheren, dan teratur. Perubahan yang dialami manusia merupakan integrasi dari berbagai perubahan struktur dan fungsi, karena itu perubahan ini tergantung pada hal-hal yang dialami sebelumnya dan mempengaruhi hal-hal yang terjadi sesudahnya (Somantri, 2006).

Wong (2008) menyebutkan beberapa dasar teoritik untuk perkembangan anak yaitu perkembangan kepribadian (diantaranya perkembangan psikoseksual, perkembangan psikososial), perkembangan mental (diantaranya perkembangan mental, perkembangan kognitif, perkembangan bahasa), dan perkembangan konsep diri. Namun, secara umum perkembangan pada anak mencakup perkembangan motorik halus, perkembangan motorik kasar, perkembangan bahasa, dan perkembangan perilaku atau adaptasi sosial (Hidayat, 2008). Depkes (2005) juga menyebutkan bahwa aspek-aspek perkembangan yang dipantau adalah gerak kasar atau motorik kasar, gerak halus atau motorik halus, kemampuan bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian (Depkes, 2005).


(19)

Perkembangan psikososial merupakan proses sepanjang hayat, apa yang dipelajari dalam tahun-tahun pertama kehidupan akan membentuk perkembangan di masa yang akan datang. Perkembangan psikososial yang lengkap sangat diperlukan, karena anak dengan perkembangan psikososial yang lengkap akan memiliki personality yang baik, memiliki sifat-sifat yang positif seperti percaya pada diri dan orang lain, autonomi, bersikap inisiatif, dapat membina hubungan yang erat dengan orang lain, serta mencapai kesempurnaan ego. Sebaliknya jika anak memiliki perkembangan psikososial yang kurang lengkap, anak akan memiliki sifat-sifat yang negatif seperti tidak percaya pada diri sendiri dan orang lain, merasa dirinya memalukan, merasa ragu-ragu, selalu merasa bersalah, rendah diri, mengasingkan diri dari orang lain dan merasa dirinya tidak berguna (Potter & Perry, 2005). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan pada 30 remaja berusia 12-18 tahun di panti asuhan yang bertujuan untuk mengetahui harga diri remaja yang tinggal dipanti asuhan, sebanyak 56,7% memiliki harga diri rendah, sedangkan sebanyak 43,3% memiliki harga diri tinggi (Jaftoran, 2010). Selain itu, penelitian Banunaek (1999) yang bertujuan untuk mengetahui apakah anak yang tinggal dipanti asuhan mengalami sindrom deprivasi maternal aspek psikososial. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 61 anak yang tinggal dipanti asuhan sebanyak 67,2% anak-anak mengalami sindrom deprivasi maternal.

Pada masa usia 3-6 tahun, atau yang lebih sering disebut dengan istilah anak prasekolah, anak mempelajari dasar-dasar perkembangan sosial sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk sekolah (Hurlock, 2002).


(20)

Masa prasekolah juga merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat singkat serta tidak dapat diulang lagi, oleh karena itu masa prasekolah disebut masa keemasan (golden period), jendela kesempatan (window of opportunity) dan masa kritis (critical period) (Depkes, 2005).

Pada usia prasekolah, perkembangan sosial anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan psikososial pada tahap ini adalah anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain, sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan, anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain, dan anak mulai dapat bermain bersama teman sebayanya (Yusuf, 2004).

Menurut Erik Erikson (1950 dalam Santrock, 2002) pada usia 3-6 tahun anak memasuki tahap perkembangan psikososial inisiatif dan guilt. Pada masa ini, terjadi perkembangan fisik, intelektual serta rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu, sehingga anak menjadi lebih mampu mengontrol tubuhnya. Anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki perbedaan dengan dirinya, baik menyangkut persepsi maupun motivasi (keinginan), dan mereka menyukai kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu. Pada tahap inisiatif, anak sudah siap dan berkeinginan untuk belajar dan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuannya (Yusuf, 2004). Selain itu pada tahap inisiatif, anak-anak ini dengan gembira beralih ke suatu dunia sosial yang lebih luas. Pengatur utama inisiatif adalah kata hati. Anak-anak sekarang tidak hanya merasa takut, tetapi mereka juga mulai mendengar suara batin


(21)

pengawasan diri sendiri, membimbing diri sendiri, dan menghukum diri sendiri (Santrock, 2002).

Pada tahap inisiatif, jika energi yang mendorong anak untuk aktif (dalam rangka memenuhi kebutuhannya) tidak tersalurkan akibat mengalami hambatan atau kegagalan, maka anak mengalami guilt (rasa bersalah). Rasa bersalah ini dapat menimbulkan harga diri rendah pada anak (Santrock, 2002; Yusuf, 2004). Tahap ini dapat tercapai jika anak berhasil mengatasi rasa bersalahnya dan hal ini sangat bergantung pada bagaimana orang tua tanggap terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak atas dasar inisiatif mereka sendiri. Rasa inisiatif juga didukung bila orang tua memberikan respon atas pertanyaan-pertanyaan anak dan tidak mencemoohkan atau menghambat kegiatan fantasi atau permainan anak. Sebagai contoh, anak-anak yang diberikan kebebasan dan peluang untuk berinisiatif dalam melakukan permainan motorik seperti berlari dan bergulat, maka anak cenderung memiliki rasa inisiatif yang didukung. Sebaliknya bila anak-anak merasa bahwa kegiatan motorik mereka jelek, pertanyaan-pertanyaan mereka mengganggu, maka anak seringkali mengembangkan rasa bersalah atas kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan atas inisiatif sendiri yang dapat berlangsung terus menerus sepanjang kehidupannya (Santrock, 2002).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Coplan (2004) terhadap 32 anak, dari usia 4-5 tahun sampai dewasa awal menunjukkan adanya perilaku prososial atau disposisi, yang muncul di awal kehidupan dan relatif stabil seumur hidup. Anak prasekolah yang lebih simpatik dan spontan berbagi dengan teman sekelas cenderung menunjukkan pemahaman prososial dan


(22)

perilaku empati sampai 17 tahun kemudian. Disposisi prososial mungkin sebagian disebabkan temperamen dan sebagian genetis, karena hal ini melibatkan pengendalian inhibitori (pengendalian diri atau penyanggahan diri). Anak prasekolah yang pemalu dan menarik diri cenderung untuk kurang prososial mungkin karena mereka enggan untuk berhubungan dengan orang lain (Papalia, 2009).

Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Balita Tunas Bangsa merupakan lembaga pelayanan kesejahteraan balita. Di tempat ini tersedia pembinaan fisik, kesehatan, bimbingan mental, sosial, dan pendidikan untuk menunjang perkembangan anak. Pengamatan yang dilakukan pada saat praktek pra-klinik keperawatan di PSAA Balita Tunas Bangsa 6 dari 10 orang anak, terlihat bahwa anak-anak yang tinggal di panti asuhan menunjukkan sikap marah ketika makanan yang dimiliki di rebut oleh temannya, anak terlihat memukul ketika barang yang dimilikinya diambil oleh temannya. Pada saat peneliti sedang melakukan intervensi pada salah satu anak, anak yang lainnya juga terlihat merajuk dan mendekat ingin mendapatkan perlakuan yang sama. Akan tetapi, anak yang diberikan intervensi tidak menyukai kehadiran anak yang lain, kemudian anak spontan berteriak kepada anak yang kedua. Pada saat ada kunjungan anak-anak dari sebuah TK ke panti asuhan tersebut dan melakukan permainan, anak-anak panti asuhan cenderung sulit untuk mengikuti perintah dalam permainan tersebut dibandingkan dengan anak-anak TK yang mengunjunginya.

Selain itu, tenaga pengasuh sebagai pengganti peran orang tua juga jumlahnya terbatas, sehingga stimulasi perkembangan terutama perkembangan


(23)

psikososial anak kurang optimal. Idealnya pengasuh dengan jumlah anak adalah sama atau minimal 2 anak di asuh oleh 1 pengasuh. Hasil studi pendahuluan menunjukkan hasil, bahwa jumlah anak dengan jumlah pengasuh kurang sesuai. Anak usia 0-4 bulan dengan jumlah 13 anak diasuh oleh 2 orang, yang idealnya diasuh oleh 4 orang. Anak usia 5-18 bulan dengan jumlah 17 anak diasuh oleh 2 orang, idealnya diasuh oleh 3 orang (Depsos, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Save the Children (2008) pada 36 panti asuhan di Indonesia, menemukan beberapa hubungan yang terjadi di panti asuhan. Pertama, hubungan antara anak-anak dan staf atau kepala panti di mana hubungan antara anak-anak dan pengurus dan kepala panti umumnya tidak terlalu dekat atau santai. Kedua, hubungan antar anak-anak di panti asuhan. Berbeda dengan hubungan antara anak-anak dengan staf atau kepala panti, hubungan antar anak-anak di panti asuhan sangat erat, meskipun masih ditemukan beberapa indikasi adanya kenakalan di beberapa panti. Berdasarkan hubungan tersebut, terlihat bahwa perkembangan anak tidak terpantau atau tidak didukung pada saat-saat terpenting usia perkembangan mereka.

Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perkembangan psikososial anak usia prasekolah amatlah penting, karena akan menentukan perkembangan selanjutnya. Selain itu, keluarga ikut memegang peranan penting untuk tercapainya perkembangan tersebut. Anak-anak yang tinggal satu rumah dengan orang tuanya, mungkin akan mendapatkan stimulasi dan media-media untuk menunjang perkembangan yang sesuai dengan tahap perkembangannya, berbeda dengan anak yang tinggal dipanti asuhan yang


(24)

tidak mendapatkan stimulasi untuk menunjang perkembangannya. Penelitian yang menunjukkan dampak jangka panjang dari hal tersebut adalah penelitian Widyawati (2009) yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran self esteem antara remaja yang tinggal dipanti asuhan dengan remaja yang tinggal bersama keluarga serta perbedaan self esteem antara remaja yang tinggal dipanti asuhan dan remaja yang tinggal bersama keluarga. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang tinggal dipanti asuhan memiliki self esteem sedang, sedangkan remaja yang tinggal bersama keluarga memiliki self esteem tinggi, kemudian terdapat perbedaan antara remaja yang tinggal dipanti asuhan dan remaja yang tinggal bersama keluarga.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun di panti asuhan.

B. Rumusan Masalah

Perkembangan psikososial merupakan perkembangan yang tidak bisa diabaikan, karena apabila diabaikan akan memberikan dampak negatif untuk perkembangan psikososial selanjutnya. Dampak negatif yang mungkin akan timbul adalah anak merasa rendah diri, anak merasa bersalah terus menerus, dan anak merasa tidak berguna. Untuk menghindari dampak tersebut, gambaran perkembangan psikososial diperlukan untuk mengantisipasi dampak tersebut.

C. Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah gambaran perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun di panti asuhan?


(25)

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun di panti asuhan.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran perkembangan psikososial inisiatif anak usia 3-6 tahun yang tinggal di panti asuhan.

b. Untuk mengetahui gambaran perkembangan psikososial rasa bersalah anak usia 3-6 tahun di panti asuhan.

3. Manfaat Penelitian

1. Pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang dapat digunakan perawat untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan keperawatan profesional, terutama pelayanan keperawatan pada anak yang kurang mendapatkan stimulus pertumbuhan dan perkembangan.

2. Pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada peserta didik tentang perkembangan psikososial anak di panti asuhan, yang sebelumnya teori perkembangan anak sudah dipelajari di bangku pendidikan.

3. Panti Asuhan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan yang bermanfaat untuk panti asuhan, memberikan gambaran yang sebenarnya


(26)

tentang perkembangan psikososial anak-anak yang tinggal di panti asuhan tersebut.

4. Penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan topik sejenis, untuk kemajuan penelitian bidang keperawatan, terutama keperawatan anak.  

                                     


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan

Menurut Wong (2008) perkembangan adalah perubahan dan perluasan secara bertahap, perkembangan tahap kompleksitas dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang melalui pertumbuhan, maturasi serta pembelajaran. Potter & Perry (2005) menjelaskan bahwa perkembangan adalah aspek progresif adaptasi terhadap lingkungan yang bersifat kualitatif. Contoh dari perubahan kualitatif ini adalah peningkatan kapasitas fungsional, dan penguasaan terhadap beberapa keterampilan yang lebih kecil. Perubahan kualitatif yang dapat dilihat untuk anak prasekolah adalah anak ikut serta dalam percakapan dengan orang tua mereka (Potter & Perry, 2005).

Selain itu, Maslow (1988, dalam Supartini 2004) mendefinisikan perkembangan sebagai peningkatan keterampilan dan kapasitas anak untuk berfungsi secara bertahap dan terus menerus. Jadi, yang dimaksud dengan perkembangan adalah suatu proses untuk menghasilkan peningkatan kemampuan untuk berfungsi pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, perkembangan secara luas memperlihatkan keseluruhan proses dari kemampuan yang dimiliki individu dan terlihat dalam kualitas kemampuan, sifat, dan ciri-ciri yang baru (Hawadi, 2001).


(28)

Aspek-aspek perkembangan yang dipantau pada anak adalah: 1. Gerak kasar atau motorik kasar

Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti duduk, berdiri, melompat, merangkak, dan sebagainya.

2. Gerak halus atau motorik halus

Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit, menulis, menggambar, makan sendiri, minum dari cangkir dengan bantuan, dan sebagainya.

3. Kemampuan bicara dan bahasa

Aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, berbicara, berkomunikasi, mengikuti perintah, dan sebagainya.

4. Perkembangan psikososial

Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai bermain), mudah berpisah dengan ibu atau pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya, dan sebagainya.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

Wong (2008) menyebutkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan, yaitu:


(29)

1. Keturunan

Karakteristik yang diturunkan mempunyai pengaruh besar pada perkembangan. Jenis kelamin anak, yang ditentukan oleh seleksi acak pada waktu konsepsi, mengarahkan pola pertumbuhan dan perilaku orang lain terhadap anak. Kebanyakan karakteristik fisik termasuk pola dan bentuk gambaran, bangun tubuh, dan keganjilan fisik, diturunkan dan dapat mempengaruhi cara pertumbuhan dan integrasi anak dengan lingkungannya. Banyak dimensi kepribadian seperti temperamen, tingkat aktivitas, dan kecenderungan ke arah rasa malu, diyakini dapat diturunkan. 2. Faktor Neuroendokrin

Kemungkinan semua hormon mempengaruhi perrtumbuhan dalam beberapa cara. Tiga hormon yaitu hormon pertumbuhan, hormon tiroid, dan androgen, ketika diberikan pada individu yang kekurangan hormon ini, merangsang anabolisme protein dan karenanya menghasilkan retensi elemen esensial untuk pembangunan protoplasma dan jaringan bertulang. Tampak bahwa setiap hormon yang mempunyai pengaruh bermakna pada pertumbuhan memanifestasikan efek utamanya pada periode pertumbuhan yang berbeda.

3. Nutrisi

Nutrisi mungkin merupakan satunya-satunya pengaruh paling penting pada pertumbuhan. Selama masa bayi dan kanak-kanak, kebutuhan terhadap kalori relatif besar, seperti yang dibuktikan oleh peningkatan tinggi dan berat badan. Nutrisi yang adekuat berkaitan erat dengan kesehatan yang baik seumur hidup, dan perbaikan menyeluruh dalam


(30)

nutrisi dibuktikan oleh bertambahnya ukuran secara bertahap dan maturasi anak secara dini. Pengaruh nutrisi yang baik juga mempengaruhi perkembangan, terutama untuk perkembangan kognitif anak, untuk perkembangan IQ anak. Pada usia 3-6 tahun perkembangan syaraf-syaraf anak sedang berkembang untuk penyempurnaan perkembangan selanjutnya anak (Depkes, 2005).

4. Hubungan Interpersonal

Hubungan dengan orang terdekat memainkan peran penting dalam perkembangan, terutama dalam perkembangan emosi, intelektual, dan kepribadian. Individu yang menjadi pengasuh tidak diragukan lagi adalah satu-satunya individu yang paling berpengaruh selama awal masa bayi. Individu ini dapat memenuhi kebutuhan dasar bayi yaitu, makanan, kehangatan, kenyamanan, dan kasih sayang. Individu ini (pria atau wanita) menstimulasi indra anak dan memfasilitasi pengembangan kemampuan anak. Melalui individu ini anak belajar untuk mempercayai dunia dan merasa aman untuk menjelajahi hubungan yang semakin luas, dengan kata lain pengasuh yang paling dekat dengan akan adalah orang tua. Secara umum, orang tua paling berpengaruh dalam membantu anak menemukan identifikasi peran seksual. Apabila tidak ada model peran seksual yang tepat dalam lingkungan keluarga, anak dapat mengadopsi beberapa karakteristik orang tua atau saudara kandung yang memiliki jenis kelamin berbeda.

Saudara kandung adalah teman sebaya pertama anak, dan cara mereka belajar untuk saling berhubungan mempengaruhi interaksi selanjutnya


(31)

dengan teman sebaya di luar kelompok keluarga. Ketika anak gagal untuk mempunyai hubungan interpersonal yang berkualitas dengan individu yang menjadi contoh, mereka mengalami deprivasi emosi. Gambaran paling menonjol dari deprivasi emosi, terutama selama tahun pertama, adalah keterlambatan perkembangan. Contohnya dari deprivasi emosi ini adalah bayi-bayi yang tidak mendapatkan perawatan dari figur ibu yang konsisten, gagal untuk menambah berat badan walaupun mendapat nutrisi yang cukup, tapi bayi-bayi ini tampak pucat, malas, dan tidak mau bergerak, dan tidak responsif terhadap rangsang yang biasanya menimbulkan respon seperti tersenyum atau tertawa pada bayi normal. 5. Tingkat sosioekonomi

Tingkat sosioekonomi keluarga anak mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia anak dari keluarga kelas atas dan menengah mempunyai tinggi badan lebih dari anak dari keluarga dengan strata sosioekonomi rendah. Keluarga dari kelompok sosioekonomi rendah mungkin kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, menstimulasi, dan kaya nutrisi membantu perkembangan optimal anak. 6. Penyakit

Perubahan pertumbuhan dan perkembangan adalah salah satu manifestasi klinis dalam sejumlah gangguan herediter. Gangguan pertumbuhan terutama terlihat pada gangguan skeletal. Gangguan apa pun yang dicirikan dengan ketidakmampuan untuk mencerna dan mengabsorpsi nutrisi tubuh akan memberikan efek merugikan pada


(32)

pertumbuhan dan perkembangan. Sebagai contoh anak menderita penyakit kanker, anak akan sedikit terganggu dengan perkembangannya, antara lain perkembangan psikososialnya. Anak yang menderita kanker akan memiliki waktu yang kurang untuk bertemu dengan teman sebayanya, dikarenakan anak menjalani pengobatan yang rutin.

7. Bahaya Lingkungan

Bahaya di lingkungan adalah sumber kekhawatiran pemberi asuhan kesehatan dan orang lain yang memperhatikan kesehatan dan keamanan. Sebagai contoh anak-anak yang tinggal di daerah industri, dari segi kesehatan anak akan mengirup udara yang kurang bersih karena udara sudah tercemar oleh asap-asap pabrik menyebabkan anak-anak menjadi jarang untuk keluar rumah dan sulit untuk bertemu teman-teman sebaya. 8. Stres Pada Masa Kanak-kanak

Stres adalah ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan sumber koping individu yang mengganggu ekuilibrium individu tersebut (Masten, 1988 dalam Wong, 2008). Meskipun semua anak mengalami stres, beberapa anak muda tampak lebih rentan dibandingkan yang lain. Usia anak, temperamen, situasi hidup, dan status kesehatan mempengaruhi kerentanan, reaksi, dan kemampuan mereka untuk mengatasi stres. Respon terhadap stresor juga dapat berupa perilaku, psikologis, atau fisiologis. Orang tua dan pemberi asuhan lain dapat mencoba untuk mengenali tanda stres untuk membantu anak menghadapi stres sebelum menjadi berat. Respon untuk mengatasi stress tersebut disebut koping.


(33)

Koping adalah tahapan khusus dari reaksi individu terhadap stresor, suatu reaksi terhadap stresor yang menghapus, mengurangi, atau menggantikan status emosi yang diklasifikasikan sebagai penuh stres. Strategi koping adalah cara khusus anak mengatasi stresor yang dibedakan dari gaya koping, yang relatif tidak mengubah karakteristik keprbadian atau hasil koping (Ryan-Wenger, 1992 dalam Wong, 2008).

9. Pengaruh Media Masa

Media dapat memberikan pengaruh besar pada perkembangan anak. Tidak diragukan lagi bahwa media memberikan anak suatu cara untuk memperluas pengetahuan mereka tentang dunia tempat mereka hidup dan berkontribusi untuk mempersempit perbedaan antar kelas. Citra perilaku berisiko yang ditampilkan oleh media dapat berperan dalam membentuk atau menguatkan persepsi anak tentang lingkungan sosial mereka. Anak-anak dapat mengidentifikasi secara dekat orang atau karakter yang digambarkan dalam materi bacaan, film, video, dan program televisi serta iklan. Anak-anak masa kini cenderung memilih media dan figure olah raga sebagai model peran ideal mereka, sedangkan di masa lalu mayoritas anak memilih orang tua atau wali orang tua mereka sebagai orang yang paling ingin mereka contoh (Duck, 1990 dalam Wong, 2008). Ada beberapa hal yang mempengaruhi media masa, yaitu:

a. Materi Bacaan

Buku, koran, dan majalah adalah bentuk media masa paling tua. Materi ini berkontribusi pada kompetensi anak dalam hampir setiap


(34)

arah dan juga memberikan kesenangan. Dongeng diyakini sebagai media terbaik untuk menjelaskan topik yang penting dan penuh teka-teki seperti kematian, orang tua tiri, perasaan, dan gejolak dalam diri. Meskipun tidak memberikan solusi, cerita dongeng menghadapkan anak pada situasi emosi yang sulit dan memberikan gambaran untuk menghadapinya.

Buku komik dan materi bacaan lain telah popular dalam setiap generasi, biasanya anak mendapatkan buku komik dan materi bacaan dari orang tua, sekolah atau perputakaan. Bacaan yang menarik, mudah dipahami oleh anak, serta cerita yang penuh petualangan tampak memenuhi kebutuhan anak untuk memahami orang lain dan diri mereka sendiri.

b. Film

Film yang tidak terikat erat pada kenyataan dan sering menggambarkan berbagai perilaku yang disukai secara sosial mungkin memberikan kontribusi pada sistem nilai anak dan memberikan kesempatan untuk pembelajaran sosial yang diinginkan. Di lain pihak, anak khususnya remaja, menggemari film “macho” dan film yang pahlawannya mengatasi masalah dengan cara kekerasan, seperti karate dan kejar-kejaran mobil yang liar.

Pembawaan pengaruh ini ke dalam kehidupan sehari-hari dan hubungannya dapat menyebabkan peningkatan perilaku kekerasan pada individu muda. Penelitian menunjukkan bahwa video dapat menurunkan sensitivitas penonton terhadap perilaku kekerasan


(35)

(Rowitz, 1992 dalam Wong, 2008). Anak-anak dapat ditakuti oleh beberapa film seperti Snow White dan Cinderella, yang menggambarkan hubungan ibu dan anak, ibu tiri sebagai orang jahat, dan merusak. Gambaran seperti ini dapat memberikan pengaruh buruk pada hubungan anak dengan ibu tiri atau membingungkan pada anak yang telah membina hubungan baik dengan ibu tiri.

c. Televisi

Televisi telah menjadi salah satu agen penyosialisasi paling penting dalam kehidupan anak-anak. Isi program dan iklan merupakan sumber untuk mendapat informasi, mencontoh perilaku, dan melihat orientasi nilai. Televisi selalu mempunyai program acara yang menarik untuk ditayangkan, sehingga anak menyukai menghabiskan waktu dengan menonton. Selain itu tayangan yang diberikan belum tentu sepenuhnya cocok untuk dinikmati oleh anak-anak, menyebabkan anak akan melihat tayangan yang seharusnya ditonton oleh orang dewasa. Kontroversi terus berlangsung mengenai pengaruh televisi yang dapat mengganggu perkembangan dan perilaku anak. Kebanyakan peneliti telah menyimpulkan bahwa menonton televisi yang berlarut-larut memiliki efek menyimpang pada anak.

Peningkatan perilaku agresif secara verbal dan fisik, penurunan kemampuan pemecahan masalah, stereotip peran seksual yang lebih besar, dan penurunan kreativitas telah banyak dikeluhkan. Pada sisi positif, televisi telah terbukti memberikan pengaruh posistif pada kemampuan anak untuk mengahadapi berbagai masalah sosial seperti


(36)

perceraian, adanya adik baru, diskriminasi, kejujuran, dan tolong menolong. Anak yang menonton program pendidikan untuk periode waktu lama menjadi lebih menyenangi, penuh pertimbangan, kooperatif, dan siap membentu teman bermain mereka. Banyak orang tua dikhawatirkan oleh efek menonton televisi pada anak mereka. Orang tua perlu mengawasi jumlah dan tipe program televisi yang ditonton anak mereka dan mengajarkan anak mereka tentang cara menonton televisi.

d. Komputer atau Internet

Penggunaan komputer baik di ruang kelas dan di rumah telah memengaruhi pembelajaran dan perkembangan di masa kanak-kanak. Meskipun teknologi komputer telah meningkatkan banyak bentuk pembelajaran dan rekreasi, terdapat potensi bahaya untuk anak. Perawat harus dilibatkan dalam mendorong orang tua untuk mengetahui aktivitas internet anak mereka sambil memberikan aktivitas belajar yang tepat dengan komputer. Salah satu strategi yang bermanfaat adalah menempatkan computer di area yang terbuka di rumah, seperti dapur atau ruang keluarga agar orang tua dalat dengan mudah memantau penggunaannya.

C. Perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun 1. Anak usia 3-6 tahun

Banyak sebutan untuk anak usia 3-6 tahun ini. Beberapa nama yang diberikan untuk masa ini adalah:


(37)

a. Preschool age yang menunjukkan bahwa harapan dan tekanan yang diharapkan pada masa ini sangat berbeda dari yang akan dialami saat anak masuk sekolah.

b. Pregang age anak mulai belajar pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku sosial.

c. Exploratory age memperlihatkan minat anak untuk bertanya apa saja yang ada di sekitarnya.

d. Imitative age anak mulai mengikuti cara bicara atau perilaku apa saja yang ada di sekitarnya.

e. Creative age memperlihatkan bahwa setiap anak tampak lebih kreatif (Hawadi, 2001).

Dari sekian banyak sebutan untuk usia 3-6 tahun, sebutan anak prasekolah adalah yang paling sering digunakan. Periode anak prasekolah adalah periode usia anak dengan rentang 3 sampai 6 tahun dengan tugas perkembangan yang harus diselesaikannya (Keliat, 2008). Sedangkan Ramli (2005) mengemukakan bahwa usia prasekolah adalah masa usia taman kanak-kanak, yang merupakan masa-masa dalam kehidupan manusia sejak usia 4 sampai 6 tahun.

