sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
2. Sumber Data Penelitian
Data pokok dalam penelitian ini adalah data skunder, yang meliputi:
43
a. Bahan hukum primer, yaitu:
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
4. Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana
Korupsi. b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar
hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder,
43
Penelitian Normatif dan sekunder sebagai sumberbahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum
Dalam Praktek , Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hal.14.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
seperti kamus umum, kamus hukum, majalah jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian.
44
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui: b.
Studi kepustakaan library research. Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini pengumpulan data
akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan
tentang Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.
c. Wawancara.
Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diharapkan diperoleh dengan melakukan wawancara dengan Pejabat Ditrektorat Reskrim Polda
Sumatera utara dan Kasi. Penyidikan pada AS PIDSUS KEJATISU.
4. Analisis Data
Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan library research, serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, maka
dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif
44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985, hal.23.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode induktif maksudnya menarik dari generalisasi yang berkembang dalam Kewenangan Polri dalam bertugas sebagai penyidik untuk memberantas Tidak
Pidana Korupsi. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum
dalam penyelesaian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif ini, maka akan diperoleh
persesuaian tentang bagaimana sebenarnya Kewenangan Polri dalam bertugas sebagai penyidik untuk memberantas Tidak Pidana Korupsi
Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
BAB II WEWENANG POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA
A. Susunan dan Kedudukan Polri
Susunan dan kedudukan Kepolisian diberbagai negara di dunia selalu berkaitan dengan sistem pemerintahan dan sistem peradilan pidana yang dianut, bahkan sistem
administrasi Kepolisian merupakan subsistem dari kedua sistem tersebut. Sistem pemerintahan negara atau sistem administrasi negara berkaiatan dengan
penyelenggaraan fungsi Kepolisian pada tataran Preventif dan Preemptif, sehingga mempunyai ciri-ciri fungsi utama administrasi negara yang meliputi : fungsi
pengaturan, perijinan, pelaksaan sendiri tugas pokok, pengolahan, pengawasan dan fungsi penyelesaian perselisihan.
45
Sistem peradilan pidana berkait dengan penyelenggaraan fungsi Kepolisian pada tataran represif sehingga akan mempunyai ciri-ciri dari sistem peradilan pidana
Criminal justice system antara lain mengenai asas yang dianutnya. Richard J. Terrill dalam bukunya “World criminal justice system memperbandingkan criminal justice
system diberbagai negara antara lain Inggeris, Perancis, Swedia, Jepang, dan Uni Soviet hanya berdasarkan komponen-komponen yang terdiri dari : The government,
The police, The judiciary, The law, Corrections and juvenilie justice dan tidak mengkaitkannya dengan komponen Angkatan Perang atau Militer oleh karena secara
universal memang diakui tidak menunjukan adanya kaitan. Selanjutnya dapat
45
Momo Kelana, Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia, Jakarta: PTIK Press, 2007, hal. 130.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
disimpulkan bahwa susunan dan kedudukan Kepolisian tidak ada dengan institusi Militer atau Angkatan Perang.
46
Pada dasarnya susunan dan kedudukan Polri ditiap negara menggambarkan konsepsi kepolisian yang dianut oleh negara yang bersangkutan dapat dikembalikan
kepada dua aliran besar yaitu konsepsi Anglo Saxon dan konsepsi Eropa Kontinental.
47
Konsepsi Anglo Saxon ditemukan dalam sistem kepolisian di Inggris dan negara-negara persemakmurannya termasuk juga Amerika Serikat yang mempunyai
sejarah perkembangan kepolisian yang disusun dari bawah berdasarkan keluarga kin- police sejalan dengan perkembangan “local autonomy system” yang berakar dari
sejarah dimana rakyat membentuk kota kecil dan mengangkat ”mayor” dan ”sheriff” nya sendiri. Hal tersebut kemudian berkembang keatas menjadi negara bagian sampai
kepada negara federal dan mengakibatkan susunan organisasi kepolisian di Amerika Serikat sangat banyak dan beragam yang jumlahnya mencapai lebih dari 1000.
Di Amerika Serikat selain Sheriff, terdapat City Police, Cauntry Police, State Police dan diangkat federal terdapat Federal Bureau of Investigation FBI, Norcotic
dan Secret Service.
48
Pengaruh dari Amerika Serikat dengan local autonomy system diterapkan pula dinegara jajahannya Filipina yang ternyata setelah kemerdekaan membawa banyak
46
Ibid.
47
Adam Thomas F, Law Enforcement, An Introduction to the Police Role in the Comunnity, Renice-Hall Inc. Englewood Cliffs N.J, 1968, hal. 71.
