Analisis sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia: studi atas divided government dalam relasi eksekutif-legislatif pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla

(1)

ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI DI INDONESIA (Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif – Legislatif

Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Hendra Sunandar 1111112000019

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

i ABSTRAKSI

Skripsi ini memusatkan analisis terjadinya divided government pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dipandang sebagai dampak dari kombinasi sistem presidensialisme-multipartai yang menurut beberapa ilmuan terdahulu, seperti Juan Linz (1990), Scott Mainwaring (1993), Alfred Stephan dan Cindy Skach (1993) dinilai sebagai kombinasi yang menyulitkan bagi efektivitas pemerintahan. Terlebih, jika kombinasi tersebut menghasilkan pemerintahan terbelah (divided government) yang diasumsikan akan memicu kebuntuan dan kesulitan antara eksekutif dengan legislatif untuk mencapai keputusan bersama (Cheibub, 1999; Elgie, 2001). Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji asumsi teoritik tersebut dalam kasus periode divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta pemahaman mendalam (deep-understanding). Selain itu teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, wawancara mendalam (in-depth interview) dan penelusuran dokumen. Penelitian ini menggunakan pendekatan koalisi presidensial (Chaisty, Cheeseman, Power, 2005) untuk selanjutnya mengeksplorasi relasi eksekutif-legislatif melalui penelusuran transkrip-transkrip yang berisi proses pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, periode divided government itu terjadi sesaat setelah Presiden dan DPR periode 2014-2019 dilantik sampai Golkar versi Agung Laksono menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih dan menyatakan dukungannya terhadap pemerintah. Pembatasan periode masalah tersebut didasarkan pada konsepsi divided government itu sendiri yang mengharuskan eksekutif memiliki partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) diatas single majority (50%+1) di legislatif agar relasi eksekutif-legislatif bisa berjalan tanpa deadlock. Penelitian ini menemukan bahwa divided government yang terjadi pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla disebabkan oleh faktor ketidakmampuan eksekutif dalam membangun koalisi presidensial yang mencapai single majority (50%+1) di legislatif. Namun, berbeda dengan asumsi para teoritisi sebelumnya, divided government yang terjadi di Indonesia hanya terjadi dalam ranah struktural dan bukan sebagai fenomena yang menyulitkan eksekutif untuk membangun kesepakatan dengan legislatif, bahkan hal tersebut mampu berakhir dengan win-win solution. Fenomena tersebut terjadi disebabkan karena adanya dua pendekatan yakni: pendekatan melalui prosedur konstitusi seperti yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa antara Presiden dan DPR harus saling duduk bersama dalam pengambilan keputusan sehingga konstitusi memiliki kekuatan untuk menjembatani hubungan eksekutif-legislatif dan mendorong terjadinya sikap kompromi. Selain itu, pendekatan diluar prosedur konstitusi seperti adanya pola komunikasi informal antara Presiden dengan oposisi pemerintah seperti pertemuan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pada tanggal 29 Januari 2015 di Istana Bogor yang kemudian diikuti pidato Prabowo mengenai dukungannya terhadap kebijakan Pemerintah. Selain itu tidak solidnya partai terhadap arah koalisi serta kemungkinan berpindahnya partai dari satu koalisi ke koalisi lain berdampak pada tidak kuatnya bangunan divided government yang terjadi di Indonesia sehingga tidak terjadi dalam waktu yang lama. Oleh karenanya, berbeda dengan asumsi teoritik para ilmuan sebelumnya, meskipun mengalami periode divided government, relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensialisme-mutipartai di Indonesia bisa berjalan tanpa ada deadlock.

Kata Kunci: Presidensialisme, Multipartai, Divided Government, Koalisi Presidensial, Deadlock, Joko Widodo - Jusuf Kalla.


(7)

ii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Penelitian skripsi ini bukanlah akhir dari perjalanan akademik, tetapi ini baru memasuki pintu gerbang yang mengawali dunia intelektual tak mengenal batas apriori. Sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk mempertanggungjawabkan argumentasi dan kesimpulan dalam penelitian ini, karena dalam prosesnya, penelitian ini melibatkan banyak pihak yang sangat membantu penulis dalam menyusun argumentasi dan analisa serta memungkinkan penelitian skripsi ini selesai.Temuan penelitian ini tidak akan muncul tanpa adanya bantuan dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya. 2. Bapak Dr. Iding Rosyidin Hasan, sebagai Kepala Program Studi Ilmu Politik. 3. Ibu Suryani, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Politik

4. Bapak Dr. Ali Munhanif, sebagai dosen pembimbing dalam penelitian ini. Terima Kasih Pak Ali, atas banyak masukan dan selalu membuka ruang diskusi yang menyenangkan selama penulisan skripsi ditengah kesibukannya.

5. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. A. Bakir Ihsan dan Bapak Zaki Mubarak, M.Si sebagai dosen penguji skripsi. Keduanya juga telah memberikan masukan yang konstruktif.

6. Kepada semua dosen-dosen di Program Studi Ilmu Politik yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Mereka selalu mengajakan pentingnya keseriusan dalam menuntut ilmu. Terima kasih atas segala dedikasinya.


(8)

iii

7. Ulil Abshar Abdalla, yang selalu menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Meskipun Mas Ulil juga bertindak sebagai politisi tetapi juga tidak kehilangan gairah untuk membaca buku dan menggali ide.

8. Nong Darol Mahmada (Manajer Freedom Institute), yang sudah membantu penulis untuk menghubungi beberapa narasumber guna keperluan wawancara dalam penelitian ini.

9. Mbak Dewi, dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Sekretariat Jenderal DPR-RI yang sudah mempermudah penulis untuk mendapatkan dokumen-dokumen persidangan DPR-RI.

10. Teman-teman di Teater Utan Kayu: Evi Rahmawati, Ade Juniarti, Novriantoni Kahar, Guntur Romli, Malja Abrar. Penulis banyak belajar dari mereka.

11. Rekan dan sahabat penulis di Forum Ide: Rizal Lubis, Erton Vialy Arsy, Nadya Karima, Raden Fadillah, Bashroni Rizal, Nisfu, Surahmat Eko, serta Imam Hidayat dan Soleman Siregar yang sedang menimba ilmu di Istanbul, Turki. Terima Kasih atas kebersamaannya.

12. Teman-teman di FISIP UIN Jakarta: Zamiral Hamdi, Ahmad Nurcholis, Amar Raunsfikry, Roy Imanuddin, Rezza R. Ramadhan, Nasrul, Icksan Nst, Sulaiman Nukman, Afdal Fitrah, Isworo, Iskandar, Derio, Handi, Fadhli, Fauzi, Abimanyu, Heni, Ndu, Ino, Neneng, Fini Rubianti, Hilman Hidayat, Farah Dina, Iir Irham Mudzahir, Ahmad Garaudi dan lain-lain.

13. Sahabat-sahabati PMII KOMFISIP: Muhammad Sutisna, Muhammad Sulton, Ronald Adam, Khairy Fuady, Masmuhah Oecha, Rida Fauzia, Adi Budiman, Kholid Syaifulloh, Hakim, Anhari, M. Rafsanjani, Cendy Vicky, Ade Prasetyo, Syahrul Fadhil, Kadir, Syara Anissa, Ahmad Subandi, Reynaldi Akbar, Juple, Ical, Masayu, Nje, Kholid, Erika, Muhammad Faruqi, Adriansyah, Udin


(9)

iv

Syarifuddin, Imam Fitra, Amizar Isma, Yasir Risay, Majid, Khairunnisa Lubis dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Tanpa adanya mereka, mustahil penelitian ini bisa selesai. Semoga Allah membalas kebaikan mereka. Dan sudah tentu, mereka tidak bertanggungjawab atas segala kekurangan dalam penelitian ini. Akhir al- kalam, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda, para pembaca. Tentunya penulis sangat menantikan kritik dan masukannya, Wallahualam bishawab.

