BAB II GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama
Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia disamping Peradilan
Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang terdapat dalam penjelasan UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman pasal 10 ayat 1 yang telah dirubah menjadi UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pengadilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu. Misalnya mengadili perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan peraturan pelaksananya Peraturan Pemerintah PP No.45 tentang Pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah diluar jawa dan madura,
serta Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam KHI dan UU No.7 Tahun 1989 Jo UU No.3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama.
17
17
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Grapindo Persada, 2003, Cet.Ke10, h.5.
Pengadilan Agama secara histori merupakan lembaga penegak hukum Islam di bumi nusantara, yang tumbuh dan berkembangnya seiring dengan pertumbuhan
hukum Islam di Indonesia karena kesadaran dan kebutuhan hukum sesuai dengan keyakinan masyarakat.
18
Keberadaan Pengadilan Agama sebenarnya sudah lama ada di Indonesia, terbukti sebelum Islam masuk ke Indonesia dengan telah dikenalnya dua macam
Peradilan yaitu Peradilan Padu dan Peradilan Pradata.
19
Peradilan Pradata mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja dan Peradilan Padu mengurusi perkara-
perkara yang bukan menjadi urusan raja.
20
Jika dilihat dari segi materi hukumnya, Peradilan Pradata bersumber pada hukum Hindu yang dilukiskan dalam papakem
atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sedangkan Peradilan Padu
18
Munawir Syadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam Dalam Rangka Menentukan Pengadilan Di Indonesia,
Yogyakarta: UII PRESS, 1998, h.47.
19
Departemen Agama, Peradilan Agama di Indonesia; Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya,
Jakarta: Dirokterat Badan Pengadilan Agama Islam, 2001, Cet ke3, h.1.
20
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Prada Paramita, 1978, Cet.3, h.14.
bersumber pada hukum Indonesia asli yang diambil dari praktek kehidupan sehari- hari sehingga terkenal dengan hukum tidak tertulis.
21
Dalam proses selanjutnya hukum islam masuk ke indonesia bersama dengan masuknya Islam ke Indonesia.
22
Selanjutnya sejarah perkembangan lembaga Peradilan Agama di Indonesia dapat kita bagi dalam beberapa periode yaitu :
1. Periode sebelum tahun 1882 Pada periode ini penyelesaian perkara-perkara antar penduduk yang
beragama Islam dilakukan melalui tahkim yakni para pihak yang berperkara secara sukarela menyerahkan perkara mereka kepada seorang ahli agama baik
faqih, ulama atau mubalig untuk diselesaikan dengan ketentuan bahwa kedua pihak yang bersengketa akan mematuhi putusan yang diberikan ahli agama
itu. Periode selanjutnya disebut periode Tauliyah Ahl al Halli wa al Aqd. Periode ini dapat dilihat ketika pemerintah Hindia Belanda mulai
menyerahkan sebagian wewenang peradilan kepada sultan-sultan atau raja. Periode berikutnya disebut periode Tauliyah dari Imam. Pada periode ini para
hakim pelaksana Peradilan diangkat oleh sultan atau imam atau wali al amr.
23
2. Periode tahun 1882 sampai dengan tahun 1937
21
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.33.
22
M.Daud Ali, Kedudukan Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia Dalam Taufik Daulah Tradisi dan Kebangkitan di Asia Tenggara,
Jakarta: LP2ES, 1987, h.208
23
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, 2000, h.2.
Pada periode ini berkembang pendapat bahwa hukum yang berlaku bagi Indonesia asli adalah undang-undang Agama mereka yaitu hukum Islam.
Teori ini yang dipelopori oleh L.W.C Van Den Berg yang kemudian dikenal dengan teori receptie in complexu. Dengan berpegang pada teori ini, Van den
Berg berpendapat bahwa Pengadilan Agama sudah seharusnya ada termasuk juga di Batavia yang menjadi pusat kolonial yaitu didasarkan pada aturan
kebiasaan semenjak zaman dahulu dan sebagai tatanan nasional, dimana perundang-undangan dari penguasa bangsa Eropa sendiri memberikan
kemungkinan untuk itu dan karenanya sebelum ada Staatsblad 1882 No. 152 adalah sah.
24
Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu Badan Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia
Jawa dan Madura pada tanggal 1 Agustus 1882.
25
Kemudian seiring dengan berjalannya waktu terdapat golongan yang menentang pendapat Van den Berg. Tokoh yang terkenal dari golongan ini
adalah Christian Snouck Hurgronye yang berpendapat bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Kedalam hukum adat ini
dimasukkan sedikit-sedikit pengaruh hukum Islam. Pengaruh hukum Islam
24
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga
Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh Jakarta: Prenada Media Group,
2006, h.49.
25
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.12.
itu, baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam. Teori ini mengubah atau menggantikan Teori
Receptie in Complexu dengan teori Receptie.
26
3. Periode tahun 1937 sampai dengan tahun 1942 Dengan berkembangnya teori receptie maka lahirlah staatsblad 1937
Nomor 116 Pasal 2a ayat 1 yang berlaku tanggal 1 April 1937, dengan itu kompetensi Peradilan Agama menjadi terbatas dan lebih sempit. Tegasnya,
dengan Staatsblad ini wewenang Peradilan Agama hanya berkenaan dengan bidang perkawinan. Penggunaan teori Receptie oleh pemerintah Belanda
dengan mengenyampingkan hukum Islam dan memakai hukum adat bertujuan untuk melemahkan kedudukan hukum Islam.
27
4. Periode tahun 1942 sampai dengan tahun 1945 Pada tahun 1942, Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan yang
dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintah
Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan kecuali hanya
pergantian namanya.
28
26
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.52-53.
27
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.16-17.
28
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.60.
5. Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1957 Setelah Indonesia merdeka, atas usul Menteri Agama yang disetujui
oleh Menteri Kehakiman, pemerintah menyerahkan Mahkamah Islam Tinggi dari kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Penetapan
Pemerintah Nomor 5SD tanggal 25 Maret 1946.
29
Kemudian pada tanggal 21 Nopember 1946 disahkan dan diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-Undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang ini, diambillah tindakan
memisahkan urusan Nikah Talak Rujuk dari Pengadilan Agama. Penghulu yang tadinya merangkap Ketua Pengadilan tidak lagi mencampuri urusan
pengadilan dan sebab itu terbentuklah penghulu kabupaten yang diserahi urusan kepenghuluan disamping Penghulu Hakim yang dikhususkan
menangani Pengadilan Agama saja dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan sebagai penghulu Kepala. Seluruh biaya tata usaha pengadilan
menjadi tanggungan negara, sedangkan pegawai-pegawainya panitera dibayar dengan gaji tetap dan ongkos perkara harus disetorkan ke kas negara.
30
29
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.19.
30
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.65.
Setelah persetujuan Linggarjati dan Renville, kemudian disusul dengan konfrensi antara delegasi Republik Indonesia dan BFO Bijeenkomst
Voor Federal Overleg pertemuan untuk permusyawaratan Federal akhirnya pada tanggal 29 Oktober 1949 di Scheveningen ditanda tangani Piagam
Persetujuan Atas Konstitusi Republik Indonesia Serikat oleh delegasi RI dan seluruh delegasi BFO. Dalam konstitusi RIS, Pengadilan Agama tetap diakui
eksistensinya sesuai dengan Staatsblad 1882 No 152.
31
Ternyata rakyat Indonesia menghendaki bentuk kesatuan RI maka dibubarkanlah RIS dan diundangkanlah Undang-Undang No. 7 Tahun 1950
lembar Negara Nomor 56 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
dimana Konstitusi RIS diganti menjadi Undang-Undang Dasar Sementara dan lahirlah Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan. Dalam UUDS,
keadaan peradilan adalah sama dengan zaman RIS demikian halnya Peradilan Agama.
32
Pada tahun 1951, di lingkungan peradilan diadakan perubahan penting yang salah satunya adanya kelanjutan Peradilan Agama. Karena UU No. 22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka pada tanggal 26 Oktober 1954 disahkan Undang-
31
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.22.
32
Ibid., h.24.
Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946
tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
33
6. Periode tahun 1957 sampai dengan tahun 1970
Pada tahun 1957, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah PP No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama Mahkamah Syar’iyah
di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam yang hal ini menjadikan keadaan dasar hukum Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat berragam.
Ditambah lagi dengan penampungan pejabat-pejabat Badan Peradilan Agama dalam formasi Kantor Urusan Agama sebagai akibat pelaksanaan UU No. 22
Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk, sehingga seolah-olah Badan Peradilan Agama terhapus. Oleh karena itu
perkara-perkara yang menjadi wewenang Pengadilan tidak mendapat perhatian dan pelayanan semestinya, dan juga untuk melaksanakan Pasal 1
ayat 4 UU Darurat Nomor 1951, maka untuk daerah luar Jawa dan Madura kecuali sebagian daerah Kalimantan Selatan dan Timur yang termasuk dalam
daerah hukum dari Pengadilan Kadi diadakan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 LN 99 yang mengatur pembentukan Pengadilan Agama
33
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.69-70.
Mahkamah Syar’iyah yang isinya sama dengan Peraturan Nomor 29 Tahun 1957 sehingga PP No. 29 Tahun 1957 dicabut oleh PP No. 45 Tahun 1957.
34
Menurut Peraturan Pemerintah ini, kewenangan Pengadilan Agama di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan meliputi perkara-perkara nikah,
talaq, ruju’, fasakh, nafaqah, mas kawin mahar, tempat kediaman maskan, mut’ah, hadhanah, waris, wakaf, hibah, shadaqah dan baitul mal.
35
7. Periode tahun 1970 sampai dengan tahun 1974
Dalam rangka memenuhi Ketentuan Pasal 24 UUD 1945, pada tahun 1964, keluarlah UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilaksanakan oleh 4 lingkungan Peradilan yaitu: a.
Peradilan Umum; b.
Peradilan Agama; c.
Peradilan Militer; d.
Peradilan Tata Usaha Negara.
36
34
Ibid., h.74-75.
35
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.26-27.
36
Lihat UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dengan adanya jaminan Yuridis UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Peradilan
Agama semakin kuat. 8.
Periode tahun 1974 sampai dengan tahun 1989 Pada tanggal 2 Januari 1974 disahkanlah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun peraturan pelaksanaannya diundangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 68 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ini menyatakan yang dimaksud dengan Pengadilan dalam
Undang-Undang ialah : a.
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. b.
Pengadilan Umum bagi lainnya.
37
Perkembangan berikutnya sehubungan dengan peranan Pengadilan Agama dalam periode 1974 – 1989 ini adalah lahirnya Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
38
Dengan diundangkannya kedua undang-undang di atas, maka wewenang Pengadilan Agama semakin luas dan mantap.
9. Periode tahun 1989 sampai dengan sekarang
37
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.32.
38
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.89.
Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkanlah sebuah undang-undang dalam Lembaran RI Tahun 1989 No. 49. Undang-undang
tersebut diberi nama UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur
kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, undang-undang tersebut juga merupakan lanjutan yang melengkapi UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
39
Lahirnya undang-undang ini merupakan suatu kemajuan yang pesat dalam dunia
Peradilan Agama yang memperkukuh eksistensi lembaga Pengadilan Agama sebagai lembaga yang memiliki landasan, kedudukan dan kekuasaan yang
jelas. Sosialisasi dan pembinaanpun mulai dilakukan pemerintah. Namun,
dirasakan masih adanya beberapa kelemahan seperti hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama cenderung simpang siur karena
adanya perbedaan pendapat ulama hampir dalam setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun
semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya,
39
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: Undang- Undang No. 7 Tahun 1989
Jakarta: Pustaka Kartini, 1990, h.15.
untuk menjamin akan adanya kesatuan dan kepastian hukum.
40
Karena itulah maka pada tahun 1991, dikeluarkanlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam yang menjadi dasar yang digunakan hakim dalam menyelesaikan perkara yang merupakan kekuasaan absolut Pengadilan
Agama. Kemudian pada 31 Agustus 1999 disahkanlah UU No. 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan kemudian lahir pula UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang mana
hal ini menyebabkan perpindahan kekuasaan Pengadilan Agama dari tangan Departemen Agama menjadi di bawah Mahkamah Agung seperti layaknya
Pengadilan-Pengadilan lainnya.
41
Puncak dari semuanya adalah dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
Dalam undang-undang ini kompetensi absolut Pengadilan Agama diperluas meliputi ekonomi syariah. Dan dengan adanya undang-undang ini maka
kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam menjadi
40
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.110.
41
Lihat UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan juga UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
lebih kuat dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.
42
B. Susunan Badan Pengadilan Agama