2. Perkembangan Psikososial

Menurut Bastable (2002) perkembangan psikososial adalah proses penyesuaian psikologis dan sosial sejalan dengan perkembangan seseorang sejak bayi sampai dewasa berdasarkan delapan tahap kematangan psokologis dan sosial manusia. Erik Erikson menyatakan bahwa pada usia 3-6 tahun, anak sedang dalam tahapan perkembangan yang ketiga dari


(38)

delapan tahap perkembangan. Tahap perkembangan tersebut disebut inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt) (Papalia, 2009). Perkembangan inisiatif adalah perkembangan yang muncul dimana anak mulai mendengarkan kata hati, ketika akan melakukan sesuatu, dan memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya perkembangan rasa bersalah adalah perasaan bersalah yang muncul ketika anak mengalami hambatan, tidak mampu atau gagal dalam melakukan sesuatu (Santrock, 2002).

Pada tahap perkembangan inisiatif versus rasa bersalah anak-anak akan belajar berfantasi dan juga mulai belajar ada orang lain selain dirinya. Tahap ini merupakan pondasi anak untuk menjadi kreatif. Anak-anak mulai mengenal identitas dirinya, terutama yang berkaitan dengan jenis kelamin mereka. Anak mulai mengenal identitas dirinya bukan hanya dari alat kelamin yang dimilikinya tetapi juga dari perlakuan sekelilingnya. Kemampuan menggunakan bahasa semakin meningkat, dan anak-anak mulai belajar melibatkan diri dalam aktifitas bersama dengan teman-temannya.

Pada tahap inisiatif versus rasa bersalah, anak terlihat tumbuh dan memiliki banyak kepandaian. Anak belajar berfantasi dan hal ini menjadi dasar bagi anak untuk menjadi kreatif. Oleh karena itu anak tidak perlu dibebani dengan tugas dan pekerjaan di luar kemampuannya, karena jika anak-anak tidak mampu belajar sesuai dengan tugas yang diberikan, akan menimbulkan rasa bersalah pada diri anak. Gangguan pada perkembangan tahap inisiatif dapat menyebabkan anak menjadi sulit belajar, pasif, kurang


(39)

inisiatif, selalu takut mencoba hal yang baru, dan terkadang mempunyai masalah dalam bergaul dengan teman-temannya (Sunarti, 2004).

Anak usia prasekolah mencoba untuk menjadi asertif selama berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Persetujuan dari orang lain akan meningkatkan inisiatif. Jika tindakan-tindakan anak usia prasekolah tidak diizinkan atau tidak mendapat persetujuan dari orang lain, maka akan timbul rasa bersalah (Christensen, 2009).

Perkembangan inisiatif diperoleh dengan cara mengkaji lingkungan melalui kemampuan inderanya. Anak mengembangkan keinginan dengan cara melakukan eksplorasi terhadap apa yang ada disekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai prestasi. Perasaan bersalah akan timbul apabila anak tidak mampu berprestasi sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak dicapai (Papalia, 2009).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun berdasarkan Santrock (2002, 2011) dan Papalia (2009) adalah:

a. Diri (Self)

Diri merupakan pemahaman seorang anak terhadap diri mereka sendiri, tentang cara anak menggambarkan diri mereka. Dalam diri anak-anak usia 3-6 tahun berkembang beberapa pemahaman, yaitu:


(40)

1) Pemahaman Diri

Pada masa kanak-kanak awal, anak berpikir bahwa diri mereka dapat dijelaskan melalui banyak karakteristik material, seperti ukuran, bentuk, dan warna. Selain itu, anak-anak juga sering menggambarkan diri mereka dalam bentuk aktivitas permainan (Santrock, 2011).

2) Harga Diri

Harga diri adalah bagian dari evaluasi konsep diri, penilaian yang dibuat anak mengenai seberapa berhargannya mereka. Harga diri pada masa kanak-kanak awal bersifat tidak ada perbedaan “saya baik” atau “saya jahat” (Papalia, 2009). Penelitian Widyawati (2009) yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran self esteem antara remaja yang tinggal dipanti asuhan dengan remaja yang tinggal bersama keluarga serta perbedaan self esteem antara remaja yang tinggal dipanti asuhan dan remaja yang tinggal bersama keluarga. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang tinggal dipanti asuhan memiliki self esteem sedang, sedangkan remaja yang tinggal bersama keluarga memiliki self esteem tinggi, kemudian terdapat perbedaan antara remaja yang tinggal dipanti asuhan dan remaja yang tinggal bersama keluarga. 3) Pemahaman dan Pengaturan Emosi

Pemahaman dan pengaturan emosi akan meningkatkan kemampuan sosial anak dan kemampuan untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain. Hal ini membantu anak dalam mengatur


(41)

perilaku dan mengungkap tentang perasaan-perasaan mereka (Santrock, 2011).

Pemahaman diri anak-anak menjadi sangat penting, karena terkait dengan pertumbuhan selanjutnya. Apabila anak memahami diri mereka, maka anak akan mampu untuk mendeskripsikan diri mereka sesuai dengan tapahan perkembangannya.

b. Gender

Identitas gender (gender identity) adalah kesadaran yang berkembang pada masa kanak-kanak awal bahwa seseorang adalah laki-laki atau perempuan (Papalia, 2009). Identitas gender melibatkan kesadaran gender seseorang, termasuk pengetahuan, pemahaman, dan penerimaan sebagai laki-laki atau perempuan. Salah satu aspek identitas gender adalah adanya pengetahuan bahwa apakah dirinya seorang anak perempuan atau laki-laki. Pada umumnya anak dapat mengetahui setelah usia 2,5 tahun (Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009 dalam Santrock, 2011).

Maccoby (2002, dalam Santrock, 2011) menyatakan anak-anak sudah menunjukkan gambaran bahwa mereka menghabiskan waktu bersama teman bermain berjenis kelamin sama sejak anak berusia sekitar 3 tahun. Dari usia 4-12 tahun, gambaran untuk bermain bersama dalam kelompok yang berjenis kelamin sama meningkat, dan selama tahun-tahun sekolah dasar, anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu luang mereka bersama anak-anak yang berjenis kelamin sama.


(42)

Faktor gender ini dipengaruhi oleh:

1) Pengaruh Biologis

Efek biologis yang berpengaruh adalah kromosom, dan hormon. Manusia memiliki 46 kromosom yang tersusun dalam pasangan, yaitu kombinasi kromosom X dan Y. Pada anak perempuan dua kromosom X, sedangkan pada anak laki-laki kombinasi kromosom X dan Y. Laki-laki mulai berbeda dengan perempuan ketika pada kromosom Y dalam embrio laki-laki memicu perkembangan testis bukan ovarium. Testis mensekresi sejumlah hormon yang dikenal sebagai androgen yang menuntun pada perkembangan organ seks laki-laki. Rendahnya tingkat androgen di embrio perempuan memungkinkan terjadinya perkembangan normal organ seks perempuan (Santrock, 2011). 2) Pengaruh Sosial

Pengaruh sosial memiliki peranan dalam membentuk gender. Anak biasanya memilih model yang dianggap kuat, dalam hal ini biasanya orang tua menjadi model paling kuat selain teman sepermainan (Papalia, 2009).

Untuk memberikan pemahaman tentang gender kepada anak, orang tua memerlukan model untuk menjelaskan hal tersebut. Penjelasan ini diperlukan untuk menghindari kebingungan peran gender ketika anak dewasa nanti. Jika sejak usia prasekolah anak sudah dijelaskan mengenai gendernya, maka ketika dewasa anak akan mampu untuk menempatkan posisinya. Sebagai contoh, untuk memberikan


(43)

pemahaman mengenai gendernya, anak perempuan dicirikan mengenakan kerudung, sedangkan anak laki-laki mengenakan peci, sehingga ketika anak berada dilingkungan sosial sudah bisa dibedakan laki-laki dan perempuan.

c. Permainan

Permainan adalah sebuah aktivitas yang menyenangkan dengan terlibat di dalamnya, ketika fungsi serta bentuknya bervariasi (Santrock, 2011). Bermain adalah pekerjaan seorang anak, dan hal ini berkontribusi terhadap seluruh aspek perkembangan. Melalui bermain, anak merangsang indera, belajar menggunakan otot-otot mereka, mengkoordinasikan penglihatan dan gerakan, memperoleh penguasaan tubuh, dan memperoleh berbagai keterampilan baru (Papalia, 2009).

Penelitian Hastuti (2009) yang bertujuan untuk menganalisis penyelenggaraan stimulasi psikososial pada anak di kelompok bermain dan pengaruhnya terhadap tumbuh kembang, menyatakan bahwa kelompok bermain memberikan pengaruh terhadap perkembangan sosial emosi. Anak yang mengikuti kelompok bermain, anak dapat menceritakan perasaannya, memberitahu tentang hal yang ditakutkan, mengenal etiket makan, menjadi pendengar yang baik, mampu membereskan alat-alat permainan, tidak membalas memukul apabila dipukul temannya, serta mau bermain dan ramah dengan orang yang baru dikenalnya, mampu memilih baju sendiri, mulai mahir menggunakan toilet, sudah dapat ditinggalkan orang tua, dan mudah


(44)

bermain dengan siapa saja. Tetapi, hampir semua anak akan menangis dan marah apabila permintaannya tidak dikabulkan.