Wassalamualaikum Wr. Wb


(10)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pertanyaan Penelitian... 16

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 16

D. Tinjauan Pustaka... 18

E. Metode Penelitian... 22

F. Sistematika Penulisan... 25

BAB II KERANGKA TEORI A. Sistem Presidensial... 26

B. Sistem Multipartai... 30

C. Koalisi Presidensial... 35

D. Divided Government... 44

BAB III KONFIGURASI POLITIK TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN JOKO WIDODO - JUSUF KALLA DALAM SISTEM PRESIDENSIALISME - MULTIPARTAI A. Perkembangan Sistem Presidensialisme di Indonesia... 51

B. Konfigurasi Politik Pemilihan Legislatif 2014... 59

1. Pemilihan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Periode 2014-2019... 67

2. Pemilihan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Periode 2014-2019... 71

C. Konfigurasi Politik Pemilihan Presiden Repubulik Indonesia Periode 2014 - 2019... 73

BAB IV ANALISIS DIVIDED GOVERNMENT DALAM RELASI EKSEKUTIF-LEGISLATIF PEMERINTAHAN JOKO WIDODO – JUSUF KALLA A. Divided Government dalam Pendekatan Koalisi Presidensial... 81

1. Kegagalan Membangun Koalisi Presidensial... 85

B. Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla... 94


(11)

vi

1. Fungsi Budgeting APBN-P 2015... 97

2. Fungsi Legislasi Pembahasan Rancangan Undang-Undang... 106

a) Revisi UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah... 108

b) Revisi UU MD3... 113

c) Pengangkatan Kapolri... 116

C. Model Pendekatan dalam Divided Government... 119

1. Pendekatan melalui Prosedur Konstitusi... 120

2. Pendekatan diluar Prosedur Konstitusi... 126

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 137

B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya... 142

DAFTAR PUSTAKA... 145


(12)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel I.A.1 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks Keberlanjutan Sistem Demokrasi... 4 Tabel I.A.2 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer

dalam Konteks Intervensi Militer... 5 Tabel I.A.3 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer

dalam Konteks Kemampuan Eksekutif dalam Memperoleh Kekuatan Dominan di Legislatif... 6 Tabel I.A.4 Relasi Eksekutif – Legislatif Periode 1997 – 2009... 9 Tabel I.A.5 Komposisi Koalisi Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.. 10 Tabel II.B.1 Sistem Kepartaian Giovani Sartori... 32 Tabel II.D.1 Divided Government dalam Berbagai Jenis Sistem

Pemerintahan... 45 Tabel II.D.2 Veto dalam Sistem Presidensial... 48 Tabel III.A.1 Perbandingan UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen. 54 Tabel III.B.1 Jumlah Kursi Partai Politik Hasil Pemilihan Legislatif 2014.... 64 Tabel III.B.2 Polarisasi Dua Koalisi di DPR setelah Pileg 2014 dan

Sebelum Pilpres 2014... 65 Tabel III.B.1.1 Hasil Sidang Paripurna Pemilihan Pimpinan DPR-RI

2014-2019... 67 Tabel III.B.2.1 Komposisi Paket Calon Pimpinan MPR-RI 2014-2019... 72 Tabel III.C.1 Komposisi Koalisi Indonesia Hebat & Koalisi Merah Putih

Saat Pemilihan Presiden 2014... 75 Tabel III.C.2 Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014... 76 Tabel III.C.3 Komposisi Kabinet Kerja Jokowi – JK... 79 Tabel IV.A.1 Komposisi Kursi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah

Putih di DPR dalam Periode Divided Government... 88 Tabel IV.B.1 Relasi Eksekutif - Legislatif dalam Periode Divided

Government... 96 Tabel IV.B.1.1 Proses Silang Pendapat Eksekutif-Legislatif dalam Asumsi

Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2015... 102 Tabel IV.B.1.2 Pendapatan Negara dalam APBN-P 2015... 103


(13)

viii


(14)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.A.1 Sistem Pemerintahan Negara di Dunia... 30

Gambar II.C.1 Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial... 39

Gambar II.C.2 Tiga Gelombang Studi Presidensialisme... 41

Gambar III.A.1 Sistem Politik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945... 53

Gambar III.B.1 Hasil Pemilihan Legislatif 2014... 63

Gambar IV.A.1 Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial... 83


(15)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Transkrip Wawancara dengan Eva Kusuma Sundari (Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota Komisi III DPR-RI Periode 2009-2014)... 157 Lampiran II Transkrip Wawancara dengan William R Liddle (Professor bidang

Ilmu Politik, Ohio State University, USA)... 159 Lampiran III Transkrip Wawancara dengan Thomas Pepinsky (Asisten Professor

studi Asia Tenggara dan Direktur Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, USA)... 166 Lampiran IV Transkrip Wawancara dengan Robert Elgie (Professor bidang Ilmu

Pemerintahan dan Studi Internasional, School of Law and Government, Dublin City University, Ireland)... 169 Lampiran V Transkrip Wawanxara dengan Sébastien G. Lazardeux (Asisten

Professor Ilmu Politik St. John Fisher College, USA)... 171 Lampiran VI Transkrip Wawancara dengan Indra J. Piliang (Ketua DPP Golkar

Bidang Penelitian dan Pengembangan dan Ketua Tim Ahli Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi).... 173 Lampiran VII Transkrip Wawanara dengan Hamdi Muluk (Profesor Psikologi

Politik Universitas Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survei dan Opini Publik Indonesia)... 179 Lampiran VIII Transkrip Wawancara dengan Wandy N. Tuturoong (Pokja Lembaga

Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK)... 185 Lampiran IX Transkrip Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla (Ketua Dewan

Pimpinan Partai (DPP) Demokrat bid. Kajian Strategis dan Kebijakan)... 190 Lampiran X Transkrip Wawancara dengan Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua

Komisi IV DPR-RI 2014-2019 / Fraksi Partai Amanat Nasional)... 197 Lampiran XI Transkrip Wawancara dengan Adian Napitupulu (Anggota Komisi III


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam literatur ilmu politik, kombinasi antara sistem presidensialisme dengan sistem multipartai dinilai tidak terlalu ramah untuk menghasilkan efektivitas pemerintahan, karena berpotensi memunculkan presiden minoritas,1 atau dalam artian eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda (divided government), dan berpotensi menghasilkan legitimasi demokrasi ganda (dual democtatic legitimacy) antara eksekutif dan legislatif yang sama-sama dipilih rakyat.2 Selain itu, kombinasi ini juga bertendensi pada permainan konflik karena diiringi oleh konsep pemisahan kekuasaan serta kewenangan the winner takes all yang melekat pada Presiden,3 atau dalam istilah Juan Linz sebagai sistem yang paradoks. Berikut seperti yang dikutip dalam tulisan Juan Linz:

“Presidential constitution paradoxically incorporate two opposite principles and assumption. On to one hand, their purpose is to create a stable powerful executive endowed with popular legitimacy, tending toward plebistarian legitimation capable of opposing the particularistic interest represented in congress on the basic of party, region, local and conception of democracy implicit in the ideal of people of the people rhetoric. On the other hand, those same constitutions are based on a deep suspicion of the personalization of power and on the memories and fear of Caudillismo, going back even further, the fear of an absolute monarch, and therefore introduce many mechanisms to limit that power which might turn out to be arbitrary: foremost, the rule excluding reelection. The number of provisions

1

Presiden minoritas diartikan sebagai situasi dimana presiden tidak dapat mengontrol dan mengendalikan mayoritas kursi di legislatif atau presiden hanya mengantongi sedikit dukungan di parlemen. Lihat, Jose Antonio Cheibub, ―Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies,‖ Yale University, 3.

2Juan Linz, ―The Perils of

Presidentialism,‖ Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990): 62.

3Linz, ―The Perils of Presidentialism,‖ 56.


