Menakertrans: Erman Suparno PBB
Menhut: M.S.Kaban PKPI
Meteri Negara PP: Meutia Hatta Sumber: Hanta Yuda,Op cit hal. 150
Bagaimanan partai-partai peserta pemilu 2004 secara kolektif mengabaikan perbedaan ideologis, membentuk koalisi secara permisif, mengaburkan oposisi dan
membuat hasil pemilu tak lagi menjadi faktor penentu koalisi. Puncaknya, mereka bertindak seragam sebagai satu kelompok tunggal demi kepentingan bersama. Ini
memelihara sistem kepartaian yang terkartelisasi. Semua indicator kartelisasi tersbut tercermin pada pilpres 2004 ketika berbagai koalisi berbasis ideology muncul,
mencair dan kemudian berubah menjadi koalisi kemenangan-minimal. Koalisis jenis ini kemudian berpadu dalam pembentukan kabinet dimana semua partai kecuali PDIP
dan PDS bergabung dalam kabinet. Akhirnya, semua partai di DPR merekayasa satu mekanisme untuk mendistribusikan keuntungan politik dalam bentuk pembagian
posisi ketua komisi. Kesepakatan yang dicapai di antara partai-partai di DPR itu jelas- jelas mengingkari gagasan tentang sistem kepartaian yang kompetitif.
58
58
Kuskridho, Op cit 249
2.2. Sitem Kepartaian
Semangat untuk membangun sistem multi partai yang bermartabat di mulai sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Sebelum pemerintahan Orde Baru
sebenarnya Negara kita telah menganut sistem multi partai. Dimulai tahun 1945 sampai tahun 1971. Namun sistem multi partai hilang akibat kebijakan fusi partai
yang dibuat Rezim Soeharto. Sejak reformasi tahun 1999 dukungan terhadap keberadaan sistem multi partai datang dari berbagai lapisan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Banyak partai yang bemunculan menumbuhkan harapan dan kecemasan. Sebagian masyarakat menyambut gembira dengan penuh antusias dan dengan cepat
menjadikan kemunculan partai-partai politik baru sebagai sarana untuk menyalurkan kembali naluri politik yang selama ini dikekang oleh rezim Soeharto. Namun ada juga
masyarakt yang resah dengan banyaknya partai baru yang muncul pada saat itu yang mencapai ratusan partai politik akhirnya bukan memperlancar arus reformasi, tetapi
sebaliknya mengganggu proses reformasi.
59
Banyak faktor yang mempengaruhi sistem kepartaian di suatu Negara. Untuk konteks politik Indonesia, ada tiga faktor
penyebab sistem multi partai sulit dihindari. Pertama, tingginya tingkat pluralitas masyarakat faktor pembentuk. Faktor ini yang menyebabkan keharusan bagi
penerapan sistem multi partai. Sementara kemajemukan masyarakat merupakan suatu yang bersifat harus diterima dalam struktur masyarakat indonesia. Kedua, dukungan
sejarah sosio-kultural masyarakat faktor pendorong. Ketiga, desain sistem pemilihan proporsional dalam beberapa sejarah pemilihan umum faktor penopang.
60
59
Bambang Cipto. Partai, Kekuasaan dan Militersisme. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal. 2
60
Hanta Yuda. Op cit, hal 102
Untuk konteks pemilihan umum 2004 partai politik peserta pemilu adalah sebanyak 24 partai. Melihat jumlah partai sebanyak itu kita menganut sistem multi
partai yang ekstrim. Dalam sistem ini sangat sulit mendapatkan suara mayoritas pemenang pemilu dan hal itu memang betul dan terjadi di pemilu Indonesia tahun
2004 yang lalu. Berikut ini merupakan partai politik peserta pemilu tahun 2004 beserta perolehan suara masing-masing partai.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2004 Beserta Perolehan Suara
No Partai politik
Perolehan Suara Jlh kursi
DPR Jumlah
Persen 1
Partai Golongan Karya 24.480.757
21,58 128
2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
21.026.629 18,53
109 3
Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564
10,57 52
4 Partai Persatuan Pembangunan
9.248.764 8,15
58 5
Partai Demokrat 8.455.225
7,45 57
6 Partai Keadilan Sejahtera
8.325.020 7,34
45 7
Partai Amanat Nasional 7.303.324
6,44 52
8 Partai Bulan Bintang
2.970.487 2,62
11 9
Partai Bintang Reformasi 2.764.998
2,44 13
10 Partai Damai Sejahtera
2.414.254 2,13
12 11
Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290
2,11 2
12 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240
1,26 1
13 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654
1,16 5
