Hukuman bagi pezina menurut fiqih syafi'i dan enakmen (undang-undang) jinayah syariah Negeri Selangsor

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMAD HAYAFIZUL BIN MD. AHAYAR NIM: 107044103856

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1432 H / 2011 M


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 September 2011 M


(5)

KATA PENGANTAR………..………………... i

DAFTAR ISI………...……… iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………..………… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 6

D. Kajian Studi Terdahulu………...………… 7

E. Metode Penelitian……… 8

F. Sistematika Penulisan……….. 11

BAB II RIWAYAT HIDUP IMAM SYAFI’I A. Sekilas Tentang Imam Syafi’i……….. 12

B. Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Imam Syafi’i… 14 C. Karya-Karya Imam Syafi’i………..……….. 22

D. Pengaruh Pemikiran Hukum Imam Syafi’i……… 25

BAB III HUKUM ZINA MENURUT KONTEKS ALIRAN FIKIH MAZHAB SYAFI’I A. Pengertian Zina………...………..… 28

B. Bukti dan Saksi untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina……….………..… 30


(6)

BAB IV PELAKSANAAN HUKUM ZINA PADA MAHKAMAH SYARIAH NEGERI SELANGOR

A. Latar Belakang Pendiriannya Sistem dan Sejarah Makamah

Syari’ah Negeri Selangor……….... 40

B. Pengertian Zina Menurut Enakmen Jinayah Syariah Negeri

Selangor……….………..… 44

C. Alat Bukti Untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina Menurut Enakmen Jinayah Syariah Negeri Selangor……….…..…. 46 D. Hukuman Bagi Pelaku Zina Menurut Undang-Undang Jinayah

Negeri Selangor……….……….. 48

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 51

B. Saran………..………….. 53


(7)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi Tuhan Semesta Alam, Yang Maha Esa, Yang Maha Kaya, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang nyata maupun yang tersembunyi baik dalam terang benderang maupun gelap gelita, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Shalawat dan salam kepada Junjungan Besar kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga serta para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang menyeru dengan seruannya, berpedomankan petunjuk-petunjuk Allah SWT serta berpegang teguh dengan tali-Nya (hablullah) sampai akhir zaman.

Alhamdulillah berkat rahmat-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat diselesaikan dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tak luput dari dorongan dan bantuan semua pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;

2. Drs. Basiq Djalil, SH dan Hj. Rosdiana, MA, masing-masing selaku ketua dan sekretarias jurusan Ahwal Syakhshiyah yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.


(8)

ii

3. Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi. Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT;

4. Seluruh staf pengajar (dosen) jurusan Akhwal Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum,serta kepada karyawan dan staff perpustakaan yang telah memfasiliti penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Ayahanda dan Ibunda yang sangat aku cinatai serta sayangi Hj Md Ahayar, Hjh Hamidah binti Menut yang senantiasa menyayangi, merawat, mengasuh, membesarkan, mendidik dan memberikan motivasi di setiap gerak langkah penulis.

6. Adik-adikku Norhayaerma, Norramziha, Muhammad Rahmat, Muhamad Amin dan Norfahauni yang sangat aku sayangi sekalian.

7. Kerajaan Malaysia yang memberikan diriku ruang untuk beribadah dan berpartisipasi di dunia ini, dalam hal ini Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atas pengawasan dan kebajikan yang diberikan;

8. Teman-teman seperjuangan Tarmizi, Ba’yah, Ameer, Razman, Ukasyah, Sabri, Saifuddin, Zalani, Muaz, Hilman, Saiful Daulah, Najib, Zahid, Tuan Izzuddin, Fakhri, Yunus, Sufian, Fawwaz, Baha, dan juga teman yang berada di Asrama Putri UIN dan kost kosan, tidak lupa juga teman yang dicintai yang senantiasa memberi semangat dan dukungan. Jutaan terima kasih atas teguran


(9)

iii

dan sumbangan yang telah diberikan oleh Ridzuan, Faiz Awang, Aziz dan Tuan Izuddin Abu Bakar. Tidak lupa juga sahabat-sahabat dari IPA, Ramadhan, Ustadz Azhari, Munir, Syukri, Hanzalah, Riduan Hamid, Nasrullah, Syamil, Farid, Khalil dan Najmi yang telah bersama kecimpung dalam menegakkan kalimat Allah.

9. Teman-teman Indonesiaku juga yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Abi, Dinol, Wasilah, dan beberapa teman-teman lain yang membantu penulis untuk memahami dan sharing mengenai ketatanegaraan Islam, khususnya negara Indonesia.

10.Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu hingga terselesainya skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih banyak semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT dan memperoleh balasan pahala yang ganda. Amin.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan semua ini. Semoga apa yang penulis usahakan ini kiranya dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin.

Ciputat, 7JUNI 2011


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ajaran Islam, ada dua tata hubungan yang harus dipelihara oleh setiap manusia, yaitu hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan hubungan antara manusia sesama manusia. Hubuangan manusia sesama manusia meliputi juga hubungan manusia dengan lingkungannya, termasuk dirinya sendiri. Kedua-dua hubungan ini harus berjalan bersamaan, untuk menuju kearah keselarasan dan kemantapan seseorang muslim. Di dalam menjalankan hubungan tersebut terdapat berbagai wasilah (perantaran) antaranya adalah hukum undang-undang yang perlu diikuti oleh manusia.1

Hukum Islam merupakan satu hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ia mencakup semua bentuk sistem pranata kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan sosial budaya, politik, hukum dan lain-lain.2

Pada pandangan undang-undang yang tidak berasaskan hukum Islam tidak boleh digunakan atau dilaksanakan dalam mengatur kehidupan manusia. Selain itu undang-undang dan hukum yang dibuat manusia adalah tidak dapat memberikan prinsip keadilan dalam berbagai demensi kehidupan manusia. Keadilan tidak dapat dicapai oleh manusia itu sendiri. Hanya undang-undang

1

Muhammad Muslehuddin, (terj) Asiah Idris, Jenayah dan Doktrin Islam dalam tindakan pencegahan, (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992) h. 37

2

Mohamed S. El Awa, Hukuman dalam Undang-undang Islam; Satu Kajian Perbandingan, (Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), Kuala Lumpur, 1999), h. 20


(11)

dan hukum Allah SWT yang mampu memberikan keadilan dalam kehidupan manusia hukum Islam dalam setiap aspek kehidupanya. Dengan demikian pada prinsipnya setiap muslim diwajibkan untuk mengimplementasikan ancaman bagi orang yang tidak memberlakukan hukum Islam.3

Hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai rasul terakhir telah tersebar ke seluruh persada, termasuk ke daerah semenanjung Malaysia. Kedatangan Islam ke Malaysia berhubung erat dengan kedatangan Islam ke pulauan Melayu, Dengan masuknya Islam kewilayah ini maka undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat baik menyangkut ibadah maupun muamalah dalam arti luas yakni adalah hukum Islam yang digunakan, hal ini sekaligus menolak anggapan penulis Barat dan hakim Inggris yang menyatakan bahwa Malaysia sebelum intervensi Inggris tidak mempunyai undang-undang tertulis dan tidak melaksanakan undang-undang Islam.4 Padahal sejarah menunjukan bahwa undang-undang Islam sudah wujud dan pernah menjadi undang-undang pokok serta dilaksanakan di negeri-negeri Melayu, diantaranya adalah undang-undang perkawinan, undang-undang harta pusaka dan lain-lain.5

Pemberlakuan hukum Islam di daerah Semenanjug Malaysia saat diformulasikan dalam qanun atau enakmen di masing-masing negeri tidak

3

Mahfodz Mohamed (t.t), Satu Kajian Ilmiah mengenai Hukuman Hudud, Nurin Enterprise, Kuala Lumpur), hlm. 30

4

Ibid, hlm.39 5

Ahmad Hidayat Buang, Undang-Undang Islam di Mahkamah-Mahkamah Syariah di Malaysia, (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 1998), h. 187


(12)

terkecuali Negeri Selangor. salah satu enakmen Negeri Selangor adalah enakmen jinayah Negeri Selangor, yang diatur dalam enakmen ini adalah masalah zina (persetubuhan haram).

Zina adalah satu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT, perbuatan itu amat dikutuk oleh Agama Islam dan agama samawi lainnya. Ini karena perbuatan zina menyebabkan berlakunya banyak kerusakan pada manusia itu sendiri. Allah SWT menjadikan manusia itu berpasangan laki-laki dan wanita dan Allah juga telah menurunkan norma-norma hukum yang wajib diikuti oleh semua manusia di dalam alam ini. Untuk menghalalkan ikatan antara laki-laki dan wanita Islam telah mensyariatkan ikatan perkawinan yang akan berlaku hingga ke akhir hayat. Ikatan ini mempunyai tanggung jawab yang perlu dilaksanakan oleh kedua-kedua pasangan tersebut.6

Pebuatan zina akan mengakibatkan kekacauan dalam sistem perhubungan antara manusia, anak yang lahir hasil dari zina menyebabkan kekacauan dalam hal pernasaban anak, harta pusaka dan yang paling utama keruntuhan akhlak di kalangan manusia itu sendiri. Maka perbuatan zina ini amat di haramkam, dibenci oleh Allah SWT, dan dilarang untuk mendekatinya. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam al-Qur’an;

              

ٳ

٧

(

6

Mohammad, Jinayat dalam Islam: Satu Kajian Ilmiah mengenai Hukum Hudud, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka , 1993), h. 123


(13)

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S.