(17)

2

to control the presidential power like making certain appointments dependent on congressional approval, different provisions for impeachment and. the whole institutionalization of granted to the judiciary reflect this suspicion.‖ (Diterjemahkan penulis: sistem presidensialisme pada dasarnya menggabungkan dua prinsip dan asumsi yang berlawanan, sehingga dipandang paradoks. Di satu sisi, tujuannya adalah untuk menciptakan kekuatan eksekutif yang stabil dengan legitimasi yang cukup plebiscitarian

untuk berhadapan dengan berbagai kepentingan di legislatif yang berbasis pada banyak partai, daerah lokal dan konsepsi tentang demokrasi yang tersirat dalam ide dan retorika masing-masing legislator. Di sisi lain, sistem presidensialisme juga menunjukan kekhawatiran serius terhadap personalisasi daya seorang presiden, yakni kenangan dan ketakutan presiden yang sulit dihilangkan. Selain itu, konstitusi telah membuat benteng konstitusional bagi potensi kesewenangan kekuasaan presiden melalui larangan pemilihan kembali. Selain itu, untuk mengontrol kekuasaan presiden dilakukan mekanisme kesepakatan yang berdasarkan pada persetujuan kongres/legislatif, ketentuan untuk mekanisme impeachment

terhadap presiden dan pelembagaannya diserahkan kepada pengadilan, ini menunjukan adanya kekhawatiran bagi presiden yang berkuasa.)4

Tudingan bernuansa negatif terhadap sistem presidensialisme juga paparkan oleh Scott Mainwaring yang menilai sistem tersebut berpotensi melahirkan pemerintahan minoritas dan konflik antara eksekutif-legislatif serta berujung pada kehancuran demokrasi, seperti yang dikutip dalam artikelnya berikut:

Consequently, presidential systems are simultaneously more prone to minority governments and to immobilism. Immobilism has often led to enervation of executive power, problems of governability, and severe conflict between legislatures and presidents, sometimes contributing decisively to democratic breakdowns‖ (Diterjemahkan penulis: Akibatnya, sistem presidensial secara bersamaan lebih rentan bagi munculnya pemerintah minoritas dan cenderung immobilism. Immobilism menyebabkan kekuasaan eksekutif yang lemah, masalah terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dan konflik yang berlarut antara legislatif dan presiden, sehingga itu memberikan kontribusi bagi kehancuran demokrasi.)5

4Juan Linz, ―Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a Difference?,‖ The

paper prepared for the Project ‘The Role of Political Parties in the Return to Democracy in the Southern Cone, sponsored by the Latin America Program of The Wodrow Wilson International Center for Sholar, and the World Peace Foundation, 1985, 4-5.

5 Scott Mainwaring, ―Presidentialism, Multipartism, and Dem

ocracy: The Difficult Equation,‖ Working Paper 144, September 1990, 3.


(18)

3

Penilaian Scott Mainwaring dan Juan Linz tersebut dijadikan titik awal pijakan dalam penelitian tentang presidensialisme di periode selanjutnya, sampai pada akhirnya muncul penelitian dalam skripsi ini.

Selain itu, menurut Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, studi tentang sistem presidensialisme banyak merujuk kasus yang terjadi di Amerika Latin seperti Amerika Serikat, Brazil, Columbia, Chille, Argentina dan lain-lain.6 Hal tersebut sependapat dengan John Carey yang mengatakan bahwa tradisi presidensialisme di kawasan Amerika Latin adalah yang tertua.7 Bahkan, seperti halnya tudingan negatif yang dilakukan oleh Juan Linz dan Scott Mainwaring tentang presidensialisme, John Carey dalam penelitiannya di beberapa negara di Amerika Latin semisal Brazil, Chille, Uruguay dan Peru menemukan hasil yang cukup mengecewakan karena adanya invasi militer sebagai dampak dari konflik antara eksekutif dan legislatif.8 Tidak hanya itu, Jose Antonio Cheibub bahkan mengatakan bahwa potensi deadlock akan selalu menghantui sistem presidensial, namun secara spesifik Cheibub tidak langsung mengkaitkannya sistem presidensial dengan potensi deadlock dan democratic breakdown, menurutnya potensi deadlock hanya akan terjadi ketika eksekutif tidak bisa mengontrol mayoritas kursi di lembaga legislatif.9 Selain itu, Beberapa data statistik yang ditunjukan oleh Alfred Stephan dan Cindy Skach pada tahun 1990-an menunjukan

6

Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America: Rethinking the Term of The Debate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12.

7John Carey, ―Pre

sidential versus Parliamentary Government,‖ dalam C Menard dan M.M Shirley, ed., Handbook of New Institutional Economic (Netherlands: Springer, 2005), 93.

8John Carey, ―Presidential versus Parliamentary,‖ 95. 9 Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, ―

Democratic Institutions and Regime Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,‖ Forthcoming in Annual Review of Political Science, 2002, 4.


(19)

4

bahwa sistem presidensialisme rentan terjadinya destabilisasi bila dibandingkan dengan sistem parlementer.10 Tabel I.A.1 di bawah ini menjelaskan perbandingan antara sistem presidensialisme dan sistem parlementer dalam hal menjaga keberlangsungan demokrasi dalam sebuah negara.

Tabel I.A.1

Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks Keberlanjutan Sistem Demokrasi

Regime Type During Democracy Pure

Parlemantary

Pure Presidentialism

Semi-Presidentialism Total non OECD

countried democratic for at least one year during

1973-1989

28 25 0

Number of countries from above set continuously democratic

for ten consecutive year in this period

17 5 0

Democratic Survival

Rate 61% 20% N/A

Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 11.

Hasil penelitian dalam rentan waktu 1973-1989 di beberapa negara yang publikasikan oleh Alfred Stephan dan Cindy Skatch dalam tabel diatas menunjukan bahwa keberlanjutan sistem demokrasi dalam sistem parlementer terlihat tiga kali lebih besar ketimbang sistem presidensial, yakni 61% pada sistem parlementer dan 20% pada sistem presidensial. Selanjutnya apabila dilihat dari

10 Alfred Stephan dan Cindy Skatch, ―Constitutional Framework And Democratic Consolidation; Parliamentarism Versus Presidentialism,‖ World Politics Journal, Vol 46, No 1, (Okt 1993): 1-22.


(20)

5

aspek pengalaman intervensi militer, sistem presidensialisme juga memiliki persentase yang lebih besar. Berikut adalah tabel penjelasannya:

Tabel I.A.2

Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks Intervensi Militer

Regime Type During Democracy Pure

Parlemantary

Pure Presidentialism

Semi-Presidentialism Total non OECD

countried democratic for at least one year during

1973-1989

28 25 0

Number of Countries from Above set Having

Experience a Military Coup While a

Democracy

5 10 0

Military Coup

Susceptibility Rate 18% 40% N/A

Sumber:Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 12.

Berdasarkan tabel diatas, intervensi militer pada sistem presidensialisme mencapai angka 40% pada interval tahun 1973 – 1989, sedangkan dalam sistem parlementer hanya sekitar 18%. Hal tersebut terjadi karena sistem presidensialisme dalam konteks pemisahan kekuasaan memungkinkan terjadinya kegaduhan saat eksekutif tidak mendapatkan dukungan kuat di legislatif, sehingga berpotensi pada terjadi krisis dan pada kondisi tersebut kekuatan militer bisa saja muncul ke permukaan disaat eksekutif dan legislatif memiliki ketidaksepahaman yang menyebabkan destabilitas pemerintahan.11

11Stephan dan Skatch, ―Constitutional Framework,‖ 19.


(21)

6

Selain dua data tersebut, Stephan dan Skatch juga menunjukan betapa sulitnya pengalaman eksekutif dalam sistem prsidensialisme untuk mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Tabel I.A.3 dibawah ini menjelaskan persentase kemampuan eksekutif untuk mendapatkan dukungan mayoritas di legislatif dalam sistem presidensialisme dan sistem parlementer.

Tabel I.A.3

Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks Kemampuan Eksekutif dalam Memperoleh Kekuatan Dominan di Legislatif

Total Year of Democracy

Total Democracy Year in Which Executive Had a

Majority Legislative

Percentage of Democracy year

in Which Executive Had a

Majority Legislative Parliamentary

Years 208 173 83%

Presidential Years 122 58 48%

Sumber:Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 16.

Dengan menggunakan tiga indikator yakni: (1) intervensi milier, (2) keberlangsungan sistem demokrasi dan (3) kemampuan eksekutif mendapatkan dukungan mayoritas, studi Stephan dan Skach dalam rentan waktu tahun 1973-1989 berkesimpulan bahwa sistem presidensialisme yang awalnya bertujuan untuk membuat lembaga eksekutif yang kuat, justru berakhir dengan terjadinya kegaduhan pemerintahan. Berbeda hal dengan sistem parlementer yang mana kepala pemerintahan merupakan mandat penuh yang diberikan oleh parlemen,


(22)

7

sehingga mekanisme konstitutional dalam sistem parlementer mampu meminimalisir kegaduhan dalam relasi ekeskutif-legislatif.12

Studi Stephan dan Skach sebagaimana yang dikutip diatas, banyak merujuk fenomena di Amerika Latin yang sebelumnya juga dituduhkan oleh Scott Mainwaring dan Mathew Shugart yang melihat fokus pada maraknya studi presidensialisme pada kawasan Amerika Latin. Berbeda dengan arus mainstrem para peneliti-peneliti sebelumnya yang mengidentifikasikan studi presidensialisme pada kawasan Amerika Latin, penelitian ini berupaya untuk menganalisa sistem presidensialisme di Indonesia, yang posisinya jauh dari kawasan Amerika Latin, yang cukup unik karena dikombinasikan dengan sistem multipartai,13 kombinasi ini yang menurut Scott Mainwaring sebagai sesuatu yang sulit dan complicated.14 Dalam konteks Indonesia, perkembangan studi presidensialisme dalam satu dekade terakhir mengalami perdebatan di kalangan ilmuan mengenai berhasil atau tidaknya berjalannya sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia.15 Karena

12

Stephan dan Skatch, ―Constitutional Framework,‖ 18. 13

Seperti yang sudah diketahui, dalam pasal 4 UUD 1945 digarisbawahi bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensialisme, pilihan tersebut menjadi salah satu kesepakatan politik di sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang pada saat yang sama sejak sebelum pemilu 1999 telah berkembang sistem multipartai ekstrim sebagai konsekuensi logis meluasnya kebebasan berserikat. Setelah tumbangnya orde baru, orang beramai-ramai untuk mendirikan partai politik. Hal tersebut menjadi tuntutan era reformasi yang meniscayakan adanya jumlah partai yang lebih dari dua partai dominan, sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Sehingga pilihan politik terhadap presidensialisme harus di impementasikan dalam konteks sistem multipartai, sehingga kombinasi yang antara presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik yang tak terhindarkan pasca amandemen konstitusi UUD 1945. Lihat, disertasi Valina Singka Subekti, ―Menyusun Konstitusi Transisi; Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945,‖ dalam A.M Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2011) hlm xiii.

14Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, ―Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A Critical Appraisal,‖ The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre Dame, Working Paper 200, Juli 1993, 26.

15

Terjadi perdebatan mengenai berhasil atau tidaknya sistem presidensialisme multipartai diterapkan di Indonesia. Pertama, Hanta Yuda dalam ―Presidensialisme Setangah Hati; Dari


(23)

8

hal itu tidak saja terkait dengan problematika teoritis tetapi juga menyangkut persoalan efektifitas pemerintahan. Namun studi tentang berhasil atau tidaknya sistem presidensialisme di Indonesia hanya berkisar pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saja, sebagaimana nanti yang akan dijelaskan pada bagian tinjauan pustaka dalam penelitian ini.

Pengalaman Indonesia dalam sistem presidensialisme-multipartai pasca amandemen UUD 1945 selalu menghasilkan partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition party) diatas single majority (50%+1). Sehingga ini yang menurut Djayadi Hanan menjadi salah satu faktor mengapa sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia dapat berjalan, hal itu dikarenakan terpenuhinya syarat bagi sikap akomodatif dari presiden terhadap banyak partai di legislatif.16 Dengan adannya sikap akomodatif tersebut maka membuat eksekutif dan legislatif tidak mengalami kesulitan dalam membangun kesepakatan, meskipun dalam realitanya seringkali partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan sering berbeda pendapat tetapi selalu berakhir dengan kesepakatan bersama dan tanpa terjadi

Dilema ke Kompromi‖ menunjukan bahwa sistem presidensialisme multipartai di Indonesia rentan terjadi konflik kelembagaan dan tarik menarik kewenangan antara Presiden dengan DPR sehingga berujung pada adanya kewenangan Presiden yang dipangkas oleh DPR sebagai dampak dari tarik menarik kepentingan dengan banyak partai. Kedua, Djayadi Hanan dalam disertasinya Making Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian Democracy”, (terj Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia). Temuannya menunjukan bahwa hubungan eksekutif dan legislatif tetap stabil. Hal tersebut dikarenakan praktek politik mengisyaratkan adanya lobi-lobi antara eksekutif dan legislatif dalam bentuk koalisi. Presidensialisme Multipartai berhasil diterapkan dengan adanya karakter presiden yang mau berkompromi sehingga agenda-agenda kebijakan eksekutif tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan persetujuan legislatif.

16

Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 2014), 17.


(24)

9

suatu deadlock. Sikap akomodatif tersebut seperti yang dipaparkan oleh Kawamura dalam tabel 1.A.4 dibawah ini.17

Tabel I.A.4

Relasi Eksekutif – Legislatif Periode 1997 - 2009

Periode Habibie Gus Dur Megawati SBY SBY

Pemilu 1997 1999 2004 2009

Presidensiali sme

Dominasi

Eksekutif Dominasi Legislatif

Perimbangan tiga cabang kekuasaan

(eksekutif-legislatif-yudikatif)

Multiprtai Predominan Pluralisme

% Partai

penguasa 65 % 10,2% 30,6% 10,2 % 26,8 %

% Partai Presiden &

Wapres

---- 40,8 % 42,1 % 33,3 % 26,8 %

% Partai Koalisi Pemerintaha

n

97,8 % 94,8 % 83,2 % 73,4% 75,1 %

Jumlah Partai Koalisi

2 Partai & 1 Faksi

7 partai & 1 Faksi

5 Partai &

1 Faksi 7 Partai 6 Partai

Komposisi Partai Koalisi Golkar PPP Militer PKB, PDIP. Golkar, PAN, PPP, PBB, PK, Militer PDIP, PPP, PBB, PAN, Golkar, Militer Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PBB, PKPI, PPP Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB Sumber: Kawamura, Is Indonesian President strong or weak?, 17.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persentase partai koalisi pemerintahan di masing-masing presiden selalu mencapai angka diatas single majority (50% + 1) atau lebih dari lima partai pendukung di legislatif, tidak terkecuali juga setelah pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali pada tahun 2004.

17Koichi Kawamura, ―Is Indonesian President strong or weak?

,‖ Institute of Developing Economic Disscusion Paper, No 235, Japan, Mei 2010, 18.


(25)

10

Sehingga tuduhan akan kesulitan presiden dalam membangun partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition party) dengan angka diatas single majority

(50%+1) atau kekuatan mayoritas cenderung tidak terbukti pada masa era reformasi hingga periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, atau komposisi antar eksekutif dan legislatif sering disebut dengan unified government.

Dalam penelitian ini, karena berbeda dengan periode kepresidenan sebelumnya, sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla justru melahirkan kekuatan minoritas di legislatif dan dikuasainya eksekutif dan legislatif oleh dua kelompok yang berbeda, seperti dugaan yang dipaparkan para teoritisi sebelumnya yang mengatakan bahwa sistem presidensialisme-multipartai berpotensi melahirkan pemerintahan terbelah (divided government),18 dengan indikator pengukuran melalui persentase partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) yang tak mencapai single majority (50%+1). Dibawah ini adalah tabel penjelasan mengenai komposisi koalisi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Tabel I.A.5

Komposisi Koalisi Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla

Periode Joko Widodo – Jusuf Kalla

Pemilu 2014

Presidensialisme Perimbangan tiga cabang kekuasaan (eksekutif-legislatif-yudikatif)

Sistem Multipartai Pluralisme

% Partai Penguasa 18,95%

18

Divided Government adalah suatu kondisi dimana eksekutif gagal mendapatkan kekuatan mayoritas di legislatif, sehingga antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Lihat, Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York: Oxford University Press Inc, 2001), v.


