Tinjauan Pustaka IMPLEMENTASI PERATURAN KOMISI PENYIARAN NOMOR 1 TAHUN 2012 PASAL 27-29 DAN 35 OLEH MEDIA MASSA Studi pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang
11 Parsons, 2008: 467 mengungkapkan syarat untuk implementasi yang
sempurna, yakni: 1. implementasi ideal itu adalah produk dari organisasi yang padu
seperti militer, dengan garis otoritas yang tegas, 2. norma-norma ditegakkan dan tujuan ditentukan,
3. orang akan melaksanakan apa yang diminta dan diperintahkan, 4. harus ada komunikasi yang sempurna intra dan antar organisasi,
5. tidak ada tekanan waktu. Memang menurut Christopher Hood, implementasi efektif membutuhkan
sistem komando, pengorganisasian, dan pengontrolan yang baik. Sedangkan George Edward III 1980 dikutip Dwidjowijoto,
2006: 140 menegaskan bahwa masalah utama dari administrasi publik adalah
lack of attention to implementation kurangnya perhatian terhadap implementasi. Dikatakannya, bahwa
without effective implementation the decision of policymakers will not be carried out successfully tanpa
implementasi yang efektif, keputusan oleh pembuat kebijakan tidak akan terlaksana dengan sukses. Edward menyarankan untuk memperhatikan
empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication komunikasi, resource sumber daya, disposition or
attitudes sikap, dan bureaucratic structures struktur organisasi. Komunikasi berkaitan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan
disosialisasikan kepada lembaga publik. Ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggapan dari para pihak yang terlibat
12 dalam pelaksanaan kebijakan. Terakhir, bagaimana struktur organisasi
pelaksana kebijakan juga menjadi isu penting dalam implementasi kebijakan.
E.2 Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran P3
Sebagai salah satu produk kebijakan yang dihasilkan oleh KPI selain Standar Program Siaran SPS, Pedoman Perilaku Penyiaran P3
dibuat dalam rangka mengatur perilaku lembaga penyiaran dan lembaga- lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia dan ditinjau
kembali dalam rapat koordinasi nasional rakornas setiap 3 tahun sekali. Selain itu, fenomena menjamurnya stasiun radio dan televisi hingga ke
pelosok negeri ini, harus disusun standar baku yang mampu mendorong lembaga penyiaran untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya
watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka
membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera KPI, 2010:1.
P3 seyogyanya sudah harus diimplementasikan sejak ditetapkan di Jakarta pada 22 Maret 2012 oleh ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto,
S.H., M.Si. Sebanyak 54 pasal P3 memuat ketentuan-ketentuan yang mencakup:
13 1.
nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan; 2.
nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan; 3.
etika profesi; 4.
kepentingan publik; 5.
layanan publik; 6.
hak privasi; 7.
perlindungan kepada anak; 8.
perlindungan kepada orang dan kelompok masyarakat tertentu; 9.
muatan seksual; 10.
muatan kekerasan; 11.
muatan program siaran terkait rokok, NAPZA narkotika, psikotropika, dan zat adiktif dan minuman beralkohol;
12. muatan program siaran terkait perjudian;
13. muatan mistik dan supranatural;
14. penggolongan program siaran;
15. prinsip-prinsip jurnalistik;
16. narasumber dan sumber informasi;
17. bahasa, bendera, lambing negara, dan lagu kebangsaan;
18. sensor;
19. lembaga peyiaran berlangganan;
20. siaran iklan;
21. siaran asing;
22. siaran lokal dalam system stasiun jaringan;
14 23.
siaran langsung; 24.
muatan penggalangan dana dan bantuan; 25.
muatan program kuis, undian berhadiah, dan permainan lain; 26.
siaran pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah; dan 27.