14 Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
1.230.455 1,08
1 15
Partai Patriot Pancasila 1.073.139
0,95 16
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 923,159
0,81 1
17 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia 895.610
0,79 18
Partai Pelopor 878.932
0,77 2
19 Partai Penegak Demokrasi Indonesia
855.811 0,75
1 20
Partai Merdeka 842.541
0,74 21
Partai Sarikat Indonesia 679.296
0,60 22
Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952
0,59 23
Partai Persatuan Daerah 657.916
0,58 24
Partai Buruh Sosial Demokrat 636.056
0,56
Total 113.462.414
100 550
Sumber: www.kpu.go.id
Berdasarkan data tersebut di atas maka partai politik yang memiliki wakil yang duduk di parlemen ada 17 partai politik. Tidak ada partai politik yang
memperoleh suara mayoritas sehingga sulit membentuk pemerintahan tanpa koalisi di parlemen. Dalam perkembangan selanjutnya bahwa di parlemen partai politik
membuat fraksi masing-masing atau bergabung dengan partai tertentu untuk membentuk satu fraksi. Ada 10 fraksi di DPR RI yaitu:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Kelompok Fraksi di DPR RI Tahun 2004-2009
No Kelompok Fraksi Kursi
1 Fraksi Partai Golkar F-PG
23 129
2 Fraksi PDI Perjuangan F-PDIP
20 109
3 Fraksi Partai Persatuan Pembangunan F-PPP
10 58
4 Fraksi Partai Demokrat F-PD
10 57
5 Fraksi Partai Amanat Nasional F-PAN
10 53
6 Fraksi Kebangkitan Bangsa F-KB
9 52
7 Fraksi Partai Keadilan Sejahtera F-PKS
8 45
8 Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi Fraksi Gabungan
4 20
9 Fraksi Partai Bintang Reformasi F-PBR
2 14
10 Fraksi Partai Damai Sejahtera F-PDS 2
13
Sumber: www.dpr.go.id
Melihat data di atas sangat mungkin dan suatu keharusan pemerintahaan SBY- JK membuat koalisi di parlemen untuk menopang pemerintahan mereka. SBY-JK
yang awal pencalonanya hanya didukung oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia dan pada putaran kedua bergabung
Partai Keadilan Sejahtera belum mendapat dukungan mayoritas di DPR. Gabungan keempat partai tersebut hanya mencakup112 kursi dari 550 kursi. Kenyataan ini akan
sangat rawan bila pemerintahan SBY-JK tidak melakukan koalisi di DPR. Dan atas dasar itulah dalam perkembangannya pemerintahan SBY-JK mengakomodasi
kepentingan partai politik yang bersedia memberikan dukungan terhadap keberlangsungan pemerintahan mereka dan di sisi lain partai-partai politik melakukan
intervensi terhadap presiden dalam penyusunan kabinet.. Bergabunglah Partai Amanat Nasional, Partai kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan dan
berikutnya Partai Golkar sehubungan dengan kemenangan Jusuf Kalla dalam
Universitas Sumatera Utara
perebutan ketua umum Partai Golkar. Dengan demikian hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera yang berada di luar pendukung
pemerintah. Bila mayoritas anggota DPR menenukan pilihan politik yang berbeda dengan
presiden, sering kali sistem presidensial terjebak dalam pemerintahaan yang terbelah antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif. Biasanya,
dukungan legislatif semakin sulit didapat jika sistem pemerintahaan presidensial dibangun dalam sistem multi partai.
61
Menurut Hanta Yuda, ketika presiden mengakomodasi kepentingan partai politik yang mengintervensi presiden itu sendiri dalam penyususnan kabinet
merupakan bentuk kompromi eksternal. Hal ini tentu berimplikasi terhadap kekuasaan internal hak prerogatif presiden semakin tereduksi. Dia juga menemukan
bahwa ada empat kompromi dalam struktur internal kekuasaan kepresidenan di era Pemerintahan SBY-JK.
62
Indikasi presidensialisme yang kompromis di era pemerintahan SBY tergolong dalam presidensialisme setengah hati terlihat dari beberapa aspek
kompromi eksternal berikut ini: Pertama, kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet yang tidak terlepas dari intervensi partai-partai politik mitra
koalisi pemerintahan SBY-JK dan akomdasi pemerintah terhadap kepentingan partai Berdasarkan fakta bahwa masih sangat kentalnya
kompromi-kompromi politik dalam pelaksanaan kekuasaan presiden dalam Pemerintahan SBY-JK maka kita belum melihat sistem pemerintahan presidensial
murni dalam pemerintahan tersebut.
