Penyelesaian perkara secara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat (analisis yuridis putusan nomor :085/pdt.g/2010 Pengadilan Agama Jakarta Barat)

(1)

Pengadilan Agama Jakarta Barat)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUCHAMAD ARIFIN Nim: 207044100271

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO

DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT

(Analisis Yuridis Putusan Nomor: 085/Pdt.G/2010/

Pengadilan Agama Jakarta Barat)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUCHAMAD ARIFIN Nim: 207044100271

Di Bawah Bimbingan Pembimbing:

Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi NIP: 194008051962021001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

JAKARTA BARAT (Analisis Yuridis Putusan Nomor: 085/Pdt.G/2010/ Pengadilan Agama Jakarta Barat) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah .

Jakarta, 20 Juni 2011 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syari`ah dan Hukum

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 1955051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, MA NIP. 19640121994031004

2. Sekertaris : Moch. Syafii, S.EI

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi NIP.194008051962021001

4. Penguji I : Drs. H. Ahmad Yani, MA NIP. 19640121994031004

5. Penguji II : Drs. H. Zaenal Arifin, M.Pd.I NIP. 195911101991031001


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu pernyataan memperoleh gelar starata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Juni 2011


(5)

i

ميحرلا نمرلا ها مسب

Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan karuniaNya sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam ditunjukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil memerankan fugsi-fungsi kekhalifahan dengan baik dipentas peradaban dunia sehingga beliau dipilih oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah bagi seluruh manusia.

Penulisan skripsi ini ditunjukan untuk memenuhi persyaratan akademis dalam menyelesaikan pendidikan Program Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan baik berupa moril, materil, pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak. Olehsebab itu penulis ingin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta.


(6)

ii

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, MA., Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., Sekertaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk menuntun penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Pimpinan Perpustakaan Fakultas dan juga Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan dan mencari bahan rujukan di perpustakaan.

6. Lembaga Pengadilan Agama Jakarta Barat tempat penulis mengadakan penelitian dan memperoleh informasi, khususnya kepada bapak Drs. H. Muhiddin, SH., M.H., Sebagai Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Bapak Adri Syafruddin Sulaiman, SH., Sebagai Panitera Muda Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

7. Ayahanda dan Ibunda tersayang Bapak Maskuri dan Ibu Mardiyatun doa yang tak pernah henti dipanjatkan dan kasih sayang yang tak pernah lelah diberikan, yang selalu memotivasi dan mendukung peneliti baik secara moril maupun materil, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.


(7)

iii

teman yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu, yang selalu menjadi teman belajar, diskusi dan bertukar pikiran, baik di dalam maupun di luar kelas hingga selesainya penelitian skripsi ini. Semoga tali silaturrahim kita selalu terjalin.

9. Adik-adikku Inganatul Muslikha dan nurlatifah atas motivasi dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini.

10. Seluruh rekan-rekan yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan kontribusi yang cukup besar sehingga peneliti dapat menjalani perkuliahan di UIN hingga akhir.

Akhir kata hanya kepada Allah jualah peneliti memanjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan berupa amal yang berlipat kepada mereka, atas dorongan, dukungan dan kontribusi mereka, peneliti hanyalah hamba yang dhaif. Kiranya skripsi ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran sangat diharapkan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat serta memberikan kontribusi bagi orang banyak. Amin

Jakarta, 20 Juni 2011 M

Muchamad Arifin.


(8)

iv

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 8

C. Perumusan Masalah ... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1. Tujuan Penelitian ... 10

2. Manfaat Penelitian ... 11

E. Tinjauan kajian terdahulu ... 11

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PRODEO A. Pengertian dan ProsedurPerkara Prodeo Aspek Teoritis ... 19

B. Prodeo Dalam Sejarah Singkat Peradilan Islam ... 22

C. Katagori Biaya Perkara di Pengadilan Agama ... 27

D. Masalah Yang Muncul Dalam Prodeo ... 29


(9)

v

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN AGAMA JAKARTA BARAT

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Barat ... 39 B. Wewenang dan Susunan Peradilan Agama ... 45 C. Pengertian dan Sejarah Singkat Hukum Acara di Peradilan Agama 56 D. Sumber-Sumber dan Asas Hukum Acara Perdata dan Hukum

Acara Peradilan Agama ... 64

BAB IV PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT

A. Faktor-Faktor Penyebab Dan Kendala-Kendala Berperkara

Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat ... 72 B. Penyelesaian Pekara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta

Barat ... 77 C. Tingkat Frekwensi Masyarakat Yang Berperkara Prodeo ... 89 D. Analisis Penulis ... 91

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan salah satu sarana dalam kehidupan bermasyarakat yang bertujuan untuk mencptakan keadilan, ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat dimana hukum itu berada.1kebutuhan akan keadilan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam dalam kehidupan masyarakat, disamping itu keadilan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Pancasila sila kelima yaitu: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Dan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 yang menyatakan "Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan ada kecualinya.2

Pasal diatas tidak membedakan antara warga negara yang satu dengan yang lain, semua sama dihadapan hukum dan berhak memperoleh perlinungan hukum termasuk fakir miskin.3 karena fakir miskin ini pun telah diatur dalam pasal 34

1

Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Cet. IV, (Bandung,

Penerbit alumni, 1997), h. 20. 2

Undang-undang Dasar 1945, Pembukaan dan Pasal 27 ayat 1

3

Binziad Kadafi, dkk., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi Tentang Tanggung

Jawab Profesi Hukum Indonesia, Cet. III (Jakarta, Pusat Studi Hukum dan kebijakan Indonesia, 2002), h. 167


(11)

terlantar terpelihara oleh negara”.4 Tetapi negara tidak menjamin keberlangsungan hidup mereka semua, realitanya masih banyak rakyat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan. Apalagi rakyat miskin hampir semuanya buta hukum dan pada umumnya mereka tidak tahu hak-hak dan kewajiban serta tidak tahu sebagaimana menghadapi dan menyelesaikan perkara sendiri. Peraturan hukum tersebut bukan sekedar barang yang mati, akan tetapi peraturan hukum ini hidup di ruang pengadilan dan diwujudkan dalam perbuatan. Pengadilan merupakan salah satu simbol dari kekuasaan Islam.5

Hukum adalah keseluruhan peraturan sosial yang mewajibkan perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta dapat dibenarkan.6 Negara Hukum Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD-NRI-1945) yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sayangnya UUD-NRI-1945 ini tidak menjelaskan lebih lanjut perihal apa dan bagaimana sosok negara hukum yang dikehendaki oleh negara hukum Indonesia ini.7

Memperhatikan fungsi hukum dalam masyarakat yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif diantara sesama anggota masyarakat, kiranya

4

Undang-undang 1945, Op.Cit., pasal 34 ayat 1 5

Daniel S. Tev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Cet. II (Jakarta: PT, Inter Masa, 1986),

h. 18 6

R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet VI (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.31

7

M. Amin Suma, Kedudukan dan Peran hukum Islam di Negara Hukum Indonesia, 2009, h.


(12)

3

sulit bagi kita untuk memikirkan suatu masyarakat yang dapat berjalan tanpa menerima pelayanan hukum.8

Ketentuan tentang Peradilan Agama khususnya hukum acara dilingkungan Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan Undang-undang No 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian pada tanggal 28 februari 2006 telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 3 Th. 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama mengemukakan bahwa, Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.

Undang-undang No. 3 Th. 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7. Th. 1989 tentang Peradilan Agama seperti diketahui bersama, tidaklah dalam kerangka pemberian dasar-dasar dan aturan-aturan bagi sebuah instusi yang belum eksis. Karena peradilan Agama telah berfungsi dan bangsa kitapun telah menerima manfaat dari penyelenggaraan fungsinya itu dalam rentang waktu yang sangat panjang. Problemnya, pada waktu itu peradilan agama belum dilengkapi persyaratan fundamental, yaitu undang-undang, yang kemudian pada aspek organisasi, kekuasaan, dan acara, mengakibatkannya menyandang sebagai

8


(13)

kekurangan. Sebagai contoh, hidupnya sebuah opini mengenai perbedaan status hakim Peradilan Agama dengan hakim-hakim dari lingkungan peradilan lainnya.9

Kehadiran Undang-undang Peradilan Agama, dengan demikian tidak lain adalah dalam kerangka pembaharuan Peradilan Agama sebagai pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman. Pembaharuan ini adalah bentuk peneguhan dan penegasan eksistensi, penyempurnaan dan pemantapan organisasi, serta penyempurnaan dan unifikasi kekuasaan dan acara dari Peradilan Agama. Pembaruan ini membawa Peradilan Agama pada kedudukannya, sehingga ia mampu menyelenggarakan tugas dengan baik dan mandiri yang memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.10

Kesimpulan sementara, pihak yang menyatakan keahlian aparat Peradilan Agama Pra Undang-undang ini dibawah standar. Tentulah tidak relevan, Mereka telah berpengalaman menyelesaikan tugas sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku ketika itu. Karena Undang-undang membawa pembaruan, mengharuskan aparat Peradilan Agama untuk baik secara mental maupun fisik, menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu.11

Dari penjelasan diatas, terlihat begitu peliknya peraturan-peraturan hukum itu dibuat. Karena peraturan merupakan satu sarana dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi ia bukanlah rumus yang harus dihafalkan luar kepala oleh

9 Muhammad Tolchah Hasan, “

Beberapa Catatan Sekitar 10 Tahun Undang-Undang

Peradilan Agama” :Ditbinbapera Islam, Fakultas UI & Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat. 2 Desember 1999, (Jakarta:Chasindo, 1999), h 16

10

Ibid., h. 16 11


(14)

5

masyarakat maupun ahli hukum untuk dipakai dalam acara di suatu pengadilan, melainkan ia adalah peraturan-peraturan hidup yang oleh tiap-tiap orang-orang diwujudkan dalam hidup sehari-hari. 12

Tugas bagi pemerintah adalah bersosialisasi Undang-undang ini secara intensif, sehingga Undang-undang ini bukan saja secara formal merupakan hukum yang berlaku (positive law) tetapi secara faktual juga merupakan hukum hidup ( living law). Dengan intensifnya upaya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah, diharapkan kesadaran hukum masyarakat akan fungsi dan peranan Peradilan Agama menjadi lebih meningkat.13

Kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap Peradilan Agama, juga akan mendorong para hakim Peradilan Agama untuk lebih berhati-hati, obyektif dan dinamis dalam menentukan putusannya.