sanksi dan tata cara pemberian sanksi. Sumber: Pedoman Perilaku Penyiaran 2012 pasal 5
E.3 Radio E.3.1 Pengertian Radio
Beberapa pakar radio memberikan pandangan beragam tentang radio, diantaranya:
1. Menurut dosen Fakultas Ilmu Komunikasi FIKOM
Universitas Mercu Buana Jakarta, Riswandi, “Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang
menyalurkan gagasan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur
dan berkesinambungan” Riswandi, 2008: 1,
2. Fatmasari Ningrum dalam bukunya yang berjudul Sukses
Menjadi Penyiar, Scriptwriter Reporter Radio
berpendapat, “Radio merupakan media massa auditif,
yakni dikonsumsi telinga atau pendengaran sehingga isi
15 siaranny
a bersifat sepintas lalu dan tidak dapat diulang” Ningrum, 2007: 6,
3. Menurut Masduki, penulis Jurnalistik Radio, 2006, “Peran
ideal radio sebagai media publik adalah mewadahi sebanyak
mungkin kebutuhan
dan kepentingan
pendengarnya. Ada tiga bentuk kebutuhan, yaitu informasi, pendidikan, dan hiburan” Masduki, 2006: 2,
4. Sementara itu, Santi Indra Astuti, S.Sos, M.Si dalam
bukunya, Jurnalisme Radio berpendapat, “Radio adalah
buah perkembangan teknologi yang memungkinkan suara ditransmisikan secara serempak melalui gelombang radio
di udara” Astuti, 2008: 5, 5.
Dalam testimonial yang diberikan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring dalam buku karangan Ficky
A. Hidajat 2011: back cover, dia mengatakan,
“Radio itu teman setia. Ia bisa didengarkan kapan dimana saja.
Pilihan acaranya beragam sesuai dengan kesukaan. Di era digital ini, mendengarkan radio tidak selalu melalui
pesawat radio, di mobile phone bisa, semakin praktis”, 6.
Sedangkan Shahnaz Haque, yang sampai saat ini masih aktif bersiaran di Delta FM, Jakarta ini mengatakan,
“Radio adalah media selintas karena kebanyakan orang mendengar radio dengan melakukan aktifitas sampingan
16 lain. Mis
al: sambil bekerja, berkendara, belajar…” Hidajat, 2011: 33,
7. Penyiar sekaligus presenter kondang Farhan berpendapat,
“Radio kan personal yang memungkinkan kita bisa sedekat yang kita inginkan dibanding dengan televisi.” Hidajat,
2011: 117, 8.
Manager on air Radio Suara Surabaya, Yoyong Burhanuddin menjelaskan bahwa radio adalah sarana
to educate, to entertaint, to inform, and to influence untuk
memberi pengajaran, menghibur, menginformasikan, dan mempengaruhi Jufriansah, 2010.
9. Penyiaran radio adalah media massa dengar, yang
menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur
dan berkesinambungan UU 322002 pasal 1 ayat 3. Dari beberapa pengertian tersebut, radio merupakan media
massa auditif yang mentransmisikan suara melalui gelombang radio dan bisa didengar melalui perangkat penerima; bersifat
selintas, bisa didengar sambil lalu, personal, dan berfungsi to
inform, to educate, to entertaint, dan to influence kepada pendengarnya.
17
E.3.2 Kekuatan dan Kelemahan Radio
Semenjak kemunculan teknologi wireless telegraph yang
memanfaatkan gelombang radio sebagai pembawa pesan dalam bentuk kode Morse di tahun 1896 ditemukan oleh Gugliemo
Marconi, banyak fenomena yang terjadi akibat teknologi tersebut. Seratus tahun yang lalu, berita mengenai kapal pesiar mewah yang
diklaim pembuatnya tidak akan pernah tenggelam, namun pada pelayaran perdananya di tahun 1912 tenggelam akibat menabrak
gunung es, yaitu kapal Titanic, dikirimkan melalui radio. Karenanya, banyak penumpang Titanic yang selamat.