Penelitian Rudiati (2010) yang bertujuan untuk menganalisa perbedaan perkembangan psikososial anak TK dengan playgroup dan tanpa playgroup, dan hasilnya terdapat perbedaan perkembangan psikososial antara anak TK dengan kelompok bermain dan tanpa kelompok bermain. Perkembangan psikososial anak TK dengan kelompok bermain berada dalam katagori baik sedangkan anak TK tanpa kelompok bermain dalam katagori kurang baik.

Permainan merupakan sarana untuk mengembangkan sosialisasi anak-anak dalam mengenal lingkungan, dan orang lain disekitarnya. Melalui kegiatan bermainan anak mampu mengembangkan kreativitasnya. Selain itu, dengan ditunjang sarana dan prasarana untuk bermain, anak-anak mampu melalui tahap perkembangan sesuai dengan usianya. Selain itu juga, banyaknya kelompok bermain atau play group yang tersedia, memudahkan orang tua atau pengasuh dalam memfasilitasi anak untuk bermain bahkan anak-anak dapat dipantau perkembangannya.

d. Pengasuhan

Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan perkembangan psikososial anak adalah praktik pengasuhan anak. Keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Disamping itu,


(45)

orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu didalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan anak-anaknya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu (Soetjiningsih, 1998).

Pola pengasuhan atau perawatan anak sangat bergantung pada nilai-nilai yang dimiliki keluarga. Pada budaya timur seperti Indonesia, peran pengasuhan atau perawatan lebih banyak dipegang oleh istri atau ibu meskipun mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama pada dasarnya tujuan utama pengasuhan adalah:

1) Mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatnnya.

2) Memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya.

3) Mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakini (Supartini, 2004 dalam Utami, 2008).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, orang tua memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengasuh anak-anaknya. Baumrind (1971 dalam Santrock, 2011) menggambarkan empat jenis pengasuhan yaitu: 1) Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah gaya

membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa anak-anak untuk mengikuti arahan dari orang tua dan di paksa untuk menghormati pekerjaan serta upaya orang tua.


(46)

2) Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah gaya pengasuhan yang mendorong anak-anak untuk menjadi mandiri, tetapi masih ada batasan dari orang tua dan orang tua masih mengontrol tindakan anak-anak.

3) Pengasuhan lalai (neclectful parenting) merupakan gaya pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak-anaknya.

4) Pengasuhan permisif (indulgent parenting) merupakan gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan kehidupan anak-anaknya, dan orang tua memberikan tuntutan pada anak-anak mereka.

Untuk mencapai pengasuhan sesuai, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola pengasuhan, yaitu:

1) Pengasuh

Pola pengasuhan menjadi terganggu jika pengasuh menunjukkan sikap:

a) Inkonsistensi

Sikap tidak konsisten terjadi kala pengasuh melakukan penyimpangan terhadap aturan atau disiplin yang sudah diterapkan orang tua.

b) Ketidaksiapan pengasuh

Perilaku pengasuh yang suka membentak, mencubit atau berkata kasar yang mungkin akan ditiru oleh anak.


(47)

c) Overprotektif

Pengasuh yang menerima dan menerapkan aturan dari oarng tua sebagaimana adanya, sehingga membuat anak merasa terkekang.

2) Lingkungan rumah

Lingkungan rumah sekitar seperti tetangga, anak bisa mendapatkan pengalaman negatif yang akan mempengaruhi keberlangsungan pola pengasuhan orang tua. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu:

a) Membandingkan

Ketika anak menemukan perbedaan pola pengasuhan maka anak akan membandingkan dan hal ini bisa mempengaruhi anak sehingga akan menyebabkan protes dari anak kepada orang tuanya.

b) Inkonsistensi

Jika anak mendapati toleransi yang berbeda antara rumah temannya dengan apa yang ditemuinya dirumah sendiri maka anak kemungkinan akan melanggar ketetapan yang ada di rumahnya. Hal ini akan menyebabkan tidak konsistennya pola pengasuhan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

3) Lingkungan sekolah

Sekolah umumnya tidak selalu berpengaruh, tapi bisa jadi berpengaruh karena faktor berikut ini:


(48)

Sebaiknya rumah mengacu pola pengasuhan yang diterapkan disekolah, karena umumnya sekolah mengajarkan kebaikan pada anak. bila pola pengasuhan yang diterapkan berbeda maka akan menyababkan pola pengasuhan tidak efektir.

b) Pengaruh teman

Umumnya anak menganal beragam perilaku negatif lain yang datang dari teman-temannya, sehingga terkadang aturan-aturan orang tua hilang begitu saja (Irfan, 2007 dalam Utami, 2008). Pengasuhan merupakan salah satu faktor yang penting dalam tahap perkembangan. Pengasuhan dapat membentuk bagaimana tingkah laku anak di lingkungan sosialnya. Pengasuhan terkait dengan orang yang paling dekat dengan anak, yaitu orang tua. Bagaimana orang tua memperlakukan anak-anaknya dapat dilihat dari cara pengasuhan yang digunakan. Sebagai contoh, apabila orang tua menerapkan pengasuhan yang otoriter, maka cenderung untuk mengatur semua tindakan anak-anaknya. Tetapi ketika anak-anak berada di luar pengawasan orang tua anak seringkali merasa cemas, gagal melakukan kegiatan, dan kurang mampu berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya.

e. Hubungan dengan anak lain

Hampir semua karakteristik aktivitas dan perilaku melibatkan anak lain. Melalui bersaing dan membandingkan diri sendiri dengan anak lain, anak-anak dapat menilai kompetensi fisik, sosial, kognitif, dan bahasa, serta dapat memperoleh perasaan diri yang lebih realistis


(49)

(Bandura, 1994 dalam Papalia, 2009). Ada beberapa hubungan yang dijalin dengan anak lain, yaitu:

1) Hubungan dengan saudara kandung

Hubungan dengan saudara kandung meliputi membantu, berbagi, mengajar, berkelahi, dan bermain. Saudara kandung dapat bertindak sebagai pemberi dukungan emosional, rival, dan mitra komunikasi (Howe & Recchina, 2008 dalam Santrock, 2011).

2) Hubungan dengan teman sebaya

Pada saat anak-anak tumbuh dewasa, mereka semakin banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya yang seusia atau tingkat kematangannya hampir sama. Kelompok teman sebaya ini penting untuk menyediakan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya (Santrock, 2011).

Hurlock (2002) menyebutkan, anak-anak yang mengikuti pendidikan prasekolah misalnya pendidikan untuk anak sebelum taman kanak-kanak (Nursery school), pusat pengasuhan anak pada siang hari (day care center), atau taman kanak-kanak (kindergarten) biasanya mempunyai sejumlah besar hubungan sosial yang telah ditentukan dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Anak yang mengikuti pendidikan prasekolah melakukan penyesuaian yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan prasekolah.


(50)

f. Televisi

Banyak anak menghabiskan lebih banyak waktu di depan televisi daripada bercakap-cakap dengan orang tuanya. Televisi adalah salah satu media massa yang paling banyak mempengaruhi perilaku anak-anak (Santrock, 2002).

Televisi dapat memiliki efek negatif pada anak-anak karena, televisi menjadikan anak-anak pembelajar pasif. Akan tetapi, televisi dapat memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan anak, melalui program pendidikan yang akan diberikan pada anak.

D. Kompetensi psikososial anak prasekolah

Menurut Bredekamp & Copple (1997 dalam Ramli 2005) anak usia prasekolah memiliki perkembangan psikososial sebagai berikut:

1. Anak usia 3 tahun, memiliki kompetensi sebagai berikut: a. Memahami dirinya sebagai seorang individu.

b. Bermain dengan diri sendiri dan orang lain. c. Belajar berbagi mainan dengan teman sebaya. d. Tidak dapat berbagi tempat kerja.

e. Menunggu giliran. f. Menyukai berpakaian. g. Menyukai humor sederhana. h. Menyukai permainan lantai.

i. Bangga pada sesuatu yang dibuat sendiri.

j. Membantu orang dewasa dengan aktivitas rumah. k. Berperan sebagai orang dan objek (Ramli, 2005).


(51)

2. Anak usia 4 tahun, kompetensi psikososial yang dicapainya adalah: a. Masih melakukan permainan yang bersifat asosiatif tetapi mulai

melakukan permainan kerjasama dan saling memberi dan menerima b. Menunjukkan kesulitan berbagi tempat tetapi mulai memahami arti

giliran dan melakukan permainan sederhana dalam kelompok kecil c. Lebih senang bermain dengan orang lain

d. Mulai menawarkan segala sesuatu kepada orang lain secara spontan e. Menunjukkan kemarahan tetapi mulai memperbaiki tindakan agresif f. Semakin mengerti tentang perilaku pengaturan diri

g. Menunjukkan kemampuan yang lebih besar untuk mengendalikan perasaan (Ramli, 2005)

3. Anak usia 5 tahun, kemampuan psikososialnya adalah: a. Menikmati permainan drama dengan anak-anak lain b. Bekerjasama dengan baik

c. Memahami kekuatan penolakan terhadap orang lain

d. Menyukai orang lain dan dapat bertindak dengan cara hangat dan empatik

e. Menunjukkan sedikit perilaku agresif secara fisik f. Dapat mengikuti permainan

g. Berpakaian dan makan dengan sedikit pengawasan

h. Memadankan dan memberikan nama pada 4 warna dasar (Ramli, 2005).