Hal ini berarti bahwa negara berkewajiban melindungi fakir miskin sebagai bagian dari warga negaranya. Akan tetapi negara belum menjamin keberlangsungan hidup mereka semua. Realitanya masih banyak rakyat miskin hampir semua buta hukum dan pada umumnya mereka tidak tahu bagaimana menghadapi dan menyelesaikan perkara-perkara dalam kehidupan yang mereka alami, terutama menyangkut masalah perdata mereka.14

12

Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, h. 5

13 Muhammad Tolchah Hasan, “

Beberapa Catatan Sekitar 10 Tahun Undang-Undang

Peradilan Agama”, h. 17 14

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Bulletin Berkala Hukum & Peradilan (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2002), h. 42


(15)

Menghadapi situasi sosial seperti ini, maka perlu adanya perombakan strategi pembangunan hukum. Karena hukum juga harus bersentuhan dengan kebutuhan rakyat kurang mampu, dalam arti bukan membebaskan mereka dari aturan hukum, tapi justru memperkuat rakyat yang menentukan masa depan mereka. Perlu kembali diefektifkan agara masalah-masalah yang muncul belakangan ini memndapat penyelesaian. Sebab bila semua itu tidak ditindak lanjuti dalam bentuk nyata, maka konsep-konsep tersebut meminjam istilah Soerjono Soekanto hanya akan menjadi huruf mati yang sama sekali tidak punya efektifitas.15

Pada dasarnya hukum acara di Pengadilan dalam perkara perdata dikenakan biaya. Artinya suatu perkara perdata baru dapat didaftar di kepanitraan setelah pemohon atau penggugat membayar sejumlah biaya perkara yang lazimnya disebut panjar atau vreschot. Namun biaya tersebut harus juga seringan mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Khususnya masyarakat yang berekonomi lemah. Karena hal merupakan salah satu asas hukum acara, yaitu asas sederhana, cepat dan biaya ringan. 16

Namun demikian bagi anggota masyarakat yang tergolong tidak mampu membayar biaya perkara, juga harus mendapatkan pelayanan hukum yang sama. Sesuai dengan amanat pasal 28 D ayat 1 UUD 1945, golongan masyarakat yang tidak mampu ini tetap berhak mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan

15

Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Hukum, Cet. 1, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h.

10 16


(16)

7

kepastian hukum yang adil, serta perlakuan atau pelayanan hukum yang sama dihadapan hukum dengan warga negara Indonesia yang lainnya, termasuk pula dalam hal beracara didalam pengadilan. Bahkan golongan masyarakat seperti ini sudah sepatutnya pula mendapat bantuan hukum untuk beracara, salah satu bentuk bantuan hukum yang dapat diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu dalam beracara perdata adalah : Diperbolehkannya untuk mengajukan perkara perdata tanpa biaya perkara (Prodeo).17

Secara teoritis, melalui aturan yang telah ada, baik dalam Herzine Inland Reglemen (HIR) / Reglemen Buiten Govesten (RBg), maupun dalam literatur hukum acara, telah dibuktikan bahwa peradilan di Indonesia peduli terhadap masyarakat berekonomi lemah yang juga ingin mendapatkan dan merasakan perlidungan serta pengayoman, dalam memperoleh hak perdata mereka yaitu dengan diberlakukannya Undang-undang pasal 237 sampai pasal 245 HIR\ pasal 273 sampai pasal 281 RBG yang bunyinya antara lain "Barang siapa hendak berperkara, baik sebagai penggugat maupun tergugat, tetapi tidak mampu membayar ongkos perkara, dapat mengajukan perkara dengan ijin tidak membayar ongkos". Selain itu juga telah ditegaskan dalam petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan administrasi perkara dilingkungan peradilan umum, bagian kesatu, pada butir 39 tentang perkara prodeo.

17


(17)

Umumnya para praktisi hukum berpendapat bahwa seluruh biaya perkara dibebaskan dari pemohon prodeo. Bahkan menurut Abdul Manan, pengadilan tidak boleh memungut biaya dari bentuk apapun dari pemohon prodeo.18

Dengan berbagai latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengenal lebih jauh tentang pelaksanaan dan penyelesaian suatu perkara prodeo dlingkungan Peradilan Agama. Yaitu dimaksudkan sebagai eksplorasi mengenai mekanisme dan sejumlah persyaratan praktis dan teknis yang ada dalam acara pengadilan, namun absen dalam sejumlah literatur berkenaan dengan prodeo itu.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk dapat mengadakan penelitian dengan judul:

“PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO DI PENGADILAN

AGAMA JAKARTA BARAT.” (ANALISIS YURIDIS PUTUSAN NOMOR: 085/PDT.G/2010/ PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT)

B. Pembatasan Masalah

Dalam berperkara di Pengadilan banyak kendala-kendala yang ada seperti membayar perkara di Pengadilan namun di negara Indonesia, belum banyak rakyat miskin yang tidak mampu membayar perkara di Pengadilan dan kebanyakan rakyat miskin hampir semuanya buta hukum dan pada umumnya mereka tidak tahu hak-hak dan kewajiban serta tidak tahu bagaimana menghadapi

18

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,


(18)

9

dan menyelesaikan perkara sendiri, maka diperlukan bantuan kaitannya hukum maupun pembiyayaan oleh karena adanya bantuan hukum secara prodeo (Cuma-Cuma) akan memberikan dampak positif oleh orang yang berperkara di Pengadilan Agama.

Penulis membatasi permasalahan dalam penyusunan skripsi agar data-data yang diperoleh dan diperlukan lebih sistematis, sehingga sesuai dengan arah dan tujuan penulisan.

Pembatasan masalah yang dikemukakan penulis adalah mengenai

pemeriksaan pemeriksaan “Penyelesaian perkara Secara Prodeo yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat”, dimana perkaranya mempunyai kekuatan

hukum tetap.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang serta pembatasan masalah yang telah diuraikan diatas, maka berperkara dengan prodeo akan berimplikasi dan perlu penyelesaian di Pengadilan Agama Jakarta Barat, permasalahan di Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

“Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat” dalam Proses Berperkara “Bila dibuat pertanyaan dapat dirumuskan sebagai

berikut:


(19)

2. Faktor-faktor penyebab dan kendala-kendala berperkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

3. Berapa banyak kasus yang memakai jalur prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

4. Apakah ada perlakuan penyelesaian dari hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan kasus antara prodeo dan tidak prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Memberikan gambaran kongrit mengenai mekanisme berperkara prodeo di Pengadilan Agama kepada masyarakat.

b. Mengetahui frekwensi masyarakat yang mengetahui dan tidaknya tentang prodeo di lingkungan Pengadilan Agama. Sehingga dapat terlihat perbandingan antara keduanya.

c. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perkara prodeo di Pengadilan Agama dan memberikan solusinya bagi pihak yang ingin berperkara. d. Membandingkan antara teori dan praktek di pengadilan mengenai prodeo,

tentang penyimpangan-penyimpangan yang ada di pengadilan dengan aturan-aturan yang Berlaku.


(20)

11

2. Manfaat Penelitian

Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi pengetahuan kepada masyarakat umum, khususnya kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan tidak mampu membayar biaya dalam perkara di pengadilan, bahwa hukum acara membuka kemungkinan utuk berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo). Sehingga dengan adanya penelitian ini, mereka mendapat keadilan, merasakan perlindungan dengan pengayoman dalam memperoleh hak perdata mereka.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu.

Pada dasarnya, terdapat sebuah skripsi yang ditulis oleh Sapenah berkenaan dengan kasus prodeo, yaitu skripsi yang berjudul: Kontribusi advokat dalam penyelesaian kasus prodeo. (Studi Kasus di Pengadilan Agama Bekasi), sehingga secara spesifik, penulis tidak menemukan kajian ilmiah berkenaan dengan prodeo yang serupa dengan tema penulis angkat ini.

Selain itu, penulis juga telah melakukan studi pendahuluan pada literatur-literatur yang berkenaan dengan hukum prodeo secara khusus ataupun berkenaan dengan hukum acara pada umumnya. Misalnya, M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, tak satupun literatur itu mengkaji secara mendalam tentang Mekanisme serta sejumlah persyaratan yang nyatanya ada dalam praktik penyelesaian kasus prodeo di pengadilan. Sementara itu penulis menilai, bahwa kekosongan ini dapat


(21)

berdampak pada persepsi masyarakat, lebih-lebih kalangan ekonomi menengah kebawah, dalam upaya penyelesaian kasus perdata mereka. Dalam skripsi Sapenah yang berjudul Kontribusi advokat dalam penyelesaian kasus prodeo Cuma mengkaji seputar bagaimana kinerja advokal dalam kontribusi kasus prodeo sedangkan judul yang saya angkat Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat meneliti tentang bagaimana mekanisme dan frekewensi masyarakat dari tahun ke tahun serta kendala-kendala dalam prodeo.