Pada 30 Oktober 1938 sempat di Amerika Serikat ada sebuah stasiun radio yang menyajikan drama radio
War of the Worlds karya H.G. Wells yang bercerita tentang kedatangan
makhluk luar angkasa yang menguasai bumi. Akibat dari siaran tersebut, gelombang kepanikan melanda Amerika. Banyak orang
yang kabur dari rumahnya dikarenakan mendengar siaran drama radio yang dianggap suatu realitas oleh masyarakat. Bahkan ada
yang terluka dan ada yang hampir bunuh diri. Fenomena ini merupakan satu gambaran tentang salah satu kekuatan radio, yakni
membentuk theatre of mind. Dengan kekuatan suara, musik, dan
berbagai efek suara, radio mampu membuat sesuatu yang direkayasa terasa sangat nyata.
Adapun kekuatan dan kelemahan dari radio, yakni:
18
E.3.2.1 Kekuatan Radio
Dalam Jurnalisme Radio Astuti, 2008: 40 dijabarkan beberapa kekuatan radio, diantaranya:
1. radio dapat membidik secara spesifik. Radio
memiliki kemampuan
untuk memfokuskan
pendengarnya secara demografis maupun kultural melalui program acara yang disajikan. Mengenai
perubahan segmen seperti ini, radio jauh lebih fleksibel dibanding media massa yag lain,
2. radio bersifat mobile dan portable. Hal ini berkaitan
dengan perangkat pemutar radio yang bisa dibawa kemana-mana,
simple, dan lebih murah dibanding media massa lain,
3. radio bersifat intrusive, memiliki daya tembus
tinggi. Begitu radio dinyalakan, maka radio bisa menembus batas ruang karena juga sesuai dengan
sifat gelombang suara, 4.
radio bersifat fleksibel. Yang dimaksud dengan fleksibel adalah radio mampu dengan mudah dan
sederhana mengubah
program acaranya,
mengudarakan suatu informasi, dan dengan cepat dan mudah pula mengubah ataupun meng-
update- nya,
19 5.
radio itu sederhana. Sederhana dalam artian mengoperasikannya,
sederhana dalam
manajemennya dibanding media massa lain, dan sederhana isinya, sehingga mudah untuk dicerna
oleh pendengar meskipun didengar sambil lalu. Kelebihan radio yang umum diketahui ialah:
1. cepat dan langsung, karena radio tidak
membutuhkan proses
yang rumit
untuk penyampaian informasi,
2. hangat dan dekat, karena sifatnya yang personal.
Seakan-akan hanya ada penyiar dan Anda pendengar. Penyiar seolah menjadi teman baik
bagi pendengarnya dalam keadaan apapun, 3.
memancing theatre of mind, seperti gambaran sebelumnya, hanya melalui suara penyiar, musik,
efek suara,
masing-masing pendengar
akan membentuk gambarannya masing-masing atas apa
yang didapatkan melalui radio, berdasarkan frame
of reference dan field of experience-nya, 4.
tanpa batas, siaran radio bisa didengar oleh siapapun, menembus batas geografis, demografis,
suku, ras, usia, dan kelas sosial. Hanya tunarungu
20 yang hingga saat ini belum bisa menikmati siaran
radio, 5.
bisa didengar sambil mengerjakan pekerjaan lain. Lain halnya saat kita menonton televisi maupun
membaca koran yang membutuhkan konsentrasi lebih,
6. murah,
7. menghibur, selain dikarenakan musik yang diputar
juga karena penyiar yang memiliki kemampuan untuk menghibur para pendengarnya,
E.3.2.2 Kelemahan Radio
Menurut Meeske yang ditulis dalam buku Jurnalisme Radio Astuti, 2008: 40, kelemahan radio adalah:
1. Radio is aural only. Satu-satunya yang diandalkan
dari radio adalah suara sound saja,
2. Radio message are short lived. Pesan radio hanya
bersifat satu arah, sekilas, antidetil dan tidak dapat ditarik kembali,
3. Radio listening is prone to distraction. Radio
rentan dengan gangguan. Jika suara yang ditangkap kurang jernih, bisa jadi informasi yang
didapat kurang maksimal.
21
E.3.3 Jurnalistik Radio
Jurnalistik radio sama halnya dengan jurnalistik pada umumnya, ada proses mencari, mengolah dan kemudian
mempublikasikan berita. Yang membedakan hanyanya medianya saja. J.B. Wahyudi membagi produk radio menjadi dua kelompok
besar Astuti, 2008: 55-56, yakni: 1.