48
Djamin Awaloedin, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat, Jakarta: Yayasana Tenaga Kerja Indonesia, 2001, hal. 57-58.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
masalah. Maka pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an diciptakan “Intergrated National Police” dipimpin oleh Jendral Ramos, kemudian pada masa kepresidenan
Cory Aquino dengan konstitusi baru dibentuk Philippine National Police. Demikian pula halnya di Jepang, sebelum perang dunia memiliki kepolisian
nasional model Kepolisian yang diterapkan di Prancis dan Rusia tahun 1874 sebagai bagian dari Program Restorasi pemerintahan Meiji yang memperkenalkan budaya dan
teknologi Eropa ke Jepang. Setelah Jepang kalah perang, dipaksa Amerika Serikat menganut “local police system” yang ternyata tidak cocok buat Jepang sehingga
Jepang kembali menganut “National Police System”. Semenjak tahun 1960-an kepolisian dunia mengarah ke National Police System
atau National coordinated police system. Malaysia, negara federal menganut national police system, Jerman, Australia, negara-negara federal memiliki kepolisian yang
koordinir baik secara nasional.
49
Konsepsi Eropa Kontinental ditemukan di negara Perancis, Belanda dan Jerman yang lebih memperlihatkan ciri-ciri pengembangan kepolisian yang di susun dari atas
Ruler appointed police dan tersusun sebagai Kepolisian Nasional. Sistem peradilan pidana yang dominan di Indonesia adalah sistem Eropa
Kontinental sebagai pengaruh dari sejarah penjajahan Belanda walaupun sempat pula menerima pengaruh Inggris melalui “Regulation” dari Raffles yang meletakan dasar
dan peraturan tentang tata usaha Kehakiman dan Pengadilan-Pengadilan daerah di Jawa dan tata usaha Keplisian.
49
Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Susunan dan kedudukan Polri sepanjang sejarah Indonesia selalu mengikuti kebijaksaan pemerintah kolonial colonial police sejak tahun V.O.C 1602 sampai
kepada pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800 sampai 1942, dengan penerapan “indirect rule system” yang membedakan jabatan bagi bangsa Eropa dan pribumi
serta membagi wewenang antara Hoofd van den diens algemene politie yang berkantor di Departemen Dalam Negeri, Rechts politie pada procureur general pada
hooggrechtsshof Mahkamah Agung Hindia Belanda dan Resident atau Asistant Resident yang memiliki wewenang operasional agar lebih mudah untuk meminta
bantuan KNIL untuk menumpas kerusuhan dan lain-lain. Istilah “politie” baru di kenal pada jaman Hindia Belanda setelah berkembangnya “modern police” di Inggris
pada tahun 1829. Bentuk-bentuk kepolisian pada jaman Hindia Belanda adalah : Algemene
politie, stadspolitie, gewapende politie, veld politie, cultuur politie dan bestuurs politie.
50
Pada jaman penduduk Jepang pada tahun 1942 sampai dengan 1945, hanya ada satu bentuk kepolisian yaitu “Keisatsutan” yang susun dan kedudukan
disesuaikan dengan kepentingan pendudukan militer guna pembagian daerah pertahanan militer Jepang. Kepolisian dibagi dalam empat regional :
a. Jawa dan Madura, dengan pusat di Jakarta dibawah Rikugun Angkatan
Darat. b.
Sumatera, dengan pusat di Bukit tinggi di bawah Rikugun.
50
Awaloedin Djamin, Op. Cit, hal .60-61
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
c. Timur Barat Sulawesi, Maluku, Irian Barat berpusat di Makasar dibawah
Kaigun Angkatan Laut. d.
Kalimantan berpusat di Banjarmasin dibawah Kaigun. Pada jaman kemerdekaan sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 secara spontan
kepolisian di daerah menyatakan diri sebagai Kepolisian Republik Indonesia dan pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI
sesuai dengan jaman Hindia Belanda menetapkan organisasi kepolisian dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri, namun dalam kenyataan tidak pernah
terlaksana.
51
Pada tanggal 1 Juli 1946, dengan penetapan pemerintah No. 11SD dibentuk di Jawatan Kepolisian Negara dan bertanggung jawab langsung kepada Perdana Mentri.
Maka secara resmi lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia Indonesian National Police yang melaksanakan seluruh tugas kepolisian dan mencakupi seluruh wilayah
Republik Indonesia. Mulai saat itu struktur organisasi Kepolisian ditingkat pusat berada dibawah
perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan Negara membawahi secara hierarkhis Penilik Kepolisian, Kepala Kepolisian karesidenan, Kepala Kepolisian Kabupaten,
Kepala Kepolisian Distrik kawadanan dan Kepala Kepolisian Onder Distrik Kecamatan. Penilik Kepolisian yang berada ditingkat Provinsi mengkoordinir
kepolisian di daerah.