Maka disinilah, penulis akan mengkaji tentang mekanisme prodeo, yang bertujuan untuk menjawab atas celah kajian akademik dalam persoalan terkait, yaitu dengan mengkomparasikan antara penyelesaian perkara secara prodeo di pengadilan agama jakarta barat secara teoritis dengan aspek praktiknya dan frekwensi masyarakat dalam menggunakan prodeo apakah tiap tahun meningkat atau mengalami penurunan.

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, membutuhkan data-data yang dapat memberikan kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan. Dimana peneliti itu sendiri

mempunyai pengertian:” Suatu usaha untuk mengembangkan, menemukan dan

menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah.19

19


(22)

13

Metode-metode tersebut sangatlah penting untuk menunjang hasil yang nantinya diperoleh dari penelitian yang dilakukan, sehingga mendapatkan data dengan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang diteliti.

Pemilihan metode juga menjadi salah satu penentuan dari kesempurnaan suatu penelitian ini, metode-metode yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Obyek Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil lokasi disesuaikan

dengan judul skripsi :“PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO DI

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT.” (Analisis Yuridis Putusan Nomor: 085/Pdt.G/2010/ Pengadilan Agama Jakarta Barat)

Sehingga berdasarkan skripsi ini, maka lokasi penelitian adalah Di Pengadilan Agama Jakarta Barat

2. Jenis Penelitian

Dilihat dari segi sifatnya, penelitian yang akan dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yang bersifat Deskriptif.

Penelitian Deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala-gejala lainnya.20

Penelitian ini menuturkan dan menafsirkan data yang ada, yaitu

mengenai proses “Penyelesaian Perkara Secara Prodeo Di Pengadilan Agama

20


(23)

Jakarta Barat”, hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaannya beserta jalan keluar untuk mengatasinya. Dalam menutur dan menafsir data-data tersebut, di dasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

3. Tempat Penelitian

Adapun tempat penelitiannya adalah di Pengadilan Agama Jakarta Barat yang berlokasi di Jln. Flamboyan II No.2 Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng Kota Jakarta Barat, No. Telp: 021-55951554, No. Fax: 021-55963233, Emal Kantor : info@pajb.net, Email Pengaduan : pengaduan@pajb.net, Email Admin Website:admin@pajb.net

4. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan dan ditunjukan pada praktek pelaksanaan hukum (law in action) terhadap peraturan perundang-undangan tertulis serta prakteknya dan dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia (law in books), maka metode pendekatannya adalah bersifat surving.

5. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan 2 sumber data, yaitu:

a. Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari keterangan dan penjelasan dari pihak yang berwenang di obyek penelitian.

Yaitu: Hakim ketua Majlis dan Hakim anggota yang menangani proses pemeriksaan perkara Prodeo Di Pengadilan Agama Jakarta Barat


(24)

15

selain itu juga bagian administrasi dari Pengadilan Agama Jakarta Barat yang menjadi lokasi penelitian ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang tidak secara langsung diperoleh dari lokasi penelitian, melainkan diperoleh dari suatu kepustakaan, buku dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Sehingga sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah merupakan sumber data yang secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah berkas-berkas perkara, buku-buku, Dokumen-dokumen, HIR\ RBg, KUH perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini.

6. Tehnik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data diatas, maka metode pengumpulan data yaitu: a. Studi Lapangan

1) Observasi (pengamatan)

Adalah suatu penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap obyek atau masalah yang akan diteliti.tehnik ini digunakan untuk mendapatkan fakta-fakta empirik yang tampak oleh kasat mata.21

21

Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian: Skripsi, Tesis, dan Desirtasi, Cet. II, (Jakarta: Yayasan Klopak dan Makna Scrip, 2004), h. 50


(25)

2) Wawancara (Interviw)

Dengan tehnik ini peneliti menggunakan tanya jawab secara lisan dan berpedoman pada daftar pertanyaan dengan Drs. H. Muhiddin, S.H.,M.H. selaku Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat. Tehnik wawancara yang digunakan adalah Wawancara bebas terpimpin yaitu perpaduan antara wawancara terpimpin dengan wawancara tidak terpimpin dimana wawancara tersebut dilakukan secara terarah dengan pendekatan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman.

b. Studi Kepustakaan

Penelitian dilakukan dengan cara pengumpulan data melaui studi kepustakaan. Dalam hal ini peneliti membaca, mengkaji, dengan mempelajari literature dan Dokumen yang erat kaitannya dengan masalah-masalah yang diteliti.

7. Tehnik Analisa Data

Menurut Bogdan menyatakan bahwa" Data analysis is the process of systematically searching and arranging the interview transcripts, fildnotes, and other materials that you accumulate to increase your own understanding of them and of enable you to present what you have discovered to others.

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis data


(26)

17

kualitatif yang bersifat induktif, yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.

G. Sistematika Penulisan.

Sistematika penulisan berisis tentang deskripsi daftar isi karya tulis bab per bab. Uraian yang dibuat dalam bentuk esai yang menggambarkan alur logis dan struktur dari bangun bahasan skripsi.22

Agar skripsi ini dapat dipahami dan dimengerti secara jelas maka disusun secara sistematis. Berikut uraian yang dibagi dalam beberapa bab dan masing-masing dibagi dalam beberapa sub sub:

BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II. Tinjauan Teoritis Tentang Prodeo, Tentang Prosedur Teoritis Tentang Prodeo, katagori biaya prodeo di Pengadilan Agama, masalah yang muncul dalam prodeo, dan prodeo dalam sejarah singkat peradilan Islam, Prosedur Pengajuan dan Penyelesaian Perkara Prodeo.

BAB III. Tinjauan Umum Tentang Peradilan Agama, Tentang Profil Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat, Daftar Wilayah Yuridiksi, wewenang dan Susunan Peradilan Agama, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara

22

Djawahir Hejazziey, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum, Cet.

1, (Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah jakarta Fakultas Syariah Dan Hukum


(27)

Peradilan Agama, serta Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Peradilan Agama, Kemudian Asas-Asas Hukum Acara Perdata

BAB IV Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat, membahas tentang Faktor-Faktor Penyebab Dan Kendala-Kendala Berperkara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat, Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat, Tingkat Frekwensi Masyarakat Yang Berperkara Prodeo, analisis penulis.

BAB V Penutup yang berisi penyelesaian masalah, kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian.


(28)

19

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PRODEO

A. Pengertian dan Prosedur Perkara Prodeo Aspek Teoritis

Prodeo adalah karena Allah, Cuma-Cuma, Gratis.1 Salah satu asas hukum acara perdata yaitu pengenaan biaya saat beracara. Biaya perkara ini meliputi biaya kepanitraan dan biaya untuk panggilan pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membyar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (Prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara.2 Hal ini dijelaskan dalam pasal

237 HIR dan 273 RBg yang berbunyi:” Penggugat atau tergugat yang tidak

mampu membayar biaya perkara dapat dizinkan untuk berperkara tanpa biaya”.

Tetapi ada diantara biaya yang tidak dibebaskan yaitu biaya administrasi kepaniteraan dan pembayaran upah juru sita.3

Pada pasal 238 HIR /274 RBg ayat 1-3 dijelaskan bahwa, apabila penggugat menghendaki izin prodeo, maka ia mengajukan permintaan untuk itu pada waktu memasukan gugatan surat atau pada waktu ia mengajukan gugatannya dengan lisan. Tetapi apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Cet. I, (Jakarta:Balai Pustaka, 1988)

2

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. II, (Yogyakarta: Liberti

Yogyakarta, 1999), , h. 16

3

M. Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama “ UU No. 7


(29)

itu diminta pada waktu ia memasukan jawabannya. Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai surat keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh kepala polisi pada tempat diam peminta, yang berisi keteranagan bahwa ia benar-benar dinyatakan tidak mampu. Kemudian pada ayat 4 pasal 274 RBg dijelaskan, jika terbukti tertulis tidak dapat diajukan, maka pengadilan bebas untuk meyakinkan diri tentang kemiskinan pemohon yang bersangkutan dengan jalan keterangan-keterangan lisan atau dengan cara lain.4

Kemudian pada waktu menghadap ke muka penggadilan, pertama kali diputuskan oleh pengadilan adalah putusan sela yang berisi tentang dikabulkan atau tidak permohonan prodeonya. Hal ini dijelaskan dalam pasal 239 HIR/275 RBg.5

Pada pasal 240 HIR /276 RBg ayat 1 dan 2 dijelaskan mengenai, balai harta peninggalan dan balai budel, tanpa mengajukan tanda surat keterangan tidak mampu baik ia sebagai penggugat atau tergugat, dan ia diperbolehkan berberkara tanpa biaya jikalau budel yang diurusnya atau kekayaan orang yang diwakilinya pada waktu perkara dijalankan, diperkirakan tidak akan mencukupi untuk membayar biaya perkara. Kemudian mereka pada waktu itu mengajukan

4

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan

Peradilan Agama, h. 44.

5


(30)

21

permohonan untuk berperkara tanpa biaya secara singkat memperlihatkan keadaan kekayaan itu kepada hakim.6

Pasal 242 HIR/278 RBg ayat 1-4 menjelaskan permohonan untuk berperkara dalam tingkat banding tanpa biaya harus disertai pernyataan tidak mampu dalam pasal 274 RBg ayat 3, secara lisan atau tertulis disampaikan kepada panitera pengadilan negeri yang memutus pada tingkat pertama, oleh pihak yang naik banding dalam waktu empat belas hari setelah keputusan dijatuhkan atau sesudah diberitahukan, oleh pihak lawan disampaikan adanya permohonan banding atau sesudah diberitahukan menurut ayat terakhir pasal ini.7

Kemudian jika pemohon bertempat tinggal atau berdiam diluar wilayah, jaksa ditempat kedudukan pengadilan negeri atau panitera pengadilan negeri tidak ada ditempat itu, maka ia dapat minta agar permohonnannya dicatat oleh jaksa ditempat tinggalnya atau tempat ia berdiam. Setelah permohonan itu dicatat, ketua memerintahkan agar permohonan itu dalam waktu empat belas hari sesudah catatan itu, diberitahukan kepada pihak lawan dan memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk menghadap di hadapannya.8

6

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan

Peradilan Agama, h. 44.

7

Ibid., h 44.

8

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan


(31)

Pada pasal 243 HIR/ 279 RBg ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa, jika pemohon tidak datang menghadap pada hari yang telah ditentukan, maka ketua mendengar pemohon dan lawannya.9

Pada pasal 244 HIR/280 RBg menjelaskan, berita acara persidangan dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, satu turunan resmi surat keputusan pengadilan dan ringkasan catatan yang ada di dalam daftar tentang permohonan untuk berperkara tanpa biaya, dikirimkan oleh panitera pengadilan negeri kepada raad van justitie yang akan memeriksa permohonan banding itu. Akan tetapi, raad van justitie memutus tanpa memeriksa para pihak, hanya berdasarkan surat-surat. Dengan suatu alasan seperti tersebut dalam pasal 275, juga karena jabatannya raad justitie dapat menolak permohonan itu dan panitera raad van justitie secepat mungkin mengirimkan turunan resmi putusan raaf van justitie tersebut dengan disertai surat-surat seperti tersebut dalam pasal yang lalu kepada ketua pengadilan negeri yang kemudian memberitahukannya kepada para pihak. Hal ini dijelaskan pada ayat (1) dan (2) pasal 245 HIR/ 281 RBg.10

Secara teoritis telah dijelaskan mengenai prosedur dalam mengajukan perkara secara prodeo dimuka pengadilan sampai ketingkat banding.

B. Prodeo Dalam Sejarah Singkat Peradilan Islam

Setelah tiga belas tahun Rasulullah Saw menegakan ajaran Allah di tengah masyarakat Arab di negeri Mekah. Kemudian beliau berhijrah ke Madinah untuk

9

Ibid., h. 46

10


(32)

23

meluruskan langkah tugasnya. Begitu pula beliau ditugaskan memutuskan hukum dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi diantara masyarakat.

Di masa Rasul memegang tampuk pemerintahan, sedikit sekali perkara yang diajukan kepadanya. Kebanyakan umat Islam dewasa itu, memintakan fatwa saja. Setelah mereka memperoleh fatwa, lalu mereka selesaikan sendiri perkaranya. Demikian pula perkara-perkara yang diputus Nabi dengan segera mereka jalankan. Tak perlu lagi Nabi campur tangan dalam urusan mereka karena mereka sangat patuh kepada segala putusan Rasul.

Dikala dunia Islam telah mulai berangsur luas dan telah banyak kota-kota Islam yang membutuhkan majlis-majlis peradilan, barulah Rasul mengutus beberapa wali negeri (Gubernur) ke daerah itu. Para wali negeri itu bertindak sebagai pemangku urusan umum rakyat dan bertindak pula sebagai qadli (hakim) dalam wilayahnya. Wali-wali tersebut mempunyai wewenang untuk memutus segala macam perkara. Negeri Yaman.

Pada waktu itu Nabi mengangkat Mu`az bin jabal menjadi Gubernur di Negeri Yaman dan Attab ibn Asied menjadi Gubernur di negeri Mekkah.

Demikian keadaan hakim di masa Nabi dan begitu pula keadaannya di zaman Abu Bakar Ashiddiqy. Di Madinah Abu Bakar sendiri yang memimpin pengadilan dan bertindak sebagai hakim. Sedangkan di kota-kota Islam yang jauh dari madinah, pengadilan dikendalikan oleh wali-wali negeri (gubernur) yang diangkat mewilayahi daerah itu.


(33)

Peradilan Islam mengalami perkembangan pasang surut sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam diberbagai kawasan dan negara. Dalam hal ini masyarakat Islam menjadi basis utama dalam melakukan artikulasi dan perumusan politik hukum di kawasan negara itu.

Peradilan Islam pada masa Rasul bersifat sederhana, baik dalam pengorganisasiannya, maupun prosedurnya, sedangkan ketika masyarakat Islam tersebut di berbagai kawasan, yakni pada masa khalifah Umar ibnu Khattab, pengorganisasiannya dikembangkan. Peradilan sebagai wewenang yudikatif mulai di pisahkan dari kekuasaan pemerintah atau eksekutif.

Para hakim (qadli) diberi pedoman tentang pelaksanaan tugas mereka, yang tercermin dalam Risalat al-qadla. Umar ibnu Khattab telah membuat suatu dustur yang harus dipegang dan dijadikan dasar oleh para hakim. Dustur umar ini merupakan asasi bagi Peradilan Islam. Dustur itu oleh Umar dikirim kepada Abu Musa Al-Asy`ari sebagai hakim di Kuffah dan hakim-hakim yang lain:

Dalam risalah tersebut Umar berkata:

1. Amma ba`du, sesungguhnya qadha adalah fardu yang dikukuhkan dan

sunnah yang harus diikuti.

2. Maka apabila diajukan kepadamu suatu perkara, dan putuslah apabila

telah jelas duduk permasalahannya, karena sebenarnya tidaklah ada artinya bicara soal keadilan tanpa adanya pelaksanaannya.

3. Samakanlah manusia (pihak-pihak yang berperkara) dalam majlismu, dalam pandanganmu, dan dalam keputusanmu, sehingga orang yang berpangkat tidak akan mengharapkan penyelewenganmu dan orang yang lemah tidak sampai putus asa mendambakan keadilanmu.

4. Bukti itu wajib atas penggugat (penuduh) sedang sumpah itu wajib atas pihak yang menolak gugatan (tuduhan).


(34)

25

5. Dan boleh mengadakan perdamaian diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal.

6. Dan barang siapa mendakwakan suatu hak yang tidak ada di

tempatnya atau suatu bukti, maka berilah tempo kepadanya sampai ia dapat membuktikan hak itu. Akan tetapi, jika ia tidak mampu membuktikannya, maka ia tidak berhak dikalahkan karena yang demikian lebih mantap lagi keuzurannya dan lebih menampakan barang yang tersembunyi.

7. Dan janganlah sekali-kali suatu keputusan yang telah kamu jatuhkan hari ini menghalangimu untuk melakuan peninjauan kembali, dimana kamu memperoleh petunjuk untuk kembali kepada kebenaran. Karena sesungguhnya kebenaran itu qadim (harus didahulukan) dan tidak dapat dibatalkan oleh apapun. Maka, kembali kepada kebenaran itu lebih baik dari pada terus bergelimang dalam kebatilan.

8. Orang-orang Islam itu ( dianggap) adil sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, kecuali orang telah memberikan kesaksian palsu, atau orang yang pernah dijatuhi hukuman had, atau orang yang asal-usulnya. Karena sesungguhnya Allah yang mengetahui rahasia-rahasia manusia dan menghindarkan hukuman atas mereka, kecuali dengan adanya bukti-bukti atau sumpah.

9. Kemudian pahamilah dengan sungguh-sungguh perkara yang diajukan

kepadamu, yang terdapat pula didalam sunnah nabi, kemudian bandingkanlah perkara-perkara itu dan dan perhatikanlah perkara yang serupa hukumnya dengan perkara-perkara itu, lalu pegangilah hukum menurut pendapatmu lebih diridhoi Allah dan lebih mendekati kebenaran, hindarkanlah dirimu dari marah, pikiran yang kacau (goyah), rasa jemu, mengamati orang yang berperkara dan bersikap keras pad waktu menghadapi mereka, karena memutus perkara yang di tempat yang benar termasuk pekerjaan yang dipahalai oleh Allah dan membawa nama baik. Maka barang siapa murnikan niatnya demi mencari kebenaran walaupun merugikan diri sendirimaka Allah akan memberinya kecukupan. Dan barang siapa berlagak memiliki keahlian yang tidak ada pada dirinya, maka Allah akan membuka rahasia kejelekannya itu, karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal dari hamba Nya kecuali amal yang didasari dengan ikhlas, lalu bagaimanakah persangkaanmu tentang pahala dari Allah, baik yang akan segera diberikan maupun yang berada dalam pembendaharaan

rahmat Nya. Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarokatuh.11

11


(35)

Dalam kedudukannya sebagai khalifah, Umar dikenal sangat adil dalam menjalankan pemerintahannya. Ia tidak membedakan antara tuan dan budak, kaya dan miskin, atau penguasa dan rakyat jelata. Semua mendapat perlakuan yang sama, yang salah dihukum dan yang benar dibela.

Selain itu Umar membangun dewan pembendaharaan negara(Baitul Mal) dan membentuk bermacam-macam dewan pemerintahan Islam, serta menentukan gaji pegawai, diantaranya gaji qadli. Dan pada waktu itu pula bagi masyarakat yang ingin menyelesaikan perkaranya di pengadilan, mereka tidak dikenakan biaya atau dalam dalam istilah sekarang disebut prodeo.12

Begitu pula dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib, beliau memberikan gaji kepada seorang qadhi dengan jumlah yang cukup besar, yaitu agar qadli tersebut memperoleh kesejahteraan rumah tangga. Padahal Khalifah Ali hanya mengambil untuk dirinya dari Baitul Mal hanya untuk sepiring nasi setiap harinya.