Al-Isra’: (17) : 32)

Berkenaan dengan hukum yang berhubungn dengan jinayah hudud zina, di samping dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah SAW, kemudian dikembangkan melalui ijthad para ulama’ fiqh dan mujtahid yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqh. Salah seorang mujtahid yang meluaskan fiqhnya dianut oleh masyarakat muslim di kepulauan nusantara

adalah Imam Syafi’i dengan kitab Al-Umm, kemudian dikembangkan oleh murid-murid dan pengikutnya yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqh syafi’i.7

Dalam masalah hukum yang berhubungan dengan jinayah zina dalam

fiqh syafi’i dijelaskan secara lebih rinci diantaranya meliputi ; kategori zina

dan hukuman bagi setiap kategori, syarat-syarat pelaksanaan hukuman, terhadap perbuatan yang menyerupai zina, menyetubuhi hewan dan lain-lain. Sebagaimana yang dituangkan dalam kitab fiqh Al- Manhajy „ala Mazahib Al-Imam Al-Syafi’i yang di tulis oleh Musthafa al- Khin dan Ali al-Syarbaji.8 Hukum Islam yang dilembagakan dalam undang-undang Negara Malaysia dalam bentuk enakmen seperti enakmen jinayah Negeri Selangor juga mengatur aturan hukum tentang zina. Dalam ayat 25 disebutkan:

7

Mahfodz Mohamed (t.t), Satu Kajian Ilmiah mengenai Hukuman Hudud, Nurin Enterprise, Kuala Lumpur), hlm.80

8

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid,(terj), (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), cet. kedua, hlm, 30


(14)

Mana-mana orang laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan orang perempuan yang bukan istrinya yang sah adalah melakukan suatu kesalahan dan apabila disabitkan kesalahan boleh didenda tidak melebihi lima ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi tiga tahun atau disebat tidak melebihi enam sebatan atau dihukum dengan mana-mana

kombinasi hukuman itu”9

Dari penjelasan ayat 25 tersebut di atas, terlihat bahwa hukum bagi pelaku perzinaan dapat dikategorikan kepada tiga kategori yaitu hukuman denda (sanksi), penjara atau keduanya, dan sebatan (cambuk). Jika dibandingkan dengan ketentuan hukum fiqh apa yang tertuang dalam enakmen ini terdapat perbedaan dalam perlaksanaan penetapan hukum bagi pelaku perzinaan. Dalam fiqh, hukuman bagi pelaku zina adalah rajam bagi pezina muhshan dan jilid (cambuk) bagi pezina ghair muhshan. Sanksi jinayah zina yang diatur dalam enakmen jinayah Negeri Selangor

memasukkan jenis hukuman ta’zir dalam bentuk hukum penjara.10

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas penulis merasa tertarik untuk membahas masalah tersebut dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul: Hukuman Bagi Pezina Menurut Fiqh

Syafi’i dan Enakmen (Undang-Undang) Jinayah Syariah Negeri

Selangor”.

9

Jabatan Agama Islam Negeri Selangor, Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor 1995,Enactment No. 9 Tahun 1995.

10


(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembahasan skripsi ini adalah berhubungan dengan hukum zina dalam kitab fiqh dan enakmen undang-undang jinayah syariah negeri Selangor. Karena itu untuk lebih terfokusnya pembahasan ini perlu adanya pembatasan masalah yaitu hanya membahas hukum zina menurut ruang

lingkup fiqh Syafi’i dan enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor. 2. Perumusan Masalah

Hasil penelitian di Mahakmah Syariah Negeri Selangor terdapat

penerarapan sanksi hukum, yakni hukum ta’zir kepada pezina tersebut. Akan tetapi pada kenyataanya di Mahkamah Syariah Negeri Selangor tidak

menerapakan Hukuman ta’zir kepada pezina. Dengan itu Permasalahan diatas dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana katagori zina, dan pelaksanaan hukumanya dan proses peradilan di mahkamah syariah di negeri Selangor.”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang pelaksanaan hukum zina dalam perspektif fiqh khususnya fiqh Syafi’i dan bagaimana pelaksanaan hukum zina menurut enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor. Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kategori zina menurut fiqh Syafi’i dan enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor.


(16)

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hukum zina menurut fiqh

Syafi’i dan enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor.

3. Untuk mengetahui bagaimana proses peradilan kasus zina di Mahkamah Syariah Negeri Selangor.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagi berikut:

1. Sebagai sumbangan pemikiran positif, khususnya bagi memahami dan mempelajari tentang undang-undang Islam terutama tentang zina baik menurut fiqh maupun menurut enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor. 2. Untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan serta merupakan

sebuah kontribusi pemikiran dalam menyelesaikan problematika yang ada yang ada didalam masyarakat dan lembaga tertentu.

3. Sebagai prasyarat dalam menyelesaikan program Ijazah Sarjana Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kajian Studi Terdahulu

Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang Hukum Zina telah dilakukan, baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkajinya secara umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi, di antaranya:

Penelitian yang ditulis oleh Mohd Faizal bin Yunus yang berjudul


(17)

Perlembagaan Malaysia.”11 Penelitian ini membahas tentang hukuman zina dalam hukum pidana negeri Terengganu dan Perlemabagaan Malaysia, serta menguraikan kendala-kendala yang berlaku dalam penerapan sanksi pidana zina di Mahkamah Syariah Negeri Terengganu.

Penelitian yang ditulis oleh Saini Hanafi yang berjudul “Hukum

Pengasingan Bagi Pelaku Zina Menurut Ulama Empat Mazhab.”12 Penelitian

ini diantaranya membahaskan tentang maksud zina dan pengertiannya menurut Islam yang kemudian membahaskan tentang perbedaan dan persamaan pendapat ulama empat mazhab terhadap penetapan had zina, kemudian penulis cuba menganalisis terhadap pendapat ulama empat mazhab tentang hukum pengasingan bagi pelaku zina.

Selain skripsi di atas, sejumlah penelitian dengan bahasan tentang

masalah zina menurut fiqh Syafi’i dan enakmen jinayah syariah Negeri

Selangor telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut: Buku pertama, “Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2,

Muamalat, Munakahat, Jinayat,”karya H. Ibnu Mas’ud, H. Zainal Abidin S.13

11

Mohd Faizal Bin Yunus Implementasi Sanksi Jinayah Zina Dalam Undang-Undang Terengganu dan Perlembagaan Malaysia, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008)

12

Saini Hanafi, Hukum Pengasingan Bagi Pelaku Zina Menurut Ulama Empat Mazhab, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006)

13

Abidin S., H. Ibnu Mas’ud, H. Zainal, Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2,


(18)

Buku ini menjelaskan tentang masalah-masalah fiqih yang terkait dengan hal munakahat, jinayat dan muamalat. Buku itu juga termuat didalamnya dalil-dalil dari al-Qur’an dan al-Hadis yang kemudian dengan

pandangan-pandangan Imam Syafi’i tentang masalah tersebut.

Buku kedua, “Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil” karya Asyhari Abd Ghofar.14 Buku ini menjelaskan seputar tentang masalah zina yang memuatkan dengan pengertian dan segala macam yang terkait dengan masalah zina, kemudian buku ini juga membahaskan tentang masalah perkawinan sesudah hamil yang didalamnya termuat dengan pandangan-pandangan ulama yang terkemuka.

Seterusnya, penulis membuat inditifikasi permasalahan zina terhadap telaah atau kajian dari segala buku-buku, dokumen dan segala sumber data di atas, yaitu titik perbedaan antara sumber atau buku di atas adalah antaranya, menambah pendapat ulama kontemporer, karena kebanyakan karya terdahulu tidak membicarakan hal-hal yang berlaku saat ini. seterusnya titik perbedaan mendasar adalah penulis membuat kajian dari sudut komparatif (perbadingan) dengan hukum positif yaitu kedududkan enekmen jenayah Selangor dengan segala buku-buku di atas.

14

Asyhari Abd Ghofar, Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Andes Utama, 1996), cet. III


(19)

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh hasil yang maksimal di sebuah karangan atau penulisan, maka metode pengumpulan data memainkan peran yang penting.hal ini sangat mempengaruhi tujuan penulisan yang ingin di tuju. 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian yang bercorak kepustakan (Library Research) yaitu dengan cara mengumpul, membaca, mengkaji buku-buku, kitab-kitab, penelitian kepustakaan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini, serta penulis melihat langsung di lapangan kantor Pengandilan Negeri Selangor.

2. Subyek dan Obyek penelitian.

Yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah hukum Islam yang terdapat didalam kitab-kitab fiqh khususnya fiqh Syafi’i dan enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor. Sedangkan yang menjadi objek dari penelitian ini adalah masalah hukum zina baik dalam konsepsi fiqh Syafi’i maupun dalam enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor serta bagaimana pelaksaan hukum zina menurut mahkamah Syariah Negeri Selangor.

3. Sumber Data.

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder. Adapun yang menjadi primer adalah kitab fiqh Syafi’i seperti Al-Umm dan kitab-kitab fiqh Syafi’i yang lain serta enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor dan enakmen tatacara jinayah Syariah Negeri Selangor. Adapun data skunder adalah data tambahan (pendukung) yang diperolehi dari referensi lainnya


(20)

seperti enakmen pentadbiran Negeri Selangor dan putusan mahkamah Syariah Negeri Selangor.

4. Teknik Analisis Data

Metode yang dipergunakan dalam menganalisis data-data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis terhadap data-data yang di peroleh melalui data primer dan skunder. Adapun data-data yang berhubungan dengan dokumen dianalisis dengan content analysis. Content Analysis merupakan analisis ilmiah yang berhubungan dengan aksi dan pesan-pesan komunikasi.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran tentang isi dari penelitian ini, penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I, Merupakan bab pendahuluan yang meliputi, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, dalam bab ini penulis menjelaskan riwayat hidup Imam Syafi’i yang meliputi, sekilas tentang Imam Syafi’i, kondisi sosial dan latar belakang pemikiran Imam Syafi’I, Karya-karya Imam Syafi’I, pengaruh pemikiran hukum

Imam Syafi’i.

Bab III, pada bab ini akan dibahas Hukum Zina Menurut Konteks Aliran

Fiqih Mazhab Syafi’I yang termuat dalam bahasan sub-sub bab tersebut adalah Pengertian Zina Menurut Fiqh Syafi’I, Bukti Dan Saksi Untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina dan Hukuman Bagi Pelaku Zina Menurut Fiqh Syafi’i.


(21)

Pelaksanaan Hukum Zina Pada Mahkamah Syariah Negeri Selangor, seterusnya memuatkan perbahasan Latar Belakang Pendiriannya Sistem dan Sejarah

Makamah Syari’ah Negeri Selangor, Pengertian Zina, Alat Bukti Untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina dan terahkir adalah Hukuman Bagi Pelaku Zina Menurut Undang-Undang Jinayah Negeri Selangor

Bab V, Bab ini merupakan penutup dari pembahasan yang berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan, sebagai jawaban permasalahan beserta saran-saran penulis.


(22)

12

A. Sekilas Tentang Imam Syafi’i

Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As

Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW.1 dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju Palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan serba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke Mekkah dan

di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.2

Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Qur’an dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Qur’an dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam

Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun Badui Bani Hundail

1

Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, ( Jakarta, PT Bulan Bintang: 2005), cet XI, hlm. 20

2

http://dedybalong.wordpress.com/2008/10/13/imam-syafii-dan-pemikiran-metodologi/ diakses pada 20/05/2011 jam 12:34WIB


(23)

selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti,

sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak jumlahnya

sama dengan banyaknya para muridnya.3

Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi,

malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan

kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan

3


(24)

Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga

menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam.4

B. Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Imam Syafi’i

Kondisi sosial dan latar belakang pemikiran adalah bermula fokus terhadap kehidupan dan pelajaran Imam Syafi’i dibagi dalam tiga dekade waktu tumbuh dan berkembang dengan paman-paman beliau di Mekah. Sejak kecil sudah terlihat kejeniusan beliau. Pada umur 7 tahun hafal Quran 30 juz. Hafal

al-Muwatha’ Imam Malik dalam usia 10 tahun kemudian mempelajari Fiqh lewat Syeikh Muslim bin Kholid aZZanjiyi. Selain itu, beliau juga banyak sekali hafal syair-syair Arab. Pada periode pertama ini berakhir pada saat beliau berumur 15 tahun. Pada marhalah ini beliau pindah ke Madinah untuk mendalami

al-Muwatha’ pada Imam Malik bin Anas sampai beliau menguasainya.5

Dari sini terlihat bakat-bakat beliau dalam masalah-masalah Fiqh. Beliau terus mengikuti Imam Malik sampai Imam Malik meniggal dunia tahun 179 H. Periode ini beliau pindah ke Irak untuk mempelajari Fiqh Hanafi tahun 184 H. Dengan berpindahnya beliau ini, berarti telah selesai pengembaraan beliau dalam menuntut ilmu dari Mekah, Madinah dan Irak, kemudian aktif berfatwa dan mengajar di Masjid al-Haram. Dari ketiga dekade waktu diatas, dari mulai menuntut ilmu sampai memberikan fatwa, itu semua merupakan permulaan dari

4

Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam,(Jakarta:PT raja Grafindo persada 2008) c. I h, 145. 5

Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, ( Jakarta, PT Bulan Bintang: 2005), cet XI, hlm. 40


(25)

tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi’i. Dengan lahirnya madzhab baru ini

merupakan keberhasilan ijtihad pada abad ke-2 H.6

Madzhab ini semakin berkembang pesat terutama pada saat Imam Syafi’i

menulis karyanya terbesar dalam ilmu Ushul Fiqh. Tatkala beliau datang ke Irak untuk kedua kalinya tahun 195 H, orang-orang berbondong-bondong datang

kepadanya untuk berguru, mulailah Imam Syafi’i menyiarkan madzhabnya.

Dalam pengajaran-pengajarannya terlihat bahwa ijtihad-ijtihad beliau berbeda dengan Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik. Semuanya itu terus berlanjut sampai beliau menuangkan ijtihad-ijtihad lamanya ke dalam sebuah buku “al -Kitab al-Baghdadi”. Karena ijtihad-ijtihadnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada ketika itu, beliau kemudian berfikir untuk melakukan perjalanan ke negara lain. Tahun 199 H, Kairo menjadi tujuan perjalanan beliau dalam usaha mendirikan sekolah yang menitik-beratkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan Fiqh. Dan mengajarkan madzhab

„baru’ beliau. 7

Dikatakan baru (jadid), karena banyak mengganti ijtihad-ijtihad lama (qadim) yang beliau sampaikan waktu di Irak. Hal tersebut disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada (Mesir). Kemudian beliau mengumumkan bahwa

6

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 50

7

http://dedybalong.wordpress.com/2008/10/13/imam-syafii-dan-pemikiran-metodologi/ diakses pada 20/05/2011 jam 12:14WIB


(26)

yang barupun termasuk dalam madzhab beliau yaitu Madzhab Syafi’i. Imam

Syafi’i dan Perumusan Hadits Yang pertama kali muncul sebagai sistem pemikiran tentang hukum Islam adalah aliran al-ra’y. Aliran ini berkembang di lembah Mesopotamia yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam pada saat itu yaitu Baghdad. Aliran ini diwakili oleh Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi yang oleh sebagian kalangan –sarjana-sarjana Hijaz- diklaim tidak memperdulikan Hadits, ternyata tanpa dasar. Karena diketahui Abu Hanifah sendiri mempunyai koleksi Hadits, namun secara umum dapat dikatakan bahwa madzhab Hanafi menggunakan metode pemahaman hukum yang lebih rasionalistik, sehingga banyak yang memasukkannya ke dalam kelompok al-ra’y. Tapi hampir bersamaan dengan itu, perhatian besar terhadap al-Sunnah ditunjukkan oleh penduduk Madinah lewat seorang sarjana Madinah sendiri -Malik bin Anas meskipun banyak bersandar pada hadits, ternyata Imam -Malik

sendiri pernah berguru pada Rabi’ah bin Farukh yang menganut aliran al-ra’y. Namun Malik bin Anas lebih banyak mengambil ilmu yang berkenaan dengan

hadits, bukan aliran ra’yunya. Imam Syafi’i seolah-olah tampil diantara keduanya, Hanafi dan Maliki. Beliau pernah berguru kepada Imam Malik-pendiri Madzhab Maliki- dan pernah juga menuntut ilmu pada Imam as-Syaibani-penganut Madzhab Hanafi.8

8


(27)

Pengalaman berguru itu memberikan warna tersendiri dalam perkembangan madzhab beliau selanjutnya. Dari Imam Malik, Imam Syafi’i mengambil ilmu tentang sunnah, akan tetapi justru Imam Syafi’i-lah yang memberi perumusan sistematik dan tegas bahwa tidak semua bentuk sunnah yang harus dipegang, akan tetapi yang benar-benar dari Nabi saw. Konsekwensinya ialah bahwa kritik terhadap sunnah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus dilakukan, dengan penyaringan mana yang benar-benar dari Nabi dan mana yang bukan. Semua laporan mengenai hadits harus dikenakan pengujian secara teliti menurut standar ilmiah tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan disiplin ilmu baru yaitu Musthalah Hadits yang juga disebut ilmu Dirayah al-Hadits.9

Dalam bidang kajian ilmiah mengenai hadits tersebut Imam Syafi’i

sebenarnya berperan lebih banyak sebagai peletak dasar. Berbagai pandangan dan teori beliau tentang hadits memerlukan waktu sekitar setengah abad untuk bisa terlaksana dengan baik. Pelaksaan penelitian terhadap hadits tersebut memperoleh bentuknya setelah munculnya sarjana hadits dari Bukhara yaitu Imam Bukhari yang pada fase selanjutnya dilanjutkan oleh murid beliau keturunan Nisaphur yaitu Imam Muslim. Tapi hasil karya kedua sarjana hadits tersebut masih jauh meliputi keseluruhan dari khabar sunnah nabawiyah. Hal ini mendorong beberapa ahli untuk meneruskan kajian dan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi saw.

9

Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, ( Jakarta, PT Bulan Bintang: 2005), cet XI, hlm. 50


(28)

Dari hasil penelitian tersebut terkumpul enam buah buku hadits yang di kalangan kaum sunni dianggap standar meskipun dalam otoritas yang berbeda-beda selain Shahihain, yaitu Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzi dan

Sunan Nasa’i. Jadi kini setidaknya secara tertulis umat Islam (baca: kaum sunni) dalam upaya memahami agamanya harus berpegang terhadap Quran dan

kumpulan hadits “al-Kutub al-Sittah”.10

Dengan kesimpulan diatas, makanya tahapan Imam Syafie dalam mencari ilmu adalah;

Pertama; di Makkah

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh

dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’

fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. 11

Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga

belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga

menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah

10

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 50

11


(29)

Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para

Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Kedua: di Madinah

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik

bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya.12

Sementara itu As-Syafi`i sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang

terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih

lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu

majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan

dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada

12


(30)

kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .”

Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali

mesti bertambah pemahamanku.”13

Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu

dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin

Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.14

Ketiga: Di Yaman

Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya.

13

http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-syafii.html diakses pada 20/05/2011 jam 12:14WIB

14

Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, ( Jakarta, PT Bulan Bintang: 2005), cet XI, hlm. 50


(31)

Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang

ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah

dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Keempat: Di Baghdad, Irak

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki pengalaman tukar pikiran yang

menjadikan Khalifah Ar Rasyid.15

Kelima: Di Mesir

Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H

dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i

menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya.

Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim).

Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul i’lm di akhir bulan Rajab 204 H.16

C. Karya-Karya Imam Syafi’i

Karya tulisan Imam Syafi’I dapat di kategorikan sebagai berikut, pertama; Ar-Risalah Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang

ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam

15

Ibid, hlm. 55 16


(32)

Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu

memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang

Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di „leher’ Syafi’i,”.17

Thasy Kubri mengatakan di

Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), „adalah

(kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya

yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap.

Kedua: Al-Hujjah Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama

diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani,

Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Ketiga: Al-Umm Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru

Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika

sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok.18

17

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 30

18


(33)

Kesimpulan dari hasil teknik karya-karya adalah dapat dikatakan beliau merupakan Perintis Ushul Fiqh; Al-Quran dan al-Sunnah adalah pegangan tekstual umat Islam yang obyektif. Namun keobyektifan dalil tersebut tidak menutup sama sekali kemungkinan adanya kesubyektifan dalam pemahaman dan pandangan. Oleh karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas, bagaimana bukti-bukti tekstual tersebut dipahami, lebih dari itu jika pesan itu terlaksana dalam kehidupan nyata yang senantiasa berubah dan berkembang ini, maka usaha memahaminya haruslah didekati dengan suatu metodologi penalaran tertentu.19

Metode penalaran tersebut sebagaimana telah dikenal dalam disiplin ilmu tentang hukum Islam adalah qiyas (qiyas tamtsili). Sebagaimana ijma’ ide mengenai pemakaian metode qiyas dalam memahami nash –khususnya dari segi legalnya bukanlah tanpa persoalan dan kontroversi, karena adanya unsur intelektualism dalam qiyas tersebut. Maka tak heran jika ia qiyas dicurigai

sebagai bentuk lain dari aliran ra’y. Sekalipun begitu, metode qiyas tersebut diambil oleh Imam Syafi’i, lebih penting lagi, beliau juga memberikan kerangka

teoritis dan metodologi yang canggih dalam bentuk kaidah-kaidah rasional, namun tetap praktis yang selanjutnya lebih dikenal dengan ilmu Ushul Fiqh.20

19

http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=61&Itemid=28d iakses pada 20/05/2011 jam 12:14WIB

20

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 70


(34)

Kesimpulan dapat disimpulkan dari inti tinjauan dasar-dasar pemikiran

Imam Syafi’I sehingga muncul karya-karya dengan mentode atau teknik adalah dasar-dasar konseptual tentang hadits, ilmu Ushul Fiqh juga merupakan sumbangan beliu yang besar dan penting dalam sejarah intelektual Islam. Dengan al-Al Qur-an, sunnah Nabi dan teori Imam Syafi’i tentang Ushul Fiqh, penjabaran hukum Islam dapat diawasi keotentikannya. Karena rumusan teoritisnya tentang

hadits dan jasanya dalam merintis Ushul Fiqh, maka Imam Syafi’i diakui sebagai

peletak utama dasar metodologi pemahaman hukum dalam Islam. Sebab teori dan rumusannya tidak saja diikuti oleh kita-pengikut madzhab Syafi’I namun juga diikuti oleh madzhab lain. Sementara dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah,

Ijma’ dan Qiyas.21

Beliau tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan

istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah(pembela sunnah),”22

D. Pengaruh Pemikiran Hukum Imam Syafi’i

Syafi’i memainkan peran utama dalam perkembangan jurisprudensi Islam awal ini, dia mencoba mendamaikan ketegangan antara para ahli hukum dengan para ahli hadis dengan membuat standarisasi landasan hukum. Landasan hukum

21

Ibid, hlm. 77 22

Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Ahkam, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2005), cet. I, h. 336


(35)

digiring pada al-Qur’an dan hadis Nabi. Pengertian sunnah tidak lagi dipahami sebagai tradisi hidup komunitas muslim, tetapi dikembalikan kepada masa sunnah

Nabi. Sebagai arsitek jurisprudensi Islam, syafi’i terkadang menggunakan logika

Aristotelian.23

Upayanya merupakan tonggak kemenangan di kalangan ahli hadis, dan selanjutnya melahirkan aliran hukum yang dipelori Ahmad ibn Hanbal sebagai

figur utamanya. Sementara Syafi’i mengartikulasikan rumusan metodologi hukum

dalam karya al-Risalah. Kontinuitas teori Syafi’i bekembang ke arah pembakuan dalam setiap mengambil keputusan yang tidak sebatas aspek hukum dan dijakan standar bagi generasi berikutnya.24

Standarisasi metodologi hukum yang dibangun oleh Syafi’i berdampak pada

terhentinya dinamika dan kreativitas perkembangan fiqh awal, karena ijtihad individu telah digantikan oleh ijitihad-kolektif (ijma’). Formulasi hukum telah dibakukan dan dianggap final oleh para pengikut masing-masing aliran, sehingga proses inovatif dan inisiatif (ijtihad) menjadi stagnan, meskipun terdapat upaya-upaya membangun pemikiran baru tetapi tidak mengalami perubahan substansial. Imam Syafi’i (w. 204 H). Dia telah mengadakan pengembaraan ke berbagai wilayah untuk belajar hadis serta mengadakan diskusi panjang dengan

23

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 80

24

http://dedybalong.wordpress.com/2008/10/13/imam-syafii-dan-pemikiran-metodologi/ diakses pada 20/05/2011 jam 12:34WIB


(36)

orang Iraq dan Madinah. Dari pengalamannya ini, Syafi’i mulai meletakkan dasar pemikirannya tentang hukum Islam. Dia lebih menekankan otoritas hadis sebagai sandaran hukum dari pada praktek yang disepakati oleh komunitas muslim di suatu wilayah. Untuk mengatasi kesenjangan antara idenya dengan realitas yang berkembang, dia merumuskan formulasi qiyas sebagai jalan alternatif dalam

menentukan hukum. Upaya Syafi’i ini merupakan fase titik balik yang

mengantarkan kemenangan prara ahli hadis. Secara berangsur para ahli hadis menggantikan dominasi ahli hukum.25

Kesimpulannya, metodologisasi hukum Syafii mampu menggiring para ulama ke dalam kerangka metodologinya. Aktivitas mereka tidak lagi mengarah pada pemikiran bebas atas problem hukum, tetapi mereka disibukkan pada karya-karya sebelumnya. Setelah hadis-hadis terkodifikasi dalam bentuk kitab-kitab standar, para ahli hadis disibukkan dengan memberi komentar dan penjelasan-penjelasan syarh terhadap karya-karya yang ada.