(26)

11

% Partai Presiden & Wapres 18,95%

% Partai Koalisi Pemerintahan 46,48%

Jumlah Partai Koalisi 5 Partai

Komposisi Partai Koalisi PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PPP* Sumber: Diolah dari berbagai sumber *terjadi dualisme kepengurusan didalam PPP, namun penulis mengklasifikasikan PPP sebagai bagian dari Koalisi Pemerintahan. Hal tersebut berdasarkan mekanisme hukum yang termaktub dalam SK Menkumham yang menyatakan bahwa kepengurusan PPP yang sah adalah PPP versi Romahurmuzy. Yang sebelumnya menyatakan bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Hebat pada saat proses pemilihan piminan MPR-RI. Selain itu, keberadaan kader PPP dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo juga memperkuat posisi PPP yang masuk ke dalam koalisi pemerintahan.

Dalam penelitian ini, penulis tidak mengacu pada preferensi seorang presiden terhadap partainya sendiri (the ruling party) untuk mengukur terjadinya

divided government, tetapi berdasarkan partai koalisi pemerintah (the ruling coalition parties) untuk selanjutnya dihadapkan dengan kekuatan partai non-pemerintah (the opposition coalition parties) di legislatif. Sehingga, divided government terjadi apabila jumlah kursi the ruling coalition parties lebih rendah dari the opposition coalition parties di DPR. Oleh karenanya, berdasarkan kacamata tersebut, maka ini merupakan kali pertama Indonesia di era reformasi mengalami divided government.

Melalui tabel I.A.5 diatas, total partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai 46,48% atau tidak mencapai angka single majority (50%+1) yang berarti ini menandakan kekuasaan mayoritas legislatif dikuasai oleh pihak oposisi pemerintah, yakni Koalisi Merah Putih, atau pihak yang menjadi rival Joko Widodo – Jusuf Kalla pada saat pemilihan presiden 2014, mengingat Pilpres 2014 hanya diikuti dua pasang


(27)

12

kandidat dan melahirkan polarisasi kuat dua kubu di legislatif yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, yang juga sempat terjadi adanya dualisme pimpinan DPR yang berbasis pada pola koalisi tersebut.19 Polarisasi tersebut juga terjadi pada antar lembaga eksekutif dan legislatif yang dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda atau dinamakan sebagai divided government. Penulis membatasi periode divided government ini dimulai sejak Presiden dan DPR hasil pemilu 2014 dilantik sampai sesaat setelah pernyataan Ketua Umum Golkar versi Agung Laksono keluar dari Koalisi Merah Putih.20 Pembatasan periode tersebut didasarkan pada konsepsi divided government itu sendiri. Mengingat, sebagai pemenang kedua pada Pemilihan Legislatif 2014 yang mencapai suara 14,75% atau memiliki jumlah 91 kursi di DPR, membuat arah koalisi Golkar memiliki dampak yang signifikan bagi muncul atau berakhirnya

19

Sebelumnya pernah terjadi juga perpecahan dalam tubuh DPR pada tahun 2004, kala itu koalisi di DPR terpecah menjadi dua kubu, yakni koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan. Koalisi kebangsaan beranggotakan lima fraksi, yakni Partai Golkar, PDI-Perjuangan, PKB, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Damai Sejahtera. Sedangkan koalisi kerakyatan beranggotakan Partai Demokrat, PKS, Partai Bintang Pelopor Demokrasi, PPP dan PAN. Dalam merebut kursi pimpinan DPR, terjadi persaingan sengit diantara keduanya, setelah PPP yang sebelumnya bergabung ke koalisi kebangsaan akhirnya memutuskan untuk merapat ke koalisi kerakyatan, dan mencalonkan kadernya Endin AJ Soefihara sebagai calon ketua DPR, bersama EE Mangindaan (Partai Demokrat), Ahmad Farhan Hamid (PAN) dan Ali Maskour Musa (PKB). Sedangkan koalisi kebangsaan mengusung Agung Laksono (Golkar) sebagai ketua DPR, bersama Soetarjo Soerjogoeritno (PDI- Perjuangan), Muhaimin Iskandar (PKB) dan Zaenal Ma’arif (PBR). Akhirnya setelah melalui voting, koalisi kebangsaan mengungguli koalisi kerakyatan dengan perolehan 280 suara dan 250 suara untuk koalisi kerakyatan. Sehingga Agung Laksono (Golkar) dinobatkan sebagai ketua DPR 2004-2009. Namun pada tahun 2004, polarisasi tersebut tidak sampai pada munculnya dualisme pimpinan DPR sebagaimana yang terjadi pada tahun 2014 yang mana muncul deklarasi pimpinan DPR tandingan versi KIH. Sehingga menurut penulis, meskipun perpecahan di DPR bukanlah hal baru, tetapi kasus dualisme kepemimpinan DPR yang terjadi pasca pilpres 2014 bisa dibaca sebagai kasus yang baru dan pertama dalam sejarah Indonesia era reformasi.

20

Ketua Umum DPP Partai Golkar Hasil Musyawarah Nasional IX Ancol, Agung Laksono memastikan akan mengubah arah politik Golkar dengan keluar dari Koalisi Merah Putih dan mendukung pemerintahan Joko Widodo. Lihat, ―Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar dari

KMP dan Dukung Pemerintahan Jokowi,‖ Kompas, 10 Maret 2015,

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/15452001/Agung.Laksono.Pastikan.Golkar.Keluar.d ari.KMP.dan.Dukung.Pemerintahan.Jokowi Diunduh pada 3 April 2015.


(28)

13

periode divided government. Karena dengan dukungan Golkar ke Pemerintahan, maka kekuatan partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) sudah mencapai single majority (50%+1). Dengan kondisi tersebut maka komposisi eksekutif-legislatif sudah tidak lagi mengalami divided government.

Namun, sengketa dualisme kepengurusan Golkar versi Munas Ancol dan Munas Bali yang terjadi menjadi kompleksitas tersendiri dalam penelitian ini. Sebagaimana diketahui, Golkar versi Munas Bali diketuai oleh Aburizal Bakrie dan Golkar versi Munas Ancol diketuai oleh Agung Laksono, yang mana keduanya memiliki preferensi yang berbeda mengenai arah koalisi. Namun untuk memecahkan persoalan dualisme tersebut, karena ini berkaitan juga dengan arah koalisi Partai Golkar, maka penulis mengacu pada mekanisme hukum yang berdasarkan pasal 3 dan 4 dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, dan pengesahan itu yang diperoleh Agung Laksono, terlepas dari latar belakang politik munculnya SK Menkumham tersebut. Sebagaimana diketahui, Kementerian Hukum dan HAM telah mengesahkan kepengurusan Agung Laksono melalui surat No: M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015,21 yang kemudian disusul pernyataan Agung Laksono yang mendukung pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.22 Mengingat, SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan, yakni 23 Maret 2015. Meskipun seiring waktu berjalan, SK tersebut digugat oleh

21―Menkumham Sahkan Kepengurusan Golkar Adung Laksono

,‖ Kompas, 23 Maret 2015, http://nasional.kompas.com/read/2015/03/23/13034331/Menkumham.Sahkan.Kepengurusan.Golk ar.Agung.Laksono. Diunduh pada 4 April 2015.

22―Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar KMP


(29)

14

Aburizal Bakrie ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan berakhir dengan diterimanya gugatan tersebut pada tanggal 18 Mei 2015.23 Tetapi yang harus digarisbawahi adalah keputusan PTUN tersebut tidak bersifat Inkracht.24

Sehingga dengan sendirinya, sejak SK Menkumham itu diterbitkan pada tanggal 23 Maret 2015 sampai putusan PTUN pada tanggal 18 Mei 2015 maka secara hukum yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 adalah Agung Laksono sebagai ketua umum Golkar. Mengingat SK Menkumhan tersebut bersifat final and binding dan berlaku sejak tanggal diputuskan. Namun, terkait dengan proses pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini.

Oleh karenanya, terlepas dari konflik dualisme dan dinamika hukum yang sedang berjalan pasca putusan PTUN yang menyangkut partai Golkar, dan terikat dengan SK Menkumham pada tanggal 23 Maret 2015 itu telah membuat batasan periode divided government dalam penelitian ini, karena dengan fenomena tersebut, per tanggal 23 Maret 2015, struktur kekuatan eksekutif dan legislatif sudah tidak lagi menunjukan kondisi divided government, karena kekuatan oposisi pemerintah di DPR berkurang dan sudah tidak lagi mencapai angka single majority (50% + 1).

23 ―PTUN Kabulkan Gugatan Aburizal Bakri

e,‖ Kompas, 18 Mei 2015, http://nasional.kompas.com/read/2015/05/18/15072551/PTUN.Kabulkan.Gugatan.Aburizal.Bakrie Diunduh pada 20 Mei 2015.

24

Inkracht adalah suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap karena telah diputus oleh hakim dan tidak ada lagi upaya hukum lain yang lebih tinggi.


(30)

15

Seperti yang dipaparkan oleh Jose Antonio Cheibub bahwa konseptualisasi hubungan antara eksekutif dan legislatif akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian

dalam studi perbandingan politik.25 Sehingga dengan sendirinya, penelitian ini

akan berusaha mengekplorasi relasi eksekutif-legislatif sejak Presiden dan DPR dilantik sampai pada keluarnya SK Menkumham No: M. HH-01.AH.11.01 yang kemudian diikuti dukungan Agung Laksono terhadap pemerintah, telah melalui proses masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015 atau yang penulis sebut sebagai periode divided government.

Permasalahan ini menjadi penting untuk dikaji, mengingat terjadinya

divided government telah memunculkan banyak asumsi akan sulitnya Joko Widodo dalam membangun kesepakatan dengan DPR, seperti yang dipaparkan dalam rilis survey Indikator Politik Indonesia pada 19 Oktober 2014.26 Tidak hanya itu, dalam literatur tentang divided government juga banyak pihak yang khawatir akan terjadinya kebuntuan dalam relasi eksekutif-legislatif, seperti yang akan dijelaskan pada bab II nanti. Oleh karenanya, penulis akan menguji asumsi teoritik tersebut melalui analisa terhadap faktor yang memicu terjadinya divided government melalui pendekatan koalisi presidensial serta mengekplorasi relasi legislatif dan eksekutif pada periode divided government tersebut yang nantinya akan dijadikan pusaran analisis untuk menilai apakah terjadi kebuntuan dalam relasi eksekutif-legislatif dalam fenomena divided government di Indonesia. Oleh

25Jose Antonio Cheibub, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg, ―Beyond Pres

identialism and Parliamentaris,‖ British Journal of Political Science, DOI:10.1017/S000712341300032. (14 November 2013): 1.

26

Indikator Politik Indonesia, Rilis Survey Indikator Politik Indonesia, Divided Goverment: Pemberantasan Korupsi dan Tantangan Pemerintahan Jokowi-JK (Jakarta: Gedung Joeang 45, 19 Oktober 2014).


(31)

16

karenanya penelitian ini berjudul: Analisis Sistem Presidensialisme-Multipartai di Indonesia; Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif Legislatif Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

B. Pertanyaan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis munculnya divided government

pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla serta mengeksplorasi proses interaksi eksekutif dan legislatif dalam konteks tersebut, adapun dengan pertanyaan penelitiannya adalah:

1. Apa faktor yang memicu terjadinya divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam konteks sistem presidensialisme-multipartai?

2. Dalam periode divided government, bagaimana relasi antara legislatif dan eksekutif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam proses perumusan kebijakan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Munculnya divided government pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla adalah fenomena yang masih tergolong baru dan pertama kali terjadi di era reformasi dalam pelaksanaan sistem presidensialisme-multipartai. Oleh karenanya penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengisi kekosongan tentang studi tersebut. Namun secara khusus penelitian ini memiliki beberapa tujuan diantaranya.


(32)

17

1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang memicu terjadinya

divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam konteks sistem presidensialisme multipartai.

2. Untuk mengetahui bagaimana relasi antara legislatif dan eksekutif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam proses perumusan kebijakan dalam periode divided government.

Selain itu, ada dua manfaat utama dalam penelitian ini, diantaranya manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat teoritis. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menguji sejauh mana potensi deadlock terjadi dalam relasi eksekutif dan legislatif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang mengalami divided government. Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya perdebatan tersebut dalam kasus di Indonesia. Mengingat, ini adalah pertama kalinya di era reformasi, Indonesia mengalami divided government pasca penguatan sistem presidensialisme-multipartai sejak tahun 2004 yang ditandainya dengan adanya pemilihan presiden langsung. Selain itu studi tentang divided government lebih banyak merujuk pada fenomena di Amerika Latin. Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk mengisi kekosongan studi tentang divided government di Indonesia.

2. Manfaat praktis. Dengan penelitian ini penulis berharap bisa menjadi rujukan bagi siapapun yang tertarik dengan studi sistem presidensialisme pada umumnya dan studi tentang divided governmennt pada khususnya.


(33)

18

D. Tinjauan Pustaka

Usaha teoritis untuk menganalisis munculnya divided goverment dalam kerangka sistem presidensialisme-multipartai pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla belum pernah dilakukan, hal tersebut terjadi karena kasus tersebut adalah baru dan pertama kali terjadi di era reformasi. Namun, secara umum studi mengenai sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia pernah dilakukan oleh Hanta Yuda dalam bukunya ―Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke

Kompromi‖. Dalam buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2008 tersebut, Hanta melakukan tracking terhadap formasi presidensialisme yang dianut oleh Indonesia sejak tahun 1998. Melalui penelitiannya ditemukan bahwa pemerintah Indonesia melakukan purifikasi sistem presidensial, yang diantaranya dengan mengurangi kuasa yang cenderung „koruptif’ pada lembaga kepresidenan, serta memberi porsi yang lebih banyak pada legislatif untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden. Namun, hal tersebut menimbulkan masalah karena kekuasaan presiden menjadi dilematis karena sistem politik yang „legislative heavy’ menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan kompromi politik dengan legislatif.27

Dalam penelitian Hanta Yuda, periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla adalah objek penelitiannya. Ditemukan bahwa telah terjadi tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif dalam berbagai hal. Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis: kompromi

27

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).


(34)

19

internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di legislatif yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan-kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial. Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik dan beragam ancaman dari legislatif kepada presiden dalam berbagai kebijakan atau disebutnya sebagai sistem presidensialisme setengah hati. 28

Penelitian lainnya mengenai sistem presidensialisme multipartai pernah dilakukan oleh Syamsuddin Harris (2010), peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam disertasinya yang berjudul ―Format Baru Relasi Presiden -DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen Konstitusi (2004-2008)‖. Dalam disertasi doktoralnya di FISIP UI, Syamsuddin berfokus pada realitas empiris sulitnya membangun hubungan antara eksekutif dengan legislatif terlebih apabila mekanisme kerjasama dan konsultasi antara kedua lembaga tidak lakukan secara intens. Secara khusus Syamsuddin menilai sikap presiden kedepan harus lebih akomodatif jika tidak ingin ada deadlock antara eksekutif dan legislatif, jika sikap presiden kaku dalam membangun jaringan komunikasi dengan partai politik lainnya maka potensi konflik yang berujung

deadlock akan semakin besar pula.29

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Barry Ames dalam bukunya

Deadlock of Democracy in Brazil‖ terbitan Univeristy of Michigan Press tahun 2001 yang berusaha menelaah masalah presidensialisme di Brazil pasca tahun

28

Yuda, Presidensialisme Setengah Hati. 29

Syamsuddin Harris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia pasca Amandemen Konstitusi (Disertasi Doktoral FISIP Universitas Indonesia, 2008).


(35)

20

1985. Penelitiannya berfokus pada tantangan yang dihadapi oleh setiap presiden di Brazil yakni bagaimana seorang presiden bisa mempertahankan konsistensi dukungannya terhadap kongres. Ames menggunakan analisanya dalam menjawab sulitnya membangun otoritas kuat presiden di Brazil. Hal tersebut ditenggarai karena tidak adanya hubungan dekat antara warga negara dengan partai politk.30

Selain itu, sistem presidensialisme yang meniscayakan adanya tugas-tugas politik bagi presiden nampak jauh dari prinsip meritrokasi, pekerjaan politik yang harusnya dilakukan oleh kabinet justru diserap oleh partai politik dan beberapa kelompok kepentingan. Sebagai contoh pada kabinet presiden José Sarney (1985-1990), Fernando Collor (1990-1992), Itamar Franco (1992-1995) dan Fernando Henrique Cardoso (1995-2003) yang seharusnya presiden memiliki nilai strategis kepada seluruh kekuatan administrasi dan konstruksi kabinetnya, namun hal tersebut tak begitu nampak. Bisa dilihat dari percampuran bidang keahlian di kabinetnya yang terdiri dari teknokrat dan politisi justru terlihat tanpa ada kuasa. Hal itu dijadikan analisa kuat Ames dalam menilai begitu rapuhnnya sistem presidensial di Brazil karena berpotensi deadlock. Kasus di Brazil juga seringkali dijadikan rujukan utama dalam melihat resiko buruk dalam sistem presidensialisme.31

Penelitian lainnya yang terkait, juga dilakukan oleh Djayadi Hanan dalam disertasi doktoralnya di Ohio State University yang berjudul ―Making Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian

30

Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil (Michigan: University of Michigan Press, 2001), 273.

31


(36)

21

Democracy‖ yang sudah diterjemahkan oleh Mizan dengan judul ―Menakar Presidensialisme Multipartai; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dunamis dalam Konteks Indonesia‖ yang terbit tahun 2014. Djayadi berusaha membantah teori-teori umum tentang hubungan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensialisme multipartai. Menurut teori-teori umum, kombinasi presidensialisme dengan multipartai akan cenderung gagal. Penyebab utamanya adalah suasana konflik yang cenderung terjadi antara eksekutif dan legislatif yang membuat keduanya sulit kerjasama dalam landasan dasar Tria Politica. Banyaknya partai yang ada dalam legislatif juga membuat presiden sulit untuk mengamankan agenda-agenda pemerintahannya dari gangguan legislatif. Maka, sistem presidensialisme multipartai cenderung berakhir dengan konflik antar keduanya. Berbeda dari prediksi para teoritisi terdahulu, Djayadi melihat sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia relatif berjalan stabil dan normal. Hubungan tegang antara eksekutif dan legislatif memang terjadi, namun tidak mencapai jalan buntu. Dukungan legislatif terhadap agenda-agenda pemerintah relative masih terbangun.32

Djayadi menilai hal tersebut bisa terbangun karena keberadaan dua faktor yang saling mendukung. Mekanisme kelembagaan formal anara eksekutif dan legislatif seperti mekanisme persetujuan bersama membuat keduanya harus menyelesaikan perbedaan satu sama lain dengan mengutamakan kerjasama. Mekanisme kelembagaan informal yakni koalisi menjadi jalan keluar dari

32

Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 2014), 17.


(37)

22

kebuntuan. Selain itu juga terdapat mekanisme non-kelembagaan seperti presiden yang cenderung akomodasionis, para elit politik yang pragmatis dan budaya konsensus turut mengurangi potensi kebuntuan antara eksekutif dan legislatif.33

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memfokuskan diri pada sistem presidensialisme-multipartai sebelum pemilu 2014, maka penelitian ini berfokus pada telaah atas divided government melalui pendekatan koalisi presidensial dan mengeksplorasi proses relasi antara eksekutif dan legislatif pada periode divided government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta pemahaman mendalam (deep-understanding). Penelitian dengan metode ini menghasilkan data deskriptif berupa deskripsi dari unit analisis yang diteliti. Metode kualitatif ini telah banyak digunakan dalam studi Ilmu Politik, karena para partisipan dalam dunia politik ada kecenderungan bersedia berbicara tentang keterlibatan dan peran mereka dalam jabatan kekuasaan formal.34 Dari hasil pembicaraan para partisipan tersebut diharapkan penulis memperoleh pemahaman yang mendalam (deep-understanding) terkait relasi eksekutif-legislatif pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terutama pada periode divided govenment. Dalam hal teknik analisis data, penulis menggunakan teknik deskriptif-analitis. Hal tersebut digunakan untuk menggambarkan realitas yang

33

Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai, 121. 34

David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik (Bandung: Nusamedia, 2002), 242.


(38)

23

kompleks melalui penyederhanaan konsep, sehingga asumsi yang bersifat umum diperlukan dalam upaya merumuskan hubungan antar variabel penelitian.

Dalam hal pengumpulan data, penulis menggunakan teknik wawancara,

studi kepustakaan dan tela’ah dokumen. Wawancara adalah salah satu bagian dari proses pengumpulan data melalui pertemuan antara peneliti dengan responden atau informan. Melalui wawancara ini peneliti bisa memperoleh informasi yang tidak tercatat dalam berbagai dokumen yang tersedia.35 Dalam proses wawancara, penulis menggunakan pertanyaan terbuka dan tidak terstruktur.36 Mengenai jenis informan, penulis membaginya kedalam enam kelompok berdasarkan profesi yang berkaitan dalam penelitian ini, hal ini sebagai wujud selektifitas agar mendapatkan data yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, Pihak yang menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Hebat, yakni Eva Kusuma Sundari (Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota DPR-RI periode 2009-2014) dan Adian Napitupulu (Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota Komisi III DPR-RI periode 2014-2019). Kedua pihak yang menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih yakni Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI Periode 2014-2019 / Fraksi Partai Amanat Nasional). Ketiga, pihak yang menjadi bagian dalam Tim Transisi Jokowi-JK, yakni Wandy N. Tuturoong (Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK), mengingat tim ini memiliki peran dalam membantu Presiden menyusun kabinet pemerintahan. Empat, pihak yang menjadi bagian dari

35

Harrison, Metode Penelitian, 104. 36

Wawancara tidak terstruktur adalah bentuk wawancara yang mengalir bebas dan memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar. Namun dalam prosesnya, penulis mengalami pengalihan bentuk wawancara dari yang sebelumnya adalah wawancara terstruktur. Sehingga penulis menggunakan aide-memoire atau daftar ringkas topik yang akan ditanyakan, meski tidak dalam urutan tertentu. Sehingga ini memastikan penulis agar tetap fokus tanpa mengurangi kelancaran alur dalam wawancara yang tidak terstruktur. Lihat, Harrison, Metode Penelitian, 106.


(39)

24

eksekutif, yakni Indra J Piliang (Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara - Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) dan juga sebagai Ketua DPP Golkar bidang Penelitian dan Pengembangan periode 2009-2014).

Kelima, yakni pihak yang kerap kali mengaku tidak memposisikan dirinnya sebagai Koalisi Indonesia Hebat ataupun Koalisi Merah Putih, yakni Ulil Abshar Abdalla (Ketua DPP Partai Demokrat bid Kajian Strategis dan Kebijakan). Dan yang keenam adalah ilmuan-ilmuan politik yang berasal dari dalam dan luar negeri untuk memperkuat kesimpulan yang didapat dari penelitian ini, diantaranya William R. Liddle (Ohio State University, USA), Thomas Pepinsky (Cornell University, USA), Robert Elgie (Dublin City University, Ireland), Sebastien Lazardeaux (St. John Fisher College, USA), dan Hamdi Muluk (Universitas Indonesia). Selain itu, dalam hal kepustakaan, penulis melakukan selektifitas terhadap beberapa terbitan buku yang dipandang sudah memiliki kredibilitas dalam dunia akademik, untuk penggunaan jurnal penulis merujuk pada Journal of Democracy, Comparative Politics, American Political Science Review, World Politics, British Journal of Political Science, Democratization dan lain-lain. Selain itu, penulis juga melakukan tela’ah dokumen untuk mendapatkan data terkait percakapan yang terjadi dalam proses relasi eksekutif-legislatif. Dokumen tersebut diperoleh dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Sekretariat Jenderal DPR-RI, yang diantaranya adalah Risalah Sidang Paripurna, Laporan Badan Anggaran (Banggar), Laporan Sidang Komisi DPR-RI, Laporan Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) dan laporan pembicaraan lainnya. Untuk pedoman penulisan, penulis menggunakan buku terbitan Fakultas Ilmu Sosial dan


(40)

25

Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi yang diterbitkan pada tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi kedalam lima bab. Berikut adalah sistematika penulisan dalam penelitian ini:

Bab I, penulis akan memaparkan mengenai latar belakang, pertanyaan penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini.

Bab II, penulis akan mengekplorasi kerangka teori yang akan digunakan sebagai rancang bangun konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian ini.