Namun dalam beberapa kitab diterangkan, bahwasannya para qadli di Mesir pernah diminta membayar sejumlah uang yang ditentukan besarnya, menurut kitab Muhadlaratul Awail, bahwa yang mula-mula memerintah qadli membayar kepada pemerintah uang iltizam, ialah Mu`izzud Daulah ibn Buwaih ketika dia mengangkat Abdullah ibnu Al Husain ibn Abi Syawarih menjadi qadli. Para qadli diharuskan membayar kepadanya pada tiap tahun 20.000 dirham. Oleh sebab itu, yang pada mulanya masyarakat berperkara secara gratis (prodeo), maka

12


(36)

27

saat itubanyaklah qadli pada masa itu yang memungut bayaran dari masyarakat yang berperkara di pengadilan.13

Dalam risalat Al-Qadla, bila dicermati mengandung beberapa pokok pikiran yang berkaitan dengan prinsip peradilan yang juga dianut untuk sistem peradilan modern. Pokok-pokok pikiran yang termuat dalam surat itu antara lain adalah keharusan adanya lembaga peradilan, tugas pokok peradilan, asas persamaan di muka umum, pembebanan alat bukti, perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, hal peninjauan kembali dan sikap serta pribadi hakim. Asas-asas hukum yang Risalat Al Qadla, ternyata relevan dengan Asas-asas hukum yang terdalam dalam acara Peradilan Agama di Indonesia.

C. Kategori Biaya Perkara Di Pengadilan Agama

Pada dasarnya berperkara di Pengadilan dalam perdata, dikenakan biaya sesuai ketentuan pasal 4 ayat (2), pasal 5 ayat (2) undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan pasal 1082, pasal 121 ayat (4) HIR, kemudian dalam pasal 192-194 RBg. Artinya suatu perkara perdata di Pengadilan baru dapat didaftar di kepaniteraan setelah pihak termohon atau penggugat membayar sejumlah biaya perkara yang lazimnya disebut panjar atau verschot.14

Berdasarkan surat dari mahkamah agung RI Nomor: 43/ TUADA/AG/III-UM/XI/1992 yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, menjelaskan bahwa yang dimaksud

13

Ibid., h. 74

14

Direktorat Pembinaan peradilan Agama, Buletin Berkala Hukum dan Peradilan, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2002), h. 39.


(37)

dengan biaya perkara menurut pasal 121 ayat (4) HIR/ pasal 145 ayat (4) RBg meliputi biaya kepaniteraan (yustisi costen) dan biaya proses (process costen).15

Kemudian dalam suratnya MA/KUMDIL/214/XII/K/1992, tanggal 21 desember 1992 perihal pola keuangan perkara dilingkungan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI merinci biaya kepaniteraan yang kemudian dikenal dengan istilah Hak-Hak Kepaniteraan (HHK) yang terdiri dari:16

1. Biaya pendaftaran perkara pertama 2. Biaya redaksi

3. Biaya pencatatan permohonan Banding 4. Biaya pencatatan permohonan Kasasi 5. Biaya pencatatan permohonan PK

6. Biaya pencatatan permohonan sita Konservation 7. Biaya permohonan sita Refindikatoir

8. Biaya pencatatan permohonan pencabutan sita 9. Biaya pencatatan pelaksanaan lelang.

Dengan kata lain, biaya kepaniteraan adalah pungutan-pungutan sebagai pelayanan pengadilan. Biaya-biaya inilah yang harus disetorkan ke Kas Negara. Sebagai biaya proses merupakan biaya-biaya pelaksanaan Peradilan dalam rangka menyelesaikan suatu perkara. Dalam pasal 90 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989

15

Ibid., h. 40

16


(38)

29

tentang Peradilan Agama secara tegas telah ditentukan bahwa biaya proses tersebut meliputi:17

1. Biaya pemanggilan para pihak dan pemberitahuan 2. Biaya untuk saksi/ saksi ahli dan penerjemah 3. Biaya pengambilan sumpah

4. Biaya penyitaan 5. Biaya eksekusi

6. Biaya pemeriksaan setempat

7. Biaya-biaya lain atas perintah Ketua Pengadilan.

Dengan memperhatikan kedua surat Mahkamah Agung RI dan pasal 90 ayat (1) diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Biaya perkara adalah biaya yang meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Katagori biaya perkara sesuai tingkat dan kepentingan pemeriksaan perkara inilah yang merupakan biaya yang harus dibayar sebagai panjar.

D. Masalah Yang Muncul Dalam Prodeo

Mengenai penyelesaian perkara prodeo terdapat anggapan masyarakat bahwa, dalam prakteknya pembebasan biaya perkara dari pemohon prodeo di Pengadilan Agama hanya dibebaskan untuk biaya kepanitraan saja, sedangkan biaya prooses masih tetap menjadi tanggungan pemohon prodeo. Namun ada juga yang membebaskan keseluruhan biaya kecuali biaya materai. Tetapi umumnya

17

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan


(39)

para praktisi hukum berpendapat bahwa keseluruhan biaya perkara dibebaskan dari pemohon prodeo.18

Namun pada kenyataannya, masih ada lembaga Peradilan Agama yang melakukan pemungutan biaya dari para pemohon prodeo. Alasanya adalah selain belum ada petunjuk yang jelas mengenai sumber dana untuk penyelesaian perkara prodeo, juga masalah pemanggilan pihak yang berperkara tempat tinggalnya terlampau jauh sehingga sulit dujangkau, selain itu juga membutuhkan transportasi yang besar. Sebelum tahun 2008, masalah-masalah diatas memang yang menjadi kendala dalam proses penanganan perkara prodeo. Tetapi di tahun 2008 ini masalah tersebut sudah ada pemecahan masalahnya. Yaitu dengan adanya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang sudah disetujui oleh pemerintah. Mengenai prosedur mendapatkan biaya dari DIPA yaitu, pengadilan mengumpulkan perkara-perkara prodeo yang sudah diselesaikan terlebih dahulu, dengan mencatat seluruh biaya yang dikeluarkan, kemudian dilaporkan ke Bendahara DIPA. Berdasarkan laporan tersebut DIPA akan menggantikan seluruh biaya yang telah dikeluarkan pengadilan dalam penyelesaian prodeo.19

18

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Buletin Berkala Hukum dan

Peradilan, h. 41

19


(40)

31

Setelah pemohon/ penggugat mengajukan syarat-syarat berupa surat keterangan miskin dari lurah yang dilampirkan pada gugatan, maka pada saat itulah peranan dari negara (DIPA) dalam membiayai perkara prodeo.20

Setelah dilaksanakan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), maka tidak ada lagi biaya yang harus dibebankan kepada para pemohon prodeo kecuali biaya materai. Seseorang yang melakukan prodeo dalam panjar biaya perkara di tulis NIHIL yakni semua biaya perkara gratis kecuali biaya materai. Selain itu masalah-masalah yang terjadi dalam penanganan prodeo di Pengadilan Agama dapat terselesaikan dengan baik.21

E. Prosedur Pengajuan dan Penyelesaian Perkara Prodeo

Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seseorang yang kurang mampu untuk berperkara secara prodeo (Cuma-Cuma) sama saja dengan yang membayar biaya perkara, hanya ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi baik ditingkat pertama atau banding bahkan kasasi, bagi pihak penggugat/pemohon ataupun tergugat/ termohon, berikut proses dan prosedurnya:

1. Proses Perkara Prodeo Pada Tingkat Pertama

Pada pengadilan tingkat pertama, maka terdapat beberapa tahapan acara persidangan yang harus dilaksanakan dalam perkara yang kaitannya

20

Taufik Hasan Ngadi, “Perbedaan Persepsi Terhadap prosedur Beracara Cuma-Cuma

Kaitanya dengan DIPA pada Peradilan Agama”, artikel diakses pada 30 Maret dari www.badilag.net/data/artikel/tulisan %20taufik%20nadi pdf.

21


(41)

dengan para pihak, Majlis Hakim, Panitera/ Sekertaris dan Bendahara Pengeluaran yaitu:

a. Mekanisme beracara bagi pihak penggugat/ pemohon yang mengajukan perkara prodeo.

1) Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan Kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syriah.22

2) Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama, dengan ketentuan:

a) Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,23 b) Bila peggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah

disepakati bersama tanpa ijin tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.24

c) Bila penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat diberlangsungkan perkawinannya atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 25

22

Lihat HIR Pasal 118 dan R.Bg. Pasal 142 jo UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama Pasal 66.

23

UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang 2006 Pengadilan Agama, Pasal 73 Ayat (1)

24

Ibid., Pasal 73 Ayat (2).

25


(42)

33

3) Gugatan tersebut memuat:

a) Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman penggugat dan tergugat,

b) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).

c) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).26

4) Pihak penggugat/ pemohon yang hendak mengajukan perkara dengan prodeo, maka harus mengajukan permohonan perkara prodeo kepada Majelis Hakim dengan ketentuan: 27

a) Permohona perkara secara prodeo ditulis menjadi satu dalam surat gugatan/ permohonan.

b) Dalam permohonan tersebut disebutkan alasan-alasan untuk berperkara secara prodeo (dalam posita),

c) Memberi izin kepada Penggugat/ pemohon untuk berperkara secara Cuma-Cuma (dalam petitum).

d) Membebaskan penggugat / pemohon dari segala biaya perkara. 5) Penggugat/ pemohon mengajukan gugatan/ permohonan ke Pengadilan

melalui meja 1, kemudian kasir Pengadilan Tingkat Pertama akan mengeluarkan kwitansi SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) sebesar Rp. 0,00 (nol rupiah/ nihil).