25


(37)

27

Zina bisa dipilah menjadi dua macam pengertian, yaitu pengertian zina yang bersifat khusus dan yang dalam pengertian yang bersifat umum. Pengertian yang bersifat umum meliputi yang berkonsekuensi dihukum hudud dan yang tidak. Yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan wanita yang bukan haknya pada kemaluannya. Dan dalam pengertian khusus adalah yang semata mata mengandung konsekuensi hukum hudud.1

Zina Dalam Pengertian Khusus hanyalah yang berkonsekuensi pelaksanaan hukum hudud. Yaitu zina yang melahirkan konsekuensi hukum hudud, baik rajam atau cambuk.2 Bentuknya adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang dilakukan dengan keinginannya pada wanita yang bukan haknya di wilayah negeri berhukum Islam. Untuk itu konsekuensi hukumya adalah cambuk 100 kali sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran.

1

http://fiqihislam-vicky.blogspot.com/2010/01/pengertian-zina.html diakses pada 20/05/2011 jam 12:34 WIB

2

Mustafa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho & Ali Asy-S arbaji, Kitab Fikah Mazhab Syafie (Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005) Cet. Pertama, h. 1583


(38)

                                             . ( رونلا

/

2

(

Artinya: Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari

orang-orang beriman. (QS. An-Nuur:24/2)

A. Pengertian Zina Menurut Fikih Syafi’I dan Ulama’ yang lain.

As-syafi'iyyah mendefiniskan bahwa zina adalah masuknya kemaluan laki-laki atau bagiannya ke dalam kemaluan wanita yang bukan mahram dengan dilakukan dengan keinginannya di luar hal yang syubhat.3

Sedangkan Al-Malikiyah mendefinisikan bahwa zina itu adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang mukallaf muslim pada kemaluan wanita yang bukan haknya (bukan istri atau budak) tanpa syubhat atau disengaja.

Al-Hanabilah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan fahisyah (hubungan seksual di luar nikah) yang dilakukan pada kemaluan atau dubur.Namun untuk menjalankan hukum zina seperti ini, maka ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi antara lain :1. Pelakunya adalah seorang

3

Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; Imron Rosadi, S.Ag Ringkasan kitab Al


(39)

mukallaf , yaitu aqil dan baligh.4

Perbahasan yang terkait masalah zina adalah;5

pertama: Apabila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan

seksual di luar nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar`i yang wajib dikenakan sangsi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh seorang idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu.

Kedua; Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia baik laki-laki ataupun

seorang wanita. Sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual dengan binatang seperti anjing, sapi dan lain-lain tidak termasuk dalam kategori zina, namun punya hukum tersendiri.

Ketiga: Dilakukan dengan manusia yang masih hidup. Sedangkan bila

seseorang menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri.

Keempat: Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bila

dilakukan dengan memasukkan kemaluan lak-laki ke dalam kemaluan wanita . Jadi bila dimasukkan ke dalam dubur (anus), tidak termasuk kategori zina yang dimaksud dan memiliki hukum tersendiri. Namun Imam Asy-Syafi`i dan Imam Malik dan Imam Ahmad tetap menyatakan bahwa hal itu termasuk zina yang dimaksud.

4

Syed Ahmad Syed Husin, Konsep Curi Mengikut Pandangan Fuqaha`, (Malaysia: al-Rahmaniah, 1988, cet 1), h. 7

5


(40)

Kelima; Perbuatan itu dilakukan bukan dalam keadaan terpaksa baik oleh pihak laki-laki maupun wanita.

Keenam; Perbuatan itu dilakukan di negeri yang secara resmi berdiri tegak

hukum Islam secara formal , yaitu di negeri yang 'adil' atau darul-Islam. Sedangkan bila dilakukan di negeri yang tidak berlaku hukum Islam, maka pelakunya tidak bisa dihukum sesuai dengan ayat hudud.

B. Bukti dan Saksi untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina Menurut Menurut Fiqh Syafi’i

Perbuatan zina sebagai perbuatan haram yang terlarang, ia memerlukan pembuktian yang kongkrit dalam proses penetapan hukum. Jumhur

Ulama’mempertahankan pembuktian yang utama itu adalah kesaksian atau pengakuan dari pelaku zina itu yang datang dari kesadaran yang bersangkutan

bukan dengan paksaan dari pehak pengadilan. Imam Syafi’I dan Maliki,

menetapkan pengakuan cukup diucapkan satu kali dan tidak perlu dengan kedua kali dan seterusnya.dengan satu kali pengakuan sudah dapat dipertimbangkan untuk memastikan kasus zina tersebut.6

Untuk menentukan ada tidaknya perbuatan zina atau untuk menentukan apakah seseorang itu telah melakuakan zina dapat dia lakukan dengan ikrar

6


(41)

sumpah atau pengakuan dapat di tetapkan bahwa apabila memenuhi persyaratan berikut:

a. Pengakuan akan dibuat dihadapan pemerintah(imam) atau wakilnya. tidak memadai dengan pengakuan dibuat di hadapan yang lain dari itu.

b. Orang yang berakal. Jika pengakuan ini datangnya dari orang yang tidak siuman maka tidak diterima pengakuannya,akan tetapi terkadang gila dan terkadang waras fikirannya. Jadi kalau dalam masa sehatnya dia benar mengaku bahwa telah berbuat zina maka ketika itu diterima pengakuannya dan bolehlah dijatuh kan hukuman had keatasnya.

c. Orang yang baligh. Pengakuan zina dari anak-anak yang belum baligh tidak sah disebabkan hukuman hudud hanya diwajibkan keatas perbuatan jenayah, sedangkan perbuatan yang dilakukan oleh kanak-kanak tidak dianggap sebagai jinayah, maka sebab itu pengakuan dari anak-anak yang belum baligh tidak diterima.

d. Dengan mulut dan perkataan. Menurut mazhab Hanafi pengakuan itu mestilah dibuat dengan mulut dan perkataan tidak memadai dengan tulisan atau isyarat sahaja. Manakala mazhab Maliki dan Syafi’I menyatakan, bahwa pengakuan orang bisu boleh diterima baik dengan tulisan atupun isyarat yang dapat difahami.

e. Pengakuan itu diberikan dengan cukup terang dan jelas tentang perbuatan zina itu sehingga menghilangkan segala keraguan dan kesamaran.


(42)

Ulama’ berselisih pendapat mengenai berapa kali pengakuan yang harus di

buat supaya dapat diterima pengakuan orang yang berzina. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan bahwa pengakuan itu mestilah dibuat sebanyak empat kali. Imam Malik dan Syafi’I berpendapat memadai dengan sekali pengakuan sahaja tidak perlu memberi tahu dengan berulang kali, hal ini

berdasrkan Hadis : “Asaif yang mana Rasulullah s.a.w bersabda, yang berarti

“pergilah wahai Anis kepada perempuan itu kalau dia mengaku direjamlah

dia”. Dengan Hadis di atas jelas bahwa bahwa hukuman rajam dikaitkan

walaupun dengan sekali pengakuan.7 Imam Syafi’I berkata: demikian pendapat yang kami pegang teguh, bahwa hukuman rajam dapat dilaksanakan terhadap seseorang yang mengaku berzina meski pengakuan itu hanya diucapkan satu kali, selama pezina itu telah pasti ia lakukan. Pezina yang pernah menikah dijatuhi hukuman rajam dan tidak didera.8

Melalui perkara-perkara yang berkaitan dengan zina dapat diperhitungkan ialah dengan kehamilan pada perempuan yang tidak bersuami atau tidak diketahui perempuan itu bersuami. Perkara-perkara yang berkaitan dengan hamil sebagai dalil berlakunya zina ialah perkataan dan perbuatan para sahabat, Sayyidina Umar berkata bahwa rajam itu di wajibkan keatas tiap-tiap orang yang berzina baik laki-laki ataupun perempuan, bukti yang

7

http://www.unitagamakmb.com/zina.htm diakses pada tanggal 20 Maret 2010 jam 12: 32 am WIB

8 Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; penerjemah, Imron Rosadi, S.Ag


(43)

menunjukkannya ialah melalui kehamilan atau pengakuan. Menurut jumhur

ulama’ bahwa mengandung itu tidak boleh dijadikan bukti sebagai perempuan itu berzina. Bahkan boleh terjadinya daripada perempuan hamil itu berjima’ dengan karna paksaan atau sebagainya.9 Seorang mendakwa bahwa seorang perempuan melakukan zina tanpa mendatangkan empat orang saksi laki-laki, maka dakwaan tersebut dianggap sebagai kuzip, yaitu menuduh seseorang berzina secara sungguh-sungguh dan wajib dikenakan hukuman hudud (disebat sebanyak 80 kali sebatan) firman Allah SWT:

                                      ( رونلا

/

(

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian

mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(QS.

An-Nuur:24/4)

Selain pengakuan, kehadiran saksi juga sangat penting untuk mengetahui kasus perzinaan tersebut, keterangan saksi hendaklah didasarkan akan penglihatannya sendiri, bukan dari keterangan orang lain. dengan keterangan yang salah dapat menjatuhkan martabat seseorang,yang menyebabkan orang

9

http://www.unitagamakmb.com/zina.htm diakses pada tanggal 20 Maret 2010 jam 12: 32 am WIB


(44)

yang tertuduh tanpa kehadiran saksi, itu dapat menghilangkan harga diri. Sebaliknya orang yang tidak mempunyai bukti yang lengkap tentang kasus perzinaan itu dapat dinyatakan sebagai penuduh yang memberikan pengaruh yang buruk terhadap orang yang tertuduh beserta dengan keluarga dan keturunannya. Itulah sebabnya syariat Islam meletakkan syarat yang ketat untuk diterima atau ditolaknya tuduhan berzina itu, dan persyaratan itu antara lain ialah kesaksian. Dalam hal ini orang yang menyaksikan perbuatan zina haruslah dengan empat orang saksi,seperti yang dinyatakan ayat al-Quran surat An-Nisa’ayat                                          ) ءاسنلا :

/

)

Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai

Allah memberi jalan lain kepadanya”(Q.S: an-Nisa’/4 :15)

Dalam ayat diatas dinyatakan bahwa setiap perzinaan yang dilakukan hedaklah didatangkan empat orang saksi dan bertujuan memperkuat tuduhan yang ditetapkan kepada pelaku tersebut. Kehadiran saksi tersebut sangat penting untuk menetapkan seorang itu berzina. Imam Syafi’i berkata: “Seorang pezina


(45)

tidak dapat divonis bersalalah kecuali dihadirkan empat orang saksi yang adil”. Imam memerintahkan mereka untuk menperjelaskan persaksian hingga mereka menetapkan telah melihat alat kelamin si laki-laki masuk kedalam kelamin si wanita, sebagimana masuknya benang di lubang jarum. Jika mereka mengatakan demikian, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman vonis kepada laki-laki dan wanita yang berzina agar menjalani hukaman. Seorang pezina dapat pula di vonis bersalah berdasrkan pengakuan dari pelaku sendiri,meski hanya satu kali. Adapun bila si laki-laki mengaku sementara wanita mengingkari atau sebaliknya, pada kondisi demikian hukuman dilaksanakan atas pengakuan orang yang mengaku dan tidak dilaksanakan terhadap orang yang mengingkari.10

C. Hukuman Bagi Pelaku Zina Menurut Fiqh Syafi’i

Pezina terdorong melakukan perbuatan zina yang keji ini baik kekeliruan (sybhah) yang bisa dimaafkan atau pun semata-mata kebodohan kehendak nafsunya. Dan keadaan ini mungkin melibatkan orang yang muhsan (sudah menikah) ataupun ghairu muhsan (belum menikah). Hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang berzina dapat dilaksankan dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. orang yang berzina itu adalah orang yang berakal waras. b. orang yang berzina itu sudah cukup umur (baligh).

10 Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; penerjemah, Imron Rosadi, S.Ag Ringkasan kitab Al Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. 2, h. 792


(46)

c. Zina itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa. Tetapi atas kemauannya sendiri.

d. Orang yang berzina itu tahu bahwa zina diharamkan.

Dengan demikian , hukuman tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap anak kecil, orang gila, dan atau orang yang dipaksa melakukan zina.11

Imam Syafi’i berkata: “Apabila budak muslimah berzina maka ia dijatuhi hukuman dera sebanyak 50 kali cambukan, karena siksaan pada hukuman dera dapat di bagi-bagi dan tidak demikian halnya pada hukuman rajam.”12 Dera dalam rangka melaksanakan hukuman tidak sampai pada menumpahkan darah.13 Budak laki-laki dan wanita diasingkan selama setengah tahun.14 Adapun pengasingan dalam As-Sunnah ada dua macam; salah satunya dinukil langsung dari Rasulullah S.A.W Yang demikian itu adalah mengasingkan pezina yang belum pernah menikah, dimana ia di cambuk 100 kali lalu diasingkan selama satu tahun. Telah diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda;

Artinya:“sesungguhnya aku akan memutuskan di antara kalian berdasarkan kitab Allah Azza wajalla”.

11 Sayyid Sabiq/Fikih Sunnah; penerjemah Nor Hasanuddin, Lc, MA, Dkk,(Jakarta: Pena Pundi Akasara, 2008), Cet. 3, h. 319

12Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; penerjemah, Imron Rosadi, S.Ag

Ringkasan kitab Al Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. 2, h. 792

13

Ibid, h. 782

14


(47)

Kemudian beliau SAW memutuskan untuk mengasingkan dan mendera pezina yang belum menikah. Pengasingan yang kedua dalam As-Sunnah telah diriwayatkan dari Nabi SAW melalui jalur mursal bahwa beliau mengasingkan dua orang banci yang ada di Madinah, salah satu dari keduanya bernama Hait dan

yang satunya bernama Maati.’15

Bagi orang yang berzina dengan kemahuannya sendiri hukumannya adalah bergantung kepada statusnya baik muhsan atau bukan

muhsan. Bagi yang Muhsan ialah mempunyai ciri-ciri tersebut:

a. Muakallaf, yaitu baligh dan berakal. Kanak-kanak maupun yang telah

mumaiyiz,dan juga orang gila, maupun orang gila yang terkena sawan. Jika dia berzina ketika waktu dia normal ia juga dianggap mukallaf dan dikatagorikan sebagai muhsan.

b. Merdeka, jikalau hamba dikenanakan separuh hukuman cambuk baik muhsan maupun bukan muhsan.

c. Pernah melakukan persetubuhan. Melalui pernikahan yang sah. Bagi yang tidak pernah melakukan persetubuhan dengan cara yang sah tidak di katagori kan sebagai muhsan.

Bagi pezina bukan muhsan ialah yang tidak memenuhi ciri yang di atas, Dan hukuman bagi pezina muhsan ialah yaitu; direjam dengan batu sehingga mati. Hukuman ini di sahkan melalui ucapan dan tindakan Rasulullah s.a.w

15 Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; penerjemah, Imron Rosadi, S.Ag Ringkasan kitab Al Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. 2, h. 783


(48)

berdasarkan hadis yang diriwayatkan daripada Imron bin Husoin r.a. katanya; Suatu ketika seorang wanita Bani Juhainah datang menemui Nabi s.a.w. dalam

keadaan hamil kerana zina. Wanita ini berkata: “Wahai Nabi Allah saya telah

melakukan kesalahan, jatuhkanlah hukuman terhadap saya.” Lalu Rasulullah

s.a.w memanggil penjaga wanita ini dan bersabda: “layanilah dia dengan baik.

Setelah dia melahirkan anaknya bawalah dia kepada saya.” Perintah baginda ini

dilaksanakan dan kemudian Baginda memerintahkan agar pakaian wanita ini diikatkan (supaya tidak terselak semasa direjam). Lalu Baginda memerintahkan agar wanita ini direjam. Wanita itu pun direjam. Setelah itu Baginda

menyembahyangkannya. Umar berkata: “Wahai Nabi Allah, adakah engkau

menyembahyangkan wanita yang telah berzina ini?” Baginda bersabda: “Wanita ini telah bertaubat. Sekiranya taubatnya dibahagikan kepada 70 orang penduduk Madinah, nescaya mencukupi mereka. Adakah ada yang lebih baik daripada seseorang yang mengorbankan dirinya kerana Allah?

Hukuman bagi pezina bukan muhsan ialah 100 kali cambukan dan di buang keluar negeri selama satu tahun, hukuman ini telah di dasarkan di dalm al-Quran melalui firman Allah Taala.

 .                                                ( رونلا

/

(

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan


(49)

kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman

mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nuur

:2/24)

Terakhir, sementara kaedah rejam bagi pezina wanita digalakkan untuk di gali lubang, jika kesalahannya dikuatkan dengan bukti. Sekiranya kesalahannya di kuatkan dengan pengakuan, lubang tidak perlu digali. Ini bertujuan bagi membolehkan dia melarikan diri sekiranya dia mahu menarik balik pengakuannya. Bagi pezina laki-laki tidak perlu ditanam, seluruh tubuhnya adalah bagian untuk dirajam baik bagian yang boleh mematikan atau tidak, dan lebih baik bagian harus di elakkan. Rajam hendaklah dilakukan dengan tanah keras atau batu yan berukuran sederhana, jaraknya juga tidak terlalu jauh dan juga tidak telalu dekat. Siapa saja yang turut hadir haruslah turut serta merajam, sekiranya pezina tersebut dikuatkan dengan keterangan dan bukti. Jika pezina disabitkan dengan pengakuan maka tidak harus mengikut serta untuk merajam.16

16 Dr. Mustafa Al-Khin, Dr. Mustofa Al-Bugho & Ali Asy-S arbaji, Kitab Fikah Mazhab Syafie (Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005) Cet. Pertama, h. 1583


(50)

40

NEGERI SELANGOR

A. Latar Belakang Pendiriannya Sistem dan Sejarah Makamah Syari’ah Negeri Selangor

Agama Islam di negeri Selangor telah muncul seawal kurun ke 15 yang telah datang melalui Melaka. Ini kerana pada awal itu Selangor berada di bawah jajahan Melaka. Pada zaman pemerintahan Melaka, telah muncul jawatan hakim. Sejarah munculnya mahkamah syariah di negeri Selangor pula telah muncul pada kurun ke-17. Pada tahun 1884, Majlis Mesyuarat Negeri Selangor telah mengiktiraf jawatan hakim dan imam, seterusnya mengambil keputusan untuk melantik seorang hakim untuk menyelesaikan segala masalah hukum-hukum agama Islam dan juga adat istiadat Melayu. Pada waktu itu juga Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Sultan Selangor telah melantik seorang hakim disebut sebagai