51
Ibid
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Pada tahun 1946, organisasi kepolisian disesuaikan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 sehingga secara hirarkis kewenangan kepolisian berada pada
Perdana Menteri, Kepala Kepolisian Karesidenan, Kepala Polisi Kabupaten, Kepala Polisi Wilayah, dan Kepala Polisi Sub wilayah. Susunan dan kedudukan kepolisian
terus disesuaikan dengan dinamika dan tututan perjuangan pada revolusi fisik. Karena keadaan Ibu Kota Jakarta yang tidak memungkinkan, maka bulan Juni
1946 Kantor Pusat Kepolisian dipindahkan ke Purwokerto. Konsolidasi Kepolisian menghasilkan dibentuknya Mobile Brigade Mobbrig pada tanggal 14 Nopember
1946 dan tanggal 17 Juni 1946 didirikan Akademi Polisi yang kemudian pada tahun 1950 ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Pada periode 1946 sampai Agustus 1950 Kepolisian Negara berada dibawah Pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Kepala Kepolisian Negara berada dibawah
Perdana Menteri, namun keadaan itu berlangsung hanya selama 7 tujuh bulan. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke Negara Kesatuan tetapi dengan
Undang-Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 Pasal 130 dinyatakan bahwa : “untuk memelihara ketertiban dan keamanan yang diatur dengan
undang-undang”. Kepala Kepolisian Negara tetap membawah kepada perdana Menteri dan bertanggung jawab atas kepolisian diseluruh tanah air dengan organisasi
yang utuh dari pusat sampai kedaerah. Perdana Menteri dibantu oleh satu Biro Keamanan dikantor Kabinet Perdana Menteri yang dipimpin oleh Komisaris Besar
Polisi R Soeprapto.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Konsolidasi Kepolisian Negara terus dilaksanakan dan membangun secara sistematis menjadi kepolisian yang modern dan profesional. Berbagai keberhasilan
operasional dan fungsi represif dan preventif seperti mengungkap kasus spionase Juengslager dan Schmidt peristiwa Cikini, dan lain-lain ditanda tangani Kepolisian
Negara RI dengan berhasil tanpa campur tangan dari instansi lain. Ditingkat internasional, Kepala Kepolisian Negara Indonesia ditunjuk sebagai
Kepala National Central Bureu Interpol, mewakili Pemerintah RI dalam International Criminal Police Commission ICPC yang kemudian menjadi ICPO
Intemational Criminal Police Organization. Susunan dan kedudukan kepolisian di Indonesia selanjutnya lebih diharapkan
dinyatakan dalam Undang-Undang. Panitia Wongsonegoro bekerja cukup lama untuk membuat Undang-Undang, namun tidak membawa hasil. Di samping itu, Persatuan
Pegawai Polisi Republik Indonesia P3RI pada tahun 1957 mengadakan kongres yang menghasilkan sebuah keputusan agar kepolisian memiliki Kementerian
tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada tahun 1961 lahirlah Undang-Undang No. 13 Tahun
1961 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara yang mengatur tentang pimpinan dan Susunan Negara dimana dinyatakan bahwa:
a. Pasal 5 1 Penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara dilakukan oleh
Departemen Kepolisian. b.
Pasal 6 Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara. c.
Pasal 7 angka :
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1. Menteri yang menguasai Kepolisian Negara, selanjutnya disebut Menteri,
memegang pimpinan penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara, baik pencegahan prefentif maupun pemberantasan represip.
2. Menteri menetapkan kebijakan Kepolisian, sesuai dengan politik
Pemerintah umumnya dan politik keamanan nasional khususnya, serta bertanggung jawab atas pelaksaan tugas memelihara keamanan didalam
negeri. 3.
Menteri memegang pimpinan Departemen Kepolisian. 4.
Menteri memegang pimpinan dan penguasaan umum Kepolisian Negara. d.
Pasal 8 Kepala Kepolisian Negara memegang pimpinan tehnis dan Komando Angkatan Kepolisian Negara.
Dengan demikian menurut Undang-Undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961 pengembanan kekuasan kepolisian secara hirarki terdiri dari Presiden, Menteri
Kepolisian Negara, dan Kepala Kepolisian Negara serta disamping itu terdapat Kepala Daerah yang memegang pimpinan kebijakan politik polisionil dan koordinasi
dinas vertikal di daerahnya. Oleh karena itu Kepala Daerah dapat mempergunakan Kepolisian Negara yang
ada dalam daerahnya untuk melaksakan wewenangnya dengan memperhatikan hirarki dalam Kepolisian Negara. Pasal 10 Undang-undang No. 13 tahun 1961.
Mengenai susunan kepolisian, Undang-Undang Kepolisian menganut Kepolisian Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat 1 “Kepolisian
Negara merupakan satu kesatuan”. Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
wewenang Kepolisian disusun menurut keperluan pelaksaan tugas Kepolisian Negara dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pimpinan Kepolisian di daerah
bertanggung jawab atas pimpinan serta pelaksaan kebijaksaan keamanan dan lain-lain tugas Kepolisian di daerahnya masing-masing dan langsung bertanggung jawab
kepada pejabat Kepolisian yang menurut hirarki ada diatasnya. Di bidang proses pidana kedudukan Kepolisian di atur dalam Het herziene inlandsche reglemen HIR
sebagai pembantu jaksa hulp magistraat sampai keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dalam Undang-Undang Kepolisian No. 13 Tahun
1961 juga dinyatakan kedudukan Kepolisian Negara sebagai Angkatan Bersenjata, namun demikian tidak ada pengintegrasian Kepolisian Negara kedalam Angkatan
Bersenjata. Polri tetap dipimpin oleh Menteri atau Kepala Staf Angkatan Polri, kemudian
Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian. Kepolisian tetap membawa pada Presiden. Dengan demikian dalam kenyataannya semenjak 1 juli 1946 sampai dengan
tahun 1969, Polri tetap mandiri, otonom dibidang operasional dan pembinaan, langsung dibawah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara.
Pada tahun 1969 dilaksanakan integrasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dengan demikian kemandirian dan kedudukan Polri semenjak 1 Juli 1946
berada dibawah Perdana Menteri dan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara menjadi terhenti.
Awaloedin Djamin menyatakan bahwa: “Dalam pelaksaan integrasi yang keliru inilah, kemandirian Polri dibidang operasional dan pembinaan merosot. Dengan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
adanya lembaga Kopkamtib yang dalam praktek mempunyai kekuasaan yang luas, juga dalam penegakan hukum dan penyidikan, maka intervensi terhadap pelaksanaan
tugas kepolisian tidak dapat dihindarkan.
52
Pada Tahun 1981 keluar Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana KUHAP yang memuat perubahan kebijakan proses pidana serta
merubah kedudukan Polisi sebagai penyidik dalam proses pidana yang setara dengan Jaksa selaku penuntut umum. Kedudukan Polisi tidak lagi sebagai hulp magistraat.
Perubahan tersebut dengan sendirinya membawa implikasi perubahan pula dalam penyelenggaraan fungi Polri pemolisian.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 45 ayat 3 mengamanatkan perlunya disusun Undang-
undang tersendiri bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang- undang No. 28 Tahun 1997 tidak profesionalisme Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Hal tersebut dapat disimak dalam rumusan berbagai Pasal antara lain dalan
rumusan tujuan kepolisian dalam Pasal 2 masih terkait dengan terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara. Dalam Pasal-pasal lainya juga dapat disimak
susunan dan kedudukan kepolisian sebagaimana ditemukan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1982 antara lain:
52
Ibid, hal. 69.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Pasal 5 angka :
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah unsur Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri.
2. Kepolisian
Negara Republik
Indonesia merupakan
satu kesatuan dalam melaksanakan fungsi kepolisian.
b. Pasal 6 1 Kepolisian Negara Indonesia dalam melaksanakan fungsi
Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Dari rumusan Pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepolisian Negara Indonesia sebagai satu kesatuan berada dibawah komando Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia ABRI karena merupakan unsur ABRI. Selanjutnya dari rumusan Pasal 6 ayat 1 dapat disimpulkan bahwa model yang
dianut adalah Kepolisian Nasional, walaupun tidak secara eksplisit ditegaskan dalam pasal.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 masih ditemukan berbagai bentuk intervensi antara lain dalam menyelenggarakan fungsi Kepolisian Presiden dibantu
oleh Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pasal 16 ayat 1 dan 2.
Terdapat juga ketentuan tentang pertanggung jawaban pelaksaan tugas Kepala Kepolisian Republik Indonesia baik di bidang penyelenggaraan operasional
Kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Polri yang mesti dipertanggung jawabkan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kepada Menteri Pertahanan Keamanan maupun dibidang penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Indonesia, Indonesia yang harus dipertanggung
jawabkan kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia seperti dinyatakan dalam Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 yaitu:
“Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam, melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada.
a. ayat 2 huruf a bertanggung jawab kepada Menteri.
b. ayat 2 huruf b bertanggung jawab kepada Panglima”.
Mengenai kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hubungan dan kerjasama dengan instansi lain, dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1997.
Pada dasarnya hubungan dan kerjasama Kepolisian Negara Indonesia, dengan badan, lembaga, serta instansi didalam dan diluar negeri didasarkan atas sendi-sendi
hubungan fungsional saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum serta memperhatikan hirarki dengan mengembangkan asas
partisipasi dan asas subsidiaritas. Hubungan dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang
Kepolisian dan Undang-Undang Tentang Pemerintah Daerah No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dengan mengikat bahwa Kepala Daerah tidak
lagi secara tegas dinyatakan memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisionil di daerahnya. Selain itu kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku
Koordinator, pengawas dan pembina teknis kepolisian. Kepolisian Khusus dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa tetap
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
melakukan “melakukan koordinasi pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap alat- alat Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa yang memiliki kewenangan Kepolisian terbatas”.
53
Bergulirnya era reformasi telah mengakibatkan perubahan besar dalam ketatanegaraan dan pemerintahan antara lain pengunduran diri Presiden Soeharto
pada tanggal 21 Mei 1998 dan berdasarkan pasal 8 UUD 1945, Wakil Presiden BJ.Habibie menggantikan Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Perubahan tersebut telah menimbulkan pula perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Beberapa perubahan paradigma ketatanegaraan tersebut antaralain
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratanan Rakyat No. VIMPR2000 dan No. VIIMPR2000 serta Undang-
Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 dan undang-Undang No. 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Kepolisian No. 28 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang Kepolisian
No. 2 Tahun 2002, Pasal 5 ayat 2 Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan sebagai Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan
peran dan fungsi kepolisian meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
53
Pasal 14 ayat 1 huruf I, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Kedudukan Polri berada dibawah Presiden dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung
jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undang pasal 8 ayat 1 dan 2. Namun demikian dalam rangka mewujudkan balance of power dalam
negara demokrasi terdapat ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 11 ayat
1. Selain itu kekuasaan Presiden dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, masih
dibatasi oleh Komisi Kepolisian Nasional yang berkedudukan dan bertanggung jawab kepada Presiden yang tugasnya sebagaiberikut :
a. Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan. b.
Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
54
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 selain diatur tentang kedudukan
55
instansi Polri, diatur pula kedudukan Anggota Polri dalam rangka administrasi
54
Pasal 38, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
55
Susunan dan kedudukan Polri dapat dilihat pada Pasal 6 : 1 Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peranan fungsi kepolisian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
2 Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Pasal 7 :
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kepegawaian yang dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Pegawai Negeri disamping Pegawai Negeri Sipil
dilingkungan Polri. Sebelumnya mengenai personil atau kepegawaian, Polri mengacu kepada
Undang-Undang No. 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, karena Polri merupakan bagian integral ABRI.
B. Tugas dan Wewenang Aparat Penegak Hukum di Indonesia
1. Tugas dan Wewenang Polri
Dalam rumusan wewenang yang diberikan oleh undang-undang melekat pula pertanggung jawaban sehingga bila wewenang tersebut digunakan secara salah satu
melampaui kewenangan yang diberikan, maka ada prosedur pemberian sanksi-sanksi dan pertanggung jawabannya. wewenang juga menunjuk kepada sumber serta latar
belakang pemberian wewenang dimaksud. Sebagai contoh asas legalitas menunjuk kepada Undang-undang sebagai sumber wewenang, sedangkan asas kewajiban
menunjukan kepada kewajiban umum Polri untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum sebagai sumber wewenang.
56
Susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden. Pasal 8 :
1 Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
2
Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
56
Awaloedin Djamin, Op. Cit, hal. 161.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Sehingga wewenang Polri dibatasi oleh lingkungan kuasa yang terdiri dari lingkungan kuasa soal-soal zaken gebied, lingkungan kuasa orang personen
gebien, lingkungan kuasa tempat atau ruangan ruemte gebiedterritoir gebied dan lingkungan kuasa waktu tijds gebied.
Dalam Undang-undang Polri No. 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri. Dalam Pasal 13 disebutkan ada 3 tiga tugas Pokok Polri yaitu :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
57
Bentuk-bentuk wewenang Polri dalam proses pidana dinyatakan lebih rinci dalam Undang-undang Polri No. 2 Tahun 2002 Pasal 16 ayat 1 dan 2. Sedangkan
dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, bentuk-bentuk wewenang Polri tersebut dinyatakan dalam wewenang Penyidikan Pasal 5 ayat 1
dan wewenang Penyidik Pasal 7 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3. Dalam KUHAP Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa: Penyidikan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
57
Pasal 13 Undang-undang Polri No. 2 Tahun 2002.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
pelaksanaan tugasnya berada di bahwa koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat 1 huruf a.
Kelompok wewenang kepolisian dapat dikenali berdasarkan pengelompokan tugas-tugasnya yang bersumber dari kewajiban umum kepolisian, perundang-
undangan lainnya dan dalam proses pidana. Oleh karena itu dapat ditemukan pengelompokan wewenang Polri.
Wewenang Kepolisian dapat dibagi menjadi 4 empat yakni : 1.
Wewenang Kepolisian Secara Umum Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a.
menerima laporan danatau pengaduan; b.
membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa; e.
mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan
menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
58
Jadi jelas bahwa “Peraturan Kepolisian” tetap bersifat mengikat warga masyarakat karena peraturan tersebut dikeluarkan untuk kepentingan warga
masyarakat dalam kaitannya dengan tugas kepolisian. f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
Kewenangan ini merupakan legitimasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Polri ditempat kejadian perkara TKP guna pengamanan tempat kejadian dan
barang bukti. Rumusan kewenangan ini memberikan dasar dan kekuatan hukum bagi “tanda garis polisi” police line yang dipasang pada tempat kejadian sehingga
terhadap mereka yang melewatinya tanpa ijin dari Kepolisian dapat dikenakan sanksi hukum dan tindakan kepolisian.
