Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Imam Syafi’i

yang barupun termasuk dalam madzh ab beliau yaitu Madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i dan Perumusan Hadits Yang pertama kali muncul sebagai sistem pemikiran tentang hukum Islam adalah aliran al- ra’y. Aliran ini berkembang di lembah Mesopotamia yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam pada saat itu yaitu Baghdad. Aliran ini diwakili oleh Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi yang oleh sebagian kalangan –sarjana-sarjana Hijaz- diklaim tidak memperdulikan Hadits, ternyata tanpa dasar. Karena diketahui Abu Hanifah sendiri mempunyai koleksi Hadits, namun secara umum dapat dikatakan bahwa madzhab Hanafi menggunakan metode pemahaman hukum yang lebih rasionalistik, sehingga banyak yang memasukkannya ke dalam kelompok al- ra’y. Tapi hampir bersamaan dengan itu, perhatian besar terhadap al-Sunnah ditunjukkan oleh penduduk Madinah lewat seorang sarjana Madinah sendiri - Malik bin Anas meskipun banyak bersandar pada hadits, ternyata Imam Malik sendiri pernah berguru pada Rabi’ah bin Farukh yang menganut aliran al-ra’y. Namun Malik bin Anas lebih banyak mengambil ilmu yang berkenaan dengan hadits, bukan aliran ra’yunya. Imam Syafi’i seolah-olah tampil diantara keduanya, Hanafi dan Maliki. Beliau pernah berguru kepada Imam Malik-pendiri Madzhab Maliki- dan pernah juga menuntut ilmu pada Imam as-Syaibani-penganut Madzhab Hanafi. 8 8 Lahmuddin Nasution, Op, Cit, hlm. 60 Pengalaman berguru itu memberikan warna tersendiri dalam perkembangan madzhab beliau selanjutnya. Dari Imam Malik, Imam Syafi’i mengambil ilmu tentang sunnah, akan tetapi justru Imam Syafi’i-lah yang memberi perumusan sistematik dan tegas bahwa tidak semua bentuk sunnah yang harus dipegang, akan tetapi yang benar-benar dari Nabi saw. Konsekwensinya ialah bahwa kritik terhadap sunnah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus dilakukan, dengan penyaringan mana yang benar-benar dari Nabi dan mana yang bukan. Semua laporan mengenai hadits harus dikenakan pengujian secara teliti menurut standar ilmiah tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan disiplin ilmu baru yaitu Musthalah Hadits yang juga disebut ilmu Dirayah al- Hadits. 9 Dalam bidang kajian ilmiah mengenai hadits tersebut Imam Syafi’i sebenarnya berperan lebih banyak sebagai peletak dasar. Berbagai pandangan dan teori beliau tentang hadits memerlukan waktu sekitar setengah abad untuk bisa terlaksana dengan baik. Pelaksaan penelitian terhadap hadits tersebut memperoleh bentuknya setelah munculnya sarjana hadits dari Bukhara yaitu Imam Bukhari yang pada fase selanjutnya dilanjutkan oleh murid beliau keturunan Nisaphur yaitu Imam Muslim. Tapi hasil karya kedua sarjana hadits tersebut masih jauh meliputi keseluruhan dari khabar sunnah nabawiyah. Hal ini mendorong beberapa ahli untuk meneruskan kajian dan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi saw. 9 Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta, PT Bulan Bintang: 2005, cet XI, hlm. 50 Dari hasil penelitian tersebut terkumpul enam buah buku hadits yang di kalangan kaum sunni dianggap standar meskipun dalam otoritas yang berbeda-beda selain Shahihain, yaitu Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzi dan Sunan Nasa’i. Jadi kini setidaknya secara tertulis umat Islam baca: kaum sunni dalam upaya memahami agamanya harus berpegang terhadap Quran dan kumpulan hadits “al-Kutub al-Sittah”. 10 Dengan kesimpulan diatas, makanya tahapan Imam Syafie dalam mencari ilmu adalah; Pertama; di Makkah Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. 11 Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah 10 Lahmuddin Nasution, Pembaruan H ukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001 cet, I,hlm. 50 11 Moenawar Chalil,Op, Cit. hlm. 60 Abdurrahman bin Abi Bakar Al- Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas. Kedua: di Madinah Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al- Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. 12 Sementara itu As-Syafi`i sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih l anjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al- Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada 12 Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam,Jakarta:PT raja Grafindo persada 2008 c. I h, 145. kitab yang lebih bermanfaat setelah Al- Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” 13 Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu. 14 Ketiga: Di Yaman Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. 13 http:kolom-biografi.blogspot.com200901biografi-imam-syafii.html diakses pada 20052011 jam 12:14WIB 14 Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta, PT Bulan Bintang: 2005, cet XI, hlm. 50 Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya. Keempat: Di Baghdad, Irak Kemudian pergi ke Baghdad 183 dan tahun 195, di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki pengalaman tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid. 15 Kelima: Di Mesir Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya madzhab qodim. Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru madzhab jadid. Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul i’lm di akhir bulan Rajab 204 H. 16

C. Karya-Karya Imam Syafi’i

Karya tulisan Ima m Syafi’I dapat di kategorikan sebagai berikut, pertama; Ar-Risalah Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam 15 Ibid, hlm. 55 16 Moenawar Chalil,Op, Cit. hlm. 66 Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta ilmu melainkan Allah memberinya di „leher’ Syafi’i,”. 17 Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah dipercaya, „adalah kredibilitas agama dan moral, zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap. Kedua: Al-Hujjah Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi da ri Imam Syafi’i. Ketiga: Al-Umm Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia hadis adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok. 18 17 Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001 cet, I,hlm. 30 18 Ibid, hlm. 55 Kesimpulan dari hasil teknik karya-karya adalah dapat dikatakan beliau merupakan Perintis Ushul Fiqh; Al-Quran dan al-Sunnah adalah pegangan tekstual umat Islam yang obyektif. Namun keobyektifan dalil tersebut tidak menutup sama sekali kemungkinan adanya kesubyektifan dalam pemahaman dan pandangan. Oleh karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas, bagaimana bukti-bukti tekstual tersebut dipahami, lebih dari itu jika pesan itu terlaksana dalam kehidupan nyata yang senantiasa berubah dan berkembang ini, maka usaha memahaminya haruslah didekati dengan suatu metodologi penalaran tertentu. 19 Metode penalaran tersebut sebagaimana telah dikenal dalam disiplin ilmu tentang hukum Islam adalah qiyas qiyas tamtsili. Sebagaimana ijma’ ide mengenai pemakaian metode qiyas dalam memahami nash –khususnya dari segi legalnya bukanlah tanpa persoalan dan kontroversi, karena adanya unsur intelektualism dalam qiyas tersebut. Maka tak heran jika ia qiyas dicurigai sebagai bentuk lain dari aliran ra’y. Sekalipun begitu, metode qiyas tersebut diambil oleh Imam Syafi’i, lebih penting lagi, beliau juga memberikan kerangka teoritis dan metodologi yang canggih dalam bentuk kaidah-kaidah rasional, namun tetap praktis yang selanjutnya lebih dikenal dengan ilmu Ushul Fiqh. 20 19 http:uinsuka.infoejurnalindex.php?option=com_contenttask=viewid=61Itemid=28d iakses pada 20052011 jam 12:14WIB 20 Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001 cet, I,hlm. 70