26

Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, Prosedur dan Proses

Berperkara di Pengadilan Agama, Tahun 2007.

27


(43)

b. Mekanisme bagi pihak tergugat yang mengajukan perkara prodeo

Bagi pihak tergugat yang hendak mengajukan perkara secara prodeo, maka terdapat mekanisme beracara sebagai berikut:

1) Apabila pihak tergugat dalam persidangan, memohon beracara secara prodeo, kesempatan hanya ada pada waktu menjawab gugatan penggugat/ pemohon permohonannya disampaikan satu dengan jawabannya.

2) Apabila permohonan beracara secara Cuma-Cuma oleh tergugat dikabulkan dan dalam perkara tersebut tergugat dikalahkan, maka tergugat dibebaskan dari membayar biaya perkara.

3) Biaya perkara dibebankan kepada negara dengan cara menyerahkan salinan amar putusan oleh Majlis Hakim kepada Kuasa Pengguna Anggaran dan diteruskan kepada kasir.

4) Kasir mengembalikan sejumlah uang yang disetor Penggugat/ Pemohon kepadanya dan menerimakan uang perkara yang disetor Kuasa pengguna Anggaran sebagai gantinya. Semuanya dicatat di dalam buku-buku keungan.

2. Proses Perkara Prodeo Pada Tingkat Banding

Dalam proses beracara perkara secara prodeo pada Pengadilan Tingkat Banding, maka terdapat beberapa tahapan yang dapat dilakukan yang tahapan


(44)

35

tersebut tidak dipisahkan dengan Pengadilan Agama tingkat pertama yaitu sebagai berikut:

a. Permohonan beracara secara Cuma-Cuma pada tingkat banding dapat diajukan secara tertulis atau secara lisan melalui panitra Pengadilan Agama tingkat pertama.28

b. Setelah permohona pembanding untuk beracara secara prodeo diterima, Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majlis Hakim untuk bersidang memeriksa permohonan tersebut.

c. Hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam berita Acara persidangan yang ditanda tangani oleh ketua majlis dan panitra yang mengikuti jalannya persidangan. 29

d. Panitera pengadilan Agama Mengirim Berita Acara Pemeriksaan permohonan tersebut bersama bundel A dan salinan putusan Pengadilan Agama yang bersangkutan ke Pengadilan Tinggi Agama.

e. Terhadap budel B dapat dikrim bundel A dan salina putusan atau dikirim setelah diterimakan Penetapan Pengadilan Tinggi Agama tentang izin beracara secara prodeo kepada pihak yang memohon izin tersebut.

f. Pengadilan Tinggi Agama mengeluarkan penetapan yang isinya menerima atau menolak permohonan izin prodeo tersebut.

28

Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1999), h. 120.

29

Abdul manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. III,


(45)

g. Apabila permohona izin beracara secara Cuma-Cuma ditolak pengadilan Tinggi Agama, pembanding diberi waktu 14 hari untuk membayar biaya perkara penetapan Pengadilan Tinggi Agama tersebut diterima Pembanding.

h. Apabila permohona dikabulkan, salinan amar putusan penetapan Pengadilan Tinggi Agama tersebut diserahkan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (pansek) Pengadilan Tinggi Agama untuk seterusnya memerintahkan Bendahara mengeluarkan sejumlah uang guna pembayaran panjar perkara di Pengadilan Agama.

i. Setelah perkara dibayar, Pengadilan Agama dalam waktu segera mengirim bundel B ke Pengadilan Tinggi Agama, bilamana belum dikirim sebelumnya untuk selanjutnya diproses sebagaimana mestinya. 30

j. Kasir wajib mengembalikan kelebihan biaya perkara kepada kas negara instrumen biaya prodeo

k. Apabila biaya perkara kurang, Majlis Hakim dapat memerintahkan kepada Kuasa Pengguna Anggaran pada Pengadilan Tinggi Agama Untuk mengeluarkan biaya perkara yang diperlukan dengan mengeluarkan instrumen.

Dalam kasasipun perkara dengan Cuma-Cuma ada dan prosedurnya sama dengan proses prodeo pada tingkat banding.

30


(46)

37

Proses beracara dan mekanisme perkara prodeo pada tingkat pertama, maka terdapat beberapa tahapan acara persidangan yang harus dilaksanakan dalam perkara prodeo yang berkaitan dengan para pihak, majlis Hakim, Panitra / Sekertaris dan Bendahara.

Pihak Penggugat / Pemohon yang hendak mengajukan perkara dengan prodeo, maka harus mengajukan permohonan perkara prodeo kepada Majelis Hakim dengan ketentuan :31

a. Permohonan perkara secara prodeo ditulis menjadi satu dalam surat gugatan/permohonan;

b. Dalam permohonan tersebut disebutkan alasan-alasan untuk berperkara secara prodeo;

c. Dalam petitum mencantumkan salah satunya dengan memberi izin kepada penggugat/pemohon untuk berperkara secara cuma-cuma dan membebaskan penggugat / pemohon dari segala biaya perkata.

d. Penggugat/Pemohon mengajukan gugatan/permohonan ke Pengadilan melalui Meja I, kemudian Kasir Pengadilan Tingkat Pertama akan mengeluarkan kwitansi SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) sebesar Rp. 0,00 (nol rupiah)

31

PA Sukabumi,”Proses Beracara Secara Cuma-Cuma”, artikel diakses 30 Maret 2011dari


(47)

e. Setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Agama, maka Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majlis Hakim untuk menangani perkara tersebut (PMH).

f. Majelis Hakim enetapkan Hari sidang ( PHS) dan memerintahkan jurusita untu memanggil Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon.

g. Majelis Hakim memerintahkan kepada Kuasa Pengguna Anggara ( Pansek) agar mengeluarkan biaya panggilan masing-masing satu kali biaya panggilan untuk Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon dalam bentuk sebuah instrumen, yang selanjutnya pula Kuasa Pengguna Anggaran/Pansek mengeluarkan perintah kepada bendahara pengeluaran juga dalam bentuk sebuah instrumen.

h. Petugas buku induk keuangan perkara (PBIKP) , petugas/pemegang buku jurnal keuangan perakara (PBJKP), dan petugas/pemegang Buku Kas Pembantu (PBKP), mencatat penerimaan tersebut di dalam buku-buku mereka sebagai penerimaan panjar pertama.Pada hari sidang yang telah ditentukan, Majelis Hakim sebelum memeriksa pokok perkara, terlebih dahulu memeriksa permohonanberacara secara cuma-cuma tersebut di dalam persidangan.


(48)

39

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN AGAMA JAKARTA BARAT

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Barat 1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Barat

Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dibangun pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 1997 adalah milik PEMDA DKI Jakarta. Kemudian olehnya di serah terimakan kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tanggal 19 Mei 1997 untuk dipergunakan sebagai tempat kegiatan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam melaksanakan tugas penegakan Hukum dan Keadilan. Pada saat ini kondisinya sebagai berikut:

a. Luas Tanah Luas Tanah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya adalah seluas 3.056 M2 yang seluruhnya berupa tanah darat. b. Luas Bangunan. Luas Bangunan Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat

seluruhnya adalah 2.400 M2.

Bangunan Pos Satpam adalah seluas 2 x 2 M2 dengan kondisi rusak tanpa kaca jendela dan pintu. Bangunan Gardu Listrik Bangunan Gardu Listrik adalah seluas 6 x 12 M2 dengan kondisi pintu gulung (roling dor) rusak dan berkarat. Bangunan Tangki Air Minum Bangunan tangki Air Minum adalah seluas 4 x 5 M2 kondisi rusak dan terjadi kebocoran dinding sehingga air kotor dari luar masuk ke dalam serta tidak bisa dipakai.


(49)

Fasilitas Pendukung lainnya Halaman tempat parkir kendaraan cukup memadai akan tetapi halamannya terlalu rendah dari jalan raya, sehingga pada waktu musim hujan, halaman selalu digenang air setinggi lebih kurang 30 cm. pada tahun anggaran 2004 sekitar 700 M2 (sebagian halaman) telah ditinggikan dengan proyek (DIP Pengadilan Agama Jakarta Barat tahun 2006) yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat. · Lokasi Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat.

Lokasi Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat terletak dijalan Flamboyan II No. 2 Cengkarenag Barat Jakarta Barat. Tergolong kurang strategis karena tidak dilewati kendaraan umum atau jarak ± 1500 m. dari jalan Kamal Raya dan berdampingan dengan Rumah Susun Cengkareng.1

2. Wilayah Yuridiksi

Wilayah yuridiksi pada pembahasan ini bermuara pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara bagi

Pengadilan. Dalam istilah “kewenangan”. Adapun yang dimaksud dengan

kewenangan dan kekuasaan atau pada HIR dikenal pula dengan istilah kompetensi. Adapun pembahasan kompetensi ini terbagi kepada 2 (dua) aspek yaitu:

1. Kompetensi Absolut, yaitu kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikansuatu perkara bagi pengadilan yang

1


(50)

41

menyangkut pokok perkara itu sendiri. 2 Pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama disebut pada Bab III yang berjudul

Kekuasaan Peradilan Agama Pasal 49 Ayat (1) yang berbunyi: “Pengadilan

Agama Bertugas dan berwenang, memeriksa, memutuskan dan menyelesaika perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:3

a. Perkawinan

b. Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam c. Wakaf dan Shadaqoh

d. Ekonomi Syariah

2. Kompetensi Relatif, yaitu kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutuskan atau menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan yang berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak atau para pihak pencari keadilan. 4

3. Daftar Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Barat

Wilayah Hukum Pengadilan Agma Jakarta Barat meliputi 8 (delapan ) kecamatan dengan 56 (lima puluh enam ) kelurahan yaitu:

2

Royhan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. VI, (Jakarta:PT Grafindo Persada,

1998), , h.25 3

Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang

Pengadilan Agama Pasal 49 ayat (1) 4


(51)

a. Kecamatan Kebun Jeruk mewilayahi tujuh kelurahan yaitu:

1) Duri Kepa 2) Kedoya Selatan, 3) Kedoya Utara 4) Kebon Jeruk 5) Sukabumi Utara 6) Kelapa Dua 7) Sukabumi Selatan

b. Kecamatan Cengkareng mewilayahi enam kelurahan yaitu:

1) Kelurahan Cengkareng Timur 2) Kelurahan Cengkareng Barat 3) Kelurahan Kapuk.

