Hadis, dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal penalaran sebagai dasar hukum Islam.
4
B. Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Imam Syafi’i
Kondisi sosial dan latar belakang pemikiran adalah bermula fokus terhadap kehidupan dan pelajaran Imam
Syafi’i dibagi dalam tiga dekade waktu tumbuh dan berkembang dengan paman-paman beliau di Mekah. Sejak kecil sudah
terlihat kejeniusan beliau. Pada umur 7 tahun hafal al-Quran 30 juz. Hafal al- Muwatha’ Imam Malik dalam usia 10 tahun kemudian mempelajari Fiqh lewat
Syeikh Muslim bin Kholid aZZanjiyi. Selain itu, beliau juga banyak sekali hafal syair-syair Arab. Pada periode pertama ini berakhir pada saat beliau berumur 15
tahun. Pada marhalah ini beliau pindah ke Madinah untuk mendalami al- Muwatha’ pada Imam Malik bin Anas sampai beliau menguasainya.
5
Dari sini terlihat bakat-bakat beliau dalam masalah-masalah Fiqh. Beliau terus mengikuti Imam Malik sampai Imam Malik meniggal dunia tahun 179 H.
Periode ini beliau pindah ke Irak untuk mempelajari Fiqh Hanafi tahun 184 H. Dengan berpindahnya beliau ini, berarti telah selesai pengembaraan beliau dalam
menuntut ilmu dari Mekah, Madinah dan Irak, kemudian aktif berfatwa dan mengajar di Masjid al-Haram. Dari ketiga dekade waktu diatas, dari mulai
menuntut ilmu sampai memberikan fatwa, itu semua merupakan permulaan dari
4
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam,Jakarta:PT raja Grafindo persada 2008 c. I h, 145.
5
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta, PT Bulan Bintang: 2005, cet XI, hlm. 40
tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi’i. Dengan lahirnya madzhab baru ini merupakan keberhasilan ijtihad pada abad ke-2 H.
6
Madzhab ini semakin berkembang pesat terutama pada saat Imam Syafi’i menulis karyanya terbesar dalam ilmu Ushul Fiqh. Tatkala beliau datang ke Irak
untuk kedua kalinya tahun 195 H, orang-orang berbondong-bondong datang kepadanya untuk berguru, mulailah Imam Syafi’i menyiarkan madzhabnya.
Dalam pengajaran-pengajarannya terlihat bahwa ijtihad-ijtihad beliau berbeda dengan Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik. Semuanya itu terus berlanjut
sampai beliau menuangkan ijtihad- ijtihad lamanya ke dalam sebuah buku “al-
Kitab al- Baghdadi”. Karena ijtihad-ijtihadnya tidak sepenuhnya sesuai dengan
kondisi masyarakat yang ada ketika itu, beliau kemudian berfikir untuk melakukan perjalanan ke negara lain. Tahun 199 H, Kairo menjadi tujuan
perjalanan beliau dalam usaha mendirikan sekolah yang menitik-beratkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan Fiqh. Dan mengajarkan madzhab
„baru’ beliau.
7
Dikatakan baru jadid, karena banyak mengganti ijtihad-ijtihad lama qadim yang beliau sampaikan waktu di Irak. Hal tersebut disesuaikan dengan
kondisi masyarakat yang ada Mesir. Kemudian beliau mengumumkan bahwa
6
Lahmuddin Nasution, Pem baruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,Bandung, PT Remaja
Rosdakarya: 2001 cet, I,hlm. 50
7
http:dedybalong.wordpress.com20081013imam-syafii-dan-pemikiran-metodologi diakses pada 20052011 jam 12:14WIB
yang barupun termasuk dalam madzh ab beliau yaitu Madzhab Syafi’i. Imam
Syafi’i dan Perumusan Hadits Yang pertama kali muncul sebagai sistem pemikiran tentang hukum Islam adalah aliran al-
ra’y. Aliran ini berkembang di lembah Mesopotamia yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam
pada saat itu yaitu Baghdad. Aliran ini diwakili oleh Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi yang oleh sebagian kalangan
–sarjana-sarjana Hijaz- diklaim tidak memperdulikan Hadits, ternyata tanpa dasar. Karena diketahui Abu Hanifah
sendiri mempunyai koleksi Hadits, namun secara umum dapat dikatakan bahwa madzhab Hanafi menggunakan metode pemahaman hukum yang lebih
rasionalistik, sehingga banyak yang memasukkannya ke dalam kelompok al- ra’y.
Tapi hampir bersamaan dengan itu, perhatian besar terhadap al-Sunnah ditunjukkan oleh penduduk Madinah lewat seorang sarjana Madinah sendiri -
Malik bin Anas meskipun banyak bersandar pada hadits, ternyata Imam Malik sendiri pernah berguru pada Rabi’ah bin Farukh yang menganut aliran al-ra’y.
Namun Malik bin Anas lebih banyak mengambil ilmu yang berkenaan dengan hadits, bukan aliran ra’yunya. Imam Syafi’i seolah-olah tampil diantara keduanya,
Hanafi dan Maliki. Beliau pernah berguru kepada Imam Malik-pendiri Madzhab Maliki- dan pernah juga menuntut ilmu pada Imam as-Syaibani-penganut
Madzhab Hanafi.
8
8
Lahmuddin Nasution, Op, Cit, hlm. 60