orang Iraq dan Madinah. Dari pengalamannya ini, Syafi’i mulai meletakkan dasar
pemikirannya tentang hukum Islam. Dia lebih menekankan otoritas hadis sebagai sandaran hukum dari pada praktek yang disepakati oleh komunitas muslim di
suatu wilayah. Untuk mengatasi kesenjangan antara idenya dengan realitas yang berkembang, dia merumuskan formulasi qiyas sebagai jalan alternatif dalam
menentukan hukum. Upaya Syafi’i ini merupakan fase titik balik yang mengantarkan kemenangan prara ahli hadis. Secara berangsur para ahli hadis
menggantikan dominasi ahli hukum.
25
Kesimpulannya, metodologisasi hukum Syafii mampu menggiring para ulama ke dalam kerangka metodologinya. Aktivitas mereka tidak lagi mengarah
pada pemikiran bebas atas problem hukum, tetapi mereka disibukkan pada karya- karya sebelumnya. Setelah hadis-hadis terkodifikasi dalam bentuk kitab-kitab
standar, para ahli hadis disibukkan dengan memberi komentar dan penjelasan- penjelasan syarh terhadap karya-karya yang ada.
25
Lahmuddin Nasution, Op, Cit. hlm. 88
27
BAB III HUKUM ZINA MENURUT KONTEKS ALIRAN FIKIH
SYAFI’I
Zina bisa dipilah menjadi dua macam pengertian, yaitu pengertian zina yang bersifat
khusus dan
yang dalam
pengertian yang
bersifat umum.
Pengertian yang bersifat umum meliputi yang berkonsekuensi dihukum hudud dan yang tidak. Yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan wanita yang bukan haknya
pada kemaluannya. Dan dalam pengertian khusus adalah yang semata mata mengandung konsekuensi hukum hudud.
1
Zina Dalam Pengertian Khusus hanyalah yang berkonsekuensi pelaksanaan hukum hudud. Yaitu zina yang melahirkan konsekuensi hukum hudud, baik rajam
atau cambuk.
2
Bentuknya adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang dilakukan dengan keinginannya pada wanita yang bukan haknya di
wilayah negeri berhukum Islam. Untuk itu konsekuensi hukumya adalah cambuk 100 kali sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran.
1
http:fiqihislam-vicky.blogspot.com201001pengertian-zina.html diakses pada 20052011 jam 12:34 WIB
2
Mustafa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho Ali Asy-S arbaji, Kitab Fikah Mazhab Syafie Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005 Cet. Pertama, h. 1583
.
رونلا
2
Artinya: Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari
menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-
orang beriman. QS. An-Nuur:242
A. Pengertian Zina Menurut Fikih Syafi’I dan Ulama’ yang lain.
As-syafiiyyah mendefiniskan bahwa zina adalah masuknya kemaluan laki-laki atau bagiannya ke dalam kemaluan wanita yang bukan mahram dengan
dilakukan dengan keinginannya di luar hal yang syubhat.
3
Sedangkan Al-Malikiyah mendefinisikan bahwa zina itu adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang mukallaf muslim pada kemaluan wanita
yang bukan haknya bukan istri atau budak tanpa syubhat atau disengaja. Al-Hanabilah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan fahisyah
hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan pada kemaluan atau dubur.Namun untuk menjalankan hukum zina seperti ini, maka ada beberapa
syarat penting yang harus dipenuhi antara lain :1. Pelakunya adalah seorang
3
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; Imron Rosadi, S.Ag Ringkasan kitab Al Umm, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, Cet. 2, h. 770
mukallaf , yaitu aqil dan baligh.
4
Perbahasan yang terkait masalah zina adalah;
5
pertama: Apabila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan seksual di luar nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar`i yang
wajib dikenakan sangsi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh seorang idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu.
Kedua; Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia baik laki-laki ataupun seorang wanita. Sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual dengan
binatang seperti anjing, sapi dan lain-lain tidak termasuk dalam kategori zina, namun punya hukum tersendiri.
Ketiga: Dilakukan dengan manusia yang masih hidup. Sedangkan bila seseorang menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam
kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Keempat: Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bila
dilakukan dengan memasukkan kemaluan lak-laki ke dalam kemaluan wanita . Jadi bila dimasukkan ke dalam dubur anus, tidak termasuk kategori zina yang
dimaksud dan memiliki hukum tersendiri. Namun Imam Asy-Syafi`i dan Imam Malik dan Imam Ahmad tetap menyatakan bahwa hal itu termasuk zina yang
dimaksud.
4
Syed Ahmad Syed Husin, Konsep Curi Mengikut Pandangan Fuqaha`, Malaysia: al- Rahmaniah, 1988, cet 1, h. 7
5
Ibid, hlm. 20