Karya artistik, tentunya diproduksi dengan pendekatan artistik. Biasanya karya ini membutuhkan dramatisasi,
sehingga fiksi atau non-fiksi boleh dibuat sekreatif mungkin. Contoh: drama radio, iklan, pernik.
2. Karya jurnalistik, tentu diproduksi dengan pendekatan
jurnalistik, dibuat sesuai dengan kaidah jurnalistik serta mengindahkan kode etik jurnalistik sebagai acuannya.
Sebisa mungkin dijauhkan dari dramatisasi, sehingga tidak menimbulkan
ambiguitas. Contoh:
berita, feature,
dokumenter.
E.3.4 Program Berita Radio
Dalam jurnalistik radio, berita news memang menjadi
dasarnya dan disajikan dalam berbagai bentuk, diantaranya: actualities soundbite, voicer, wrap, berita langsung straight
news, breaking news, sequence sequel news, kronik chronicles, soft news, dan reportase langsung. Actualities soundbite
memanfaatkan suara-suara dari kejadian yang sebenarnya untuk
22 melengkapi penyampaian berita. Dengan
actualities, informasi yang disampaikan akan terdengar lebih riil dan bisa menimbulkan
reaksi emosi yang lebih dari pendengar. Voicer memberikan observasi, persepsi, deskripsi nyata
yang terjadi disertai suara pendukung yang diliput dan disampaikan oleh reporter.
Wrap, format ini menggabungkan ciri dari voicer dan actualities sehingga tercipta satu paket berita yang direkam dan
diedit terlebih dahulu. Jenis berita yang lebih mengedepankan aktualitas
adalah straight
news atau
berita langsung.
Penyampaiannya bisa berupa actualities, voicer, ataupun wrap¸
yang terpenting 5W+1H who, what, where, when, why, dan how
bisa tersampaikan dengan tepat dan sesegera mungkin. Berita yang disampaikan dengan sangat segera, biasanya berkaitan dengan
insiden peristiwa yang sedang berlangsung disebut dengan breaking news.
Jenis berita selanjutnya adalah sequence, yakni berita yang
disusun secara
berurutan dan
disampaikan secara
berkesinambungan dalam waktu yang berbeda. Lazimnya, sequence disampaikan untuk menginformasikan perkembangan
satu topik berita Indra Astuti, 2008: 104. Kemudian, kronik yang merupakan kumpulan
headline berita, yang berisi pokok-pokok penting dan biasanya berdurasi singkat, tidak lebih dari 15 detik.
Ada berita yang kadang tidak aktual, namun penting untuk
23 diinformasikan yang disebut
soft news. Penyajiannya tidak setajam straight news, tapi lebih ringan tanpa menghilangkan nilai
beritanya. Live reportage atau siaran langsung merupakan
informasi yang disiarkan langsung dari tempat kejadian dalam waktu yang bersamaan. Untuk jenis berita yang terakhir, dewasa
ini lebih banyak digunakan karena berkaitan dengan persaingan antar lembaga penyiaran dalam kecepatannya menyampaikan
informasi. Selain reportase langsung, radio dengan jurnalisme yang
kental biasanya akan lebih banyak menampilkan siaran berbasis talk show berbentuk forum diskusi interaktif yang melibatkan
banyak pihak. Penyiarannya kepada publik bisa secara langsung live talk show ataupun siaran tunda yang direkam sebelumnya.
Namun untuk talk show yang menyediakan ruang interaksi langsung bersama pendengar, dituntut untuk menyiarkan secara
langsung. Instruktur radio dari Munchen, Jerman, Klaus Kastan menyumbangkan metode
talk show, yaitu HARLEY Harmony,
Actual, Responsible, Leading, Entertainment, and Yield. E.3.5 Wawancara Radio
Wawancara dalam bahasa inggris disebut “interview”, yaitu
dari kata inter antara dan view pandangan. Makna ini
menunjukkan terjadi saling pandang atau kontak antara pewawancara dan yang diwawancarai Riswandi, 2009: 43.
