percintaan juga, namun hanya bersifat sampingan belaka. Artinya, novel itu tidak semata- mata berbicara persoalan cinta.
Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari. Novel jenis ini mempergunakan karakter
yang tidak realistis, setting dan plot yang juga tidak wajar untuk menyampaikan ide-ide penulisnya. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep, dan, gagasan sastrawannya yang
hanya dapat jelas kalau diutarakan dalam bentuk cerita fantastik, artinya menyalahi hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.
Penggolongan tadi merupakan penggolongan pokok saja, sehingga dalam praktek ketiga jenis novel tadi sering dijumpai dalam satu novel. Penggolongan jenis novel ini
dengan sendirinya hanya dapat dilakukan dengan melihat kecenderungan mana yang terdapat dalam sebuah novel, apakah lebih banyak percintaannya, petualangannya atau
fantasinya.
2.3. Definisi Semiotik
Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz dalam Ratna 2004:97 semiotika berasal dari kata seme bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Dalam
pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berasal dari studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya dan apa manfaatnya terhadap
kehidupan manusia.
Nelvita : Analisis Moralitas Bushido Dalam Novel Samurai Suzume No Kumo Karya Takashi Matsuoka, 2007 USU e-Repository © 2009
Halliday dalam Ratna 2004:98 menyebutkan semiotika sebagai kajian umum, dimana bahasa dan sastra hanyalah salah satu bidang di dalamnya. Ilmu tanda-tanda
menganggap fenomena masyarakat dan kebudayaan sebagai tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dalam pandangan semiotik yang berasal dari teori Saussure, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa
mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Peletak dasar teori semiotik ada dua orang, yaitu Ferdinand de Saussure dan
Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce seorang ahli filsafat memakai istilah
semiotik. Semiotik model Saussure bersifat semiotik struktural sedangkan semiotik model
Peirce bersifat analitis. Yaitu memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting.
Jadi dapat disimpulkan bahwa semiotik semiotika adalah ilmu tentang tanda- tanda dan ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan
sebuah tanda. Kemudian semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi- konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Di dalam ilmu semiotik, tanda memiliki dua aspek yang penting yaitu penanda signifier dan petanda signified. Penanda adalah bentuk normalnya yang menandai
sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya. Contohnya, kata “ibu” merupakan tanda satuan bunyi yang
menandai arti : “orang yang melahirkan kita”.
Nelvita : Analisis Moralitas Bushido Dalam Novel Samurai Suzume No Kumo Karya Takashi Matsuoka, 2007 USU e-Repository © 2009
Tanda itu tidak satu macam saja., tetapi ada beberapa macam berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan,
misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda petanda sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal sebab-akibat antara penanda dan petandanya. Misalnya, asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan
arah angin. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah
antara penanda dan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer semau-maunya. Arti tanda itu ditentukan oleh konvenisi. “Ibu” adalah simbol artinya ditentukan oleh konvensi
masyarakat bahasa Indonesia.
Nelvita : Analisis Moralitas Bushido Dalam Novel Samurai Suzume No Kumo Karya Takashi Matsuoka, 2007 USU e-Repository © 2009
BAB III ANALISIS MORALITAS BUSHIDO DALAM NOVEL SAMURAI