Karya-Karya Imam Syafi’i

Kesimpulan dari hasil teknik karya-karya adalah dapat dikatakan beliau merupakan Perintis Ushul Fiqh; Al-Quran dan al-Sunnah adalah pegangan tekstual umat Islam yang obyektif. Namun keobyektifan dalil tersebut tidak menutup sama sekali kemungkinan adanya kesubyektifan dalam pemahaman dan pandangan. Oleh karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas, bagaimana bukti-bukti tekstual tersebut dipahami, lebih dari itu jika pesan itu terlaksana dalam kehidupan nyata yang senantiasa berubah dan berkembang ini, maka usaha memahaminya haruslah didekati dengan suatu metodologi penalaran tertentu. 19 Metode penalaran tersebut sebagaimana telah dikenal dalam disiplin ilmu tentang hukum Islam adalah qiyas qiyas tamtsili. Sebagaimana ijma’ ide mengenai pemakaian metode qiyas dalam memahami nash –khususnya dari segi legalnya bukanlah tanpa persoalan dan kontroversi, karena adanya unsur intelektualism dalam qiyas tersebut. Maka tak heran jika ia qiyas dicurigai sebagai bentuk lain dari aliran ra’y. Sekalipun begitu, metode qiyas tersebut diambil oleh Imam Syafi’i, lebih penting lagi, beliau juga memberikan kerangka teoritis dan metodologi yang canggih dalam bentuk kaidah-kaidah rasional, namun tetap praktis yang selanjutnya lebih dikenal dengan ilmu Ushul Fiqh. 20 19 http:uinsuka.infoejurnalindex.php?option=com_contenttask=viewid=61Itemid=28d iakses pada 20052011 jam 12:14WIB 20 Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001 cet, I,hlm. 70 Kesimpulan dapat disimpulkan dari inti tinjauan dasar-dasar pemikiran Imam Syafi’I sehingga muncul karya-karya dengan mentode atau teknik adalah dasar-dasar konseptual tentang hadits, ilmu Ushul Fiqh juga merupakan sumbangan beliu yang besar dan penting dalam sejarah intelektual Islam. Dengan al-Al Qur- an, sunnah Nabi dan teori Imam Syafi’i tentang Ushul Fiqh, penjabaran hukum Islam dapat diawasi keotentikannya. Karena rumusan teoritisnya tentang hadits dan jasanya dalam merintis Ushul Fiqh, maka Imam Syafi’i diakui sebagai peletak utama dasar metodologi pemahaman hukum dalam Islam. Sebab teori dan rumusannya tidak saja diikuti oleh kita-pengik ut madzhab Syafi’I namun juga diikuti oleh madzhab lain. Sementara dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. 21 Beliau tidak mengambil Istihsan menganggap baik suatu masalah sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah pembela sunnah,” 22

D. Pengaruh Pemikiran Hukum Imam Syafi’i

Syafi’i memainkan peran utama dalam perkembangan jurisprudensi Islam awal ini, dia mencoba mendamaikan ketegangan antara para ahli hukum dengan para ahli hadis dengan membuat standarisasi landasan hukum. Landasan hukum 21 Ibid, hlm. 77 22 Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Ahkam, Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2005, cet. I, h. 336 digiring pada al- Qur’an dan hadis Nabi. Pengertian sunnah tidak lagi dipahami sebagai tradisi hidup komunitas muslim, tetapi dikembalikan kepada masa sunnah Nabi. Sebagai arsitek jurisprudensi Islam, syafi’i terkadang menggunakan logika Aristotelian. 23 Upayanya merupakan tonggak kemenangan di kalangan ahli hadis, dan selanjutnya melahirkan aliran hukum yang dipelori Ahmad ibn Hanbal sebagai figur utamanya. Sementara Syafi’i mengartikulasikan rumusan metodologi hukum dalam karya al- Risalah. Kontinuitas teori Syafi’i bekembang ke arah pembakuan dalam setiap mengambil keputusan yang tidak sebatas aspek hukum dan dijakan standar bagi generasi berikutnya. 24 Standarisasi metodologi hukum yang dibangun oleh Syafi’i berdampak pada terhentinya dinamika dan kreativitas perkembangan fiqh awal, karena ijtihad individu telah digantikan oleh ijitihad- kolektif ijma’. Formulasi hukum telah dibakukan dan dianggap final oleh para pengikut masing-masing aliran, sehingga proses inovatif dan inisiatif ijtihad menjadi stagnan, meskipun terdapat upaya- upaya membangun pemikiran baru tetapi tidak mengalami perubahan substansial. Imam Syafi’i w. 204 H. Dia telah mengadakan pengembaraan ke berbagai wilayah untuk belajar hadis serta mengadakan diskusi panjang dengan orang- 23 Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001 cet, I,hlm. 80 24 http:dedybalong.wordpress.com20081013imam-syafii-dan-pemikiran-metodologi diakses pada 20052011 jam 12:34WIB orang Iraq dan Madinah. Dari pengalamannya ini, Syafi’i mulai meletakkan dasar pemikirannya tentang hukum Islam. Dia lebih menekankan otoritas hadis sebagai sandaran hukum dari pada praktek yang disepakati oleh komunitas muslim di suatu wilayah. Untuk mengatasi kesenjangan antara idenya dengan realitas yang berkembang, dia merumuskan formulasi qiyas sebagai jalan alternatif dalam menentukan hukum. Upaya Syafi’i ini merupakan fase titik balik yang mengantarkan kemenangan prara ahli hadis. Secara berangsur para ahli hadis menggantikan dominasi ahli hukum. 25 Kesimpulannya, metodologisasi hukum Syafii mampu menggiring para ulama ke dalam kerangka metodologinya. Aktivitas mereka tidak lagi mengarah pada pemikiran bebas atas problem hukum, tetapi mereka disibukkan pada karya- karya sebelumnya. Setelah hadis-hadis terkodifikasi dalam bentuk kitab-kitab standar, para ahli hadis disibukkan dengan memberi komentar dan penjelasan- penjelasan syarh terhadap karya-karya yang ada. 25 Lahmuddin Nasution, Op, Cit. hlm. 88