Tinjauan Yuridis Sinkronisasi Undang-Undang Kehutanan dengan Undang-Undang Pokok Agraria Dikaitkan dengan Undang-undang Penataan Ruang Serta Akibat Hukumnya

(1)

TINJAUAN YURIDIS SINKRONISASI UNDANG-UNDANG KEHUTANAN DENGAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG

SERTA AKIBAT HUKUMNYA  

 

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universita Sumatera Utara

       

Oleh

 

RUBY AGNESIA GINTING 090200277

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA JURUSAN HUKUM AGRARIA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional . Hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia . Manfaat itu dapat dibedakan secara langsung dan tidak langsung.Sebagai suatu Negara yang berdaulat dan mempunyai sumber daya hutan yang begitu luas tentunya sudah mempunyai konsep tata kelolah hutan yang tidak lepas dari ideologi penguasaan hutan yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa , “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat di simpulkan bahwa Negara menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun pengusaan ini terbatas, yaitu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam usaha menjaga hutan, Indonesia merupakan salah satu Negara yang menggunakan instrument hukum dalam pengelolaan hutan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan adanya penegakan hukum di bidang kehutanan untuk memberikan kepastian hukum. Permasalahannya peraturan-peraturan yan dibuat oleh pemeritah pusat ataupun daerah tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, tidak cuma itu saja peraturan-peraturan kehutanan yang di buat oleh pemerintah tidak sejalan dengan peraturan-peraturan lainnya di luar kehutanan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penilitian empiris. Alat / instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data dilakukan dengan studi dokumen (library research) yakni pengumpulan data sekunder baik berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara teori dan asas-asas hukum yang sesuai berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Dengan di adakannya penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa peraturan-peraturan kehutanan yang ada saat ini masih mengalami in-sinkronisasi terhadap peraturan-peraturan lain dan kenyataan di lapangan. Sehingga mengakibatkan carut marutnya peraturan-peraturan kehutanan.dengan ketidak jelasan peraturan-peraturan kehutanan ini berdampak kepada masyarakat sekitar,oleh sebab itu pemerintah harus memperjelas peraturan-peraturan tersebut sehingga tidak menimbulkan ketidak jelasan.

Penelitian ini dibuat untuk memberi masukan kepada pembaca atau pemerintah yang bersangkutan untuk dapat mencari solusi dalam masalah kehutanan agar antara peraturan-peraturan kehutanan dan peraturan lainnya sejalan atau sinkron ,begitu juga dengan peraturan yang di buat oleh pemerintah pusat dan peraturan daerah. sehingga tidak terjadi ketidak jelasan peraturan-peraturan yang terjadi dilapangan seperti yang saat ini sedang marak terjadi.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesai penyusunan skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Hukum pada jurusan Hukum Administrasi Negara Program Kekhususan Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

Judul skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Sinkronisasi Undang-undang Kehutanan Dengan Undang-Undang-undang Pokok Agraria Dikaitkan Dengan Undang-undang Penataan Ruang Serta Akibat Hukumnya”. Pemilihan judul ini didasari dengan jurusan yang penulis dalami di bangku perkulihan yaitu jurusan Hukum Agraria dan ketertarikan penulis tentang masalah kehutanan.

Terselesaikan penulisan skripsi ini tidak hanya usaha dan kemampuan penulis sendiri, tetapi juga atas bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, maka itu perkenankan lah penulisan mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada:

1. Bapak Prof.DR. Runtung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan.

2. Bapak Prof.DR. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan ,SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Muhamad Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Suryaningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara.

6. Bapak Prof.DR.M.Yamin, SH.MS.CN. selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Zaidar, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saya bimbingan dan arahan dalam penulisan skripi ini.

8. Bapak Affan Mukti, SH, M.Hum. dan Ibu Mariati Zendrato,SH.MH. selaku Dosen Program Kekhususan Agraria

9. Ibu DR. Idha Apriliana Sembiring, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik

10. Kedua Orang Tua saya yang sangat saya cinta yang telah membesarkan saya dengan kasih sayang, perhatian yang penuh dan juga dukungan moral dan senantiasa memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman saya yang telah memberikan saya dukunga dan moral untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia –Nya kepada Bapak ,Ibu dan rekan-rekan sekalian. Penulis menyadari bahwa penyususnan skripsi ini masih terdapat kekurangan-kekurangan baik dari segi penulisan maupun isinya serta keterbatasan kemampuan dari penulis, untuk


(5)

itu penulis senantiasa menerima saran ataupun kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak agar wujud skripsi ini menjadi lebih sempurna.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini ada manfaatnya bagi pembaca.

Medan, Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

1.3.1 Tujuan Penulisan ... 5

1.3.2 Manfaat Penulisan ... 5

1.4 Keaslian Penulis ... 6

1.5 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5.1 Hukum Kehutanan ... 7

1.5.2 Sifat dan Tujuan Hukum Kehutanan ... 10

1.5.3 Sejarah Hukum Kehutanan ... 11

1.6. Metode Penelitian ... 28

1.7 Sistematika Penulisan ... 29

BAB II KAIDAH HUKUM KEHUTANAN DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERATURAN KEHUTANAN .... 31

2.1 Kaidah Hukum Kehutanan ... 31

2.2 Kebijakan Hukum Kehutanan di Indonesia ... 35

2.3 Kebijakan Hukum Pidana yang Megatur Kehutanan di Indonesia ... 40

2.3.1 Undang-undang No.5 Tahun 1967 Pasal 19 Ayat (1) dan PP No.28 tahun 1985 ... 41

2.3.2 Undang-undang No.5 Tahun1990 ... 45

2.3.3 Undang-undang No.41 Tahun 1999 ... 46

BAB III SINKRONISASI PERATURAN - PERATURAN KEHUTANAN TERHADAP PERATURAN-PERATURAN LAIN ... 54

3.1 Undang-undang Nomor 41 Tahun1999 Tentang Kehutanan……….. ... 54

3.2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ... 56


(7)

3.3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang

Perkebunan ... 59

3.4 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang ... 64

3.5 Sinkronisasi Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan in-sinkronisasi Peraturan-peraturan tersebut. ... 69

BAB IV PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DALAM MASALAH KEHUTANAN ... 75

4.1 Kebijakan Legislasi Dalam Undang-undang Kehutanan ... 75

4.2 Kebijakan Hukum Pidana Pada Pengelolahan Hutan ... 84

4.3 Ketidakjelasan Penentuan Kawasan di Indonesia ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

5.1 Kesimpulan ... 100

5.2 Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional . Hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia . Manfaat itu dapat dibedakan secara langsung dan tidak langsung.Sebagai suatu Negara yang berdaulat dan mempunyai sumber daya hutan yang begitu luas tentunya sudah mempunyai konsep tata kelolah hutan yang tidak lepas dari ideologi penguasaan hutan yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa , “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat di simpulkan bahwa Negara menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun pengusaan ini terbatas, yaitu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam usaha menjaga hutan, Indonesia merupakan salah satu Negara yang menggunakan instrument hukum dalam pengelolaan hutan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan adanya penegakan hukum di bidang kehutanan untuk memberikan kepastian hukum. Permasalahannya peraturan-peraturan yan dibuat oleh pemeritah pusat ataupun daerah tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, tidak cuma itu saja peraturan-peraturan kehutanan yang di buat oleh pemerintah tidak sejalan dengan peraturan-peraturan lainnya di luar kehutanan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penilitian empiris. Alat / instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data dilakukan dengan studi dokumen (library research) yakni pengumpulan data sekunder baik berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara teori dan asas-asas hukum yang sesuai berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Dengan di adakannya penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa peraturan-peraturan kehutanan yang ada saat ini masih mengalami in-sinkronisasi terhadap peraturan-peraturan lain dan kenyataan di lapangan. Sehingga mengakibatkan carut marutnya peraturan-peraturan kehutanan.dengan ketidak jelasan peraturan-peraturan kehutanan ini berdampak kepada masyarakat sekitar,oleh sebab itu pemerintah harus memperjelas peraturan-peraturan tersebut sehingga tidak menimbulkan ketidak jelasan.

Penelitian ini dibuat untuk memberi masukan kepada pembaca atau pemerintah yang bersangkutan untuk dapat mencari solusi dalam masalah kehutanan agar antara peraturan-peraturan kehutanan dan peraturan lainnya sejalan atau sinkron ,begitu juga dengan peraturan yang di buat oleh pemerintah pusat dan peraturan daerah. sehingga tidak terjadi ketidak jelasan peraturan-peraturan yang terjadi dilapangan seperti yang saat ini sedang marak terjadi.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan Nasional. Sumber daya hutan yang diberikan kepada Bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dikelolah secara berkelanjutan. Dengan jumlah yang sangat luas dan lebih dari 100 juta hektar, Indonesia merupakan Negara peringkat ketiga di dunia yang memiliki hutan hujan tropis terbesar setelah Brazil dan Republik Domokratik Kongo. Disamping itu Indonesia merupakan Negara terbesar ke-empat yang mempunyai 8% cadangan karbon dunia.Memperhatikan begitu luasnya hutan dan cadangan karbon yang menjadi perhatian dunia internasional tersebut, maka Indonesia di harapkan dapat menjaga kelestarian hutan yang dimilikinya dan tidak terlepas dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim yang saat ini menjadi perhatian dunia. 1

Hutan memiliki manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat secara langsung adalah mennghasilkan kayu yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, serta hasil hutan ikutan antara lain rotan, getah, buah-bahan, madu, dan lain-lain. Manfaat tidak langsung yaitu mangatur tata air mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat di sektor parawisata, memberikan manfaat dalam bidang pertahanan keamanan, manambah devisa Negara.

