Kerangka Teori Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran dibidang hukum pidana mengenai kewenangan Polri, serta penyelesaian pembuktian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam pemahaman pengaturan dan mekanisme, Kewenangan Polri, Jaksa dan KPK sebagai Penyidik dan hambatan yuridis apa sajakah yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitan ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009 landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis. 20 Menurut Lawrence M. Fridman, yang dikutip oleh Ahmad Ali, “Pemberantasan korupsi dapat berjalan, manakala terdapat 3 tiga unsur yang merupakan sistem hukum sudah berfungsi. 21 Tiga unsur hukum tersebut adalah : a. Subtansi yang mencakup aturan-aturan hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk peraturan-peraturan pengadilan. b. Struktur, yang mencakup instansi penegak hukum. c. Kultur hukum, yang mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat biasa. Penyelenggaraan fungsi kepolisian secara universal yang di Indonesia menganut 3 unsur hukum menurut Lawrence M.Fridman, yang secara keseluruhan dapat dilihat dalam bentuk sistem kepolisian yang dianut, sebagai manifestasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam konsitusi dan konvensi yang dikembangkan oleh suatu Negara, mencakup segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polri, yang terdiri dari: landasan idealfilsafati, fungsi kepolisian, tujuan kepolisian, tugas kepolisian, susunan dan kedudukan kepolisian, asas-asas kepolisian, wewenang dan tanggung jawab kepolisian, pembinaan fungsi kepolisian dan hubungan- hubungan kepolisian. 20 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghali, 1982, hal. 37. 21 Ahmad Ali tentang Trend Baru Pemberantasan Korupsi, Kompas Tanggal 13 September 2001. Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009 Untuk menjalankan suatu pemerintahan yang bebas dari Korupsi, 22 Kolusi dan Nepotisme, Polri mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan menciptakan suatu ketertiban didalam masyarakat, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi manusia, masyarakat dan hukum yang tidak akan mungkin dipisah-pisahkan. 23 Selanjutnya ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret dan adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. 24 Dalam mengimbangi perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat keberhasilan pembangunan nasional yang telah direncanakan dalam rangka meniadakan atau mengurangi kesenjangan-kesenjangan peraturan perundang-undangan yang belum dapat mengimbangi perubahaan sosial yang sangat pesat. Untuk dapat mewujudkan terciptanya ketertiban dan perasaan aman dalam masyarakat, maka dalam menegakkan hukum dilapangan, selain tindakan upaya paksa menurut prosedur hukum yang ditetapkan dalam KUHAP, juga diperlukan wewenang tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sebagai kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan perlu didayagunakan oleh Polri. 22 Krisna Harahap, Op.Cit, hal. 6. Dari definisinya dapat diketahui bahwa yang dinamakan Korupsi adalah sesuatu yang buruk, rusak dan busuk. Keadaan tersebut lahir dari tindakan seseorang yang menguasai sesuatu tanpa hak dan melawan hukum dengan atau tanpa menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan yang ada padanya 23 Soerjono Soekanto selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I, Penguasa Penegakkan Hukum, Jakarta : Binacipta, 1983, hal.42. 24 Ibid. Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009 Selain KUHAP diperlukan Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara 25 yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya 26 sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum. 27 25 Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang penting, yaitu istilah: 1. Tindak Pidana Korupsi. 2. Keuangan Negara. 3. Perekonomian Negara. Ad. 1. Tindak Pidana Korupsi adalah: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ad. 2. Keuangan Negara adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya : 1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah. 2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Ad. 3. Perekonomian Negara adalah : kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. 26 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3S, 1983, hal. 20. Ciri-ciri Korupsi adalah sebagai berikut: a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang Korupsi sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan fraud. Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, disini seringkali ada pengertian diam- diam diantara pejabat yang mempraktikkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuendi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat. b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali Korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam, sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada didalam Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009 Mengenai kebijakan Hukum Pidana atas Tindak Pidana Korupsi, Barda Nawawi Arief menyatakan: bahwa usaha pergaulan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum Law enforcement policy. 28 Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum, yaitu: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Melanggar hak subjektif orang lain; 3. Melanggar kaidah tata susila ; dan 4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. 29 lingkungannnya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif Korupsi tetap dijaga kerahasiannya. c. Korupsi mengakibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang. d. Mereka yang mempraktekan cara-cara Korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. e. Mereka yang terlibat Korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. f. Setiap perbuatan Korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum. g. Setiap bentuk Korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. 27 www. Ketentuan20tindak20pidana20korupsi.htm, Perihal Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, diakses tanggal 31 Maret 2009. 28 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, haL 29. 29 Ibid. Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009 Lebih lanjut pendapat Donald Black tersebut dikembangkan oleh Ediwarman dengan mengemukakan: Prilaku yang menyimpang adalah suatu tingkah laku yang tunduk kepada kontrol sosial. Dengan kata lain kontrol sosial mendefinisikan apa yang dimaksud dengan yang menyimpang, dan semangkin banyak kontrol sosial kemana tingkah laku itu harus tunduk, semangkin banyak tingkah laku itu. Dalam pengertian ini. Keseriusan dari prilaku yang menyimpang itu dibatasi oleh kuantitas kontrol sosial kemana tingkah laku itu tunduk. Kuantitas dari kontrol sosial juga mendefinisikan kadar dari prilaku yang menyimpang itu. Gaya dari kontrol sosial bahkan mendefinisikan gaya dari prilaku yang menyimpang, apakah itu suatu kejahatan yang harus dihukum, suatu hutang yang harus dibayar, suatu keadaan yang membutuhkan perlakuan, atau suatu perselisishan yang memerlukan penyesuaian. Dengan singkat, perilaku yang menyimpang adalah suatu segi dari kontrol sosial. 30 Adanya peranan pengawasan didalam masyarakat dapat dilihat dari Pasal 8 UUKKN yang mengatur: 1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggara negara yang bersih. 2. Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan dengan berpegang pada asas-asas penyelenggaraan negara yang baik. Dengan adanya hak dan tanggung jawab yang dimiliki masyarakat sebagai pengawas publik, diharapkan akan dapat terciptanya suatu kontrol sosial secara optimal terhadap para pengguna uang negara dengan tetap menanti rambu-rambu hukum yang berlaku. Namun, peran masyarakat tersebut tidak hanya berhenti sampai disitu, masyarakat juga harus tetap melakukan pengawasan terhadap jalannya proses 30 Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan Legal Protection For The Victim of Land Cases, Pustaka Bina Bangsa,2003, hal.9. Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009 penyidikan sampai pada saat persidangan di pengadilan agar proses hukum tersebut dapat di tegakkan secara objektif. 31 Pembentuk Undang-undang telah memberikan pada masyarakat guna berpartisipasi dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bentuk dan peran serta masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Hak, mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan terjadi delik Korupsi. 2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam butir 1 diatas kepada penegak hukum yang menangani perkara delik Korupsi. 3. Hak untuk menyampaikan saran, pendapat, serta tanggung jawab kepada penegak hukum pada butir 2. 4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan pada penegak hukum pada laporannya yang diberikan kepada penegak hukum pada butir 2 dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari. 5. Hak dalam perlindungan hukum, antara lain dalam hal: a. Melaksanakan haknya sebagaimana diuraikan dalam butir 1 dan 2; b. Diminta hadir dalam proses penyidikan-penyidikan dan persidangan sebagai saksi pelapor, saksi dan ahli. 32 31 Edi Yunara, Op.Cit, hal. 63. 32 Martiman Prodjohanidjojo, Penerapan, Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Bandung: Mandar Maju, 2001, hal. 97. Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009

2. Konsepsi