61
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010, hal.269
62
Hanta yuda. Op cit hal. 231
Universitas Sumatera Utara
politik tersebut berupa kursi di kabinet. Kedua, rapuhnya ikatan koalisi partai pendukung pemerintah. Koalisi yang terbangun sangat cair dan sarat dengan
kepentingan sesaat partai anggota koalisi. Ketiga, adanya kontrol parlemen terhadap pemerintah secara berlebihan yang mengakibatkan jalannya pemerintahan kurang
efektif. Dan keempat, perjalanan pemerintahan SBY-JK rentan dengan ancaman pemakzulan dari DPR. Pemerintah masih sangat rentan pemakzulan oleh DPR karena
alasan politis atau disebabkan kebijakan pemerintah yang ditentang DPR.
63
Ada juga kompromi internal yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK. Adapun kompromi internal Era Pemerintahan SBY-JK dapat kita lihat dalam tabel
ini.
64
Aspek Kompromi
Tabel 2.4 kompromi Internal Presidensialisme Era Pemerintahan SBY-JK
Praktek dan Karakteristik Kompromi Hak Prerogatif Presiden
Hak prerogatif Presiden Yudhoyono untuk menyusunmerombak kabinet tereduksi akibat intervensi
partai politik. Penggunaan hak prerogatih presiden dalam pembentukan kabinet selalu disertai intervensi elite-elite
partai politik. Tereduksinya hak prerogatif presiden ini merupakan akibat dari kuatnya intervensi partai politik
yang juga didukung oleh gaya kepemimpinan presiden yang cenderung akomodatif dan kurang percaya diri
dalam menghadapi interpensi partai politik.
Komposisi Kabinet Kabinet koalisi yang dibentuk oleh Presiden Yudhoyono
terdiri atas koalisi delapan partai politik. Sementara komposisi antara unsusr parpol dan nonparpol dalam
kabinet Indonesia Bersatu relatif seimbang. Persnalitas dan gaya kepemimpinan presiden cenderung akomodatif
terhadap partai politik dan pertimbangan presiden dalam mengangkat menteri cenderung lebih dominant karena
factor tawar-menawar disbanding faktor kompetensi dan profesionalitas.
Loyalitas Menteri Adanya dualisme loyalita para menteri Kabinet Indonesia
Bersatu dari unsure partai politik. Satu sisi loyalitas kepada presiden sebagai kepala pemerintahan, di sisi lain
63
Ibid. hal 134
64
Ibid hal. 233
Universitas Sumatera Utara
loyalitas kepada parpol asalnya juga. Bahkan beberapa anggota kbinet juga sebagai ketua umum partai dan
memegang jabatan strategis lainnya di partai politik. Dualisme loyalitas ini merupakan implikasi dari pola
rekrutmen menteri dari unsur partai politik dan proses pengangkatnnya cenderung atas pertimbangan akomodatif
presiden terhadap rekomendasi dari partai politik. Potensi dualisme itu semakin memuncak menjelang pelaksanaan
Pemilu 2009 karena para menteri juga berkepentingan untuk membesarkan partainya masing-masing
Hubungan Presiden dan Wakil Presiden
Relasi politik Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengalami keretakan dan semakin menguat
menjelang tahun terakhir masa kepemimpina mereka. Salah satu penyulut disharmonisasi ini adalah implikasi
dari posisi politik wakil Presiden lebih kuat daripada Presiden Yudhoyono di parlemen. Golkar menguasai 23
kursi di DPR, sementara Demokrat hanya 10. Pola hubungan presiden dan wakil presiden bersifat persaingan,
baik secara terselubung maupun terbuka. Kondisi ininjuga memeiliki kecenderungan terjadinya persaingan terbuka
antara presiden dan wakil presiden menjelang pemilu legislative, apalagi jika keduanya memutuskan untuk
berpisah di pemilihan presiden selanjutnya.nkeretakan dan disharmonisasi itu akan semakin terbuka.
Berdasarkan keempat aspek kompromi internal tersebut jelas bahwa penerapan sistem pemerintahan presidensialisme dalam pemerintahan Yudhoyono-
Kalla masih setengah hati. Presidensialisme yang diterapkan belumlah presidensialisme efektif dimana hak prerogatif presiden dilakukan dilaksanakan
sepenuhnya oleh presiden tanpa intervensi partai politik.
3. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat