BAB II WEWENANG POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA
A. Susunan dan Kedudukan Polri
Susunan dan kedudukan Kepolisian diberbagai negara di dunia selalu berkaitan dengan sistem pemerintahan dan sistem peradilan pidana yang dianut, bahkan sistem
administrasi Kepolisian merupakan subsistem dari kedua sistem tersebut. Sistem pemerintahan negara atau sistem administrasi negara berkaiatan dengan
penyelenggaraan fungsi Kepolisian pada tataran Preventif dan Preemptif, sehingga mempunyai ciri-ciri fungsi utama administrasi negara yang meliputi : fungsi
pengaturan, perijinan, pelaksaan sendiri tugas pokok, pengolahan, pengawasan dan fungsi penyelesaian perselisihan.
45
Sistem peradilan pidana berkait dengan penyelenggaraan fungsi Kepolisian pada tataran represif sehingga akan mempunyai ciri-ciri dari sistem peradilan pidana
Criminal justice system antara lain mengenai asas yang dianutnya. Richard J. Terrill dalam bukunya “World criminal justice system memperbandingkan criminal justice
system diberbagai negara antara lain Inggeris, Perancis, Swedia, Jepang, dan Uni Soviet hanya berdasarkan komponen-komponen yang terdiri dari : The government,
The police, The judiciary, The law, Corrections and juvenilie justice dan tidak mengkaitkannya dengan komponen Angkatan Perang atau Militer oleh karena secara
universal memang diakui tidak menunjukan adanya kaitan. Selanjutnya dapat
45
Momo Kelana, Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia, Jakarta: PTIK Press, 2007, hal. 130.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
disimpulkan bahwa susunan dan kedudukan Kepolisian tidak ada dengan institusi Militer atau Angkatan Perang.
46
Pada dasarnya susunan dan kedudukan Polri ditiap negara menggambarkan konsepsi kepolisian yang dianut oleh negara yang bersangkutan dapat dikembalikan
kepada dua aliran besar yaitu konsepsi Anglo Saxon dan konsepsi Eropa Kontinental.
47
Konsepsi Anglo Saxon ditemukan dalam sistem kepolisian di Inggris dan negara-negara persemakmurannya termasuk juga Amerika Serikat yang mempunyai
sejarah perkembangan kepolisian yang disusun dari bawah berdasarkan keluarga kin- police sejalan dengan perkembangan “local autonomy system” yang berakar dari
sejarah dimana rakyat membentuk kota kecil dan mengangkat ”mayor” dan ”sheriff” nya sendiri. Hal tersebut kemudian berkembang keatas menjadi negara bagian sampai
kepada negara federal dan mengakibatkan susunan organisasi kepolisian di Amerika Serikat sangat banyak dan beragam yang jumlahnya mencapai lebih dari 1000.
Di Amerika Serikat selain Sheriff, terdapat City Police, Cauntry Police, State Police dan diangkat federal terdapat Federal Bureau of Investigation FBI, Norcotic
dan Secret Service.
48
Pengaruh dari Amerika Serikat dengan local autonomy system diterapkan pula dinegara jajahannya Filipina yang ternyata setelah kemerdekaan membawa banyak
46
Ibid.
47
Adam Thomas F, Law Enforcement, An Introduction to the Police Role in the Comunnity, Renice-Hall Inc. Englewood Cliffs N.J, 1968, hal. 71.
48
Djamin Awaloedin, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat, Jakarta: Yayasana Tenaga Kerja Indonesia, 2001, hal. 57-58.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
masalah. Maka pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an diciptakan “Intergrated National Police” dipimpin oleh Jendral Ramos, kemudian pada masa kepresidenan
Cory Aquino dengan konstitusi baru dibentuk Philippine National Police. Demikian pula halnya di Jepang, sebelum perang dunia memiliki kepolisian
nasional model Kepolisian yang diterapkan di Prancis dan Rusia tahun 1874 sebagai bagian dari Program Restorasi pemerintahan Meiji yang memperkenalkan budaya dan
teknologi Eropa ke Jepang. Setelah Jepang kalah perang, dipaksa Amerika Serikat menganut “local police system” yang ternyata tidak cocok buat Jepang sehingga
Jepang kembali menganut “National Police System”. Semenjak tahun 1960-an kepolisian dunia mengarah ke National Police System
atau National coordinated police system. Malaysia, negara federal menganut national police system, Jerman, Australia, negara-negara federal memiliki kepolisian yang
koordinir baik secara nasional.
49
Konsepsi Eropa Kontinental ditemukan di negara Perancis, Belanda dan Jerman yang lebih memperlihatkan ciri-ciri pengembangan kepolisian yang di susun dari atas
Ruler appointed police dan tersusun sebagai Kepolisian Nasional. Sistem peradilan pidana yang dominan di Indonesia adalah sistem Eropa
Kontinental sebagai pengaruh dari sejarah penjajahan Belanda walaupun sempat pula menerima pengaruh Inggris melalui “Regulation” dari Raffles yang meletakan dasar
dan peraturan tentang tata usaha Kehakiman dan Pengadilan-Pengadilan daerah di Jawa dan tata usaha Keplisian.
49
Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Susunan dan kedudukan Polri sepanjang sejarah Indonesia selalu mengikuti kebijaksaan pemerintah kolonial colonial police sejak tahun V.O.C 1602 sampai
kepada pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800 sampai 1942, dengan penerapan “indirect rule system” yang membedakan jabatan bagi bangsa Eropa dan pribumi
serta membagi wewenang antara Hoofd van den diens algemene politie yang berkantor di Departemen Dalam Negeri, Rechts politie pada procureur general pada
hooggrechtsshof Mahkamah Agung Hindia Belanda dan Resident atau Asistant Resident yang memiliki wewenang operasional agar lebih mudah untuk meminta
bantuan KNIL untuk menumpas kerusuhan dan lain-lain. Istilah “politie” baru di kenal pada jaman Hindia Belanda setelah berkembangnya “modern police” di Inggris
pada tahun 1829. Bentuk-bentuk kepolisian pada jaman Hindia Belanda adalah : Algemene
politie, stadspolitie, gewapende politie, veld politie, cultuur politie dan bestuurs politie.
50
Pada jaman penduduk Jepang pada tahun 1942 sampai dengan 1945, hanya ada satu bentuk kepolisian yaitu “Keisatsutan” yang susun dan kedudukan
disesuaikan dengan kepentingan pendudukan militer guna pembagian daerah pertahanan militer Jepang. Kepolisian dibagi dalam empat regional :
a. Jawa dan Madura, dengan pusat di Jakarta dibawah Rikugun Angkatan
Darat. b.
Sumatera, dengan pusat di Bukit tinggi di bawah Rikugun.
50
Awaloedin Djamin, Op. Cit, hal .60-61
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
c. Timur Barat Sulawesi, Maluku, Irian Barat berpusat di Makasar dibawah
Kaigun Angkatan Laut. d.
Kalimantan berpusat di Banjarmasin dibawah Kaigun. Pada jaman kemerdekaan sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 secara spontan
kepolisian di daerah menyatakan diri sebagai Kepolisian Republik Indonesia dan pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI
sesuai dengan jaman Hindia Belanda menetapkan organisasi kepolisian dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri, namun dalam kenyataan tidak pernah
terlaksana.
51
Pada tanggal 1 Juli 1946, dengan penetapan pemerintah No. 11SD dibentuk di Jawatan Kepolisian Negara dan bertanggung jawab langsung kepada Perdana Mentri.
Maka secara resmi lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia Indonesian National Police yang melaksanakan seluruh tugas kepolisian dan mencakupi seluruh wilayah
Republik Indonesia. Mulai saat itu struktur organisasi Kepolisian ditingkat pusat berada dibawah
perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan Negara membawahi secara hierarkhis Penilik Kepolisian, Kepala Kepolisian karesidenan, Kepala Kepolisian Kabupaten,
Kepala Kepolisian Distrik kawadanan dan Kepala Kepolisian Onder Distrik Kecamatan. Penilik Kepolisian yang berada ditingkat Provinsi mengkoordinir
kepolisian di daerah.
51
Ibid
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Pada tahun 1946, organisasi kepolisian disesuaikan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 sehingga secara hirarkis kewenangan kepolisian berada pada
Perdana Menteri, Kepala Kepolisian Karesidenan, Kepala Polisi Kabupaten, Kepala Polisi Wilayah, dan Kepala Polisi Sub wilayah. Susunan dan kedudukan kepolisian
terus disesuaikan dengan dinamika dan tututan perjuangan pada revolusi fisik. Karena keadaan Ibu Kota Jakarta yang tidak memungkinkan, maka bulan Juni
1946 Kantor Pusat Kepolisian dipindahkan ke Purwokerto. Konsolidasi Kepolisian menghasilkan dibentuknya Mobile Brigade Mobbrig pada tanggal 14 Nopember
1946 dan tanggal 17 Juni 1946 didirikan Akademi Polisi yang kemudian pada tahun 1950 ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Pada periode 1946 sampai Agustus 1950 Kepolisian Negara berada dibawah Pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Kepala Kepolisian Negara berada dibawah
Perdana Menteri, namun keadaan itu berlangsung hanya selama 7 tujuh bulan. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke Negara Kesatuan tetapi dengan
Undang-Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 Pasal 130 dinyatakan bahwa : “untuk memelihara ketertiban dan keamanan yang diatur dengan
undang-undang”. Kepala Kepolisian Negara tetap membawah kepada perdana Menteri dan bertanggung jawab atas kepolisian diseluruh tanah air dengan organisasi
yang utuh dari pusat sampai kedaerah. Perdana Menteri dibantu oleh satu Biro Keamanan dikantor Kabinet Perdana Menteri yang dipimpin oleh Komisaris Besar
Polisi R Soeprapto.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Konsolidasi Kepolisian Negara terus dilaksanakan dan membangun secara sistematis menjadi kepolisian yang modern dan profesional. Berbagai keberhasilan
operasional dan fungsi represif dan preventif seperti mengungkap kasus spionase Juengslager dan Schmidt peristiwa Cikini, dan lain-lain ditanda tangani Kepolisian
Negara RI dengan berhasil tanpa campur tangan dari instansi lain. Ditingkat internasional, Kepala Kepolisian Negara Indonesia ditunjuk sebagai
Kepala National Central Bureu Interpol, mewakili Pemerintah RI dalam International Criminal Police Commission ICPC yang kemudian menjadi ICPO
Intemational Criminal Police Organization. Susunan dan kedudukan kepolisian di Indonesia selanjutnya lebih diharapkan
dinyatakan dalam Undang-Undang. Panitia Wongsonegoro bekerja cukup lama untuk membuat Undang-Undang, namun tidak membawa hasil. Di samping itu, Persatuan
Pegawai Polisi Republik Indonesia P3RI pada tahun 1957 mengadakan kongres yang menghasilkan sebuah keputusan agar kepolisian memiliki Kementerian
tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada tahun 1961 lahirlah Undang-Undang No. 13 Tahun
1961 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara yang mengatur tentang pimpinan dan Susunan Negara dimana dinyatakan bahwa:
a. Pasal 5 1 Penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara dilakukan oleh
Departemen Kepolisian. b.
Pasal 6 Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara. c.
Pasal 7 angka :
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1. Menteri yang menguasai Kepolisian Negara, selanjutnya disebut Menteri,
memegang pimpinan penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara, baik pencegahan prefentif maupun pemberantasan represip.
2. Menteri menetapkan kebijakan Kepolisian, sesuai dengan politik
Pemerintah umumnya dan politik keamanan nasional khususnya, serta bertanggung jawab atas pelaksaan tugas memelihara keamanan didalam
negeri. 3.
Menteri memegang pimpinan Departemen Kepolisian. 4.
Menteri memegang pimpinan dan penguasaan umum Kepolisian Negara. d.
Pasal 8 Kepala Kepolisian Negara memegang pimpinan tehnis dan Komando Angkatan Kepolisian Negara.
Dengan demikian menurut Undang-Undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961 pengembanan kekuasan kepolisian secara hirarki terdiri dari Presiden, Menteri
Kepolisian Negara, dan Kepala Kepolisian Negara serta disamping itu terdapat Kepala Daerah yang memegang pimpinan kebijakan politik polisionil dan koordinasi
dinas vertikal di daerahnya. Oleh karena itu Kepala Daerah dapat mempergunakan Kepolisian Negara yang
ada dalam daerahnya untuk melaksakan wewenangnya dengan memperhatikan hirarki dalam Kepolisian Negara. Pasal 10 Undang-undang No. 13 tahun 1961.
Mengenai susunan kepolisian, Undang-Undang Kepolisian menganut Kepolisian Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat 1 “Kepolisian
Negara merupakan satu kesatuan”. Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
wewenang Kepolisian disusun menurut keperluan pelaksaan tugas Kepolisian Negara dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pimpinan Kepolisian di daerah
bertanggung jawab atas pimpinan serta pelaksaan kebijaksaan keamanan dan lain-lain tugas Kepolisian di daerahnya masing-masing dan langsung bertanggung jawab
kepada pejabat Kepolisian yang menurut hirarki ada diatasnya. Di bidang proses pidana kedudukan Kepolisian di atur dalam Het herziene inlandsche reglemen HIR
sebagai pembantu jaksa hulp magistraat sampai keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dalam Undang-Undang Kepolisian No. 13 Tahun
1961 juga dinyatakan kedudukan Kepolisian Negara sebagai Angkatan Bersenjata, namun demikian tidak ada pengintegrasian Kepolisian Negara kedalam Angkatan
Bersenjata. Polri tetap dipimpin oleh Menteri atau Kepala Staf Angkatan Polri, kemudian
Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian. Kepolisian tetap membawa pada Presiden. Dengan demikian dalam kenyataannya semenjak 1 juli 1946 sampai dengan
tahun 1969, Polri tetap mandiri, otonom dibidang operasional dan pembinaan, langsung dibawah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara.
Pada tahun 1969 dilaksanakan integrasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dengan demikian kemandirian dan kedudukan Polri semenjak 1 Juli 1946
berada dibawah Perdana Menteri dan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara menjadi terhenti.
Awaloedin Djamin menyatakan bahwa: “Dalam pelaksaan integrasi yang keliru inilah, kemandirian Polri dibidang operasional dan pembinaan merosot. Dengan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
adanya lembaga Kopkamtib yang dalam praktek mempunyai kekuasaan yang luas, juga dalam penegakan hukum dan penyidikan, maka intervensi terhadap pelaksanaan
tugas kepolisian tidak dapat dihindarkan.
52
Pada Tahun 1981 keluar Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana KUHAP yang memuat perubahan kebijakan proses pidana serta
merubah kedudukan Polisi sebagai penyidik dalam proses pidana yang setara dengan Jaksa selaku penuntut umum. Kedudukan Polisi tidak lagi sebagai hulp magistraat.
Perubahan tersebut dengan sendirinya membawa implikasi perubahan pula dalam penyelenggaraan fungi Polri pemolisian.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 45 ayat 3 mengamanatkan perlunya disusun Undang-
undang tersendiri bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang- undang No. 28 Tahun 1997 tidak profesionalisme Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Hal tersebut dapat disimak dalam rumusan berbagai Pasal antara lain dalan
rumusan tujuan kepolisian dalam Pasal 2 masih terkait dengan terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara. Dalam Pasal-pasal lainya juga dapat disimak
susunan dan kedudukan kepolisian sebagaimana ditemukan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1982 antara lain:
52
Ibid, hal. 69.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Pasal 5 angka :
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah unsur Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri.
2. Kepolisian
Negara Republik
Indonesia merupakan
satu kesatuan dalam melaksanakan fungsi kepolisian.
b. Pasal 6 1 Kepolisian Negara Indonesia dalam melaksanakan fungsi
Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Dari rumusan Pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepolisian Negara Indonesia sebagai satu kesatuan berada dibawah komando Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia ABRI karena merupakan unsur ABRI. Selanjutnya dari rumusan Pasal 6 ayat 1 dapat disimpulkan bahwa model yang
dianut adalah Kepolisian Nasional, walaupun tidak secara eksplisit ditegaskan dalam pasal.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 masih ditemukan berbagai bentuk intervensi antara lain dalam menyelenggarakan fungsi Kepolisian Presiden dibantu
oleh Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pasal 16 ayat 1 dan 2.
Terdapat juga ketentuan tentang pertanggung jawaban pelaksaan tugas Kepala Kepolisian Republik Indonesia baik di bidang penyelenggaraan operasional
Kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Polri yang mesti dipertanggung jawabkan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kepada Menteri Pertahanan Keamanan maupun dibidang penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Indonesia, Indonesia yang harus dipertanggung
jawabkan kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia seperti dinyatakan dalam Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 yaitu:
“Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam, melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada.
a. ayat 2 huruf a bertanggung jawab kepada Menteri.
b. ayat 2 huruf b bertanggung jawab kepada Panglima”.
Mengenai kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hubungan dan kerjasama dengan instansi lain, dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1997.
Pada dasarnya hubungan dan kerjasama Kepolisian Negara Indonesia, dengan badan, lembaga, serta instansi didalam dan diluar negeri didasarkan atas sendi-sendi
hubungan fungsional saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum serta memperhatikan hirarki dengan mengembangkan asas
partisipasi dan asas subsidiaritas. Hubungan dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang
Kepolisian dan Undang-Undang Tentang Pemerintah Daerah No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dengan mengikat bahwa Kepala Daerah tidak
lagi secara tegas dinyatakan memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisionil di daerahnya. Selain itu kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku
Koordinator, pengawas dan pembina teknis kepolisian. Kepolisian Khusus dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa tetap
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
melakukan “melakukan koordinasi pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap alat- alat Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa yang memiliki kewenangan Kepolisian terbatas”.
53
Bergulirnya era reformasi telah mengakibatkan perubahan besar dalam ketatanegaraan dan pemerintahan antara lain pengunduran diri Presiden Soeharto
pada tanggal 21 Mei 1998 dan berdasarkan pasal 8 UUD 1945, Wakil Presiden BJ.Habibie menggantikan Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Perubahan tersebut telah menimbulkan pula perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Beberapa perubahan paradigma ketatanegaraan tersebut antaralain
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratanan Rakyat No. VIMPR2000 dan No. VIIMPR2000 serta Undang-
Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 dan undang-Undang No. 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Kepolisian No. 28 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang Kepolisian
No. 2 Tahun 2002, Pasal 5 ayat 2 Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan sebagai Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan
peran dan fungsi kepolisian meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
53
Pasal 14 ayat 1 huruf I, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Kedudukan Polri berada dibawah Presiden dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung
jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undang pasal 8 ayat 1 dan 2. Namun demikian dalam rangka mewujudkan balance of power dalam
negara demokrasi terdapat ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 11 ayat
1. Selain itu kekuasaan Presiden dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, masih
dibatasi oleh Komisi Kepolisian Nasional yang berkedudukan dan bertanggung jawab kepada Presiden yang tugasnya sebagaiberikut :
a. Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan. b.
Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
54
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 selain diatur tentang kedudukan
55
instansi Polri, diatur pula kedudukan Anggota Polri dalam rangka administrasi
54
Pasal 38, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
55
Susunan dan kedudukan Polri dapat dilihat pada Pasal 6 : 1 Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peranan fungsi kepolisian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
2 Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Pasal 7 :
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kepegawaian yang dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Pegawai Negeri disamping Pegawai Negeri Sipil
dilingkungan Polri. Sebelumnya mengenai personil atau kepegawaian, Polri mengacu kepada
Undang-Undang No. 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, karena Polri merupakan bagian integral ABRI.
B. Tugas dan Wewenang Aparat Penegak Hukum di Indonesia