PATOFISIOLOGI EMPIEMA Pola Kuman dan Uji Kepekaan dari Empiema

Pada tahun 1890, diperkenalkan tindakan torakoplasti dan dekortikasi. Kemudian pada tahun 1950 diperkenalkan penggunaan Streptokinase dan Streptodornase. Dan pada dekade terakhir ini penggunaan VATS telah luas digunakan pada penanganan empiema. 4 Suzuki pernah meneliti efikasi dari VATS untuk penanganan empiema yang kronis dan hasilnya menunjukkan bahwa VATS sebagai tindakan invasif yang minimal sangat baik untuk mengatasi pasien dengan empiema kronis terutama pada pasien usia tua dan dengan debilitas. 13 Prevalensi efusi parapneumonik dan empiema berkisar 40 dari pasien pneumonia bakterial yang dirawat inap di rumah sakit di Amerika. 4 Ada juga yang mendapatkan angka 57 dari pneumonia yang dirawat inap 14 . Sementara Brook mendapati dari 197 pasien empiema yang diteliti, 40 diantaranya disebabkan pneumonia. Selain pneumonia, faktor penyebab lain yaitu aspirasi pneumonia 21 , abses paru 6,5, pasca torakotomi 6,5, esofagus 3,5 , abses sub diafragma 4 , metastasis jauh 4,5 , metastasis dekat 8 5 . Jenis kuman penyebab pneumonia juga mempengaruhi terjadinya empiema. Pneumonia akibat bakteri aerob Gram positif jenis Bacillus anthracis bisa mengakibatkan empiema pada 90 – 100 kasus, sedangkan jenis Streptococcus pyogenes bisa mengakibatkan empiema pada 55 – 95 kasus. 4

2.3. PATOFISIOLOGI EMPIEMA

Terjadinya empiema merupakan sekunder dari suatu proses infeksi di tempat lain yang meluas ke pleura atau karena masuknya kuman ke rongga pleura. Penyebab yang paling banyak berasal dari infeksi paru. Penyebab lain 9 Setia Putra TariganL: Pola Kuman dan Uji Kepekaan dari Empiema di RSUP. H. Adam Malik Medan. USU e-Repository © 2008. diantaranya akibat perluasan langsung dari infeksi mulut, retrofaring, paravertebra, abses kulit, atau akibat masuknya kuman ke rongga pleura oleh karena trauma atau pembedahan. Tindakan torasintesis atau torakotomi pada pneumotoraks yang tidak steril, perforasi esofagus, pneumotoraks spontan, infeksi subdiafragma juga dapat menimbulkan empiema. Snider dan Saleh pernah meneliti penyebab empiema dari 105 kasus dengan hasil terbanyak adalah infeksi paru dan pasca operasi Tabel 1. 9 Tabel 1. Patogenesis dari 105 kasus empiema. 9 Jumlah Persentase Infeksi Paru 58 55,2 Pasca operasi 23 21,9 Pasca trauma 4 3,8 Fistula esophagus 4 3,8 Pneumotoraks spontan 4 3,8 Pasca torasintesis 4 3,8 Proses subdiafragma 2 1,9 Etiologi tidak diketahui 6 5,7 Mekanisme penyebaran infeksi sehingga mencapai rongga pleura dapat dibagi kepada 4 yaitu : 1. Infeksi paru. Infeksi paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura, penyebaran melalui sistem limfatik atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa terjadi akibat adanya nekrosis jaringan akibat pneumonia atau adanya abses yang ruptur ke rongga pleura. 10 Setia Putra TariganL: Pola Kuman dan Uji Kepekaan dari Empiema di RSUP. H. Adam Malik Medan. USU e-Repository © 2008. 2. Mediastinum. Kuman kuman dapat masuk ke rongga pleura melalui tracheal fistula, esophageal fistula, adanya abses di kelenjar mediastinum atau adanya osteomyelitis vertebra. 3. Subdiafragma. Adanya proses di peritoneal atau di visceral dapat juga menyebar ke rongga pleura. 4. Inokulasi langsung. Inokulasi langsung dapat terjadi akibat trauma, iatrogenik, pasca operasi. Pasca operasi dapat terjadi infeksi dari hemotoraks atau adanya leak dari bronkus. 9 Proses infeksi di paru seperti pneumonia , abses paru, bronkiektasis, sering mengakibatkan efusi parapneumonik yang merupakan awal terjadinya empiema. Ada tiga fase perjalanan efusi parapneumonik. Fase pertama yaitu fase eksudatif yang ditandai dengan penumpukan cairan pleura yang steril dengan cepat di rongga pleura. Penumpukan cairan tersebut akibat peninggian permeabilitas kapiler di pleura visceralis yang disebabkan pneumonitis. Cairan ini mempunyai karakteristik rendah lekosit, rendah LDH, normal glukosa, dan normal pH. Bila diberikan antibiotik yang tepat pada fase ini, maka efusi pleura tidak akan berlanjut. Bila pemberian antibiotik tidak tepat, bakteri yang berasal dari proses pneumonitis tersebut akan menginvasi cairan pleura yang akan mengawali terjadinya fase kedua yaitu fase fibropurulent. Pada fase ini cairan pleura mempunyai karakteristik PMN lekosit tinggi, dijumpai bakteri dan debris selular, pH dan glukosa rendah dan LDH tinggi. Pada fase ini, penanganan tidak cukup 11 Setia Putra TariganL: Pola Kuman dan Uji Kepekaan dari Empiema di RSUP. H. Adam Malik Medan. USU e-Repository © 2008. hanya dengan antibiotik tetapi memerlukan tindakan lain seperti pemasangan selang dada. Bila penanganan juga kurang baik, penyakit akan berlanjut memasuki fase akhir yaitu fase organization. Pada fase ini fibroblas akan berkembang ke eksudat dari permukaan pleura visceralis dan parietalis dan membentuk membran yang tidak elastis yang dinamakan pleural peel. Pleural peel akan menyelubungi paru dan menghalangi paru untuk mengembang. Pada fase ini eksudat sangat kental dan bila penanganan tetap tidak baik, penyakit dapat berlanjut menjadi empiema nesesitas akibat cairan pleura mengalir sendiri menuju ke dinding toraks atau sebaliknya terjadi bronchopleural fistula akibat cairan pleura mengalir menuju paru. Secara lebih rinci, Light membagi cairan efusi parapneumonik dan empiema ini menjadi 7 kelas tingkatan berdasarkan radiologis, analisa cairan, pewarnaan Gram maupun kultur cairan Tabel 2. 4

2.4. BAKTERIOLOGI EMPIEMA