“hakim Selangor” dengan memberi gaji sebanyak RM 900 pertahun dan periode ini hanya berlaku sehingga tahun 1982 dan kemudiannya jawatan tersebut diganti

namanya kepada “Chief Hakim”.1

Undang-undang mencengah zina tahun 1894 (Prevenatation of Adultry

Regulation 1894) adalah undang-undang yang pertama yang dikanunkan di negeri

1

Tajuddin Bin Hussen, Malaysia Negara Kita, (Kuala Lumpur: Mdc Publisher Sdn Bhd, 2007), cet. I, h, 20


(51)

Selangor pada 26 September 1894 dan undang-undang ini hanya berlaku untuk orang Islam sahaja. Mengikut undang-undang ini seorang lelaki yang melakukan hubungan kelamin dengan perempuan yang telah bersuami adalah bersalah dan boleh dihukum 2 tahun penjara bagi lelaki dan 1 tahun penjara bagi wanita dan mugkin dikenakan denda.2 Dalam masalah ini mahkamah akan bertindak ke atas laporan yang dibuat oleh suami perempuan itu atau orang lain yang bertanggungjawab atas perempuan itu dimana sekiranya suaminya tiada.3

Pada tahun 1900 pula, Majlis Mesyuarat Negeri telah meluluskan undang-undang Pendaftaran Nikah Kahwin dan Cerai Orang-Orang Islam 1900

(Muhammadan Marriage and Divorce Registration Enactment 1900) yaitu

undang-undang berhubung dengan nikah kahwin dan cerai orang-orang Islam di negeri Selangor. Undang-undang ini berlaku bagi suami atau wali hendaklah melaporkan perkawinan kepada hakim atau wakil hakim daerah dalam waktu tujuh hari selepas akad nikah atau wakilnya hendaklah mendaftarkan dan mengeluarkan surat perkahwinan. Begitu juga dengan penceraian, hendaklah dilaporkan kepada hakim dalam tempoh tujuh hari sesudah bercerai dan surat cerai akan dikeluarkan kepada mereka yang bersangkutan. Sekiranya ini tidak dipatuhi, tindakan boleh diambil dengan dikenakan sanksi tidak melebihi daripada

2

Muhammad Muslehuddin, (terj) Asiah Idris, Jenayah dan Doktrin Islam dalam tindakan pencegahan, (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992) h. 37

3

http://www.jakess.gov.my/index.php?option=com_content&view=article&id=2&Itemid=3diaks es pada 20/05/2011 jam 12:34WIB


(52)

RM 25.00. Dengan adanya undang-undang tersebut dan ntuk membicarakan hal nikah kahwin dan cerai,maka diadakan mahkamah hakim.

Pada tahu 1900 juga, jawatan hakim mula diperluaskan ke daerah-daerah dalam negeri Selangor dan pada tahun 1922 tiap-tiap daerah ada hakimnya masing-masing yaitu daerah Klang, Kuala Lumpur, Kuala Langat, Ulu Langat, Kuala Selangor, Sabak Bernam, Kuala Kubu dan Rawang.4

Pada tahun 1948, Jabatan Agama Isla Selangor (JAIS) telah ditubuhkan, dengan itu usaha menggubal undang-undang telah dilakukan dan menghasilkan Undang-undang Pentadbiran Agama Islam Selangor No.3 tahun 1952 dengan nama Enakmen Undang-undang Pentadbiran Agama Islam Selangor No. 3 tahun 1952 dan mula diberlakukan pada 5 Desember 1952. Dengan adanya undang-undang ini maka termansuhlah undang-undang-undang-undang terdahulu daripadanya. Sehingga ke hari ini undang-undang ini telah mengalami pindahan sebanyak 7 kali yaitu pada tahun 1969, 1960, 1961, 1962, 1966, 1972 dan pada tahun 1979. Pindaan ini dibuat berkaitan dengan urusan mengemaskini pentadbiran hal ehwal Islam di negeri Selangor.5

Pada tahun 1984, Undang-undang Keluarga Islam Selangor No.4 tahun 1984 telah diluluskan dan diberlakukan pada 23 Januari, 1989 di seluruh negeri

4

Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009), cet. I, h. 55

5

Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293


(53)

Selangor. Perlaksanaan Undang-undang ini telah memansuhkan bahagian ke 6, 7 seksyen 155, 156, 158, 160 dan 178 perenggan (n) Undang-undang Pentadbiran Agama Islam Selangor No.3 tahun 1952. Pada tahun 1989, Enakmen Perundangan Islam Selangor No.2 tahun 1989 telah diluluskan. Berdasarkan enakmen inilah Mahkamah Syariah Selangor ditubuhkan secara rasmi dan berasingan dari Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS). Pada tahun 1991, Enakmen Kanun Prosedur Jinayah Syariah Selangor No. 6 tahun 1991 dan Enakmen Kanun Prosedur Mal Syariah Selangor No.7 tahun 1991 telah diluluskan dan mula diberlakukan pada 1hb. September 1991. Mulai dari tanggal itu, Mahkamah Syariah Selangor telah diasingkan secara rasminya dari JAIS.

Pada tahun 2003 nama Mahkamah Syariah Selangor telah ditukar kepada Jabatan Kehakiman Syariah Negeri Selangor (JAKESS) selaras dengan perkembangan dan peningkatan kualiti perkhidmatan kepada pelanggan.Penubuhan Mahkamah Syariah di Negeri Selangor adalah di bawah peruntukan Seksyen 55(1), 55(2), 55(3) dan 55(4) dalam Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003. 6

B. Pengertian Zina Menurut Enakmen Jinayah Syariah Negeri Selangor

Untuk memahami pengertian zina menurut Enakmen jinayah Syariah Islam

6

Ahmad Hidayat Buang, Undang-Undang Islam di Mahkamah-Mahkamah Syariah di Malaysia, (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 1998), h. 187


(54)

Negeri Selangor dapat di lihat dalam Qanun Jinayah Syariah ialah yang berbunyi; Persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki dengan perempuan tanpa

melalui hubungan nikah yang sah menurut hukum Syara’ yang Mukallaf dan tidak termasuk dalam takrif “Wathi Syubhat” (persetubuhan yang meragukan). Didalam sistem kehakiman menurut Enakmen yang di pakai dalam perundangan-undang Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis yang menjadi rujukan mahkamah Syariah di Malaysia termasuk Negeri Selangor.7

Zina adalah hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa melalui pernikahan yang sah, baik melalui alat kelamin maupun dubur, dan ia merupakan salah, dosa besar dalam semua agama. Allah Subhanahu wa Ta’la sendiri telah berfirman dalam Al-Qur’an:

               

ٳ

٧

(

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”8

( Al-Isra’: 17/ 32) Zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang individu yang mukallaf yaitu berakal dan baligh. Jika persetubuhan yang di lakukan oleh kanak-kanak dan orang gila maka tidak dianggap zina karena bukan dikatagorikan

7 Haji Said Haji Ibrahim, Qanun Jenayah Syariah dan Sistem Kehakiman dalam Perundangan

Islam Berdasarkan Al-Quran dan Hadis, (Kuala Lumpur: Darul Ma’rifah,1996) h. 25

8Muhammad „Uwaidah , Syaikh Kamil; penerjemah, M. Abdul Ghoffar E.M, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2008), Cet 26, h.601


(55)

sebagai mukallaf dan tidak kenakan hukuman hudud. Orang yang melakukan persetubuhan itu mestilah dengan kesanggupan hatinya, maupun si laki-laki dan wanita yang di setubuhinya. Orang yang dipaksa bersetubuh tidak wajib dikenakan hukuman hudud. Berpegang kepada beberapa pengertian di atas perbuatan yang boleh dianggap zina apabila memenuhi syarat-syarat berikut: a. Dilakukan melalui Qubul. Tidak disebut dengan perbuatan zina menurut

undang-undang, apabila dilakukan melalui dubur baik laki-laki maupuan perempuan.

b. Di lakukan terhadap perempuan yang masih hidup. Bukan yang dimasudkan persetubuhan yang di lakukan terhadap mayat.

c. Dilakukan dengan bersyahwat dan telah mukallaf. Tidak dikenakan hukuman keatas pelaku yang tidak disertai nafsu syahwatnya, seperti kanak-kanak yang belum baligh.

d. Tidak dilakukan dengan paksaan. Buktinya ialah keberahian yang ditunjukkan oleh si laki-laki bukanlah sekadar mengencang zakarnya, karena zakar yang mengencang mungkin menunjukkan si laki itu memang benar-benar laki-laki, bukan buktinya ia rela melakukan persetubuhan.

e. Dilakukan tidak di dalam ikatan perkawinan. Ini juga tambahan sebagai pengecualian persetubuhan yang dilakukan bersama perempuan yang dimiliki secara sah, seperti menyetubuhi isteri yang sedang haid, nifas, berpuasa, berihram haji, yang di zihar atau di illa’, maka ini tidak dianggap perbuatan


(56)

zina, karena adanya ikatan perkawinan.9

C. Alat Bukti Untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina Menurut Enakmen Jinayah Syariah Negeri Selangor

Kesalahan orang yang berzina adalah kesalahan yang amat berat, sehingga untuk menetapkan hukuman bagi pelaku zina juga terlalu sulit dan berat. Oleh itu untuk menyatakan seseorang pezina yang bersalah harus ada beberapa bukti yang menetapkan kesalahan bagi pelaku dengan perlu adanya salah satu daripada perkara yang berikut:

Persaksian, pengakuan, pertalian, pembuktian, serta ikrar dan sumpah. Pembuktian hendaklah dilakukan bersama-sama didalam proses persidangan yang dilakukan dimahkamah Syaiah (Peradilan Agama). Dari situ dapat diketahui bahwa perbuatan si pelaku bersalah dan boleh di anggapkan atau di katagorikan berzina. Menurut Enakmen zina adalah pelakuan hubungan antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sah menurut hukum syara’.