      

1

Sadino,Mengelola Hutan dengan Pendekatan Hukum Pidana :Suatu Kajian Yuridis


(10)

Sebagai suatu Negara yang berdaulat dan mempunyai sumber daya hutan yang begitu luas tentunya sudah memiliki konsep tata kelolah hutan yang tidak telepas dari ideologi penguasaan hutan yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Negara menguasai kekayaan alam yang di terkandung di dalamnya, namum penguasaan ini terbatas, yaitu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.2

Dalam usaha menjaga hutan, Indonesia merupakan salah satu Negara yang menggunakan instrument hukum dalam pengelolahan hutannya. sehingga di buatlah Undang-undang Kehutanan dan peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan Kehutanan dan Pertanahan sehingga apabila ada terjadi konflik-konflik yang berhubungan dengan hutan dan segala isinya ,kehutanan sudah memiliki kekuatan hukum ,namun pada kenyataannya pada saat ini banyak konflik mengenai kehutanan mengacu pada Undang-undang dan peraturan-peraturan itu semdiri. Undang-undang dan peraturan-peraturan-peraturan-peraturan kehutanan itu tersebut terdapat ketidak singkronan.padahal sinkronisasi Uundang-undang Kehutanan terhadap peraturan-peraturan kehutanan dan yang lainnya memegang peranan yang cukup penting dalam kaitannya dengan penerapan hukum dalm masyarakat apabila sinkronisasi tidak di perhatikan maka dapat berakibat terjadinya hambatan-hambatan dalam penerapannya, sinkronisasi tidak hanya

      

2


(11)

dapat dilihat dari harmonisasi dengan ketentuan lain yang berkaitan, tetapi juga dapat ditelusuri di dalam ketentuan itu sendiri, contohnya pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Bila dilihat dari sisi sinkronisasi, pada pasal 3 UUPA terdapat ketidak sinkronan terhadap Undang-undang Kehutanan No.41 Tahun1999. selain itu juga ketidak sinkronan peraturan-peraturan lainnya terdapat pada Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi No.45/2011 tentang penentuan kawasan hutan terhadap UU Kehutanan.

Menurut Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Kawasan hutan yang menurut SK No.45/2011 tersebut ditunjuk oleh pemerintah menjadi kawasan hutan, padahal untuk menetapkan kawasan hutan tersebut harus melewati empat tahapan yang terdapat di pasal 15 UU Kehutanan belum dilaksanakan pemerintah tetapi pada kenyataannya SK No.45/2011 tersebut sudah dilaksankan di lapangan. Disini terdapat inkonsistensi dari SK No.45/2011 terhadap UU Kehutanan .Selain itu kita dapat melihat juga Surat Keputusan Mentri Kehutanan No.44/2005 tersebut menetapkan kawasan-kawasan hutan tanpa melewati empat tahapan yang ada di dalam pasal 15 UU Kehutanan sehingga banyak tanah pertanian, perkebunan, pemukiman dan malam kantor pemerintahan yang masuk dalam kawasan hutan.

Bila kita lihat dari konflik tersebut bahwa pemerintah hanya menunjuk kawasan-kawasan tersebut sebagai kawasan hutan tanpa melihat secara langsung ke lapangan dan melihat pemetaan tata ruang terdahulu sehingga mengakbatkan ketimpangan kawasan hutan, sehingga masyarakat yang terkena dampak dari itu semua, malah ada masyarakat dan perusahan yang sudah diproses hukum padahal


(12)

SK No.44/2005 tersebut belum melaksanakan tahapan yang ada di pasal 15 UU Kehutanan tersebut.

Selain dari masalah itu peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan juga mengabaikan hukum adat, terjadinya in-sinkronisasi antara Peraturan Pemerintah dengan Peraturan Menteri, terdapat ketentuan yang saling bertentangan satu sama lain selain itu in-sinkronisasi juga terjadi antara peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dengan peraturan perundang-undangan di bidang lain ,yaitu dengn ketentuan peraturan perundang-undangan pemekaran wilayah, peraturan perundang-undangan di bidang otonomi daerah dan lain-lain.

Masalah utama di dalam pegelolahan kawasan hutan adalah karena ketentuan tentang batas-batas kawasan hutan belum di atur secara defenitif, sehingga tidak memberikan jaminan kepastian hukum khususnya tentang kebenaran batas kawasan hutan .Hal demikian akan menjasi permasalahan dan menjadi faktor penghambat terlaksananya penegakan hukum kehutanan.Bertitik tolak dari uraian-uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Sinkronisasi Undang-undang Kehutanan Dengan Undang-undang Pokok Agraria Dikaitkan Dengan Undang-undang Penataan Ruang Serta Akibat Hukumnya”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok pokok bahasan yang berkaitan dengan “Sinkronisasi Peraturan-peraturan Kehutanan dan Akibat Hukumnya” sebagai berikut :


(13)

1) Apakah terdapat sinkronisasi antara peraturan-peraturan kehutanan dengan peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan pertanahan?

2) Bagaimana akibat hukumnya jika terdapat in-sinkronisasi diantara berbagai peraturan yang menyangkut tentang kehutanan?

3) Apakah terdapat problematika dalam penegakan hukum dalam masalah kehutanan?

1.3Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.3.1 Tujuan Penulisan

Bertitik tolak dari permasalahan yang dikemukakan diatas, dalam penelitian ini bertujuan :

1) Untuk mengetahui secara mendalam tentang pengertian kaidah hukum didalam kehutanan dan pertanahan serta kebijakan pidana hukum kehutanan yang telah ada saat ini dalam peraturan-peraturan kehutanan di Indonesia. 2) Untuk mengetahui apakah terdapat sinkronisasi antara peraturan-peraturan

kehutanan yang telah ada dengan peraturan-peraturan lainnya,misalnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, UU No. 26 Tahun 2007 .tentang Penataan Ruang, UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

3) Untuk mengetahui upaya apa saja yang di lakukan oleh penegak hukum dan pemerintah terhadap problematika penegakan hukum yang ada dan sedang marak belakangan ini dalam masalah kehutanan .

1.3.2 Manfaat Penulisan

Penulis berharap nantinya dapat memberrikan manfaat pemikiran baik secara teoritis maupun secara praktis.


(14)

a) Manfaat Secara Teoritis

Dapat memberikan suatu bahan masukan informasi bagi kalangan akademis dalam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran dalam hal hukum kehutanan.

b) Manfaat Secara Praktis

Dapat memberikan masukan bagi instansi yang berkaitan, dan informasi untuk pemahaman bagi masyarakat yang memerlukan demi meningkatkan kesadaran hukum dalam hal problematika peraturan-peraturan kehutanan di Indoesia saat ini.

1.4 Keaslian Penulisan

Penulisan ini dilakukan atas inisiatif sendiri dan tentunya dengan berbagai masukan dari berbagai pihak yang membantu penulisan ini karena melihat sangat pentingnya kejelasan peraturan-peraturan kehutan bagi para pihak-pihak yang terkait sementara pada kenyataannya carut marutnya peraturan-peraturan kehutanan belakangan ini dan terdapat inkonsistensi peraturan-peraturan kehutanan terhadap peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan kehutanan ketidak jelasan ini lah yang melatar belakangin penulisan ini. Penulisan ini belum di buat oleh Mahasiswa Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Kalaupun ada kesamaan, hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan tentunya dengan pendekatan masalah yang berbeda. Penulisan ini juga di lengkapi kutipan-kutipan dari beberapa sumber dengan tidak bermaksud untuk mengurangi manfaat, tujuan dan keaslian dari penulis ini.


(15)

1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Hukum Kehutanan

Hukum kehutanan merupakan salah satu bidang hukum yang sudah berusia 128 tahun yaitu sejak di undangkannya Reglemen Hutan 1865.istilah hukum hutan merupakan terjemahan dari Boswezen Recht (belanda) atau Forrest Law (inggris) .menurut hukum inggris kuno yang di maksud forrest law (hukum kehutanan ) adalah : suatu system atau tatanan hukum lama yang berhubungan dan mengatur hutan-hutan kerajaan dari definisi tersebut hukum kehutanan mengatur hutan – hutan yang dikuasai oleh kerajaan ,sedangkan hutan rakyat (hutan milik) tidak mendapatkan pengaturan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Inggris kemudian hukum kehutanan di sempurnakan pada tahun 1971 di dalam Act 1971 ini tidak hanya mengatur hutan kerajaan tetapi juga mengatur hutan rakyat /hutan milik.

Menurut idris Sarong Al Mar, menyatakan bahwa yang disebut dengan hukum kehutanan adalah :

“Serangkaian kaidah-kaidah / norma-norma (tidak tertulis) dan peraturan-peraturan tertulis yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan”

Defenisi senada dengan defenisi yang dirumuskan dalam biro hukum dan organisasi, departemen kehutanan yang di sebut hukum kehutanan adalah :

“Kumpulan atau himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusnya”3

      

3


(16)

Hukum kehutanan dalam kedua defenisi di atas menitik beratkan pada kekuasaan Negara dalam pengolahan dan pengurusan hutan dan kehutanan semata-mata, padahal persoalan itu tidak hanya menjadi persoalan Negara, tetapi juga menjadi urusan manusia secara perorangan, jika ia mengusahakan penanaman kayu di atas tanah hak miliknya.

Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa defenisi hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah / ketentuaan hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan kehutanan, dan hubungan antar individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan.

Ada tiga unsur yang tercantum dalam rumusan hukum kehutanan, yaitu : (1) Adanya kaidah hukum kehutanan baik tertulis maupun tidak tertulis

(2) Mengatur hubungan antara Negara dengan hutan dan kehutanan (3) Mangatur antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan.4

Hukum kehutanan tetulis adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuat olah lembaga yang berwenang untuk itu yang mengatur hal-hal yan berkaitan dengan hutan dan kehutanan, hukum kehutanan tertulis ini dapat dilihat didalam peraturan perundang-undangan, baik yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda maupun yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR sejak bangsa Indonesia merdeka, misalnya Undang-undang Nomor 5 Tahun1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan.

Hukum kehutanan tidak tertulis atau disebut juga hukum adat mengenai hutan adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat setempat, sifatnya lokal.