4) Kelurahan Rawa Buaya. 5) Kelurahan Duri Kosambi.

6) Kelurahan Kedaung Kali Angke

c. Kecamatan Grogol Petamburan mewilayahi tujuh kelutahan yaitu:

1) Kelurahan Grogol

2) Kelurahan Tanjung Duren Utara. 3) Kelurahan Tanjung Duren Selatan 4) Kelurahan Tomang.

5) Kelurahan Jelambar. 6) Kelurahan Jelambar Baru. 7) Kelurahan Wijaya Kusuma.


(52)

43

d. Kecamatan Tambora mewilayahi sebelas kelurahan yaitu:

1) Kelurahan Tambora 2) Kelurahan Tanah Sereal. 3) Kelurahan Duri Utara. 4) Kelurahan Duri Selatan. 5) Kelurahan Angke. 6) Kelurahan Roa Malaka. 7) Kelurahan Pekojan. 8) Kelurahan Jembatan Besi. 9) Kelurahan Jembatan Lima. 10) Kelurahan Kali Anyar.

11)Kelurahan Krendang.

e. Kecamatan Taman Sari mewilayahi delapan kelurahan yaitu:

1) Kelurahan Taman Sari 2) Kelurahan Glodok. 3) Kelurahan Keagungan. 4) Kelurahan Krukut. 5) Kelurahan Tangki. 6) Kelurahan Maphar. 7) Kelurahan Mangga Besar. 8) Kelurahan Pinangsia.


(53)

f. Kecamatan Palmerah mewilayahi enam kelurahan yaitu:

1) Kelurahan Palmerah

2) Kelurahan Kota Bambu Utara. 3) Kelurahan Kota Bambu Selatan. 4) Kelurahan Kemanggisan. 5) Kelurahan Jati Pulo. 6) Kelurahan Slipi.

g. Kecamatan Kembangan mewilayahi enam kelurahan yaitu:

1) Kelurahan Kembangan Selatan. 2) Kelurahan Kembangan Utara. 3) Kelurahan Meruya Utara. 4) Kelurahan Meruya Selatan. 5) Kelurahan Srengseng. 6) Kelurahan Joglo.

h. Kecamatan Kalideres mewilayahi lima kelurahan yaitu:

1) Kelurahan Kalideres 2) Kelurahan Tegal Alur. 3) Kelurahan Kamal. 4) Kelurahan Semanan. 5) Kelurahan Pegadungan5

5


(54)

45

B. Wewenang dan Susunan Peradilan Agama 1. Wewenang Peradilan Agama

Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari “qadha”,

yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan”, menyelesaikan”.6

Dalam literature-literatur fikih Islam, “Peradilan” disebut “qadha”, artinya

“menyelesaikan” seperti firman Allah SWT surat al-Ahzab ayat 37:



(

بازحأا

:

37

)

Artinya: .manakala zaid telah menyelesaikan keperluannya dari

zainab”

Dan ada juga yang berarti “menunaikan” seperti dalam firman Allah surat al-Jumu’ah ayat 10:

(

ةعمجلا

:

.

1

)

“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kepelosok

bumi”

Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang lebih

signifikan dari peradilan yaitu ”menetapkan suatu ketetapan”. Dimana makna hukum disini pada asalnya berarti “ menghalangi” atau “mencegah”,

karenanya qodhi dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang zalim dari penganiayaan. Oleh karena itu apabila

6

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 1.

mengutip dari Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al Munawwir, Cet. I, (Jakarta: TP,


(55)

seseorang mengatakan “ hakim telah menghukum seperti ini” artinya hakim

telah meletakan suatu hak untuk mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak.7

Kata “peradilan” menurut Istilah fikih adalah berarti:

a. Lembaga Hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan) b. Perkataan yang harus dituruti dan diucapkan oleh seorang yang

mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.

Dari pengertian tersebut membawa kita kepada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim.bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam (syari`at) itu, telah ada sebelum manusia ada. Sedangkan hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menetapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan suatu yang belum ada. 8

Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia. Sebab dari jenis-jenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut Agama Islam. 9

7

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 2. mengutip dari Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta: PT. Ma`arif, 1994), h. 29

8

Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.2

9


(56)

47

Pada umumnya dikenal pembagian peradilan menjadi peradilan umum dan peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, baik yang menyangkut perkara perdata maupun maupun pidana. Sedangkan peradilan khusus mengadili perkara atau golongan rakyat tertentu.10

Bertitik tolak pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang 1945 dan untuk mewujudkan cita-cita Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang kemudian diubah dengan Undang No. 35 tahun 1999, terakhir diganti dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, pada pasal 10 ayat 1

dikatakan: “kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi”. Maksud dari badan peradilan yang berada dibawahnya ialah

pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum

b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara11

10

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. II, (Yogyakarta:Liberti

Yogyakarta, 1999), h. 20 11

Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 th. 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) (Surabaya: karya Anda), h.5


(57)

Peradilan Agama merupakan salah satu institusi yang sangat urgen dalam tata kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Secara filosofis, ia dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi ketentuan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam pergaulan hidup masyarakat. Secara yuridis, ia merupakan salah satu mata rantai peradilan Islamyang berkembang sejak masa Rasululah Saw. Sedangkan secara sosioligis, ia lahir atas dukungan dan usaha masyarakat yang merupakan bagian dari instansi kebudayaan Islam dalam kehidupan masyarakat bangsa indonesia yang sangat majemuk.12

Pengakuan Peradilan Agama secara resmi oleh pemerintah melalui Undang-undang No. 7 th. 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, untuk mempertegas keberadaan Peradilan Agama. Undang-undang No. 7 tahun 1989 pasal 2 menjelaskan bahwa:

Pasal 2

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.13

Setelah diamandemen dengan undang-undang No. 3 tahun. 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama, bunyi pasal 2 berubah menjadi:

12

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dan Alokasi Kekuasaan di Indonesia, (Jakarta:

al-Hikmah, 1997), h. 66. 13

Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, BAB I,

Pasal 2, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:


(1)

9. Apakah ada dari para pemohon prodeo yang ditolak permohonannya? Jika ada, apa yang menyebabkan tersebut ditolak?

- Apa kebijakan Pengadilan Agama Jakarta Barat kepada pemohon prodeo yang ditolak permohonannya? prodeo?

10.Apakah ada perbedaan penyelesaian kasus antara perkara secara prodeo dan tidak prodeo?

Wawancara

Hari /Tnggal : 7 Maret 2011


(2)

Hasil Wawancara

1. Bagaimana prosedur pengajuan berperkara secara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat?

Jawab : Mekanisme penanganan perkara prodeo, tidak jauh berbeda dengan penanganan pada umumnya. Bedanya hanya prosedur pengajuannya saja. Pada perkara prodeo, pemohon harus mengajukan gugatan atau permohonan yang dilengkapi dengan keterangan tidak mampu /miskin atau dengan dilengkapi foto copy kartu Gakin. untuk berperkara prodeo surat keterangan tidak mampu tersebut dikeluarkan oleh kelurahan yang diligalisir oleh camat tempat ia tinggal.

Adapun dalam pemeriksaan di dalam persidangan, prosesnya sama dengan pemeriksaan perkara pada umumnya saja, hanya saja sebelum pemeriksaan pihak perkara, tertulis dahulu di pemeriksa tentang prodeo dari pemohon / penggugat tersebut dan ditanyakan kepada termohon / tergugat apakah keberatan ataukah tidak. Di periksa bukti-bukti, saksi-saksi tentang ketidak mampuan pemohon / penggugat sebelum penggugat/ pemohon itu bener-benar miskin, baru dijatuhkan putusan sela untuk mengabulkan atau menolak prodeonya tersebut, jika dikabulkan maka penggugat/ pemohon diberikan izin oleh majlis hakim untuk beracara secara secara Cuma-Cuma dan pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan pihak perkara. Dengan memeriksa gugatan/ permohonan, jawaban replik, duplik (jika ada) keterangan saksi-saksi kemudian putusan.

2. Apa hambatan dalam proses melakukan atau melaksanakan prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat?

Jawab: sama seperti perkara biasa hanya saja dalam pemanggilanya tidak dikenakan biaya adapun tentang materai harus membeli materai sendiri.

- Apa landasan hakim dalam menentukan sejumlah prosedur dan persyaratan yang ada? diatur oleh Undang-undang atau interpretasi hukum? Jawab: landasanya adalah HIR diatur dalam pasal 237 sampai 245 HIR

TENTANG IZIN UNTUK BERPERKARA DENGAN TAK BERBIAYA

Pasal 237

Orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya.


(3)

Penjelasan:

Pasal 237 sampai dengan pasal 245 mengatur tentang kemungkinan untuk berperkara dengan tidak membayar biaya bagi orang yang tidak mampu, syarat-syarat dan cara-caranya berperkara itu. Adapun mereka yang tidak mampu diberi izin untuk berperkara dengan tidak membayar biaya itu sebabnya yaitu oleh karena dalam suatu negara yang beradab harus juga diberikan kesempatan kepada mereka itu untuk dapat mencari keadilan pada hakim. Sebagai akibat dari izin berperkara dengan cuma-cuma itu ialah tidak diminta biaya administrasi kepaniteraan dan juga tidak akan ditarik pembayaran upah juru sita. Apabila yang meminta izin itu penggugat, maka permohonan itu harus diajukan pada waktu ia memasukkan surat gugatannya atau pada waktu ia mengajukan gugatannya dengan lisan, sedangkan apabila yang memohon untuk diperkenankan berperkara dengan cuma-cuma itu orang yang digugat, maka permintaan itu harus diajukan pada waktu ia menjawab gugatan itu. Dalam ke dua hal permohonan itu harus disertai surat keterangan tidak mampu yang diberikan oleh kepala polisi tempat tinggal pemohon itu yang harus berisi suatu keterangan bahwa kepala polisi setelah menyelidiki mengetahui bahwa pemohon itu sama sekali tidak mampu (pasal 238). Pada hari persidangan yang pertama pemeriksaan dan keputusan tentang berperkara dengan tidak membayar biaya itu diselenggarakan terlebih dahulu sebelum pokok perkara itu diperiksa. Pada sidang pemeriksaan itu pihak lawan orang yang meminta berperkara dengan Cuma-Cuma itu dapat menentang permohonan izin itu, baik dengan menyatakan bahwa tuntutannya itu atau pembelaan pemohon tidak beralasan ataupun dengan membuktikan bahwa ia mampu untuk membayar ongkos perkara. Selain dari itu hakim sendiri karena jabatannya, atas sesuatu alasan, juga dapat menolak permohonan itu (pasal 239). Keputusan tentang izin berperkara tanpa biaya itu tidak dapat dibanding atau dimintakan kasasi (pasal 241). Izin berperkara dengan cuma-cuma hanya berlaku untuk pemeriksaan tingkat pertama, dan izin berperkara tanpa bayaran pada tingkat banding harus diperoleh

dengan baru dari hakim tingkat banding (pasal 242,244,245 dan pasal 12 U.U No. 20/1947). Apabila pihak yang mendapat izin berperkara tanpa bayaran itu menang perkaranya, maka pihak lawan dihukum membayar ongkos perkara itu seolah-olah pihak yang lain tidak berperkara dengan percuma.

Pasal 238

Apabila penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan untuk itu pada waktu memasukkan surat gugatan, atau pada waktu ia memajukan gugatannya dengan lisan, sebagaimana diatur pada pasal 118 dan 120. Apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu itu memasukkan jawabnya yang dimaksudkan pada pasal 121. Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai surat keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh kepala polisi pada tempat diam peminta, yang berisi keterangan dari pegawai tadi, bahwa padanya nyata benar sesudah diadakan pemeriksaan, bahwa orang itu tidak mampu membayar.


(4)

Pada hari menghadap ke muka pengadilan negeri, maka pertama sekali diputuskan oleh pengadilan negeri apakah permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya dapat dikabulkan atau tidak. Lawan orang yang memajukan permintaan itu dapat memajukan perlawanan atas permintaan itu, baik dengan mula-mula menyatakan, bahwa gugatan atau perlawanan peminta itu tidak beralasan sama sekali, maupun dengan menyatakan bahwa ia mampu juga akan membayar biaya perkara itu. Pengadilan Negeri juga dapat menolak permintaan yang beralasan salah satu alasan itu karena jabatannya.

Pasal 240

Balai harta peninggalan dapat diizinkan juga dengan cara serupa di atas untuk berperkara dengan tak berbiaya, baik sebagai penggugat, maupun sebagai tergugat, dengan tidak usah menunjukkan surat tidak mampu, jika harta benda yang dipertahankannya itu atau harta benda orang yang di wakilinya itu pada waktu berperkara tidak mencukupi akan membayar biaya perkara, yang ditaksir dan akan dibayar itu.

Pasal 241

Keputusan pengadilan negeri tentang izin akan berperkara dengan tak berbiaya, tidak dapat dibanding, dan tidak dapat ditundukkan dengan aturan yang lain.

Pasal 242

1. Permintaan supaya berperkara dengan tak berbiaya di dalam bandingan, harus dimajukan dengan memberikan keterangan tidak mampu dengan lisan atau tulisan, sebagai dimaksud di dalam ayat tiga dari pasal 238, kepada panitera pengadilan negeri yang memutuskan perkara itu pada tingkat pertama oleh orang yang hendak

membanding dalam tempo 14 hari sesudah tanggal keputusan atau sesudah

diberitahukan, menurut pasal 179; oleh fihak yang lain dalam tempo 14 hari sesudah diberitahukan tentang bandingan ataupun sesudah pemberitahuan pada ayat terakhir yang dimaksud dalam pasal ini.

2. Permintaan itu dicatat oleh panitera dalam daftar yang tersebut pada pasal 191. 3. Ketua menyuruh memberitahukan permintaan itu, dalam tempo empat belas hari

sesudah dituliskan, pada fihak lawan dan menyuruh memanggil kedua belah fihak supaya datang menghadapnya.

Pasal 243

(1) Jika orang yang meminta itu tidak menghadap, maka permintaan itu dipandang gugur. (2) Pada hari yang ditentukan itu, maka orang yang memajukan permintaan itu dan

lawannya, diperiksa oleh ketua jika ia datang. Pasal 244

Pemberitaan pemeriksaan serta segala surat-surat tentang perkara itu, pemberitaan persidangan, salinan yang syah dari keputusan dan petikan dari catatan yang diperbuat


(5)

dalam daftar tentang permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya dikirim oleh paniteran pengadilan negeri pada pengadilan tinggi

Pasal 245

1. Pengadilan tinggi memberikan keputusan dengan tidak beracara atau dengan jalan hukum, dan hanya atas surat itu saja. Dengan salah situ alasan-alasan yang tersebut pada ayat kedua pasal 239, maka pengadilan tinggi karena jabatannya menolak permintaan itu.

2. Panitera pengadilan tinggi dengan segera mengirim salinan yang syah dari keputusan pengadilan itu bersama-sama dengari segala surat yang tersebut pada pasal di atas pada ketua pengadilan negeri, yang menyuruh memberitahukan keputusan itu pada kedua belah fihak menurut cara yang tersebut pada pasal 194.

-3. Adakah kendala-kendala yang terjadi dalam praktek perkara secara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat? Jika ada apa solusi pemecahan masalah tersebut? jawab: secara prinsip tidak ada. Karena sudah diatur oleh undang-undang, walaupun tidak ada biaya panggilan, tapi juru sita tetap diperintahkan untuk melakukan panggilan secara Cuma-Cuma tanpa ada biaya panggilan. Kalaupun ada panggilan prodeo dimana suami yang bersangkutan diluar wilayah yang besangkutan katakanlah di luar wilayah pengadilan Agama Jakarta Barat dikirim kesana prodeo pasti merekapun mengerti bahwa ini adalah perkara prodeo krena gugatan dilampirkan dan pasti dilaksanakan juga karena itu perintah undang-undang.

4. Apakah ada peraturan yang jelas secara tertulis yang di buat oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat dan ketentuan tidak mampunya seperti apa?

Jawab: tidak perlu dibuat oleh Undang-undang karena sudah diatur oleh HIR pasal 237 sampai 245 HIR

5. Perkara apa saja yang bisa ditangani dengan prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat?

Jawab: banyak sekali diantaranya perkara perceraian

6. Apakah benar-benar gratis 100% atau hanya mendapat potongan setengah harga sesorang yang melakukan prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat?

Jawab: jadi yang dinamakan prodeo adalah bebas biaya proses prosedur berperkara akan tetapi tentang biaya legalisir materai dimana bukti yang harus dinilai di persidangan yang sah dan formil itukan bermaterai materainya beli sendiri. benar-benar gratis 100% karena dalam panjar biaya perkara prodeo di kwitansinya di tulis NIHIL


(6)

7. Dari mana dana untuk prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan di bebankan kesiapa dana tersebut?

Jawab: dari DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) negara akan menanggung setoran tanpa pajak.

8. Berapa banyak masyarakat yang berperkara secara prodeo dalam setahun di Pengadilan Agama Jakarta Barat?

- Pada tahun 2009 perkara diterima yang prodeo sebanyak 23 perkara.

- Pada tahun 2010 perkara yang diterima yang prodeo sebanyak 24 perkara dan penyerapan anggaran RP. 12. 684.000,-

9. Apakah ada dari para pemohon prodeo yang ditolak permohonannya? Jika ada, apa yang menyebabkan tersebut ditolak?

Jawab:bisa saja terjadi prodeo ditolak hal tersebut karena tidak mampu membuktikan untuk beracara prodeo misalnya orang yang mengajukan prodeo ternyata hartanya banyak, punya kontrakan banyak dan sebagainya, tapi untuk pengadilan Agama Jakarta Barat sepengetahuan saya belum pernah terjadi. 10.Apakah ada perbedaan penyelesaian kasus antara perkara secara prodeo dan tidak

prodeo?

Jawab: tidak ada perbedaan antara perkara prodeo dengan yang tidak prodeo, hakim menangani dan menyelesaikan perkara sama saja. Karena tugas hakim adalah memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara, kalau dia sudah memenuhi prosedur beracara secara prodeo maka diperiksa dan di selesaikan.

Jakarta, 7 Maret 2011

Pewawancara Yang Diwawancara

Muchamad Arifin Drs. H. Muhiddin, SH,. MH.