Persaksian juga sangat menentukan, dapat di buktikan bahwa dengan adanya empat orang saksi yang dapat diterima persaksiannya, ini menuntut beberapa syarat sebagai berikut:

a) saksi yang benar membuktikan berlakunya perzinaan. Bukan dari seorang perempuan yang dara dan apabila disahkan oleh dokter bahwa perempuan


(1)

51 BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari apa yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, kemudian penulis juga mnyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait.

A. Kesimpulan

Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan hukum zina menurut fiqh Syafi’i menfokuskan beberapa disiplin ilmu yang sudah diterapkan terutamanya di dalam kitab induknya al-umm antaranya terkaiat hal kesalahan, vonis, dan juga hukum acara. Dalam perbahasan ini antara materi yang menfokuskan terkait masalah zina adalah bukti dan saksi, makanya dengan kesimpulan yang sudah dijelaskan dimuka yaitu pertama, pengakuan akan dibuat dihadapan pemerintah(imam) atau wakilnya. tidak memadai dengan pengakuan dibuat di hadapan yang lain dari itu. Kedua, Orang yang berakal. Jika pengakuan ini datangnya dari orang yang tidak siuman maka tidak diterima pengakuannya,akan tetapi terkadang gila dan terkadang waras fikirannya. Jadi kalau dalam masa sihatnya dia benar mengaku bahwa telah berbuat zina maka ketika itu diterima pengakuannya dan bolehlah dijatuh kan hukuman had ke atasnya. Ketiga; Orang yang


(2)

baligh. Pengakuan zina dari anak-anak yang belum baligh tidak sah disebabkan hukuman hudud hanya diwajibkan keatas perbuatan jenayah, sedangkan perbuatan yang dilakukan oleh kanak-kanak tidak dianggap sebagai jenayah, maka sebab itu pengakuan dari anak-anak yang belum baligh tidak diterima.

2. Proses Peradilan dalam kasus zina di Mahkamah Syariah Negeri Selangor jika di tinjau dari sudut undang-undang atau enakmen terdapat beberapa konsep atau tatacara yang sudah ditetapkan sebagai hukum positif di dalam lembaga hukum khususnya di Selangor. Antara hal yang terkait masalah ini adalah menfokuskan materi hukum hanya terkait pembuktian dan kesaksian menurut enakmen jenayah di makamah (peradilan) di Selangor, antara berikut adalah pertama, saksi yang benar membuktikan berlakunya perzinaan. Bukan dari seorang perempuan yang dara dan apabila disahkan oleh doktor bahwa perempuan tersebut masih perawan, maka dia terlepas dari hukuman zina. Kedua, Kesaksian hendaklah dilakukan di dalam majlis yang ramai dan didalam satu waktu. Para saksi memberikan keterangan di dalam waktu yang sama atau memadai dengan para saksi yang datang dengan secara bersama dan juga berasingan. Ketiga; Pemberitahuan para saksi hendaklah segera melaporkan, ketika kejadian zina itu terjadi.


(3)

53

B. Saran-saran

Dalam penulisan Skripsi ini, penulis ingin menyampaikan beberapa saran-saran sebagai berikut:

1. Kepada pemerintah di Selangor agar pelaksanaan enakmen kesalahan jinayah syariah di Selangor tidak hanya sebagai sumber rujukan akademik saja, akan tetapi seharusnya pemerintah melaksanakan hukuman tersebut sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut.

2. Kepada masyarakat harus menyadari bahwa al-Quran dan al-Sunnah adalah landasan pegangan kita di atas dunia ini. Telah adanya firman-firman Allah dan hadits-hadits Rasulullah yang menerangkan hukum hudud, maka seharusnya kita sebagai orang yang beriman hendaklah menerima hukum yang telah dinyatakan di dalam al-Quran dan al-Sunnah sebagai mana kita menerima anjuran al-Quran dan al-Sunnah di dalam aspek yang lain.

3. Kepada masyarakat, khususnya kaum Muslim agar hukuman zina itu adalah hukuman yang bersumberkan dari al-Quran. Serta menghindari segala tindak pidana sehingga terwujudlah Negeri Selangor yang aman dan tenteram.


(4)

54

Abas, Mohd Salleh. Prinsip Perlembagaan Dan Pemerintahan Di Malaysia. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), 1997.

Abdullah, Abu Bakar, Kearah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia dan Penyelesaiannya, (Kuala Terengganu: Pustaka Damai,1986) hal:1.

Abidin S., H. Ibnu Mas’ud, H. Zainal, Fiqih Madzhab Syafi’I (Edisi Lengkap) Buku 2, Muamalat, Munakahat, Jinayat, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2000), cet. 1

Abdul Majid, Mahmood Zuhdi, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, (Kuala Lumpur: Jabatan Penebitan University Malaya, 1992)

Al-Hafiz, Abu Mazaya, Fiqh Jenayah Islam, Al-Hidayah Publishers, Kuala Lumpur, 2004.

Al-Khin, Mustofa. etc.. Kitab Fikah Mazhab Syafie UU Kekeluargaan: Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-Anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan, Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn. Bhd, 2005.

Bari, Abdul Aziz, Islam dan Perlembagaan Malaysia, (Kuala Lumpur: Intel Multi Media and Publication, 2005)

Bungin, Burhan.Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media, 2005, Cet. I.

Mohamed Ibrahim, Prof. Tan Sri Ahmad. Tinjauan Kepada Perundangan Islam, Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), 1996.

Jusoh, Hamid. Kedudukan Undang-Undang Islam Dalam Perlembagaan Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1992.

Majid, Mimi Kamariah. Undang-Undang Keluarga Di Malaysia. Kuala Lumpur: Butterworths Asia, 1992.


(5)

55

Mohammad, Dr. Jinayat dalam Islam: Satu Kajian Ilmiah mengenai Hukum Hudud. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), 1993.

Muhammad, Abu Zahran, Imam Syafi’I, Biografi dan Pemikirannya Dalam Akidah, Politik, dan Fiqh, diterjemahkan dari buku “Imam Syafi’i: Hiadayatul wa ‘asruhu wa Fikruhu Ara’uhu wa Fiqhuhu”, oleh Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2005)

Muslehuddin, Muhammad, (terj.) Asiah Idris, Jenayah dan Doktrin Islam dalam tindakan pencegahan. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), 1992. Nasution, Lahmudin, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’I, (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 2001)

El Awa, Mohamed S. Hukuman dalam Undang-undang Islam; Satu Kajian Perbandingan, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), Kuala Lumpur, 1999.

Hj Abdul Latif, Abdul Rashid, Undang-undang Pusaka dalam Islam. Terbitan al-Hidayah, Cetakan Keempat 2002.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid,( terj), Jakarta, Pustaka Amani, cet. kedua 2002.

Mohamed, Mahfodz. (t.t), Satu Kajian Ilmiah mengenai Hukuman Hudud. Kuala Lumpur, Nurin Enterprise.

Ibrahim, Ahmad Mohamed, Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia. Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM),Kuala Lumpur, 1997.

Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), cet. 4, Juz II

Said, Haji Ibrahim Haji, Kanun Jenayah Syariah dan Sistem Kehakiman Dalam Perundangan Islam Berdasarkan Al-Quran dan Hadith, (Kuala Lumpur: Darul Makrifah, 1996)

Enakmen Jenayah Syariah (Negeri Selangor) 1995, Enactment No. 9 Tahun 1995. Yasir, Abdul Muthalib Mohd, dkk, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka


(6)

Website:

http://fiqihislam-vicky.blogspot.com/2010/01/pengertian-zina.html http://www.unitagamakmb.com/zina.htm

http://dedybalong.wordpress.com/2008/10/13/imam-syafii-dan-pemikiranmetodologi/ http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-syafii.html

http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=61&Itemi d=28

http://www.jakess.gov.my/index.php?option=com_content&view=article&id=2&Ite mid=3