(52)

4. Anak usia 6 tahun, kompetensi psikososial yang dicapai adalah: a. Bermaksud menyenangkan orang tua dan orang dewasa lainnya dalam

kelompok keluarga

b. Melindungi saudara kandung atau teman bermain yang lebih muda c. Bersemangat untuk berteman

d. Memiliki keterampilan sosial untuk memberi, menerima dan berbagi e. Memiliki tingkah laku lebih mandiri

f. Mempelajari hubungan antar benda (Ramli, 2005) E. Karakteristik perkembangan psikososial usia 3-6 tahun

Menurut Erikson pada tahap inisiatif versus rasa bersalah, anak menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

1. Memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua.

2. Menguasai perasaan otonomi, dengan dukungan orang tua dalam imajinasi dan aktivitas, dan anak berupaya menguasai perasaan inisiatif.

3. Mengembangkan perasaan bersalah ketika orang tua menjadikan anak merasa bahwa imajinasi dan aktivitasnya tidak dapat diterima.

4. Memiliki perasaan ansietas dan ketakutan ketika pemikiran dan aktivitasnya tidak sesuai dengan harapan orang tua (Muscari, 2005).

Beberapa karakteristik perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun antara lain (Erikson, 1950 dalam Keliat, 2008):

1. Karakteristik sosial

a. Memiliki hubungan dengan orang lain selain orang tua, yang meluas kepada hubungan anak dengan kakek-nenek, saudara kandung dan guru-guru di sekolah.


(53)

b. Memerlukan interaksi yang teratur dengan teman sebaya untuk membantu mengembangkan keterampilan sosial.

2. Karakteristik perilaku

Sesuai dengan tugas perkembangannya, anak usia 3-6 tahun memperlihatkan perilaku sebagai berikut (Keliat, 2008; Kozier, 1995; Papalia, 2009):

a. Perilaku inisiatif

1) Mengkhayal dan kreatif

Merupakan bagian penting dari tahapan perkembangan anak usia prasekolah. Anak usia prasekolah memiliki imajinasi atau khayalan yang aktif dan kreatif. Imajinasi atau khayalan anak usia prasekolah terjadi ketika anak-anak sedang bermain. Sebagai contoh, sebuah kursi akan menjadi indah apabila diduduki oleh raja dan ratu, anak mampu merealisasikan imajinasinya melalui sebuah gambar (Kozier, 1995).

2) Berinisiatif bermain dengan benda-benda di sekitarnya

Bermain merupakan kegiatan anak yang utama. Ketika anak sudah mulai bosan dengan mainan yang dimilikinya, anak berusaha untuk mendapatkan objek permainan yang baru. Untuk menemukan objek mainan yang baru, anak melihat di lingkungan sekitarnya apakah ada objek atau benda lain yang dapat digunakan untuk bermain. Selain itu rasa ingin tahu akan hal baru yang belum diketahui anak, akan memicu anak untuk bermain menggunakan benda-benda yang ditemukan di lingkungan sekitarnya, misalnya


(54)

ketika anak berada di meja makan melihat piring, sendok, gelas dan kemudian anak berinisiatif untuk memukul-mukul benda tersebut.

3) Belajar keterampilan fisik baru

Anak usia 3-6 tahun, merupakan masa-masa dimana anak sedang bergerak aktif. Pemanfaatan gerak aktif ini memudahkan untuk belajar berbagai macam keterampilan, terutama keterampilan secara fisik. Keterampilan yang diberikan dapat diberikan ketika bermain dan keterampilan fisik baru lebih menggunakan kemampuan motorik kasar anak, seperti melompat, melempar, berdiri satu kaki (Nugroho, 2009).

4) Menikmati bermain bersama dengan anak seusianya

Anak-anak sering berkumpul bersama untuk bermain. Saling menjalin hubungan satu sama lain, bertukar barang mainan yang mereka miliki. Anak-anak prasekolah terlibat dalam permainan asosiatif, dimana anak terlibat dalam kegiatan yang terpisah, tetapi mereka masih dapat berinteraksi dengan bertukar mainan atau mengomentari perilaku anak-anak yang lain dan anak terlihat senang ketika bermain bersama teman-temannya, anak terlihat berbagi mainan dengan temannya (Kozier, 1995).

5) Mudah berpisah dengan orang tua

Anak usia prasekolah sudah mulai dapat mengontrol emosinya. Kemampuan anak usia sekolah mengontrol emosinya tergantung pada masukan sensori yang diterima anak. Sebagai contoh, ibu


(55)

mengatakan akan pergi sebentar dan akan kembali lagi, anak yang mampu mengontrol emosinya akan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ibu akan datang kembali, selain itu anak terlihat tenang ketika akan ditinggal oleh orang tua/orang terdekat anak (Berk, 2000).

6) Mengetahui hal-hal yang salah dan benar, dan mengikuti aturan Anak prasekolah dapat mengetahui hal yang salah dan benar, karena pada masa ini anak sudah mulai mengikuti perintah, nasihat, aturan yang diberikan padanya. Anak mudah menyerap perintah yang diberikan, sehingga ketika anak mengetahui bahwa hal yang dilakukannya salah, maka anak tidak akan melakukan hal tersebut lagi. Selain itu, anak juga mulai mengetahui aturan-aturan yang berlaku. Contohnya, anak mampu mengikuti permainan yang memakai aturan seperti, bermain ular tangga, bermain petak umpet (Berk, 2000).

7) Mengenal minimal 4 warna

Perkembangan otak pada anak prasekolah terjadi sangat cepat. Berkaitan dengan hal tersebut, dengan mengenalkan warna-warna dapat membantu untuk perkembangan otak sebagai penyerapan daya ingat anak, terhadap hal-hal yang sudah diajarkan dan dilihat oleh anak (Nugroho, 2009).

8) Merangkai kata-kata dalam bentuk kalimat

Perkembangan bahasa anak prasekolah sudah mulai jelas, dan dapat dimengerti. Anak mulai mencoba kosa kata baru yang


(56)

didapat dari lingkungan sekitarnya. Anak-anak mulai menerapkan kata-kata yang didapatnya untuk berkomunikasi. Maka dari itu perlu dukungan dari lingkungan untuk menggunakan kalimat baik, karena anak dapat dengan cepat menyerap kosa kata yang didengarnya. Contohnya, “Ingin pipis”, “Lapar, mau makan” (Papalia, 2009).

9) Mampu mengerjakan pekerjaan yang sederhana

Anak prasekolah juga sudah mulai dapat melakukan pekerjaan yang sederhana. Berkaitan dengan gerak aktif anak, anak dapat diajarkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang sederhana, seperti mengajarkan anak untuk membereskan piring dan gelas yang telah dipergunakan, membereskan mainan yang telah digunakan (Nugoho, 2009).

10)Mengenal jenis kelamin

Anak usia 3-6 tahun mulai diajarkan untuk mengetahui perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin perlu dikenalkan sejak dini untuk menghindari kebingungan jenis kelamin. Secara bertahap mulai diperkenalkan bahwa ibu adalah seorang perempuan atau wanita, ayah adalah seorang laki-laki atau pria (Papalia, 2009).

b. Perilaku rasa bersalah

1) Tidak percaya diri, malu untuk tampil di depan umum

Pada masa usia prasekolah, anak juga mengalami rasa tidak percaya diri, malu untuk tampil. Jika anak tidak dibiasakan untuk


(57)

tampil di depan umum, anak cenderung untuk menjadi pemalu dan tertutup. Orang tua atau pengasuh harus mampu menanamkan rasa percaya diri anak sejak dini. Sebagai contoh, ketika anak bertanya jawablah dengan bahasa yang mudah, jangan melarang anak untuk bertanya, karena jika sekali dilarang dapat menimbulkan rasa tidak percaya untuk bertanya kembali dan dapat menimbulkan rasa bersalah karena telah bertanya (Santrock, 2002).

2) Pesimis, tidak memiliki cita-cita

Pesimis merupakan pandangan negatif terhadap suatu hal. Anak merasa tidak mampu melakukan hal yang sama dengan anak-anak yang lain, atau menjadi bingung ketika ditanya sesuatu, selain itu anak lebih sering menangis saat menghadapi permasalahan atau kesulitan kecil, menyerah lebih cepat saat dihadapkan pada tantangan baru, kurang tekun berusaha menyelesaikan sebuah permainan. Saat diberikan pertanyaan “kalau sudah besar, mau jadi apa?” anak akan diam saja terlihat bingung. Contoh lain ketika anak sedang bermain puzzle, anak terlihat tidak berusaha untuk menyelesaikannya (Berk, 2000; Woolfson, 2005).

3) Takut salah dalam melakukan sesuatu

Rasa bersalah merupakan tahapan perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun. Anak prasekolah mampu dan ingin melakukan hal yang lebih banyak. Pada saat yang sama, anak-anak belajar bahwa untuk melakukan sesuatu harus mendapatkan persetujuan agar tujuan yang diinginkan tercapai. Namun, apabila


(58)

tidak mendapatkan persetujuan, anak akan diliputi rasa bersalah atau ketakukan (Santrock, 2002).

4) Sangat membatasi aktivitasnya, sehingga terkesan malas dan tidak mempunyai inisiatif

Berhubungan dengan rasa bersalah, pada saat anak diliputi rasa bersalah atau ketakukan karena hal yang diinginkan tidak mendapatkan persetujuan, anak menjadi membatasi aktivitasnya, sehingga anak terlihat tidak memiliki aktivitas. Oleh karena anak mengingat tujuan yang pernah diajukan ditolak, maka anak tidak mau meminta persetujuan lagi untuk tujuan berikutnya yang ingin dicapai (Santrock, 2002).

5) Perilaku agresif.

Perilaku agresif adalah perilaku bermusuhan yang ditujukan untuk melukai atau menyakiti. Para psikolog mendefinisikan perilaku agresi sebagai perilaku yang ditujukan untuk menyakiti atau menghancurkan. Perilaku agresi dapat secara verbal maupun fisik. Objek untuk menunjukkan perilaku agresi ini biasanya pada manusia, hewan atau benda-benda di sekitarnya (Craig, 1992). F. Panti asuhan

1. Pengertian

Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) atau Panti Asuhan atau Panti merupakan istilah yang mengacu pada semua fasilitas panti untuk anak terlantar atau anak penyandang cacat, baik milik pemerintah maupun swasta, yang dikelola di rumah pribadi untuk kelompok kecil maupun di asrama. Panti


(59)

asuhan untuk Anak Terlantar terutama mengasuh anak yatim piatu, anak yatim/piatu dan anak yang orangtuanya tidak mampu mengasuh. Panti Sosial Asuhan Anak Balita (PSAA Balita) adalah suatu lembaga pelayanan sebagai pengganti fungsi orang tua untuk anak terlantar (Depsos, 2004), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) panti asuhan adalah rumah tempat memelihara dan merawat anak yatim atau yatim piatu (Depdiknas, 2008).

Jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 7.000 buah, yang mengasuh sekitar setengah juta anak. Pemerintah Indonesia mengelola kurang dari 1% panti asuhan dan lebih dari 99% dikelola oleh masyarakat, terutama organisasi keagamaan. Berdasarkan hasil studi di panti asuhan, terdapat anak yatim piatu sebanyak 6% dan anak yatim/piatu/memiliki kedua orangtua sebanyak 90%. Kebanyakan anak-anak yang masih memilki satu atau kedua orangtua bukan ditelantarkan, tetapi ditempatkan di panti asuhan karena kesulitan ekonomi, dengan tujuan mendapatkan pendidikan yang memadai (Departemen Sosial, Save the Children & Unicef, 2008).

2. Fungsi Panti Asuhan

Panti asuhan memiliki beberapa fungsi yaitu: a. Sebagai lembaga pelayanan kesejahteraan balita.

b. Sebagai sumber data, informasi data dan konsultasi kesejahteraan balita.

c. Sebagai lembaga rujukan.

d. Sebagai lembaga pengabdian masyarakat di bidang pelayanan kesejahteraan balita (Depsos, 2004).


(60)

3. Pengasuhan di Panti Asuhan

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di panti asuhan didapatkan bahwa anak yang tinggal di panti asuhan dikelompokkan menjadi: 1. Anak usia 0-4 bulan yang berjumlah kurang lebih 13 anak dan diasuh oleh

2 orang pengasuh. Idealnya kelompok anak usia ini diasuh oleh 4 orang pengasuh.

2. Anak usia 5-18 bulan yang berjumlah kurang lebih 17 anak dan diasuh oleh 2 orang pengasuh. Idealnya kelompok anak usia ini diasuh oleh 3 orang pengasuh.

3. Anak usia lebih dari 19 bulan, kurang lebih berjumlah 35 anak dan diasuh oleh 2 orang pengasuh. Idealnya kelompok usia ini diasuh oleh 5 orang pengasuh.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama melakukan praktek pra klinik keperawatan, didapatkan bahwa sebagian kecil memiliki perilaku agresif. Perilaku agresif terlihat ketika anak-anak berkumpul dikamarnya dan pada saat peneliti berkunjung ke kamar, anak-anak berebut untuk mendapatkan perhatian. Anak-anak bersaing untuk mendapatkan perhatian, dan apabila ada anak yang tidak mendapatkan perhatian, anak tersebut memukul anak yang mendapat perhatian.

Selain itu, ketika ada kunjungan anak-anak dari salah satu Taman Kanak-kanak (TK), anak-anak panti asuhan sibuk dengan kegiatannya sendiri. Anak-anak panti asuhan kurang mendengarkan arahan dari salah seorang guru yang memberikan perintah.


(61)

G. Kerangka teori

 

Bagan 2.1 Kerangka teori

Adaptasi dari Santrock (2002), Papalia (2009), Keliat (2008), Depkes (2005), Utami (2008)


(62)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori yang telah disusun, maka variabel yang akan diteliti adalah variabel inisiatif dan rasa bersalah pada anak usia 3-6 tahun, berdasarkan teori Erikson (1950) (Papalia, 2009). Pada penelitian ini, peneliti tidak meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial, karena keterbatasan waktu, sarana, dan kemampuan peneliti.

Perkembangan Psikososial Anak Usia 3-6 Tahun

Inisiatif

Rasa Bersalah


(63)

   

Definisi Operasional

Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala

A. Inisiatif Perkembangan yang muncul

dimana anak mulai mendengarkan kata hati ketika akan melakukan sesuatu, dan memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu antara lain:

1.Mengkhayal dan kreatif 2.Belajar keterampilan fisik baru 3.Menikmati bermain bersama

dengan anak seusianya 4.Mudah berpisah dengan orang

tua

5.Mengetahui hal-hal yang salah dan benar

6.Mengenal minimal 4 warna 7.Merangkai kata-kata dalam

bentuk kalimat

8.Mengenal jenis kelamin 9.Mampu mengerjakan pekerjaan

yang sederhana

10. Berinisiatif bermain

Lembar ceklis dengan skala Guttman

Lembar Kuesioner Pertanyaan nomor 1-10

Menjadi 3 bagian yaitu: Perkembangan Baik: 17-20 Cukup: 13-16 Kurang: 1-12 (Azwar, 2011)


(64)

dengan benda-benda sekitar

B. Rasa Bersalah Perasaan bersalah yang muncul

ketika anak mengalami hambatan, tidak mampu atau gagal dalam melakukan sesuatu antara lain: 1.Tidak percaya diri

2.Pesimis

3.Takut salah dalam melakukan sesuatu

2.Sangat membatasi aktivitasnya 3.Perilaku agresif

Lembar ceklis dengan skala Guttman.

Lembar Kuesioner Pertanyaan nomor 11-20

Menjadi 3 bagian yaitu: Perkembangan Baik: 17-20 Cukup: 13-16 Kurang: 1-12 (Azwar, 2011)

Ordinal


(65)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mendapatkan gambaran tentang suatu keadaan secara objektif (Setiadi, 2007).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populasi adalah seluruh subjek atau dengan objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Hidayat, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak-anak di panti asuhan yang berusia 3-6 tahun di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Balita Tunas Bangsa Cipayung.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karaktristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2008). Sampel yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode probabilitas, dengan teknik total sampling. Sampel yang digunakan adalah populasi anak-anak yang tinggal dipanti asuhan yang berusia 3-6 tahun di PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung. Kriteria eklusi pada penelitian ini adalah, anak sakit, dan anak yang cacat. Jumlah keseluruhan anak yang berusia 3-6 tahun adalah 35 anak, tetapi setelah disaring sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan responden yang didapat adalah 29 anak.


(66)

C. Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti menggunakan lembar kuesioner. Lembar kuesioner terdiri dari data demografi dan lembar ceklis untuk perkembangan psikososial.

a. Data demografi

Bagian pertama adalah lembar data demografi yang terdiri dari: nama anak yang disamarkan, jenis kelamin, tanggal lahir, dan tanggal observasi.

a. Lembar ceklis perkembangan psikososial

Lembar ini terdiri dari 20 pertanyaan dengan pilihan jawaban menggunakan skala Guttman, dengan nilai:

1 = tidak

2 = ya

Hasil ukur penelitian ini dibagi menjadi 3 yaitu:

a. Baik : 17-20 jawaban ya b. Cukup : 13-16 jawaban ya c. Kurang : 1-12 jawaban ya

Pertanyaan untuk perkembangan psikososial inisiatif nomor 1-10. Untuk nomor 1,2,5,6,7,10 peneliti melakukan observasi sedangkan untuk nomor 3,4,8,9 peneliti melakukan wawancara kepada anak. Pertanyaan untuk perkembangan psikososial rasa bersalah nomor


(67)

11-20. Untuk nomor 11, 13, 14, 18 peneliti melakukan observasi sedangkan untuk nomor 12, 15, 16, 17, 19, 20 peneliti melakukan wawancara kepada pengasuh.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam penelitian (Nursalam, 2008). Pengumpulan data dilakukan di Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa Cipayung dengan prosedur sebagai berikut:

a. Membuat surat permohonan dari PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditujukan kepada Kemensos Jakarta untuk permohonan penelitian di Panti Sosial Asuhan Anak Tunas Bangsa Cipayung setelah proposal mendapat persetujuan dari pembimbing akademik. b. Pengumpulan data dilakukan dengan seizin kepala bidang keperawatan

Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa Cipayung.

c. Kepala bidang Keperawatan dan pengasuh diberikan penjelasan tentang tujuan penelitian, jaminan kerahasiaan responden, dan penelitian tidak akan berdampak negatif pada responden.

d. Setelah penjelasan diberikan dan responden memahami tujuan dan cara penelitian ini berlangsung, responden diminta untuk menandatangani lembar persetujuan sebagai responden dalam penelitian ini.

e. Lembar kuesioner diisi oleh peneliti, apabila ada pertanyaan yang memerlukan wawancara, peneliti melakukan wawancara kepada anak dan pengasuhnya.