      

4


(17)

Hal-hal yang diatur dalam hukum kehutanan tidak tertulis adalah : 1. Hak membuka tanah di hutan

2. Hak untuk menebang kayu 3. Hak memungut hasi hutan

4. Hak untuk mengembalakan ternak, dan sebagainya5

Diberbagai daerah hak-hak tersebut diatur oleh desa, dan dahulu hak-hak itu dikuasai oleh raja, serta kini dikuasai oleh negara.

Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta mengatur pengurusan hutan dalam arti luas. Hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan mempunyai hubungan yang sangat erat, karena individu (perseorangan) tersebut telah mengusahaka tanah miliknya untuk menenanam kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sehingga pengurusan dan pemanfaatannya diatur yang bersangkutan. Namun demikian, individu tersebut harus membayar beberapa kewajiban kepada Negara, seperti membayar biaya pengujian, dan iuran hasil hutan (IHH).

Pada UU Kehutanan Nomor 41 Tahun1999 memiliki asas-asas yang terdapat dalam undang-undang tersebut pada pasal 2 undang-undang Kehutanan

      

5


(18)

dinyatakan bahwa, penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari6, kerakyatan dan keadilan,7 kebersamaan,8 keterbukaan9 dan keterpaduan10.

1.5.2 Sifat dan Tujuan Hukum Kehutanan

Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena hukum kehutanan ini hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan, apabila ada aturan lain yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka yang diberlakukan terlebih dahulu yaitu hukum kehutanan, oleh sebab itu, hukum kehutanan disebut Lex specialis, sedangkan hukum lainnya seperti hukum agrarian dan lain-lain sebagai hukum umum (lex specilis drogaat lex generale). Tujuan hukum kehutanan adalah melindungi, memanfaatkan dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari .11

      

6

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari , dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsure ligkungan ,social,dan budaya, serta ekonomi.

7

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggara kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya ,sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat,oleh karena itu,dalam pemberian wewenang pengelolahan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya prektik monopoli,monopsoni,oligopoly,dan oligopsoni.

8

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergi antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD dan BUMS Indonesia , dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah,dan koperasi.

9

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksud agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.

10

Penyelenggaraan kehhutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor ain, dan masyarakat setempat.

11


(19)

1.5.3 Sejarah Hukum Kehutanan

Perjalanan panjang perangkat hukum pengelolahan hutand dapat ditelusuri dari zaman penjajahan Belanda, Zaman Jepang, dan juga zaman kemerdekaan sampai sekarang, ini sangat penting dikemukakan sebagai refleksi dari perjalanan panjang muatan peraturan-peraturan hutan, sehingga kita dapat menelusuri dan membandingkan dengan peraturan kehutanan yang berada pada era yang berbeda tersebut, dapat ditarik manfaat yang sangat berharga dalam menentukan dan mendesain peraturan kehutanan ke depan. Pembicaraan sejarah dan perkembangan perundang-undangan kehutanan di indonesia tidak lepas dari pembicaraan tentang perundang-undangan masa lampau.itu menunjukan hukum yang berlaku saat ini merupakan kelanjutan sistem hukum yang berlaku sebelumnya.pernyataan ini dapat dilihat dalam pasal 21 undang-undang nomor 5 tahun 1967 yang berbunyi :

“Sambil menunggu keluarnya peraturan – peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini , segala peraturan dan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada sebelumnya,tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa undang-undang ini serta diberikan tafsiran yang sesuai dengan itu.”

Tujuan di cantumkannya ketentuan pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun1967, semata-mata untuk mencegah kekosongan hukum di bidang kehutanan .dengan demikian peraturan perundang-undangan sebelumnya terutama peraturan produk pemerintahan Hindia Belanda masih tetap di berlakukan.

A. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Pada zaman pemerintahan hindia belanda telah banyak produk hukum yang mengatur kehutanan awal dari pembentukan hukum di bidang kehutanan dimulai dari diundangkannya Reglemen 1865 pada tanggal 10 september 1865.


(20)

1. Reglemen Hutan 1865

Reglemen 1865 ini megatur tentang Pemangkuan Hutan dan eksploitasi hutan. Reglemen ini dirancang oleh komisi yang terdiri dari tiga orang anggota, yaitu12 :

a. Mr. F.H.der Kindiren, yaitu panitera pada Mahkamah Agung b. F.G.Bloemen Waanders , yaitu seorang Inspektur Tanaman Budi . c. E.van Roessler, yaitu seorang Inspektur Kehutanan .

Komisi ini bertugas untuk menyusun rancangan reglemen (peraturan) untuk pemangkuan dan eksploitasi hutan, serta pemberian izin penebangan, dan cara pemberantasan kayu gelap.

2. Reglemen Hutan 1874

Reglemen Hutan 1874 timbul karena banyaknya masalah dalam pelaksanaan reglemen 1865.Ada dua masalah yang muncul dalam pelaksanaan Reglemen 1865 yaitu :

(1) Musnahnya hutan yang dikelolah dengan secara tidak teratur ,hal ini disebabkan karena adanya pemisahan hutan jati yang di kelolah secara teratur dan tidak teratur.

(2) Banyaknya keluhan dari pembabatan hutan dalam pengadaan kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perlengkapan, bahan bakar dan lain-lain. Berdasarkan dua masalah di atas Pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Reglemen 1865 dan menggantinya dengan reglemen 1874 pada tanggal 14 april 1874 . Inti dari reglemen 1874 ini adalah seperti berikut :

(1) Diadakan perbedaan hutan jati dengan hutan rimba;

      

12


(21)

(2) Pengelolahan hutan jati menjadi dua : hutan jati yang dikelolh secara teratur dan yang belum di tata akan dipancang ,diukur ,dan dipetakan .Hutan ini dibagi dalam listrik hutan

(3) Distrik hutan dikelolah oleh houtsvester /adspiran houtsversen (calon houtsverter)

(4) Eksploitasi hutan sama dengan yang tercantum dalam Reglemen 1865

(5) Untuk tujuan tertentu masyarakat dapat meminta surat izin penebangan /mengeluarkan kayu dalam jumlah yang terbatas. Surat izin yang itu yang berwenang mengeluarkannya Direktur Binnenlands Bestuur(pemerintahan dalam negri )

(6) Pemangkuan hutan rimba yang tidak di kelolah secar teratur berada di tangan Residen dan di bawah perintah Direktur Binnenlands Bestuur dibantu oleh seorang Houtsvester

Reglemen hutan 1874 ini tidak hanya berlaku di jawa dan Madura tetapi berlaku juga di vorstenlanden ( tanah kasunan dan kesultanan).13

3. Reglemen Hutan 1897

Reglemen hutan 1897 diubah dengan ordonansi 26 Mei 1882 dan ordonansi 21 november 1894 tetapi akhirnya diganti dengan ordonansi kolonial 1897, secara singkat disebut Boschreglement (reglemen hutan). Resminya reglemen itu disebut “reglemen hutan untuk pengelolahan hutan-hutan Negara di jawa dan Madura 1897”. Reglemen Hutan 1897 dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan pemerintahan Nomor 21 tahun 1897 tentang “Reglemen untuk jawatan kahutanan jawa dan Madura” atau disingkat Dienstreglemen (reglemen dinas)

      

13


(22)

tertanggal 9 februari 1897 Nomor 21 tahun 1897 .Dienstreglemen ini mengatur tentang organisasi jawatan kehutanan dan ketentuan pelaksanaan boschreglement

Reglemen Hutan 1897 berbeda dengan reglemen 1874 ketentuan yang penting reglemen 1897, yaitu : (1) pengertian hutan Negara; (2) pembagian hutan Negara ; (3) pemangkuan hutan ; (4) eksploitasi hutan.14

4. Reglemen Hutan 1913

Reglemen 1897 hanya berlaku selama 16 tahun, kemudian diganti dengan ordonansi kolonial 30 juli 1913 ditetapkan “Reglemen untuk pengangkutan hutan Negara untuk jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku 1 januari 1913 .”

Hal-hal yang diatur dalam reglemen hutan 1913, adalah sebagai berikut :

a. Pemangkuan hutan yang mencangkup penataan hutan ,penelitian hutan , pemangkuan hutan dalam arti sempit, berikut pengelolahan perkebunan getah (getah susu) dari pohon-pohon tertentu dan pengamanan hutan .

b. Eksploitasii hutan. c. Pengamanan hutan.

d. Pemberian izin kepada masyarakat untuk mengembala ternak dalam hutan Negara dan memungut pakan ternak, kecuali di hutan atau bagian hutan tertentu, yang keadaannya tidak mengizinkan bagi tindakan demikian. Disamping itu, rakyat/masyarakat di sekitar hutan diizinkan memungut buah-buahan, rumput, alang-alang, rotan, dan pemungutan kulit kayu.

e. Pemberian izin untuk berburu dan menyandang senapan di dalam hutan jati dan hutan rimba yang ditata izin itu dikeluarkan oleh kepala pemerintahan daerah.15

      

14

Salim,ibid.,hlm20-21 15


(23)

Dalam reglemen ini tidak diatur mengenai sanksi pidana . 5. Ordonansi Hutan 1927

Pada tahun 1927 Reglemen Hutan 1913 diganti dengan “ Reglemen voor het beheer der bossen van den lande op java en Madura 1927” (pengaturan pengelolahan hutan Negara di jawa dan Madura) ordonansi ini di umumkan dalam lembaran Negara 1927 Nomor 221 dan terakhir ditambah dengan Lembaran Negara 1940 Nomor 3.

Ordonansi ini terdiri atas 7 bab dan 31 pasal . Hal-hal yang diatur dalam Ordonansi Hutan 1927 yaitu : (1) pengertian hutan (pasal 1 sampai pasal 6) ; (2) susunan hutan (pasal 7) ; (3) penyelidikan hutan (pasal 8); (4) pengurusan hutan (pasal 9 sampai pasal 13); (5) perlindungan hutan (pasal 14 sampai pasal15 ); (6) pengumpulan hasil hutan pengembalaan hewan ,memotong makanan hewan ,dan pengembilan rumput-rumputan (pasal 16 ampai pasal 18); (7) ketentuan pidana dan penutup (pasal19 sampai pasal 31 ordonansi hutan 1927) ketentuan pidana yang diatur dalam ordonansi hutan 1927 berupa pidana denda dan pidana kurungan selama tiga bulan bagi perusak hutan sifat perbuatan pidananya adalah pelanggaran. Ordoanansi Hutan 1927 hanya berlaku untuk jawa dan Madura sedangkan untuk di luar jawa dan Madura belum diatur dalam ketentuan undang-undang apabila terjadi tindak pidana di luar ulau jawa dan Madura maka pelaku dibebaskan dengan pertimbangan tidak ada aturan hukumnya. 16

      

16


(24)

B. Zaman Jepang

Pada tanggal 7 maret 1942 pemerintahan Bala Tentara Dai Nippon tela megeluarkan undang-undang nomor 1 tahun 1942 Pasal 3 Undang-undang nomor 1 tahun 1942 , berbunyi :

“Semua badan-badan pemerintahan, kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintahan yang terdahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan Militer”17

Berdasarkan ketentuan di atas ,jelaskan bahwa hukum dan undang-undang yang berlaku pada zaman Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintahan Dai Nippon dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum). Dengan adanya ketentuan tersebut mempermudah Pemerintahan Dai Nippon untuk menerima, memerkasa dan mengadili serta memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan demikian bahwa ketentuan yang diberlakukan oleh Pemerintahan Dai Nippon di bidan kehutanan adalah ordonansi hutan 1927 dan berbagai peraturan pelaksanannya.

C. Zaman Kemerdekaan (1945-Sekarang)

Sejak bangsa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang ternyata pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang kehutanan.

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria

Yang di atur dalam undang-undang ini adalah hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan tanah semata-mata. Ada satu ketentuan yang mengatur

      

17


(25)

tentang kehutanan yang berkaitan dengan hasil hutan, yaitu yang tercantum daplam pasal 46 Undang-undang Pokok Agraria.

Pasal 46 Undang-undang Pokok Agraria berbunyi sebagai berikut 18: 1) Hak membuka tanah dan menggugat hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh

warga Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah.

2) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah.19

Ketentuan ini di berikan kepada seluruh warga masyarakat di berikan untuk memungut hasil hutan seperti kayu, rotan, getah dan lain-lain dan apabila suatu saat hutan diperlukan untuk kepentingan umum maka hak untuk memungut hasil hutan tersebut di cabut.

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 merupakan undang-undang yang khusus mengatur tentang hutan dan kehutanan.

Pertimbangan ditetapkan undang-undang Nomor 5 tahun 1967 seperti berikut :

a. Bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat yang serba guna yang mutlak di butuhkan umat manusia sepanjang masa;

b. Bahwa hutan di Indonesia sebagai sumber kekayaan alam dan salah satu unsur pertanahan nasional harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari ;

      

18

Salim,ibid.,hlm.25 19


(26)

c. Bahwa peraturan-peraturan dalam bidang hutan dan kehutanan yang berlaku sampai sekarang sebagian besar berasal dari pemerintahan jajahan yang bersifat kolonial dan bersifat kolonial dan beraneka ragam coraknya , sehingga tidak sesuai lagi dengan tuntutan revolusi .

d. Bahwa untuk menjami kepentingan rakyat dan negara serta untuk menyelesaikan revolusi nasional diperlukan adanya undang-undang yang memuat ketentuan pokok tentang kehutanan yang bersifat nasional dan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan perundang-undangan dalam bidang hutan dan kehutanan .20

Undang – undang Pokok kehutanan terdiri dari 8 bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Pokok Kehutanan adalah (1) pengertian hutan, hasil hutan, kehutanan, hutan menurut pemiliknya. (2) perencanaan hutan; (3) pengurusan hutan (4) pengusahaan hutan; (5) perlindungan hutan; dan (6) ketentuan pidana dan penutup .

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolahan Lingkungan Hidup

Undang-undang nomor 4 tahun 1982 tediri atas 9 bab dan 24 pasal, pertimbangan ditetapkannya Undang-undang nomor 4 tahun 1982 adalah sebagai berikut :

a. Bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan ruang bagi kehidupan Bangsa Indonesia, merupakan ruang bagi kehidupan Bangsa Indonesia dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan wawasan Nusantara.

      

20


(27)

b. Bahwa dalam mendayaguna sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum, seperti termuat dalam undang-undang Dasar 1945 dan untuk kebahagiaan hidup berdasarkan pancasila, perlu diusahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesenambungan dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang terpadu dan yang menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.

c. Bahwa kebijaksanaan melindungi dan mengembangkan lingkungan hidup dalam hubungan kehidupan antar bangsa adalah sesuai dan selaras dengan perkembangan kesadaran lingkungan hidup umat manusia.

d. Bahwa dalam rangka mengatur pengelolahan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh, perlu ditetapkan undang-undang yang meletakkan ketentuan pokok untuk menjadi landasan bagi pengelolahan lingkungan hidup.21

Ada empat cirri-ciri undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 yaitu : (1) sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa depan, sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat, (2) mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan pelaksanaan lebih lanjut. (3) mencakup semua segi di bidang lingkungan hidup agar dapat menjadi dasar bagi pengaturan lebih lanjut masing-masing segi yang dituangkan dalam peraturan tersendiri. (4) landasan untuk menilai yang menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi lingkungan yang kini telah berlaku ,yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertambangan dan

      

21


(28)

energi, kehutanan, perlindungan dan pengawetan alam, industri, pemukiman, tata ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.

Dapat kita lihat dari keempat ciri undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tampaklah bahwa Undang-undang ini sebagai alat (instrument) untuk menilai peraturan perundang-undangan yang memuat segi-segi lingkungan hidup. 22

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya

Undang-undang ini disebut sebagai undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) diundangkan pada tanggal 10 agustus 1990 undang-undang konservasi hayati ditetapkan dengan pertimbangan sebagai berikut.

a. Bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan dan peranan yang penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena iu perlu dikelolah dan dimanfaatkan secara lestari, selaras dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan.

b. Bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan pancasila.

c. Bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling bergantung antara satu sama yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsure akan berakibat terganggunya ekosistem.

      

22


(29)

d. Bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-lankah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemna selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.

e. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional.

f. Bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

g. Bahwa sehubung dengan hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu undang-undang .23

Undang-undang konservasi Hayati terdiri atas empat belas bab dan empat puluh lima pasal .Ada empat macam peraturan perundang-undangan produk pemerintahan belanda yang telah dicabut berdasarkan undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yaitu : (1) ordonansi Pemburuaan (Jachtordonantie 1931 Stb.1931 Nomor133), (2) Ordonansi perlindungan Binatang Liar (Dierenbeshermingsordonantie 1931 stb.1931 Nomor 134), (3) Ordonansi Perburuhan Jawa dan Madura (Jachtordonantie Java en Madura 1940 Stb.1939 Nomor 733), (4) Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingordonnantie

      

23


(30)

1941 Stb .1941 Nomor 167). Pertimbangan dicabutnya keempat peraturan tersebut karena : (1) merupakan ketentuan yang berasal dari Pemerintahan Hindia Belanda, (2) bersifat parsial yaitu tidak mengatur secara keseluruhan hal-hal yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dan (3) tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasioal bangsa Indonesia.24

Keempat peraturan perundang-undangan yang dikemukakan di atas merupakan dasar hukum dalam pelaksanaan kegiatan kehutanan di Indonesia. Tetapi dari keempat peraturan tersebut hanya ada dua undang-undang yang khusus mengatur tentang kehutanan yaitu : Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 ,sedangkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang undang-undang pokok agrarian dan undang-undang Nomor 4 Tahun1982 merupakan Undang-undang yang bersifat umum.

D. Sumber Hukum Kehutanan di Indonesia

Sumber kehutanan dapat dilihat dari dua aspek yaitu sumber hukum materiil (isi) dan sumber hukum formal (bentuk). Sumber hukum materiil kehutanan dapat dilihat dari aspek sejarah, aspek sosiologis, dan aspek filosofis25 .

Dari aspek sejarah, sumber hukum kehutanan berupa dokumen-dokumen yang pernah berlaku dan memuat ketentuan-ketentuan tentang pengelolahan hutan, seperti : Reglement Hutan 1865, Reglement 1874, Reglement Hutan 1879, Reglement Hutan 1913 dan Reglement Hutan 1927 Ketentuan-ketentuan hukum positif di bidang kehutanan.26 Aspek sosiologis yaitu aturan hukum (tidak tertulis) yang mengatur hubungan masyarakat adat atau kelompok masyarakat yang

      

24

Ibid.,hlm32 25

Supriadi,op.cit.,hlm7-8 26


(31)

bermukim di dalam dan di sekitar hutan dalam melakukan interaksinya sejak turun temurun. Dari aspek filosofis, yaitu suatu aturan hukum untuk mengatur hal-hal yang sebelumnya belum diatur .dengan tujuan supaya ada tatanan hukum kehutanan, ada keteraturan dalam pengelolahan hutan dan ada sesuatu yang dapat diharapkan berlaku adil dalam pemanfaatan hasil hutan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Dapat kita lihat sumber formal hukum kehutanan berdasarkan hukum positif sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar 1945

Undang-undang Dasar 1945 merupakan sumber hirarki tertinggi peraturan perundang-undangan di Indonesia .dalam artian Undang-udnang Dasar 1945 merupakan sumber segala peraturan perundang-undangan .Keterkaitan UUD 1945 sebagai sumber hukum kehutanan dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (3) yang dinyatakan bahwa, Bumi, air , dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . Ketentuan yang tercakup dalam Pasal 33 ayat (3) ini dapat disimpulkan (1) memberian “hak penguasaan” kepada Negara atas seluruh sumber daya alam di Indonesia ; (2) kewajiban kepada Negara untuk mengelolah sumber daya alam tersebut untuk kemakmuran sebesar-besarnya seluruh rakyat Indonesia .dengan demikian ,secara konseptual ketentuan yang tercakup pada pasal 33 ayat(3) UUD 1945 merupakan landasan filosofi dan ladasan ekonomi pembentukan peraturan hukum kehutanan.27

      

27


(32)

2. Undang-Undang dan Peraturan Pengganti UU (Perpu)

Undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat implementatif , yakni peraturan yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan masalh ketatanegaraan dan lain-lain sejalan dengan perjalanan waktu di mana UUD 1945 tersebut perlu dilakukan penesuaian-penyesuaian sehingga sesuai dengan perkembangan zaman, pada tahun 1999 dilakkan perubahan pertama terhadap UUD 1945 degan melakukan penambahan ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang terdapat didalamnya, termasuk pasal 5 ayat (1) ditambah dengan kalimat presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada dewan perwakilan rakyat (ayat(1)). Selain keentuan yang terdapat pada Pasal 5 ayat(1) UUD 1945 yang merupakan dasar pijakan Presiden dan Dewan Perwakilan dalam membentuk undang-undang, maka dalam pasal 20 ayat (1) merupakan landasan kedua setelah Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dinyatakan bahwa ,tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu (ayat (2)).

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) di atas yang merupakan rujukan dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan di bidang kahutanan, baik peraturan perundang-undangan yang bersentuhan langsung dengan kehutanan maupun yang tidak berkaitan langsung. Adapun peraturan perudang-undangan yang bersentuhan langsung dengan hukum kehutanan yakni : (1) undang Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan ; (2)


(33)

Undang-undang Nomor 5 Tahun1990 tentang Konservasi Hayati (UUKY). Selain itu undang-undang yang tidak langsung dengan hukum kehutanan, yaitu : (1) Undang-undang Nomor Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ; (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan ;(3) Undang-undang Nomor 11 Tahun1974 tentang Pengairan yang telah diubah dengan undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ; (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup ; (4) Undang-undang Nomor 4 Tahun1992 tentang Penataan Ruang yang telah diubah menjadi UU Nomor 26 Tahun2007 (6)Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah .28

Keberadaan Udang-undang Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan dalam perjalanannya mengalami perubahan dengan protes dari beberapa prtusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin pengelolahan dari pemerintahan, khusus perusahaan pertambangan yang mendapatkan konsessi di kawasan hutan , baik hutan prodksi maupun hutan lindung.

3. Peraturan Pemerintah

Keberadaan peraturan pemerintah diadakan sebagai peraturan pelaksana dari sebuah udang-undang , sehingga keberadaannya bersifat implementasi dan masih perlu di tindaklanjutin oleh peraturan yang lebih rendah misalnya Keputusan Presiden maupun Keputusan Mentri maupun Peraturan Daerah . oleh karena itu adanya kaitannya dengan pengaturan kebijakan di bidang hukum kehutanan yang di atur oleh Peraturan Pemerintah dapat dilihat sebagai berikut :

      

28


(34)

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang perlindungan hutan ;(2)Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Huta Produksi ; (3) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana pengelolahan Hutan , Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan kawasan Hutan ;(4) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan ; (5) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota .

4. Peraturan Presiden

Dalam peraturan presiden pada kenyataannya atau praktiknya terdapat dua muatan, yakni keputusan Presiden dan peraturan presiden. Presiden mengeluarkan keputusan presiden kalau muatannya berkaitan dengan pengangkatan mentri, gubernur, rector dan lain-lain. Sementara itu , jika presiden akan mengeluarkan peraturan presiden, maka muatannya berkaitan dengan peraturan yang lebih rinci yang menjelaskan suatu masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan pembangunan ,misalnya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk kepentingan Pembangunan. Oleh karena itu, pembahasan sumber hukum yang berhubungan dengan Peraturan Presiden akan dibahas dengan menggunakan da muatan tersebut. Kaitannya dengan pengaturan hukum kehutanan diatur dengan Keputusan Presiden, diantaranya : (1) Keppres Nomor 32 Tahun1990 tentang Pengelolahan Kawasan Lindung ; (2) Keppres Nomor 40 Tahun 1993 tentang Dana Reboisasi ; (3) Keppres Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengenaan, Pemungutan dan pembagian Iuran Hasil Hutan ;(4)Keppres Nomor 25 Tahun 1994 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan ; dan (5) Keppres Nomor 41


(35)

Tahun 2004 tentang Perizinan dan perjanjian di bidang Pertambangan yang berada di Kawasan Hutan.29

5. Keputusan Menteri Kehutanan

Keputusan Menteri yaitu menteri sebagai pembantu presiden dalam menjalankan tugasnya memiliki kewenangan untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas yang lazim . dalam kaitannya dengan pengaturan bidang kehutanan yang diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dapat dikemukan diantaranya : (1) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:6882/KPTS-II/2002 tanggal 12 juli 2002 tentang kriteria dan Tata Cara Evaluasi terhadap Industri Primer Hasil Hutan Kayu ; (2) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:6885/KPTS-II/2002 tanggal 12 Juli 2002 tentang Tata Cara Persyaratan Perpanjangan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan ; (3)Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:178/KPTS-II/2003 tanggal 12 Juli 2003 tentang Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan HUtan Tanaman Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolahan Hutan secara Lestari; (4)Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:SK.279/Menhut-II/2004tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:126/KPTS-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan tangga 2 Agustus 2004 ; (5) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:p.26/Menhut-II/2005 tanggal 16 agustus 2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak ;(6) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P.20/Menhut-II/2005 tanggal25 juli 2005 tentang Kerja Sama Operasi (KSO) pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman ; (7) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:P.03-Menhut-II/2005 tanggal 18 Januari 2005 tentang Pedoman Verifikasi Izin Usaha

      

29


(36)

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan atau pada HutanTanaman yang Diterbitkan Oleh Gubernur atau Bupati /Walikota ; dan (8) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:P.18/Menhut-II/2005 tanggal 13 Juli 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:126/KPTS-II/2003 tentang Penataan Hasil Hutan.30

1.6 Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan dua metode penelitiian , yaitu penelitian kepustakaan (Library Research) dan metode penelitian lapangan (Field Research).

Metode penelitian kepustakaan (Library Research) merupakan pengumpulan data yang dilakukan literatur atau sumber bacaan berupa buku-buku ,peraturan perundang-undangan dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini untuk digunakan sebagai dasar ilmiah dalam pembahasan materi.

Metode penelitian lapangan (field research) penulis lakukan dengan teknik wawancara dan mengambil data-data sekundur berupa peraturan-peraturan pemerintah, peraturan-peraturan daerah dan data-data tertulis yang mendukung penulisan skripsi ini. Data sekunder ini mecakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atas asas atau doktrin yang berkenaan dengan hukum kehutanan. Yang semuanya ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisis permasalahn yang dihadapi.

      

30


(37)

1.7 Sistematika Penulisan

Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk thapan –tahapan atau bab-bab yang masalahnya diuraikan secara tersendiri ,tetapi antara satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan (komprehensif).

Berdasarkan sistematika penulisan yang baku , penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima ) bab ,yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini yang merupakan pendahuluan skripsi diuraikan tentang Latar Belakang pemilihan judul penulisan skripsi ini ; Perumusan Masalah yang akan diteliti ; Tujuan dan Manfaat Penulisan baik secara praktis maupun teoritis ; Keaslian Penulisan ; Tinjauan Kepustakaan yang meliputi : Pengertian hukum kehutanan , tujuan dan manfaat hukum kehutanan,sejarah hukum kehutanan ;Metode Penelitian ;Sistematika Penulisan.

BAB II : KAIDAH HUKUM KEHUTANAN DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERATURAN KEHUTANAN.

Pada bab ini diuraikan tentang kaidah hukum kehutanan ; kebijakan hukum kehutanan di Indonesia ; kebijakan hukum pidana yang mengatur kehutanan di Indonesia menurut undang-undang No.5 tahun 1967 pasal 19 ayat (1) dan PP No.28 tahun 1985,undang-undang No.5 Tahun 1990 , 1985,undang-undang-1985,undang-undang No.41 Tahun 1999.


(38)

BAB III : SINKRONISASI PERATURAN-PERATURAN KEHUTANAN TERHADAP PERATURAN-PERATURAN LAINNYA

Pada bab ini membahas tentang sinkronisai peraturan-peraturan kehutanan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ; Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan ; Undang-udang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang .

BAB IV : PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DALAM MASALAH KAHUTANAN

Pada bab ini diuraikan tentang kebijkan legislasi dalam undang-undang kehutanan; kebijakan hukum pidana pada pengelolahan hutan ; ketidakjelasan penentu kawasan hutan di Indonesia

BAB V : PENUTUP

Di Bab V ini diuraikan mengenai kesimpulan dari seluruh analisis dari pembahasan dan saran yang dapat dibeikan oleh penulis .


(39)

BAB II

KAIDAH HUKUM KEHUTANAN DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERATURAN KEHUTANAN

2.1 Kaidah Hukum Kehutanan

Istilah “Ubi societas ibi ius” sudah menjadi “communis opinion doctrum” (pandangan umum yang sama di kalangan para pakar), ungkapaan tersebut secara arfiah berarti “di mana ada masyarakat manusia di situ ada atau berlakunya hukum” atau “tidak ada masyarakat tanpa hukum”. Artinya dalam suatu masyarakat,betapapun sederhananya , pasti tumbuh sebagi perangkat kaidah-kaidah perilaku yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan memenuhi rasa atau tuntutan keadilan , yang kepatuhannya tidak sepenuhnya diserahkan kepada kemauan bebas warga masyarakat , melainkan dapat dipaksakan oleh masyarakat secara terorganisasi . perangkat-perangkat kaidah perilaku itulah yang disebut Hukum .ketika masyarakat sudah berkemang menjadi majemuk dan berbagai kaidah perilaku tersebut juga berubah menjadi semakin majemuk.

Hukum menampilkan diri dalam bentuk kaidah yang disebut kaidah hukum positif (positif recht), yang dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis . Kaidah hukum yang tertulis itu disebut undang-undang dalam arti luas (de wet in ruime zin), yakni putusan pemerintah yang terbentuk melalui prosedur yang berlaku untuk itu oleh badan atau lembaga atau pejabat yang memiliki kewenangan untuk itu dan dirumuskan dalam bentuk yang sudah ditentukan untuk itu . Undang-undang dalam arti luas itu dibedakn kedalam undang-undang dalam arti materil (de wet in materiel zin). Undang-undang dalam arti materil adalah putusan pemerintah yang isinya berlaku umum atau mengikat secara umum , jadi


(40)

yang isinya berupa peraturan (de regel) . undang-undang dalam arti formal adalah putusan pemerintah yang karena prosedur pembentukannya dinamakan undang-undang (de wet) , misalnya untuk Indonesia produk putusan DPR yang disahkan oleh presiden dan dinamakan unndang-undang ex pasal 20 UUD’45.

Keseluruhan kaidah hukum positif yang tertulis itu disebut perundang-undangan yakni keseluruhan dalam arti materil (peraturan) yang tersusun dalam suatu sistem yang berlaku dalam suatu Negara (masyarakat yang terikat pada suatu wilayah tertentu dan terorganisasi secara politikal dalam bentuk badan hukum public) . Hukum tidak tertulis dalam bentuk keputusan kepala persekutuan atau hal mengulangi atau masyarakat adat yang mengharuskan dilaksanakannya perilaku tertentu daan putusan kepala persekutuan atau hal hal yang mengulangi perilaku yang sama dan dirasakan sebagai tuntutan demi terwujudnya keadilan.

Berdasarkan uraian di atas tentang kaidah hukum positif, hukum kehutanan juga merupakan kumpulan nima hukum bagaimana menciptakan hukum kehutanan yang dapat mengikat secara umum, secara hukum materil maupun prosedural hukum kehutanan telah memenuhi ketentuan sebagaimana seharusnya ia dipandang sebagai kaidah hukum yang bersifat mengikat . hukum kehutanan merupakan amanah dari UUD’45 dan diwujudkan dalam bentuk peraturan perundan-undangan.31

Untuk menmahami keberlakuan hukum kehutanan dapat dilihat dari keberlakuan hukum yang berlaku yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan yuridikal dan keberlakuan moral.

      

31

Sadino,Mengelola Hutan dengan Pendekatan Hukum Pidana :Suatu Kajian Yuridis


(41)

Keberlakuan faktual yaitu kaidah hukum yang dikatakan memiliki keberlakuan faktual, jika kaidah itu dalam kenyataan sungguh-sunguh dipatuhi oleh warga Negara masyarakat dan oleh para pejabat yan berwenang sunguh-sungguh diterapkan dan diteggakkn. Dengan demikian, kaidah hukum tersebut dikatakan efektif, sebab berhasil mempengaruhi perilaku para warga Negara dan pejabat masyarakat. keberlakuan faksual dapat disebut juga keberlakuan social atau keberlakuan sosiologikal atau keberlakuan empirikal.

Keberlakuan yuridikal yaitu kaidah hukum memiliki keberlakuan yuridikal jika kaidah itu dibentuk sesuai dengan aturan prosedur yang berlaku oleh pihak (badan,pejabat) yang berwenang dan isinya secara substansial tidak bertentangan dengan kaidah –kaidah hukum lainnya (terutama yang kedudukannya lebih tinggi). artinya, jika kaidah hukum itu dapat ditempatkan atau mempunyai tempat di dalam keseluruhan sistem hukum yang berlaku . keberlakuan yuridikal dapat disebut juga keberlakuan formal atau keberlakuan normatif.32

Keberlakuan Moral yaitu kaidah hukum memiliki keberlakuan moral jika isinya secara etik atas dasar pertimbangan akal dapat diterima (dibenarkan) ; jadi berdasarkan keyakinan moral yang hidup dalam masyarakat tidak bertentanga n dengan nilai-nilai fundamental dan mertabat manusia, dan dengan demikian memenuhi rasa atau tuntutan keadilan keberlakuan moral dapat disebut juga keberlakuan filosofikal atau keberlakuan evaluative atau keberlakuan meteriil atau keberlakuan substansial.

      

32


(42)

Kaidah hukum positif dikatakan memiliki kekuatan berlaku atau hukum yang berlaku memiliki daya –penegakan, jadi memilki kekuatan mengikat warga masyarakat Indonesia dan otoritas publik, jika kaidah hukum itu memiliki keberlakuan faktual, keberlakuan yuridikal, dan keberlakuan moral . kaidah hukum yang hanya memiliki yuridikal saja, namun kepatuhannya di paksakan dengan penggunaan aparat kekuasaan Negara adalah bukan hukum lagi , melaikan hanya pernyataan kekuasaan belaka. Kaidah hukum yang hanya memiliki keberlakuan faktual saja adalah kaidah moral positif atau adat saja. Kaidah hukum yang memilki keberlakuan filosofih saja adalah kaidah moral saja. ketentuan pasal 83 undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan bahwa , pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka dinyatakan tidak berlaku undang-undang No.5 Tahun 1967. Undang-undang No.41 Tahun 1999 mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian mencakup konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya33. dengan di tetapkannya Undang-undang No.5 Tahun 1990 , maka semua ketentuan yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut tidak lagi diatur dalam undang-undang No.41 Tahun 1999. 34Dengan demikian, di dalam kajian ini hukum kehutanan adalah sebagaimana yang terkait di dalam undang No.5 tahun1990 dan undang-undang No.41 Tahun1999.

Undang –undang No.41 Tahun 1999 adalah undang-undang yang megatur khusus tentang hutan dan kehutanan di Indonesia, yang meskipun dalam kelahirannya telah mendapat tantangan berbagai pihak yang akan terkena dampak pada saat itu. Dapat dipahami apabila undang-undang tersebut mendapat

      

33

Undang-undang No.41 Tahun1999 tentang Kehutanan 34


(43)

tantangan karena lahirnya undang-undang kahutanan saat itu adalah tidak murni atas keinginan pemerintah, tetapi ada tekanan dari pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan.35

Dari sisi substansi hukumnya, undang-undang ini masih bersifat sentralistik dan dominan pada Pemerintahan Pusat (Mentri Kehutanan). Sebab dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa, penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana di atur dalam penjelasan undang tersebut. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Negara bukan sebagai pemilik hutan, tetapi Negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan dan hasil hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta engatur mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan ijin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.

2.2 Kebijakan Hukum Kehutanan di Indonesia

Kebijakan hukum kehutanan di Indonesia berhubungan dengan hukum pidana, kebijakan hukum pidana yang terkait dengan pengelolahan hutan dan perlindungan hutan di Indonesia sudah ada sejak dikeluarkannya undang –undang No.5 Tahun 1967 di dalam pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa “peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana berupa hukuman pidana penjra atau kurungan dan / denda”. Pengaturan selanjutnya diatur dalam Pasal 18 PP No.28 Tahun 1985, yaitu kejahatan dan pelanggaran . perbedaannya dapat dianalisis dari dua segi yaitu segi kualitatif dan segi kuantitatif.dari segi

      

35


(44)

kualitatif, kejahatan merupakan delik hukum (recht delic) , yitubperbuatan yang bertentangan dengan keadilan sedangkan pelanggaran merupakan delik undang-undang (wet delict), yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari dapat dipidana , karena undang menentukannya sebagai delik, jadi karena undang-undang mengancamnya dengan pidana36. Kajian pidana dari segi kuantitatif didasarkan pada segi hukuman / ancaman pidananya kejahatan ancaman hukumannya lebih berat sedangkan terhadap pelanggaran ancaman hukumannya lebih ringan. Tindak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan diatur dalam pasal 18 ayat (1) ayat(2) ayat(3) PP No. 28 Tahun 1985 sedangkan pelanggaran diatur dalam pasal 18 ayat (4), dan ayat (5). Terdapat empat macam sanksi pidana yang diatur dalam pasal 18 yaitu (1) hukum penjara, (2) hukuman kurungan, (3) hukuman denda dan, (4) hukuman perampasan benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.37

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sanksi pidana di dalam pasal 19 ayat (1) dan 21. Pasal 19 ayat(1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam38; dan pasal 21 ayat (1).

Undang-udang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan mengatar tentang ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum di bidang kehutanan. Dalam rangka penegakan hukum, terutama yang terkait dengan

      

36

Salim HS,op.cit.,hlm.120 , ibid., 37

Ibid.,hlm.24 38

Penjelasan pasal19 ayat 1 UU No.5 tahun1990 .yang dimaksudkan dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan dan ekosistemnya , perubahan satwa yang berada dalam kawasan hutan ,dan memasukkan jeni-jenis bukan asli.


(45)

penyidikan dan penyelidikan di bidang kehutanan, selain penyidikan kepolisian, di dalam undang-undang ini juga ada penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) kehutanan yang mempunyai wewenang dalam melaksanakan tugas penyidikan patuh terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP).

Dapat kita lihat selama setahun terakhir ini perkembangan kebijakan yang berhubungan dengan Pengelolahan Sumber Daya Alam sangatlah cepat ,khususnya sector kehutanan, perkembangan kebijakan tidak saja mulai dari surat keputusan mentri tetapi juga sampai pada pembahasan undang-undang baru, misalnya Rancangan Peraturan Pemerintahan No.34 Tahun2002, PP No. 35 Tahun 2002 dan pada tingkat UU terdapat Revisi Undang-undang no.41 tentang Kehutanan dan pembentukan Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal ( atau sering disebut dengan RUU Ilegal Logging). Kedua inisiaif UU tersebut merupakan bagian dari Program Legislatif Nasional (PROLEGNAS) yang dikeluarkan oleh DPR-RI . meskipun terjadi perubahan peraturan perundangan di sektor kehutanan , tetapi dari sudut paradigma, isi dan pelaksanaannnya tetap saja berorientasi pada hal-hal sempit dan jangka pendek.

Bila kita lihat kebelakang pengelolahan hutan di Indonesia secara lebih terarah dan terencana ,dimulai dengan dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1967 tentang Undang-undang pokok Kehutanan atau disingkat UUPK, meskipun politik dan kebijakan kehutanan sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan tahun1945 yaitu zaman kolonial Belanda yang arah politik dan kebijakannya mengarah kepada kepentingan penguasa kolonial.


(46)

Setelah dikeluarkannya Reglement Hutan No. 6 Tahun1865 penguasaan sumber daya hutan oleh Negara dan hutan termasuk sebagai sumber kehidupan sehari-hari masyarakat mulai sangat penting setelah dikelurkannya peraturan tersebut . dengan di tentukannya batas kawasan yang ditetapkan Belanda berdasarkan “Domeinverklaring” pada tahun 1870, justru dapat menyelamatkan kawasan hutan di jawa hingga seperti sekarang ini (meliputi 22% dari luar jawa). “Domeinverklaring pada intinya bahwa semua tanah yan dimiliki pihak lain (individu dan komunal ) jika tidak dapat membuktikan tanah (eigendomnya) ,merupakan domein (dikuasai) oleh Negara.

Perkembangan politik dan kebijakan kehutanan selanjutnya seiring dengan perkembangan perkebunan besar di luar jawa, khususnya tanaman karet di sumatera, yang ditandai dengan banyak masyarakat jawa dikirim dan dipekerjakan sebagai kuli diperkebunan-perkebunan besar diluar jawa (Konentjaraningrat,1982) dengan demikian secara administrasi sektor perkebunan menjadi satu dengan kehutanan, sebelum akhirnya di pisahkan alaw abad ke -20.

Pada masa kolonial Belanda ada beberapa hal positif kebijakan di bidang kehutanan yaitu : lahirnya jawatan kehutanan, pembentukan lembaga penelitian kehutanan dan penerbitan berbagai kebijakan (khususnya jawa dan Madura) , dan pada akhirnya politik kehutanan kolonial belanda pada akhir tahun 40 –an ditandai dengan politik bumi hangus yang berakibat pada kerusakan sumber daya hutan dan timbulnya penyerobotan tanah di beberapa tempat.

Politik dan kebijakan kehutanan untuk luar jawa menjadi tidak jelas pada masa penjajahan jepang, hutan-hutan yang ada di jawa khususnya mejadi tempat basis atau dimanfaatkan bagi kepentingan perang untuk mendukung industry


(47)

persenjataan dan bahan baku pembuatan kapal banyak arel hutan dialihkan ke areal pertanian, guna menjamin kesedian pangan oleh para serdadunya.

Setelah revolusi fisik hingga awal orde baru pada pertengahan tahun 60-an, pembenahan administrasi kehutanan dan upaya-upaya pemanfaatan hutan bagi usaha dalam rangka meningkatkan perekonomian Negara baru dimulai dalam perkembangan mulai dibentuknya Jawatan Kehutanan Republik Indonesia (dibawah mentri kehutanan), pada tahun 1964 menjadi departemen kehutanan (keppres No.170 Tahun 1966), dilakukan perintis pendirian industry perkayuan diluar jawa (Kalimantan) dan rancangan untuk membangun hutan industry . untuk desentralisasi dalam hubungan dengan pengelolahan kehutanan keluarlah PP No.54 Tahun 1957.

UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria merupakan undang-undang yang tidak ada hubungannya dengan kebijakan kehutanan, namun sangat mempengaruhi dalam pengusahaan hutan . Melalui pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan, “ Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . ini memperjelas posisi Negara sebagai pengusaha sumber daya hutan, termasuk hutan . Kemudian pada pasal 2 ayat(1) UU No. 5 Tahun1960 tegas bahwa , “atas dasar pasal 31 ayat(3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara; sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Perubahan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, dengan keluarnya UU No. 1 Tahun1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.6 Tahun 1968


(48)

tentang Penanaman Modal Dalam Negri, serta UU No.5 Tahun 1967 . Telah terjadi perubahan pada masyarakat local sekitar hutan pada waktu itu .Dalam pola Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) selanjutnya kebijakan hutan mulai di dukung dengan aspek perlindungan alam, ditandai keluarnya UU No.5 Tahun1990 tentang Keanekaragaman Alam Hayati dan Ekosistemnya , UU No.4 Tahun 1982 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup.

Perubahan UU No.22 Tahun 1999 Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , dan UU No.25 Tahun 1999 jo. UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. ada juga perubahan dibidang kehutaan dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004 tentang kehutanan.

Adanya perubahan kebijakan dan perubahan UU kehutanan, namun dalam pelaksanaannya kebijakan kehutanan yang ada membuat hutan semakin hancur, dan carut marutnya kebijakan -kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, dan banyak terdapat ketidak sinkronan peraturan-peraturan lain dengan peraturan kehutanan, sehingga sering terdapat ketidakjelasan kebijakan atau peraturan dalam suatu peraturan di lapangan.

2.3 Kebijakan Hukum Pidana yang Megatur Kehutanan di Indonesia

Hukum pidana kehutanan mengatur bentuk sanksi pidana sebagaimana tercantum di dalam peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan sejak tahun 1967 sampai sekarang, yang terdiri dari :


(49)

2.3.1 Undang-undang No.5 Tahun 1967 Pasal 19 Ayat (1) dan PP No.28 tahun 1985

Undang-undang No.5 Tahun 1967 mengandung kesesatan , karena berisi aturan yang memerintahkan peraturan pelaksana untuk memuat aturan pidana . Pasal 19 ayat (1) menyatakan “Peraturan palaksana dari undang-undang ini dapat memuat sangsi pidana berupa hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau benda”39. Padahal sangsi pidana harus diatur dalam undang-undang untuk menjamin hak azasi dari rakyat Indonesia. Ketentuan pasal 19 ayat (1) tersebut kemudian ditindak lanjutin dengan terbentuknya PP No.28 Tahun 1985. pada pasal 18 PP No.28 Tahun 1985 tersebut terdapat dua macam perbuatan pidana yang diatur yaitu kejahatan dan pelanggaran. perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dapat dianalisis dari dua segi yaitu segi kualitatif dan segi kuantitatif . dari segi kualitatif, kejahatan merupakan delik hukum (rechts delict), yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadila, sedangkan pelanggaran merupakan delik undang-undang (wet delict) yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari dapat dipidana, kajian pidana dari segi kuantitatif didasarkan pada segi hukuman.ancaman pidananya 40 . Kejahatan ancaman hukuman lebih berat sedangkan pelanggaran ancaman hukumannya lebih ringan . Tidak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan diatur dalam pasal 18 ayat (1), ayat (2) ,ayat (3) PP No.28 Tahun 1985, sedangkan pelanggaran diatur dalam pasal 18 ayat (4) dan ayat(5).

      

39

UU No.5 Tahun 1967 pasal19 ayat 1 40


(50)

Hukuman penjara yang berkaitan dengan kehutanan diatur dalam pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 28 tahun 1985 . terdapat tiga ketegori perbuatan pidana yang dapat dihukum berdasarkan pasal 18 ayat (1),41 yaitu :

1) Mengerjakan atau menduduki kawasan hutan lindung atau hutan cadangan tanpa izin Mentri Kehutanan , pasal 6 ayat (1);42

2) Melakukan penebangan pohon-pohon dalam kawasan hutan lindung tanpa izin dari pejabat yang berwenang , pasal 9 ayat (2);43

3) Membakar hutan, (pasal 10 ayat(1))44

Ancaman pidana terhadap perbuatan di atas, diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 Pasal 18 Ayat (1) dan ayat (2) yang terdiri dari dua kategori :

1) Mengerjakan dan menduduki kawasan hutan yang bukan hutan lindung tanpa ijin Menteri Kehutanan, (hutan produksi, hutan suaka alam, dan hutan wisata), 2) Melakukan penebangan pohon-pohon dalm kawasan hutan yang bukan hutan

lindung .

Ancaman hukuman kurungan diatur dalam PP No28 Tahun 1985 Pasal 18 ayat (3), ayat (4), ayat (5). Terdapat enam macam perbuatan pidana yang dapat diancam hukuman berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) yaitu :

1) Menggunakan kawasan hutan yang menyimpang dari segi fungsi dan peruntukannya tanpa persetujuan Menteri Kehutanan (pasal 5 ayat (2))

      

41

Ibid.,hlm.41 42

PP No.28 tahun1985 Pasal 6 ayat (1) Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin mentri

43

Pasal 9 ayat (2)”setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

44

Pasal 10 ayat(1) Setiap orang dilarang membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang sah .


(51)

2) Melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang bertujuan untuk mengambil bahan-bahan galian yang dilakukan dalam kawasan hutan atau hutan cadangan tanpa izin dari pejabat yang berwenang (pasal7 ayat (1))

3) Melakukan kegiatan ekploritasi dan eksploitasi dalam areal yang telah ditetapkan dalam kawasan hutan setelah pemberian ijin eksplorasi dan ekploitasi dari instansi yang berwenang tidak sesuai dengan petunjukan Menteri Kehutanan (pasal 7 ayat (2));

4) Melakukan pemungutan hasil hutan dalam kawasan hutan dan hutan cadangan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsi hutan dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan (pasal 7 ayat (3))45. Pengertian kondisi tanah dan lapangan termasuk keadaan tifografi, yang sifat-sifat tanah dan iklim, sedangkan tegakan adalah keseluruhan pohon yang ada di dalam hutan.

5) Melakukan penebangan pohon dalam radius /jarak tertentu dari mata air, jurang, waduk, sungai, dan anak sungai yang terletak dalam kawasan hutan (pasal8 ayat(2)) 46 . Jurang yang harus dilindungi adalah lereng yang mempunyai kemiringan minimum 45% dam memunyai kedalaman tertentu sehingga kekurangan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya dan mengakibatkan longsor;

6) Karena kelalaian menimbulkan kebakaran hutan .47

      

45

Pasal 7 ayat (3) “didalam kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang melakukan pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan .”

46

Pasal 8 ayat (2) “siapaun yang dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius /jarak tertentu dari mata air, tepi jurang ,waduk,sungai,anak sungai yang terletak di daerah kawasan hutan ,hutan cadangan, dan hutan lainnya.

47


(52)

Menurut Pasal 18 ayat (4) terdapat empat perbuatan pidana yang dapat dihukum ;

1) Memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan tanpa kewenangan yang sah ; (pasal 4 ayat (2))

2) Melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang, (pasal 9 ayat(2))

3) Melakukan pengembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput ,dan makanan ternak lainnya serta serasah dari dalam hutan yang tidak sesuai dengan yang ditunjuk secara khusus oleh pejabat yang berwenang ;

4) Memiliki dan/atau mengusai dan/atau menangkut hasil hutan tanpa harus disertai surat keterangan sahnya hasil hutan, sedangkan hasil hutan yang berbentuk bahan mentah tersebut sudah dipindahkan dari tempat pemungutannya ,(pasal 14 ayat (1)).48

Menurut pasal 18 ayat (5), terdapat dua kategori tindak pidana yang dapat dituntut:

1) mengurangi atau menduduki hutan lainnya tanpa izin dari yang berhak untuk itu kualifikasi hutan lainnya adalah hutan milik dan bukan hutan milik , seperti hak guna usaha, hak pakai, hak guna bangunan dan sebagainya ;

2) dengan sengaja membawa alat-alat yang digunakan untuk memotong, menebang dan membelah pohon di dalam kawasan hutan.

Dalam PP 28 Tahun1985 tindak pidana tersebut diatas, selain diancam dengan sangsi pidana (penjara atau kurungan), juga tindak pidana tersebut dapat dikenakan sangsi berupa hukuman denda dan perampasan benda yan diatur dalam

      

48


(53)

pasal 18 ayat (1), ayat(2), ayat(3), ayat (4), ayat (5) yang telah ditentukan besarnya dan harus dibayar oleh seseorang yang telah dijatuhi hukuman . pembayaran tersebut dimasukkan ke dalam kas Negara, perampasan benda diatur dalam pasal 18 ayat (7).

Ancaman hukuman dalam bentuk pidana penjara, kurungan denda dan perampasan benda sebagaimana tertuang dalam PP No.28 Tahun 1985 sudah tidak berlaku lagi setelah adanya undang-undang No.41 Tahun 1999, namun sebagian besar ketentuan yang terdapat di PP. No. 28 tahun1985 tersebut telah di adopsi ke dalam ketentuan pidana pasal 50 jo pasal 78 Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan.

2.3.2 Undang-undang No.5 Tahun1990

Dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sangsi pidana di dalam pasal 19 ayat (1) dan 21. Pasal 19 ayat (1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan kuasa alam49; dan pasal 21 ayat (1) setiap orang dilarang :

1) Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagaan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagianya dalam keadaan hidup atau mati ;

2) Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain dalam atau di luar Indonesia.

      

49

Penjelasan pasal 19 ayat 1 UU No.5 Tahun1990 .yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan dan ekosistemnya , perburuhan satwa yang berada dalam kawasan,dan memasukkan jenis-jenis bukan asli .


(54)

Pasal 21 ayat (2) menyatakan bahwa , setiap orang dilarang :

1) Mengangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaaan hidup;

2) Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

3) Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tepat lain yang di dalam atau diluar Indonesia ;

4) Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tumbuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian –bagian satwa tersebut ata mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia ;

5) Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan /atau sarang satwa yang dilindungi.

Pasal 33 ayat 91) setiap orang dilarang melakukan kegiatn yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasiona; dan ayat (3) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemnfaatan dan zona lain dan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.50

2.3.3 Undang-undang No.41 Tahun 1999

Sangsi pidana yang terdapat adan UU No.41 Tahun1999 yang diundangkan sejak tahun1999 banyak mengambi dari ketentuan dalam PP. No 28 Tahun 1985 tentang perlindungan hutan. PP No.28 tahun 1985 merupan Peraturan

      

50


(1)

hutan dilakukan dengan memperhatikan rencana Tata Ruang Wilayah melalui proses sebagai berikut

1. Penunjukan kawasan hutan; 2. Penataan batas kawasan hutan ; 3. Pemetaan kawasan hutan ; dan 4. Penetapan kawasan hutan ;78

Sesuai dengan pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentan Perencanaan Kehutanan disebutkan bahwa penunjukan kawasan hutan meliputi:

1. Wilayah propinsi 2. tertentu secara persial

Selanjutnya berdasarkan pasal 15 ayat (2) UU Kehutanan jo. Pasal 18 ayat (2) PP Nomor 44/04 dijelaskan bahwa pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi yang dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan RTRWP dan pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP . sesuai dengan penjelasan pasal 18 ayat (2) PP 44/04 dijelaskan bahwa untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan sebelumnya ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan kawasan hutan provinsi sebelumnya .

Berdasarkan penjelasan di atas , maka TGHK tahun1982 tersebut secara hukum dapat diangap memiliki kekuatan hukum sebagai untuk diberlakukan dikarenakan hal –hal berikut


(2)

2. Pertimbangan RTRWP dengan TGHK tidak menjadi suatu dasar yang dapat diambil secara mutlak dalam menetapkan suatu penunjukan kawasan hutan .

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 82 UU Kehutanan yang menyebutkan bahwa semua peraturan pelaksana dari peraturan perundangan-undangan di bidang kehutanan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini. Dengan demikian untuk menumbuhkan iklim investasi terkait dengan masalah yang terkait dengan masalah pengukuhan kawasan hutan, hendaknya pemerintah menerbitkan peraturan pengukuhan kawasan hutan seperti yang dimaksud dalam UU kahutanan.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bahwa dalam pengukuhan kawasan hutan kenyataanya di lapangan pemerintah belum semuanya melaksanakan empat tahapan dalam mengukuhkan kawasan hutan sesuai dengan pasal 15 No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan .sehingga tidak sedikit kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemerintah merupakan lahan pertanian ,perkebunan ,pemukiman masyarakat maupun kantor pemerintahan.sehingga tidak jelasnya kepastian kawasan hutan ini telah meng-kriminalisasi para pelaku usaha terutama di bidang perkebunan dan pertambangan.

2. Bahwa dalam sektor Kehutanan masih terdapat in-sinkronisasi antar sektor kehutanan dengan kebijakan sektor lainnya seperti perkebunan, pertambangan, tata ruang wilayah dan lain-lain sehingga semakin menambah carur-marutnya pengelolahan hutan di Indonesia .

3. Bahwa dapat disimpulkan Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Perkebunan dan Undang-undang Pokok Agaria memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mensejahterakan rakyat dan memakmurkan rakyat walaupun dapat kita lihat undang-undang tersebut memiliki asas yang berbeda-beda dan pengaturan hak atas tanah yang


(4)

B. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai Sinkronisasi Undang-undang Kehutanan Dan Peraturan-peraturan Lainnya beserta Akibat Hukumnya , maka pada skripsi ini penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Agar Pemerintah sebelum menunjuk atau menetapkan daerah tersebut merupakan kawasan hutan pemerintah wajib melaksanakan empat tahapan yang terdapat di pasal 15 UU Kehutanan dan melihat pemetaan tata ruang sebelumnya atau terdahulu sehingga tidak mengakibatkan permasalahan seperti yang terjadi di saat ini yaitu kawasan hutan yang di tetapkan oleh pemerintah merupakan pemukiman , perkebunan , dan pertanian masyarakat yang menurut tata ruang pada zaman belanda atau tata ruang sebelumnya merupakan bukan kawasan hutan.

2. Perlu untuk dipikirkan dan sekaligus dicari solusinya bahwa sepanjang masih menyangkut in-konsistensi kebijakan hutan dan in-sinkronisasi kebijakan baik antara sektor kehutanan dengan sektor kebijakan lainnya maka kebijakan hukum di kehutanan akan tetap simpangsiur atau tidak mengalami ketidakjelasan. Dan sebaiknya dalam membuat peraturan-peratuan tersebut pemerintah melihat dasar yang menjadi pedoman negara yaitu Undang Dasar 1945 agar tidak terjadi in-sinkronisasi antar peraturan-peraturan tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Daftar Buku

Harsono, Budi., (2008) Hukum Agraria Indonesia Himpunan

Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta.

Hasan, M.Fadilah., (2012) Ekonomi politik Kehutanan, INDEF, Jakarta Kansil,Christine S.T., (2007) Kitab Undang-undang Hukum Agraria, Sinar Grafika,Jakarta.

Kansil,C.S.T., (1989) Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata HukumIndonesia, Balai Pusataka, Jakarta

Mukti,Affan., (2006) Pokok-pokok Bahasa Hukum Agraria, USU Press,Medan

Marjani,M. dan R. Soesilo., (1997) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor.

Parangin,Efendi., (1986) Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari

Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta.

Supriadi., (2010) Hukum Kehutanan Hukum Perkebunan Di Indonesia,

Sinar Grafik,Jakarta.

Salim,H.S., (1997) Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Sianar Grafika,Jakarta. S.H,Isaq., (2008) Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Sadino., (2011) Mengelola Hutan dengan Pendekatan Hukum Pidana;

Suatu KajianYuridis Normatif, Biro Konsultasi Hukum dan kebijakan

Kehutanan, Jakarta


(6)

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

C.Surat Keputusan dan Peraturan Pemerintah Surat Keputusan MK Nomor 34/PUU-XI/2011 Surat Keputusan MK Nomor 45/PUU-XI/2011

Peraturan Pemerinath Nomor. 28 Tahhun 1985 tentang perlindungan hutan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Penguasaan Hutan dan

Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolahan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.