24 Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang akurat
dari orang yang berhak memberikan keterangan narasumber atas suatu gejala sosial atau suatu topik pembicaraan. Kegiatan
wawancara dilakukan dengan persiapan yang matang dan memiliki tujuan tertentu. Tujuan wawancara penting untuk dirumuskan
karena menentukan keberhasilan wawancara itu sendiri. Kegagalan suatu wawancara sering didapati karena pewawancara tidak tau apa
sebenarnya tujuan dari wawancara yang dilakukan, apakah sekedar untuk konfirmasi, meminta opini, atau tujuan lain.
Pakar komunikasi radio, Dr. Myles Martel dalam buku Dasar-dasar Penyiaran Riswandi, 2009: 44 merumuskan 8
tujuan wawancara, yaitu: 1.
memastikan kebenaran dan aktualitas fakta, 2.
memperoleh pernyataan resmi langsung dari sumbernya, 3.
menggali titik pandangopini point of view, 4.
memformulasikan suatu masalah, 5.
memperoleh suara yang mewakili masyarakat, 6.
menciptakan gaya berita bercerita, 7.
meningkatkan citra pribadi reporter, 8.
memperkuat kredibilitas radio di bidang informasi. Selain itu, tujuan dari wawancara juga untuk konfirmasi,
melengkapi data, mendorong narasumber agar mengungkapkan
25 suatu fakta, atau hanya sekedar menyambung tali silaturahim
antara media dengan narasumber. Ditinjau dari segi teknis Masduki, 2006: 41, wawancara
radio dibagi menjadi: 1. wawancara berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
bersama, 2. wawancara konferensi pers. Reporter diundang oleh
narasumber untuk mendapatkan penjelasan atas suatu peristiwa,
3. wawancara di lokasi peristiwa, 4. wawancara dari studio dengan menggunakan telepon
atau alat telekomunikasi lainnya, 5. wawancara siaran langsung. Reporter mengadakan
wawancara yang disiarkan saat itu juga, 6. wawancara jalanan
on the street vox pop interview, wawancara spontan yang dilakukan di berbagai lokasi
untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat mengenai suatu peristiwa.
Dari segi isi, wawancara dibagi menjadi wawancara infomasi, wawancara opini, dan wawancara tokoh. Wawancara
informasi dilakukan untuk mencari kejelasan data faktual dari suatu peristiwa, bisa berupa hasil reportase langsung maupun
wawancara melalui sambungan telepon dari studio. Wawancara
26 opini merupakan wawancara yang memusatkan pada gagasan,
penilaian, dan kepercayaan narasumber atas sebuah persoalan. Terakhir, yakni wawancara tokoh yang mengungkap biografi
seorang public figure.
Sementara itu, berdasarkan penyajiannya wawancara radio dibagi menjadi tiga Tebba, 2005: 129-130, yaitu:
1. Wawancara aktualitas band interview ATI Audio
Tape Insert, yaitu petikan wawancara berdurasi pendek untuk mendukung berita aktual. Biasanya
ditampilkan sebagai penegasan yang mendukung suatu berita yang ditayangkan,
2. Wawancara berita, yaitu wawancara dalam waktu
singkat yang merupakan sebuah berita actual. Biasanya wawancara ini membahas sebuah persoalan secara
singkat, 3.
Wawancara program, yaitu wawancara dalam waktu yang panjang dan dalam perbincangan itu dapat dibahas
secara tuntas permasalahan yang diangkat. Wawancara jenis ini juga biasa disebut
talk show.
E.3.6 Talk show Radio
E.3.6.1 Pengertian Talk show Radio
Menurut sejarah, program talk merupakan program
tertua. Obrolah formal mulai dipopulerkan di Inggris,
27 wawancara dengan gaya modern muncul dari Amerika,
sedangkan forum diskusi-diskusi publik yang bersifat lokal dimulai di Kanada. Sekarang, bentuk-bentuk
talk program ini sudah diadopsi untuk kemudian dikreasikan dengan
kultur dan kebutuhan komunitas masing-masing di seluruh dunia.