(68)

f. Apabila hasil wawancara antara anak dan pengasuh berbeda dengan hasil yang diharapkan, maka peneliti anak melakukan wawancara kembali. Apabila hasil tetap tidak sesuai dengan harapan peneliti maka, peneliti akan memberikan nilai 1.

3. Teknik Uji Instrumen

Sebelum kuesioner di bagikan kepada responden, peneliti terlebih dahulu melakukan uji intrumen. Uji instrumen dilakukan untuk mengukur validitas dan reliabilitas instrumen. Uji coba kuesioner dilakukan pada 12 orang responden di tempat yang memiliki karateristik yang sama dengan tempat penelitian.

a. Uji Validitas

Sebuah instrumen dikatakan valid jika instrumen itu mampu mengukur apa yang seharusnya diukur oleh kuesioner tersebut. Dalam hal ini digunakan beberapa item pertanyaan yang dapat secara tepat mengungkapkan variabel yang diukur tersebut. Uji ini dilakukan dengan menghitung korelasi antara masing – masing skor item pertanyaan dari tiap variabel dengan total skor variabel tersebut (Arikunto, 2006). Uji validitas menggunakan rumus Pearson Product Moment.

rhitung =

r hitung = Koefisien korelasi


(69)

∑Xi = Jumlah skor item

∑Yi = Jumlah skor total

Uji validitas ini dilakukan di Yayasan Min Fadhli Robbi dengan jumlah responden sebanyak 12 anak, hasil r tabel menunjukkan nilai 0,632. Beberapa pertanyaan ada yang kurang dari r tabel tidak dihapuskan, karena masih dianggap penting dan hanya diperbaiki redaksinya atau dimodifikasi pertanyaannya.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Uji reabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Alpha Cronbach diukur berdasarkan skala Alpha Cronbach (α), dalam uji reliabilitas r hasil adalah alpha. Ketentuannya apabila r alpha > r tabel maka pertanyaan tersebut reliabel. Sebaliknya bila r alpha < r tabel maka pertanyaan tersebut tidak reliabel.

Hasil dari uji reliabilitas penelitian menunjukkan nilai Alpha Cronbach (α) adalah sebesar 0,849. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pertanyaan yang berada dalam kuesioner dapat dikatakan reliabel, karena sudah memenuhi ketentuan yang berlaku yaitu r alpha (0,849) > r tabel (0,632).


(1)

3. Peneliti kesulitan dalam menemukan instrumen yang baku untuk menilai perkembangan psikososial, sehingga peneliti memodifikasi dari sumber-sumber yang didapat seperti Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP), dan Denver Development Screening Test (DDST).


(2)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Perkembangan psikososial anak usia 3-6 tahun sebagian besar adalah

cukup. Anak-anak usia 3-6 tahun yang tinggal di panti asuhan sebagian besar laki-laki, dengan usia terbanyak adalah 4 tahun.

2. Sebagian besar perkembangan psikososial tahap inisiatif anak usia 3-6 tahun yang tinggal di panti asuhan adalah baik.

3. Perkembangan psikososial tahap rasa bersalah anak usia 3-6 tahun yang tinggal di panti asuhan sebagian besar adalah cukup.

B. Saran

1. PSAA Balita Tunas Bangsa

a. Penerapan pengasuhan yang demokratis dalam mengasuh anak

b. Pengasuhan yang konsisten, tidak berganti-ganti pengasuh untuk mencapai perkembangan psikososial yang lebih optimal.

c. Menyediakan waktu untuk anak-anak di panti asuhan agar dapat bermain di luar panti, missal anak-anak dapat bermain di taman bermain di dekat wilayah panti asuhan, agar anak-anak mampu bersosialisasi dengan anak-anak di luar panti.

d. Penambahan tenaga pengasuh agar pencapaian tugas perkembangan anak lebih optimal.


(3)

2. Penelitian selanjutnya

a. Meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial anak dipanti asuhan.

b. Meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengasuhan di panti asuhan.

c. Meneliti tentang perbandingan perkembangan psikososial anak yang tinggal di panti asuhan dengan anak yang tinggal bersama keluarga.

     


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 2006.

Azwar, Saifuddin. Penyusunan Skala Psikologi. Edisi. 15. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Omset. 2011.

Banunaek, Margaretha. Deprivasi Maternal Aspek Psikososial pada Anak Balita yang Tinggal Dipanti Asuhan. Tesis. Universitas Diponegoro. 1999.

Bastable, Susan B. Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-prinsip Pengajaran dan Pembelajaran. Jakarta: EGC. 2002.

Berk, Laura E. Development Trought The Lifespan. USA: Nedham Heights. 2000. Christensen, Paula J. Proses Keperawatan: Aplikasi Model Konseptual. Jakarta:

EGC. 2009.

Craig, Grace J. Human Development. Edisi 6. New Jersey: Englewood Cliffs. 1992.

Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008.

Depkes. Pedoman Pelaksanaan : Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. 2005.

Depsos. Acuan Umum Pelayanan Sosial Anak di Panti sosial Asuhan Anak. 2004. ______. Seseorang yang Berguna: Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan

Anak di Indonesia. Save the Children, Departemen Sosial RI, UNICEF: Jakarta. 2007.

Gunarsa, Singgih D. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia. 2004.

______________. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: Gunung Mulia. 2008.

Hastuti, Dwi. Stimulasi Psikososial Pada Anak Kelompok Bermain dan Pengaruhnya Pada Perkembangan Motorik, Kognitif, Sosial Emosi, dan Moral/Karakter Anak. Jurnal. Institut Pertanian Bogor. 2009.

Hawadi dan Reni Akbar. Psikologi Perkembangan Anak: Mengenak Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak. Jakarta: Grasindo. 2001.


(5)

Hidayat, Aziz. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. 2008.

Hurlock, Elizabeth B. Perkembangan Anak. Edisi. 6. Bandung : Erlangga. 2002. _________________. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi: 5. Jakarta: Erlangga. 2002.

Jaftoran, Elisabet Agnes. Hubungan Pola Asuh Pengasuh Panti dengan Harga Diri Remaja di Panti Asuhan Muhammadiyah Tanah Abang. Skripsi. Universitas Indonesia. 2010.

Keliat, Budi Anna. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. 2008. Kozier, Barbara, dkk. Fundamentals of Nursing. Edisi 5. California:

Addison-Wesley Publishing. 1995.

Latifah, Eva, dkk. Pengaruh Pemberian ASI dan Stimulasi Psikososial Terhadap Perkembangan Sosial Emosi Anak Balita pada Keluarga Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja. 2010.

Muscari, Mary E. Panduan Belajar: Keperawatans Pediatrik. Jakarta. EGC. 2005. Nugroho, Heru Santoso Wahito. Denver Developmental Screening Test. Jakarta:

EGC. 2009.

Papalia, Diane E, Olds, Sally Wendkos & Feldman, Ruth Duskin. Human Development. Edisi: 10. Jakarta: Salemba Humanika. 2009.

Widyawati, Dita. Perbedaan Self Esteem Antara Remaja yang Tinggal Di Panti Asuhan dengan Remaja yang Tinggal Bersama Keluarga di Kecamatan Mojoroto Kediri. Skripsi. Universitas Negeri Malang. 2009.

Potter, Patricia A. dan Perry, Anne Grifin. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Prosedur Praktik. Jakarta: EGC. 2005.

Rudiati, Tumirah, dan Surtinah. Perbedaan Perkembangan Psikososial antara Anak TK dengan Paly Group dan Tanpa Play Group. Jurnal. Poltekkes Kemenkes Surabaya. 2010.

Setiadi. Riset Keperawatan; Konsep dan Penulisan. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007.

Santrock, John W. Life Span Development. Edisi : 5. Jakarta : Erlangga. 2002. ______________. Masa Perkembangan Anak. Jakarta: Salemba Humanika. 2011.


(6)

Somantri, T. Sutjihati. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama. 2006.

Sunarti, Euis. Mengasuh dengan Hati. Jakarta: Gramedia. 2004. Sunaryo. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. 2004.

Supartini, Yupi. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC. 2004.

Utami, Rahayu Budi. Pengaruh tingkat Pendidikan dan Tipe Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Psikososial Anak Prasekolah Di Taman Kanak-kanak Aisyiah II Nganjuk. Tesis. Universitas Sebelas Maret. 2008.

Videbeck, Sheila L. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. 2008.

Wong, Donna L. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Edisi: 6. Jakarta: EGC. 2008.

Woolfson, Richard C. Mengapa Anakku Berbeda?. Jakarta: Erlangga. 2005. Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT.