BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PRODEO
A. Prosedur Teoritis Prodeo
Salah satu asas hukum acara perdata yaitu pengenaan biaya saat beracara. Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan
biaya untuk panggilan pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya
perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma prodeo dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya
perkara.
62
Hal ini dijelaskan dalam pasal 237 HIR dan 273 RBg yang berbunyi : “
Penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa
biaya.”Tetapi ada diantara biaya yang tidak dibebaskan yaitu biaya administrasi kepaniteraan dan pembayaran upah juru sita.
63
62
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti Yogyakarta, 1999, Cet. 2, h. 16.
63
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama “UU No. 7 Tahun 1989”,
Jakarta: Pustaka Kartini, 1997, Cet ke.3, h. 81.
Pada pasal 238 HIR 274 RBg ayat 1-3 dijelaskan bahwa, apabila penggugat menghendaki izin prodeo, maka ia mengajukan permintaan untuk itu pada waktu
memasukkan surat gugatan atau pada waktu ia mengajukan gugatannya dengan lisan. Tetapi apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu ia
memasukkan jawabannya. Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai surat keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh kepala polisi pada tempat diam
peminta, yang berisi keterangan bahwa ia benar-benar dinyatakan tidak mampu. Kemudian pada ayat 4 pasal 274 RBg dijelaskan,
jika bukti tertulis tidak dapat diajukan, maka pengadilan bebas untuk meyakinkan diri tentang kemiskinan pemohon yang
bersangkutan dengan jalan keterangan-keterangan lisan atau dengan cara lain.
64
Kemudian pada waktu menghadap kemuka pengadilan, pertama kali diputuskan oleh pengadilan adalah putusan sela yang
berisi tentang dikabulkan atau tidak permohonan prodeonya. Hal ini dijelaskan dalam pasal 239 HIR275 RBg.
65
Pada pasal 240 HIR276 RBg ayat 1 dan 2 dijelaskan mengenai, balai harta peninggalan dan balai budel, tanpa mengajukan tanda surat keterangan tidak mampu
baik ia sebagai penggugat atau tergugat, dan ia diperbolehkan berperkara tanpa biaya jika budel yang diurusnya atau kekayaan orang yang diwakilinya pada waktu perkara
dijalankan, diperkirakan tidak akan mencukupi untuk membayar biaya perkara.
64
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama,
h. 44.
65
Ibid., h. 44.
Kemudian, mereka pada waktu mengajukan permohonan untuk berperkara tanpa biaya secara singkat memperlihatkan keadaan kekayaan itu kepada hakim.
66
Pasal 242 HIR278 RBg ayat 1-4 menjelaskan tentang, permohonan untuk berperkara dalam tingkat banding tanpa biaya harus disertai pernyataan tidak mampu
seperti tersebut dalam pasal 274 RBg ayat 3, secara lisan atau tertulis disampaikan kepada panitera pengadilan negeri yang memutus dalam tingkat pertama, oleh pihak
yang naik banding dalam waktu empat belas hari setelah keputusan dijatuhkan atau sesudah diberitahukan, oleh pihak lawan disampaikan dalam waktu empat belas hari
setelah diberitahukan adanya permohonan banding atau sesudah diberitahukan menurut ayat terakhir pasal ini.
67
Kemudian jika pemohon bertempat tinggal atau berdiam di luar wilayah, jaksa ditempat kedudukan pengadilan negeri atau panitera pengadilan negeri tidak ada di
tempat itu, maka ia dapat minta agar permohonannya dicatat oleh jaksa di tempat tinggalnya atau tempat ia berdiam. Setelah permohonan itu dicatat, ketua
memerintahkan agar permohonan itu dalam waktu empat belas hari sesudah catatan itu, diberitahukan kepada pihak lawan dan memerintahkan agar para pihak dipanggil
untuk menghadap di hadapannya.
68
66
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama,
h. 45.
67
Ibid., h. 45.
68
Ibid., Departemen Agama, Himpunan Peraturan, h. 45-46.
Pada pasal 243 HIR 279 RBg ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa, jika pemohon tidak datang menghadap, maka pemohon dinyatakan gugur. Jika pemohon
datang menghadap pada hari yang telah ditentukan, maka ketua mendengar pemohon dan lawannya.
69
Pasal 244 HIR280 RBg menjelaskan, berita acara persidangan dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, satu turunan resmi surat keputusan
pengadilan dan ringkasan catatan yang ada di dalam daftar tentang permohonan untuk berperkara tanpa biaya, dikirimkan oleh panitera pengadilan negeri kepada raad van
justitie yang akan memeriksa permohonan banding itu. Akan tetapi, raad van justitie memutus tanpa memeriksa para pihak, hanya berdasarkan surat-surat. Dengan sesuatu
alasan seperti tersebut dalam pasal 275, juga karena jabatannya raad justitie dapat menolak permohonan itu dan panitera raad van justitie secepat mungkin mengirimkan
turunan resmi putusan raaf van justitie tersebut dengan disertai surat-surat seperti tersebut dalam pasal yang lalu kepada ketua pengadilan negeri yang kemudian
memberitahukannya kepada para pihak. Hal ini dijelaskan pada ayat 1 dan 2 pasal 245 HIR281 RBg.
70
Secara teoritis telah dijelaskan mengenai prosedur dalam mengajukan perkara secara prodeo di muka pengadilan sampai ke
tingkat banding.
69
Ibid., h. 46.
70
Ibid., h. 47.
B. Kategori Biaya Perkara di Pengadilan Agama Pada asasnya berperkara di Pengadilan dalam perkara perdata, dikenakan
biaya sesuai ketentuan pasal 4 ayat 2, pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan pasal 182, pasal 121 ayat 4 HIR, kemudian dalam pasal 192-194
RBg. Artinya suatu perkara perdata di Pengadilan baru dapat didaftar di kepaniteraan setelah pihak pemohon atau penggugat membayar sejumlah biaya perkara yang
lazimnya disebut panjar atau verschot.
71
Berdasarkan surat Mahkamah Agung RI Nomor: 43TUADAAGIII- UMXI1992, tanggal 23 November 1992 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan agama di seluruh Indonesia, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan biaya perkara menurut pasal 121 ayat 4 HIR pasal
145 ayat 4 RBg meliputi biaya kepaniteraan yustisi costen dan biaya proses process costen.
72
Kemudian dalam suratnya MAKUMDIL214XIIK1992, tanggal 21 Desember 1992 perihal pola keuangan perkara di lingkungan Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI merinci biaya kepaniteraan yang kemudian dikenal dengan istilah Hak-Hak Kepaniteraan HHK yang terdiri dari:
73
71
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Buletin Berkala Hukum dan Peradilan
, Jakata: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2002, h. 39.
72
Ibid., h. 40.
73
Ibid., h. 41.
a. Biaya pendaftaran perkara tingkat pertama;
b. Biaya Redaksi;
c. Biaya Pencatatan permohonan Banding;
d. Biaya Pencatatan permohonan Kasasi;
e. Biaya pencatatan permohonan PK;
f. Biaya pencatatan permohonan sita konservatoir;
g. Biaya permohonan sita Refindikatoir;
h. Biaya pencatatan permohonan pencabutan sita;
i. Biaya pencatatan pelaksanaan lelang.
Dengan kata lain, biaya kepaniteraan adalah pungutan-pungutan sebagai pelayanan pengadilan. Biaya-biaya inilah yang harus disetorkan ke Kas Negara.
Sedangkan biaya proses merupakan biaya-biaya pelaksanaan Peradilan dalam rangka menyelesaikan suatu perkara. Dalam pasal 90 ayat 10 UU No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama secara tegas telah ditentukan bahwa biaya proses tersebut meliputi:
74
a. Biaya pemanggilan para pihak dan pemberitahuan;
b. Biaya untuk saksi saksi ahli dan penerjemah;
c. Biaya pengambilan sumpah;
d. Biaya penyitaan;
74
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama,
h. 280.
e. Biaya eksekusi;
f. Biaya pemeriksaan setempat;
g. Biaya-biaya lain atas perintah Ketua Pengadilan.
Dengan memperhatikan kedua surat Mahkamah Agung RI dan pasal 90 ayat 1 di atas, dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan Biaya Perkara adalah biaya
yang meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kategori biaya perkara sesuai tingkat dan kepentingan
pemeriksaan perkara inilah yang merupakan biaya yang harus dibayar sebagai panjar.
C. Masalah Yang Muncul Dalam Prodeo