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; Bagi pelaksana tugas Polri, identitas merupakan faktor yang sangat penting agar
tidak terjadi kesalahan dalam mengambil tindakan terhadap seseorang. Selain itu,
58
Pasal 15 ayat 1 huruf e Juncto Pasal 13 UU No.2 tahun 2002 tentang UUPolri, menegaskan kewenangan umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjamin ketertiban
dan keamanan umum, khususnya dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan. Kewenangan umum untuk bantuan pengamanan juga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan instansi lain serta kegiatan
masyarakat. Namun demikian penggunaan kewenangan ini hanya atas permintaan masyarakat.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
identitas akan terkait dengan hak kedudukan hukum dari seseorang secara pribadi sehingga untuk penentuan diperlukan pula dasar hukum.
Melalui Undang-undang ini, Polri dalam rangka pelaksanaan tugas Polri diberikan kewenangan umum untuk melakukan tindakan pengenalan identitas
seseorang, yaitu mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.
59
i. mencari keterangan dan barang bukti; Rumusan dari Pasal 15 ayat 1 huruf i, memberikan legitimasi bagi
kewenangan umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mencari keterangan dan barang bukti, baik untuk kepentingan proses pidana. Dengan demikian,
keterangan dan barang bukti yang berhasil dikumpulkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia secara hukum mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin danatau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangkapelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
60
59
Momo Kelana I, Op.Cit, hal. 91.
60
Pasal 15 ayat 1, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
2. Wewenang Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan tentang kewenangan kepolisian
tersebar diberbagai Undang-undang dan Peraturan Perundang-undang dan kemudian dikelompokkan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dalam Pasal 15 ayat 2
yang berbunyi : Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang undangan lainnya berwenang:
a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegitan
masyarakat lainnya. Rumusan kewenangan ini diadopsi dari substansi kewenangan yang diatur dalam
Pasal 510 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b.
Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. Rumusan kewenangan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf b, merupakan penegasan
kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pendaftaran kendaraan bermotor untuk tertib administrasi, pengendalian kendaraan yang dioperasikan,
mempermudah penyidikan pelanggaran atau kejahatan yang menyangkut kendaraan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.
14 Tahun 1992, yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi Pasal
180 yang berbunyi : Pendaftaran kendaraan bermotor sebagai bagian yang tidak terpisah dari lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh unit pelaksana
pendaftaran kendaraan bermotor satuan lalu lintas Kepolisian Negara Republik
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Indonesia, yang selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintahan ini disebut pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor.
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor.
Kewenangan yang dirumuskan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf c, merupakan pemantapan kewenangan Kepolisian Negara dalam memberikan surat izin
mengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1992 yang dalam pelaksanaan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, Pasal 216 yang berbunyi : Pemberian surat izin mengemudi
sebagai bagian yang tidak terpisah dari lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh unit pelaksana penerbitan surat izin mengemudi kendaraan
bermotor satuan lalu lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah ini disebut pelaksana penerbitan surat
izin mengemudi. d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik.
Rumusan kewenangan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf d, berkait dengan pengaturan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1985 Tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-undang No. 8 Tahun 1985 Tentang Oranisasi kemasyarakatan serta
peraturan pelaksanaan dalam peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1986. Kewenangan tersebut mencakup pula kewenangan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam mengatur kegiatan politik sebagaimana diatur dalam Peraturan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang dapat berbentuk unjuk rasa,
demontrasi, pawai dan rapat umum serta pemaparan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Perpu tersebut
kemudian diganti Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum.
e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam.
Rumusan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf e, merupakan penegasan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No. 12Drt Tahun 1951, Lembaga Negara Tahun 1951 No. 78 Tentang Senjata Api, ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang No. 12Drt Tahun 1951,
tidak ditemukan adanya istilah “senjata tajam”. Akhirnya disepakati untuk mencantumkan penjelasan istilah Pasal 15 ayat 2 huruf e yang pengertiannya
menunjuk kepada Undang-undang No. 12Drt Tahun 1951. f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di
bidang jasa pengamanan. Pesatnya perkembangan usaha di bidang jasa pengamanan telah menimbulkan
urgensi pengawasan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berbagai perusahan, badan usaha tidak saja menyediakan personil pengamanan terlatih untuk
pengamanan berbagai kegiatan dan industri, tetapi juga menawarkan berbagai produk alat dan teknologi pengamanan pribadi. Operasional dari badan usaha tersebut
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
memerlukan izin dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan selanjutnya dilakukan pengawasan agar tidak timbul ekses yang justru menimbulkan kerawanan
keamanan. g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas
pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian. Secara substansi, kewenangan ini berkait dengan rumusan Pasal 3 ayat 1 dan
ayat 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dan ketentuan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 7 ayat 2 karena setiap penyidik pegawai negeri
sipil dengan sendinya dari segi fungsi kepolisian adalah pengemban fungsi kepolisian yang wajib menguasai kemampuan teknis kepolisian yang meliputi tataran preemptif,
preventif dan represif-yustisial. h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasioanal. Rumusan kewenangan ini memberikan peluang bagi kerja sama Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan negara lain berdasarkan traktat atau perjanjian internasional dalam menyidik dan memberantas kejahatan masa depan yang
mengarah kepada trend lintas batas negara dan memerlukan kerja sama dalam memeranginya.
Pelaksanaan dari kewenangan ini memerlukan perjanjian antar negara secara khusus, baik bilateral maupun multilateral seperti halnya “Perjanjian timbal balik
dalam masalah pidana Mutual assistance in criminal matter antara Indonesia dan Australia Tahun 1995 yang disahkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1999,
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
tentang pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana Treaty Between The Republic of
Indonesia and Australia on Mutual in Criminal Matters i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di
wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi berkait. Pengawasan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
pengawasan fungsional yang terkait dengan kewajiban umum kepolisian dan tujuan kepolisian dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Pasal 15 ayat 2
huruf I memberikan dasar hukumbagi tugas-tugas dan kegiatan fungsi teknis Intelijen dan Pengamanan Kepolisian yang meliputi intelijen kriminal, pengamanan serta
pengawasan orang asing. Mengenai Pengawasan Orang asing diatur dengan Undang-undang No. 9Drt
Tahun 1953, Pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1954, Lembaga Negara Tahun 1954 Nomor 83.
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian Internasional.
Rumusan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf j memberikan dasar hukum bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mewakili pemerintah Republik
Indonesia dalam organisasi Kepolisian Internasional antara lain International Criminal Police Organization ICPO-Inteppol. Fungsi National Central Bureau
ICPO-Interpol Indonesia dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
sejak tahun 1954 berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 245PM Tahun 1954 tanggal 15 Oktober 1954.
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Rumusan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf k, dimaksud untuk menampung
berbagai ketentuan tentang kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tersebar diberbagai undang-undang. Dengan semakin terjadinya spesialisasi
pengaturan bidang-bidang teknis dalam bentuk undang-undang yang memuat kewenangan kepolisian, maka Pasal 15 ayat 2 huruf k inipun merupakan penegasan
bahwa hal tersebut termasuk dalam kriteria “kewenangan lain”. 3. Wewenang “Diskresi Kepolisian”.
Diskresi kepolisian police dicretion dalam Davis 1969 dan dalam Ensiklopedia Ilmu Polri didenfinisikan sebagai kapasitas petugas kepolisian untuk
memelihara diantara sejumlah tindakan legal atau tidak legal, atau bahkan tidak melakukan tindakan sama sekali pada saat mereka menunaikan tugas.
61
Diskresi merupakan wewenang dari pejabat publik, demi kepentingan umum, untuk bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
menurut penilaiannya sendiri. Demikian juga halnya dengan Pejabat kepolisian Negara, memiliki kewenangan “diskresi”.
62
Diskresi Kepolisian merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian
plichtmatigheidsbeginsel yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada
61
Momo Kelana. Op.Cit, hal.193.
62
Ibid, hal. 194.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum. Keabsahannya didasarkan pada kelayakan pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban, di Jerman disebut “pflichtmassiges Ermessen”
atau penilaian bebas freies Ermessen. Di Prancis dengan Decret du president Tahun 1968 disebut sebagai “swakarsa yang tepat”propre initiative di Negara anglo saxon,
63
menyambut “diskresi” sebagai asas kewajiban dan mengutif pengertian diskresi menurut new standart dictionary funk wagnall sebagai “a cautions and correct
judgement” suatu penilaian yang berhati-hati dan tepat sedangkan kata pokoknya “discrete” artinya “disconnected from others” tidak terkait dengan lain-lain. Dengan
demikian “discresi” yaitu penilaian mandiri, tidak terpengaruh oleh orang lain.
64
UENO 1994 dalam Dilip. K. Das, police practices an international review menyebutkan : “the police are expected to act for the good of the public and use
discretion which is regarded as” a product of wisdom and skill”.
65
Dalam Undang- undang Kepolisian No. 28 Tahun 1997 kewenangan diskresi kepolisian dirumuskan
dalam Pasal 18 ayat 1 yang berbunyi : Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Repblik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
63
Brotodiretjo Soebroto, Pengantar Hukum Kepolisian Umum Di Indonesia, Bandung, tahun 1997, hal.187
64
Ibid, hal. 38.
65
Dilip Das, police practices an Internationaal Review, The Scarrecrow Press, London: Mefuchen N.J, 1994, hal 422.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Setelah Undang-undang No. 28 Tahun 1997 diganti dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2002, subtansinya diadopsi dalam Pasal 18 ayat 1 dengan bunyi
redaksi yang sama. Sesorang petugas Polri yang bertugas di tengah-tengah masyarakat seorang diri,
harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila diperhatikan akan
timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin baginya untuk meminta pengarahan terlebih dahulu dari atasannya sehingga
dia harus memutuskan sendiri tindakannya. Terdapat kekhawatiran bahwa sipetugas tersebut akan bertindak sewenang-
wenang dan sangat tergantung kepada kemampuan subyektif dari sipetugas tersebut. Untuk itu, dalam hukum kepolisian dikenal berupa persyaratan yang harus
dipenuhi apabila seorang petugas Polri akan melakukan “diskresi” yaitu: 1.
Tindakan harus benar-benar diperlukan noodzakelijk, notwendingatau asas keperluan.
2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian
zakelijk, sachlich. 3.
Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya sesuatu atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhwatirkan dalam hal ini yang dipakai
sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan zweckmassig, doelmatig. 4.
Asas keseimbangan evereding.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Dalam mengambil tindakan, harus senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat keras lunaknya tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya
suatu gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak. Dalam mengambil tindakan berdasarkan penilaian sendiri, yang paling
menentukan kualitas tindakan adalah kemampuan dan pengalaman petugas kepolisian yang mengambil tindakan tersebut. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi
kepolisian” dalam Pasal 18 ayat 1 harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 31, 32, dan 33 Undang-undang No. 2
Tahun 2002, sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Polri akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan profesional. Berdasarkan penilaiannya sendiri
dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 4. Wewenang Kepolisian di bidang Proses Pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi kepolisian terdiri dari tugas-tugas yang berada pada tataran tugas pencegahan preventive, preemptif dan represif. Tataran
tugas repsesif terdiri atas bentuk-bentuk Pertama: tindakan kepolisian yang bersifat represif non-yustisial sekedar memulihkan keadaan tertib yang terganggu
berdasarkan kewajiban umum kepolisian dan Kedua: tindakan yang bersifat represif yustisial yaitu tindakan kepolisian di bidang proses pidana
66
criminal justice system
66
UU No. 2 Tahun 2002, tentang Polri, Pasal 16 angka 1 Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
berdasarkan asas legalitas sesuai ketentuan hukum acara pidana Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.
Dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia UU No. 2 Tahun 2002, tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang proses
pidana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g, Pasal 16 ayat 1, dan Pasal 7 ayat 1 KUHAP.
Pasal 14 ayat huruf g berbunyi : dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum
berwenang untuk:
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya denganpemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima
hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2 Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidik. c.
Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
d. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan. e.
Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi. h.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Menyerahkan berkas perkara kepada pejabat imigrasi dalam keadaan
mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana.
k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Pasal 7 ayat 1 KUHAP : Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka; d.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e.
Mengambil sidik jari dan memotret orang; f.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Rebuplik Indonesia.
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang. Dalam prakteknya kewenangan Polri dilapangan mengalami tumpang tindih
overlapping dengan kewenangan Kejaksaan. Meskipun ada MOU
67
antara Kajati
67
Hasil wawancara Kom.Pol. Albert Sianipar. Dengan adanya Peraturan Bersama Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara No. Pol.: PB99III2007, Nomor : B-
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Sumut dan Kapolda Sumut pelaksanaannya belum optimal, mengenai penanganan perkara tindak pidana korupsi, yang belum dilakukan secara rutin untuk pertukaran
informasi antara Polri, Jaksa dan KPK, hal ini dikarenakan masyarakat LSM melaporkan kasus korupsi secara bersamaan kepada ketiga lembaga tersebut yaitu
Polri, Kejaksaan dan KPK.
68
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa tugas-tugas Pokok Polri adalah : a.
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b.
menegakkan hukum; dan c.
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
69
sehingga dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. b.
menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
64N.2FD.1032007 dan KEP-019AJA032006 tentang Optimalisasi Koordinasi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Antara Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kejaksaan Tinggi
Sumatra Utara, maka tumpang tindih overlapping Tindak Pidana Korupsi dapat diminimalisir, sedangkan dengan KPK tidak ditemukan tumpang tindih penanganan perkara.
68
Wawancara dengan Kom.Pol. Albert Sianipar, Kasat. Tipikor Dit. Reskrim Polda Sumut, pada tanggal 11 Mei 2009.
69
Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h.
menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban danatau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi danatau pihak yang berwenang; k.
memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penegasan kewenangan Polri dalam melakukan Penyidikan terhadap kasus korupsi lebih ditegaskan lagi dalam Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
pemberantasan korupsi. Dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi sesuai point kesebelas angka 10 Presiden menginstruksikan kepada Kapolri untuk :
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
rangka penegakan hukum. c. Meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum
dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 ini, memberikan dukungan maksimal
terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan cara mempercepat pemberian informasi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi dan mempercepat pemberian ijin pemeriksaan terhadap
saksitersangka.
2. Tugas dan Wewenang Polri dengan Jaksa dalam Pemberantasan Tindak Pidana korupsi