Ada perbedaan dan persamaan antara wawancara dan dialog
talk show. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama selalu terdiri dari orang yang mewawancarai
atau pewawancara atau moderator atau host dan orang yang
diwawancarai atau narasumber. Perbedaannya, pada wawancara, pewawancara hanya mengajukan pertanyaan
kepada narasumber dan narasumber berfungsi menjawab pertanyaan.
Sementara pada
dialog talk
show, pewawancara tidak selalu hanya bertanya tapi juga bertukar
argumen dengan orang yang diwawancarai untuk sepakat, saling memperkuat argumen atau berbeda pendapat Tebba,
2005: 127. Menurut Masduki 2006: 45 perbedaan paling
penting antara talk show dan wawancara berita adalah talk
show bersifat dinamis, tidak terpaku pada aktualitas topik perbincangan, dan jam tayang fleksibel.
Talk show dapat
28 dimasukkan ke dalam kategori program spesial atau
program wawancara sebagai acara. Komponen yang selalu ada dalam program
talk show adalah obrolan dan musik yang berfungsi sebagai selingan.
Santi Indra Astuti 2008: 119 dalam bukunya mengatakan paling tidak ada dua program yang berbasis
talk yang sering muncul di radio, yakni interview wawancara dan diskusi radio. Keduanya bisa bersifat
interaktif dengan pendengar ataupun tidak. Untuk narasumbernya bisa jadi dihadirkan di dalam studio atau
hanya melalui teleconference mobile phone. Menurut
konsultan radio UNESCO Paris, Richard Aspinall yang dikutip Astuti 2008: 141,
“The best radio talks programming is simply an extension of the talking we do in
our everyday lives”. Program radio talk yang paling baik adalah perpanjangan obrolan dari apa yang kita lakukan
dalam kegiatan sehari-hari. Obrolan seperti ini akan berlangsung alamiah, bebas, mengalir, terbuka, dan saling
mempengaruhi. Dalam Jurnalisme Radio Gunawan, dkk, 2001:
139 yang diterbitkan UNESCO Jakarta bekerjasama dengan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta menjelaskan
program interaktif adalah program yang melibatkan
29 interaksi antara pembawa acara atau presenter dengan atau
tanpa pembicara dari luar di studio, dengan pendengar di luar studio dalam beberapa kejadian, pendengar bisa juga
diundang hadir di studio. Karena sifatnya yang sarat muatan dialog, program interaktif juga sering disebut
sebagai talk show atau tontonan perbincangan.
E.3.6.2 Macam-macam Talk Show
Ada beragam jenis program interaktif talk show,
diantaranya Gunawan, dkk, 2001: 140-141: 1.
Pilihan pendengar, pendengar bisa menelpon penyiar di studio untuk diputarkan lagu pilihannya,
sekaligus bisa berbincang tentang berbagai hal, 2.
Kuis, dewasa ini radio selalu menggunakan telepon sebagai penghubung pendengar dengan penyiar
untuk kebutuhan kuis radio, 3.
Program pengaduan, masyarakat bisa mengadukan tentang hal apapun, termasuk
public service, pelayanan pemerintah,
traffic, dll, 4.
Konseling pribadi,
biasanya radio
akan menghadirkan
psikolog dan
pendengar bisa
melakukan konsultasi
lewat udara
untuk mendapatkan solusi dari segala permasalahan yang
dihadapi,
30 5.
Diskusi atau perdebatan, lazimnya ditentukan terlebih dulu topik yang akan dibicarakan. Ada
pakar yang dihadirkan di studio yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Terkadang pendengar juga
ikut diundang untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi radio ini.
Jenis diskusi atau perdebatan merupakan jenis talk
show yang paling rumit dalam pengerjaannya, namun juga yang paling mendukung radio-radio yang memiliki program
pemberitaan. Karena banyak kasus pemberitaan hanya dinformasikan sekilas saja, padahal banyak hal yang ingin
dibahas, dalam
diskusi inilah
bisa menghadirkan
narasumber untuk
secara bersama-sama
membahas pemberitaan tersebut hingga tuntas. Semua pemikiran baik
dari pakar maupun pendengar bisa ditampung untuk mendapatkan solusi bersama, jika dibutuhkan. Oleh
karenanya, bisa dikatakan bahwa program semacam ini merupakan program yang menjunjung tinggi asas
demokrasi.
E.3.6.3 Produksi Program Talk Show
Langkah yang harus dipersiapkan radio untuk membuat program
talk show Gunawan, dkk, 2001: 142- 145 adalah:
31 1.
Menentukan format Program interaktif format apa yang dipakai harus
ditentukan terlebih dahulu oleh produser acara dan tim. Mulai dari tema, apakah ada narasumber,
membutuhkan apa saja baik itu segi teknis maupun SDM, dll.
2. Memilih topik
Topik yang dipilih harus benar-benar menadi daya tarik bagi masyarakat, sehingga
talk show tersebut akan benar-benar efektif dan menimbulkan efek
yang sesuai dengan tujuan dari program, 3.
Melakukan riset Sama halnya dengan kegiatan jurnalistik lain, jika
ingin memperbincangkan suatu permasalahan, mutlak
untuk mencari
informasi sebanyak-
banyaknya tentang apa yang akan kita bahas. Semakin kaya hasil riset yang didapat, maka
semakin bermanfaat dan berkualitas talk show
tersebut, 4.
Menentukan narasumber Menentukan
siapakah yang
akan menjadi
pembicara ini juga penting, jangan sampai kita salah memilih narasumber kalau tidak ingin acara
32 yang sudah kita
arrange sedemikian rupa rusak hanya gara-gara narasumber tidak kompeten di
topik yang diangkat. Narasumber yang baik adalah yang
memiliki kompetensi
untuk berbicara
mengenai topik yang dibahas dan artikulatif mempunyai kemampuan berbicara yang baik,
runtut, jelas, dan berisi, 5.
Mempersiapkan peralatan teknis Peralatan di dalam studio harus dicek dan
dipastikan berfungsi dengan baik demi kelancaran talk show, baik itu michophone, headset, mixer,
maupun sambungan telepon untuk interaktif, jika digunakan,
6. Menyiapkan langkah tindak lanjut bila diperlukan
Obrolan yang bagus, jika masih meninggalkan ganjalan di akhir acara tidak akan bisa dikatakan
sukses sepenuhnya.
Masyarakat akan
lebih mengapresiasi radio yang mampu menyelesaikan
permasalahan hingga tuntas. Jika dalam talk show
itu masih ada hal yang harus diteruskan ke instansi lain atau individu lain, alangkah baiknya jika
diselesaikan. Jika hal ini dilakukan, maka masyarakat akan menilai bahwa radio kita tidak
33 diragukan lagi kredibilitasnya dalam melayani
kebutuhan masyarakat.
E.3.6.4 Struktur Siaran Talk Show
Seperti program siaran lain, struktur dari talk show
radio adalah opening, body, dan closing Astuti, 2008: 139-
140 . Opening talk show biasanya diisi dengan pengantar
pada topik, alasan mengapa topik ini diangkat, apa yang diharapkan dari diskusi yang akan berlangsung. Kemudian
penyiar akan mengenalkan narasumber dan latar belakang narasumber.
Body berisikan pokok permasalahan diskusi, dalam talk show dibagi menjadi beberapa segmen. Di tiap jeda
segmen disajikan iklan, lagu, atau yang lain. Agar pembahasan mudah dicerna oleh pendengar dan lebih
mudah pembahasannya oleh narasumber, disarankan agar setiap segmen berisikan satu isu, aspek, atau subtema.
Terakhir adalah closing atau penutup. Biasanya
kesimpulan dari perbincangan diutarakan lagi di segmen terakhir ini dalam kalimat yang singkat, boleh disampaikan
oleh penyiar, atau oleh narasumber. Tidak lupa ucapan terimakasih dan informasi lain yang berkaitan dengan
tindak lanjut talk show tersebut.
34
E.4 Model Implementasi Bottom-up
Model bottom-up bermakna meskipun kebijakan dibuat oleh
pemerintah, namun pelaksanaan oleh rakyat. Pendekatan bottom-up
dikembangkan oleh Michael Lipsky dan Benny Hjern. Model ini menekankan pada fakta bahwa bagaimana tiap-tiap pelaku kebijakan
diberikan keleluasaan
dalam menetukan
bagaimana mereka
mengimplementasikan kebijakan. Para pelaku kebijakan seperti halnya media massa, mendapatkan kesempatan untuk menerapkan kebijakan yang
dibuat pemerintah sesuai dengan kondisi di wilayah masing-masing. Artinya, bisa jadi metode yang disiapkan pembuat kebijakan untuk
diimplementasikan di lapangan tidak dipergunakan oleh pelaku kebijakan karena metode, sistem koordinasi, maupun sistem pengontrolannya tidak
sesuai untuk diterapkan. Model ini mengkritik model
top-down yang dianut Daniel Mazmanian, Paul Sabatier, Robert Nakamura, Frank Smallwood, dan Paul
Berman yang merupakan tipe implementasi ideal, dengan rantai komando yang baik, kapasitas koordinasi dan kontrol baik. Sehingga peran pembuat
kebijakan seakan menjadi sakral kedudukannya dan pelaku kebijakan tidak bisa dengan kritis dan bebas melaksanakan kebijakan sesuai dengan apa
yang dirasa cocok untuk diterapkan. Dwidjowijoto 2006: 126 memaparkan model pemetaan
top-down versus bottom-up terhadap mekanisme pasar versus mekanisme paksa
lewat Gambar 1.1.
35
Gambar 1.1 Pemetaan Implementasi
Top-Down Versus Bottom-Up Terhadap Mekanisme Pasar
Versus Mekanisme Paksa Model Dwidjowijoto
Model bottom-up yang digunakan dalam penelitian ini yang
bernomor 5 pada gambar. Model yang disusun oleh Richard Elmore, Michael Lipsky, dan Benny Hjern dan David O’Porter. Letaknya ada pada
kuadran bawah ke atas dan lebih berada di mekanisme pasar. Mekanisme pasar yang dimaksud adalah mengedepankan mekanisme insentif bagi
yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak akan mendapat sanksi, namun tidak mendapat insentif.
Model implementasi
bottom-up ini
dimulai dengan
mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan Atas ke bawah
Mekanisme Mekanisme
Paksa Pasar
Bawah ke Atas Sumber: Dwidjowijoto, 2006: 126
2 1
3 4
5
36 menanyakan kepada mereka tentang tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-
kontak yang mereka miliki. Model ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri
implementasi kebijakannya, atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran rendah Dwidjowijoto, 2006: 134-135.
Dwidjowijoto 2006: 148 mengistilahkannya dengan diskresi, yakni ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk memilih
tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila menghadapi situasi khusus ketika kebijakan tidak mengatur atau mengatur,
namun berbeda dengan kondisi lapangan. Penyesuaian di lapangan inilah yang menjadi inti dari diskresi. Akan tetapi, agar tidak terjadi diskresi
yang “keterlaluan” maka tetap dibutuhkan pengawasan oleh policymakers, yang dalam penelitian ini adalah
monitoring dari KPI. Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan model
implementasi bottom-up yang bisa digambarkan lebih sederhana dalam
Gambar 1.2 berikut:
37
Gambar 1.2 Penyederhanaan Model Implementasi
Bottom-up
Menurut pendukung model bottom-up, yang terpenting adalah
hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Daripada menganggap manusia sebagai mata rantai dalam garis komando, seperti
yang dianut model top-bottom, pembuat kebijakan semestinya sadar bahwa
kebijakan paling baik diimplementasikan dengan apa yang diistilahkan Richard Elmore
“backward mapping” pemetaan mundur problem dan kebijakan. Artinya, mendefinisikan sukses berdasarkan term manusia atau
perilaku manusia, dan karenanya kesuksesan bukanlah sekedar pemenuhan sebuah “hipotesis” Parson, 2008: 470.