Latar Belakang IMPLEMENTASI PERATURAN KOMISI PENYIARAN NOMOR 1 TAHUN 2012 PASAL 27-29 DAN 35 OLEH MEDIA MASSA Studi pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang
2 sehingga menciptakan
video streaming. Terobosan ini menyebabkan para pendengar radio bisa menyaksikan siaran langsung penyiar dari dalam studio
melalui internet. Teknologi penyiaran seakan berkejaran dengan waktu, mungkin ini merupakan salah satu dampak dari berkembangnya gaya hidup masyarakat
yang semakin sulit lepas dari teknologi. Menurut Masduki 2007: 4, dalam sejarah radio dan televisi diwarnai
ketatnya peraturan, pengendalian, dan pemberian ijin oleh pemerintah yang pada awalnya didasari pertimbangan kepentingan dari segi teknis, kemudian
berkembang menjadi kepentingan negara, pembiayaan, dan akhirnya sebagai sebuah kebiasaan yang melembaga dalam negara. Hal ini dikarenakan semakin
disadarinya fungsi ekonomi dan politis radio dan televisi yang menyebabkan keberadaannya sangat erat dengan kepentingan penguasa dan pemodal kapitalis.
Pasca-reformasi, media massa baik cetak maupun elektronik serasa menemukan pintu kebebasan yang sangat luar biasa. Imajinasi liar yang disimpan
selama era kepemimpinan Soeharto, akhirnya bisa mereka ekspresikan sejak masuk di era demokrasi. Pada dasarnya ini dampak yang baik bagi pers Indonesia
karena aspirasi rakyat lebih dihargai dan dipertimbangkan. Namun, tetap harus ada pengontrol agar kebebasan itu tidak berubah menjadi semena-mena.
Termasuk juga lembaga penyiaran yang semakin berani menyajikan pemikiran- pemikiran bebas, juga memerlukan pengontrol karena cakupan media massa
adalah ranah publik yang dampaknyapun juga bersentuhan dengan publik.
3 Freedom of the press kebebasan pers merupakan bentuk demokratisasi
pers. Pers berhak untuk menyiarkan segala bentuk informasi kepada publik tanpa ada kekangan dari pihak manapun. Bentuk demokratisasi pers juga bisa dilihat
dalam hal diversity of content keberagaman isi, diversity of ownership
keberagaman kepemilikan, atau diversity of voice keberagaman pendapat dan
suara KPI, 2012: 4. Keberagaman inilah yang bisa dimanfaatkan oleh lembaga penyiaran dalam melayani kebutuhan masyarakat akan informasi, edukasi, dan
hiburan yang positif serta konstruktif. Karena sifat penyiaran yang mencakup ranah publik, media penyiaran
harus dikontrol yang menurut McQuail dan dikutip Masduki 2007: 12 dibagi pada dua wilayah dan alasan, yaitu:
1. wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan kultural,
2. wilayah infrastruktur terutama frekuensi dikontrol karena alasan
ekonomi dan teknologi. Isi siaran perlu diatur karena sangat mudah untuk mempengaruhi sikap dan
perilaku audience, khususnya yang belum memiliki referensi yang kuat seperti
usia muda remaja. Untuk pedoman isi siaran ada tiga, yakni sopan decency dan
menyenangkan converince, seperlunya necessity, dan penting bagi publik
public interest. Sementara, pengontrolan yang disandarkan pada kultural dikarenakan efeknya yang sangat besar terhadap khalayak. Efek media penyiaran
mencakup efek dikotomi dan trikotomi. Efek dikotomi yang dimaksud adalah efek kehadiran media itu sendiri dan efek pesan yang ditimbulkan kepada khalayak
4 dalam bentuk kognitif pengetahuan, afektif perasaan, dan
behavioural perilaku. Sedangkan efek trikotomi, yaitu efek sasaran yang terdiri dari
individual, interpersonal, dan suatu sistem dalam bentuk kognitif, afektif, dan behavioural.
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran telah menyebutkan, untuk melindungi publik dari pers yang tidak bertanggung jawab, maka dibentuklah
lembaga independen yang tidak ada campur tangan pemerintah maupun pengusaha di dalamnya, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia KPI. Salah satu
kewenangan dari KPI adalah menyusun dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran P3 dan Standar Program Siaran SPS yang berfungsi untuk
memartabatkan lembaga penyiaran dan isi siarannya. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan terhadap beberapa pasal
dalam BAB XIX P3, yakni mengenai narasumber karena mengingat bahwa lembaga penyiaran tak lepas dari narasumber sebagai salah satu sumber
pemberitaannya. Begitu pentingnya peran narasumber, maka perlu kiranya melihat lebih dalam, apakah poin-poin ayat yang tertuang dalam pasal-pasal
tersebut dilaksanakan dengan baik ataukah tidak oleh lembaga penyiaran. Adapun pasal yang akan diteliti implementasinya di lapangan adalah pasal 27-29 dan 35.
Pemilihan beberapa pasal ini dikarenakan beberapa pasal dalam BAB XIX inilah yang relevan dijadikan pedoman saat penyiar berhadapan langsung dengan
narasumbernya. Peneliti ingin melihat secara langsung interaksi antara penyiar beserta tim produksi dengan narasumber mereka dan hal ini bisa didapati dalam
program talk show radio.
5 Sebagai informasi, BAB XIX dalam Pedoman Perilaku Penyiaran P3
memuat tentang segala yang berhubungan dengan narasumber dan tertuang pada pasal 27-35, diantaranya: penjelasan kepada narasumber pasal 27, persetujuan
narasumber 28, anak dan remaja sebagai narasumber 29, hak narasumber menolak berpartisipasi 30, wawancara 31, perekaman tersembunyi program
nonjurnalistik 32, pencantuman sumber informasi 33, hak siar 34, dan pewawancara 35. Tiap-tiap pasal tersebut menjelaskan dengan terperinci
bagaimana hak narasumber dan kewajiban media penyiaran, baik televisi maupun radio memperlakukan narasumber-narasumbernya. Bukan lantas, dengan asas
kebebasan berkreasi atau kebebasan pers, hak narasumber maupun kewajiban lembaga penyiaran terhadap narasumber diabaikan.
Jika melihat pada rekap teguran dan himbauan 2010 yang dirilis KPI dan peneliti unduh melalui situs resmi KPID Jawa Timur kpid-jatimprov.go.id,
terdapat 98 catatan sepanjang 12 Januari 2010 – 12 November 2010. Dari sederet
rekapan itu, hanya 2 poin yang menyangkut radio, yaitu mengenai program Sexophone
Sex Solution On The Microphone yang disiarkan oleh MD Radio 93,2 FM Jakarta. Dalam surat tertanggal 3 Maret 2010 nomor 96KKPI0310,
KPI menyebutkan bahwa pelanggarannya adalah memuat siaran mengenai pembenaran terhadap hubungan seks di luar nikah, hubungan seks secara vulgar,
percakapan yang menggambarkan rangkaian aktifitas ke arah hubungan seks. Sayangnya, dalam situs resmi KPI maupun KPID hingga penelitian ini
dilaksanakan belum ada rekapan terbaru yang memuat teguran dan himbauan sejak 2011.
6 Sekalipun dalam rekapan teguran dan himbauan 2010 oleh KPI tidak
terdapat pelanggaran yang berkaitan dengan narasumber, namun pada kenyataannya banyak sekali pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran
terkait dengan hal tersebut. Diantaranya yang disebutkan oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto dalam acara pelatihan pelatihan jurnalistik PPMN
Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara di Jakarta, 19 April 2012 lalu, bahwa masih ada saja televisi yang sudah menyamarkan wajah dan identitas
korban anak-anak, tetapi justru menyebutkan nama sekolah dan mewawancarai orangtua korban maupun pelaku yang masih di bawah umur. Ezki mengatakan:
“Seharusnya, semua yang berhubungan dengan korban atau pelaku harus di tutupi dan disamarkan. Berita ini memang harus naik,
tetapi televisi harus berhati-hati dalam menayangkan si korban dan pelaku
yang masih
anak-anak atau
remaja ”
http:www.kpi.go.idP3SPS Lindungi Anak dan Remaja.htm. Begitu pula dengan penayangan adegan reka ulang untuk pemerkosaan atau tindak
asusila lain, tidak menutup kemungkinan anak-anak dan remaja juga menyaksikan tayangan ini dan bisa berdampak buruk untuk ke depannya.
Kasus narasumber palsu yang dihadirkan oleh presenter Indy Rahmawati dan
TV One pada 2011 lalu juga sempat menjadi buah bibir seluruh media massa cetak, elektronik, dan online. Kesalahan penulisan nama, gelar, ataupun jabatan
narasumber terkadang juga masih kita temui pada media massa. Ketika kita juga melihat kepada Kode Etik Jurnalistik KEJ pasal 2 dewanpers.or.id, disebutkan
bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Diantara beberapa cara profesional yang dimaksud dalam
pasal ini adalah: 1 menunjukkan identitas diri kepada narasumber, 2
7 menghormati hak privasi, dan 3 menghormati pengalaman traumatik narasumber
dalam penyajian gambar, foto, suara. Ketiadaan pengaduan kepada KPI mengenai pelanggaran terhadap
narasumber radio bisa jadi disebabkan ketidaktahuan radio sebagai penyelenggara penyiaran maupun narasumber mengenai P3. Kemungkinan lain adalah
keengganan melaporkan pelanggaran yang terjadi karena dianggap hal yang sepele. Melihat fenomena di atas, peneliti tergugah untuk mengkaji suatu
permasalahan yang membahas tentang implementasi P3 mengenai narasumber. Peneliti mengharapkan penelitian ini mampu mendeskipsikan secara detail dan
jelas tentang bagaimana implementasi peraturan komisi penyiaran Nomor 1
Tahun 2012 Pasal 27-29 dan 35 tentang narasumber oleh media massa yang dalam penelitian ini
pada program talk show di radio-radio Kota Malang. Dengan kata kunci
implementasi, kebijakan peraturan KPI, talk show, dan radio, judul yang diangkat peneliti adalah
“Implementasi Peraturan Komisi Penyiaran Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 27-29 dan 35 Oleh Media Massa Studi
pada Program Talk Show di Radio-
radio Kota Malang”.