Bab III, penulis akan memfokuskan diri pada gambaran umum konfigurasi politik terbentuknya pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam sistem presidensialisme-multipartai.

Bab IV, penulis akan melakukan analisa untuk menemukan faktor yang menyebabkan terjadinya divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla serta mengekplorasi relasi antara eksekutif dan legislatif dalam proses perumusan kebijakan pada periode divided government tersebut.

Bab V, penulis akan dijabarkan kembali temuan-temuan yang diperoleh dalam bab IV untuk dijadikan kesimpulan dari penelitian ini serta akan dipaparkan tentang beberapa rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.


(41)

26

BAB II

KERANGKA TEORI

Pada bab ini, penulis akan mengulas beberapa teori sebagai pijakan dalam rancang bangun konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian dalam studi ini.

A. Sistem Presidensialisme

Sistem presidensialisme merupakan salah satu varian dari sistem pemerintahan yang dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antara lembaga negara dan juga kelanjutan dari konsep pemisahan kekuasaan.1 Sebagai suatu sistem, maka tidak lepas dari ciri-ciri yang melekat pada dirinya. Scott Mainwaring dan Mathew Shugart memberikan beberapa ciri sistem presidensial yakni: (1) adanya pemilihan presiden secara langsung (direct popular vote) dan terpisah dengan legislatif (fusion of ceremonial and political power), (2) adanya masa jabatan presiden yang tetap (fixed term of office).2 Prinsip lain dalam sistem presidensialisme bahwa eksekutif dikepalai oleh presiden yang sering disebut sebagai sole executive yang tidak terbagi kekuasaannya ke dalam jabatan kepala negara (head of state) dan jabatan kepala pemerintahan (head of government)

1

Sistem pemerintahan secara umum terbagi menjadi 2 yakni: sistem presidensialisme dan sistem parlementer. Berbeda dengan sistem presidensialisme, sistem parlementer bercirikan dengan adanya pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, pemilihan Perdana Menteri oleh Parlemen serta kekuasaan yang berpusat pada parlemen. Lihat, Jack H Nagel, ―The Descriptive Analysis of Power‖, dalam Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2012), 30. Lihat juga, Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 15.

2

Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, ed., Presidentialism and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 14.


(42)

27

yang tak bisa dijatuhkan oleh legislatif.3 Selain itu, Juan Linz melalui artikelnya mengenai sistem presidensialisme mengatakan:

“Presidential systems are based on the opposite principle. An executive with considerable powers in the constitution, generally in full control of the composition of his cabinet and the administration, is directly elected by the people for a fixed period of time and is not dependent on the formal vote of confidence by the democratically elected representatives in parliament. He is not only the holder of executive power but the symbolic head of state and cannot be dismissed except in the exceptional cases of impeachment between election.‖ (Diterjemahkan penulis: Sistem presidensial didasarkan pada prinsip yang berlawanan. Eksekutif memiliki kekuatan yang cukup besar yang tertuang dalam konstitusi, umumnya memiliki kontrol penuh atas komposisi dan administratuf di kabinetnya, hal tersebut dikarenakan Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka waktu yang tetap dan tidak tergantung pada suara-suara yang datang dari wakil rakyat yang juga dipilih secara demokratis di parlemen. Presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala simbolis negara dan tidak dapat diberhentikan kecuali jika terjadi pelanggaran yang luar biasa untuk selanjutnya diatur melalui mekanisme impeachment ditengah periode pemilu.) 4

Ciri-ciri tersebut yang menurut beberapa ilmuan politik seperti Juan Linz menilai sistem presidensial sebagai sistem yang paradoks karena menciptakan dualisme legitimasi antara eksekutif dan legislatif, karena kedua lembaga tersebut sama-sama dipilih oleh rakyat dan tak bisa saling menjatuhkan.5 Mengenai kritiknya terhadap sistem presidensialisme, Juan Linz mengatakan:

Presidential constitutions paradoxically incorporate contradictory principles and assumptions. On the one hand, such systems set out to create a strong stable executive with enough plebiscitarian legitimation to stand fast against the array of particular interests represented in the legislature.

3

Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Form and Performance in Thirty Six Countries (New Haven and London: Yale University Press, 1999), 117.

4Juan Linz, ―Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a

Difference?,‖ The

paper prepared for the Project ‘The Role of Political Parties in the Return to Democracy in the Southern Cone, Sponsored by the Latin America Program of The Wodrow Wilson International Center for Sholar, and the World Peace Foundation, 1985, 3.

5

Juan Linz, ―The Perils of Presidentialism,‖ Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990): 62.


(43)

28

On the other hand, presidential constitutions also reflect profound suspicion of the personalization of power: memories and fears of kings and caudillos do not dissipate easily. Other provisions like legislative advice-and-consent powers over presidential appointments, impeachment mechanisms, judicial independence, and institutions such as the Contraloria of Chile also reflect this suspicion.” (Diterjemahkan penulis: Sistem presidensialisme yang memasukkan prinsip dan asumsi yang bertentangan dipandang paradoks. Di satu sisi, sistem tersebut berangkat untuk membuat lembaga eksekutif yang kuat dan stabil dengan cukup legitimasi plebiscitarian untuk berdiri kokoh saat berhadapan dengan berbagai kepentingan yang terwakili dalam lembaga legislatif. Di sisi lain, presiden juga dihadapkan ketakutan mendalam terkait kekuasaan personal yang dimilikinya: seperti kenangan dan ketakutan yang tidak bisa menghilang dengan mudah. Ketentuan lain seperti kekuasaan legislatif dan persetujuan atas usulan presiden, mekanisme impeachment, independensi peradilan, dan lembaga-lembaga seperti Contraloria di Chile juga menunjukan adanya kekhawatiran bagi keberadaan Presiden.) 6

Berbeda dengan Juan Linz yang menentang sistem presidensial secara kelembagaan, Scott Mainwaring dan Mathew Shugart justru lebih halus dalam menjawab tudingan buruk tersebut, baginya jika sistem presidensial dirancang dengan baik dan hati-hati, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan parlementer, namun Mainwaring dan Shugart juga tak menafikan akan bahaya sistem presidensialisme apabila dikombinasikan dengan sistem multipartai.7 Bahaya dalam sistem presidensialisme juga diafirmasi oleh Noah Feldman dan Duncan Pickard yang mengatakan adanya potensi ketegangan antara legitimasi eksekutif dan legislatif.8 Temuan lain dalam sistem presidensialisme dilakukan oleh Jose Antonio Cheibub yang mengatakan bahwa dalam konteks presidensialisme di kawasan Amerika Serikat ada upaya untuk menyetujui

6

Linz, ―The Perils of Presidentialism,‖ 54. 7

Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, ―Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A Critical Appraisal,‖ The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre Dame, Working Paper No 200, Juli 1993, 26.

8

Noah Feldman dan Duncan Pickard, ―The Risks of Semi-Presidentialism in Emerging Democracies,‖ Democracy Reporting International, Right to Nonviolence’s Tunisia Constitutional e-Forum, 2 October 2012, 1.


(44)

29

kekuasaan presiden yang memiliki peran yang kuat dalam legislasi serta membuat aturan darurat yang lebih luas.9

Selain itu, menurut Syamsuddin Harris, pemisahan kekuasaan dalam sistem presidensialisme dipandang sebagai hal yang positif karena memperkuat prinsip

check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, namun disisi lain juga membuka peluang terjadinya divided government yang berpotensi pada kegaduhan pemerintahan dan deadlock dalam pengambilan keputusan karena eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda.10 Dibalik polemik yang diasumsikan oleh para ilmuan politik terdahulu, sistem presidensialisme tampaknya masih tetap dianut di banyak negara. Gambar dibawah ini menunjukan bahwa sistem presidensialisme banyak dianut di negara-negara kawasan Amerika Latin, meskipun juga ada bagian wilayah lain seperti Afrika, sebagian wilayah Asia Barat dan Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem tersebut. Namun studi-studi penting yang kerap menjadi rujukan tentang presidensialisme banyak mengacu pada fenomena yang terjadi di Amerika Latin.11

9

Jose Antonio Cheibub, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg, “Latin American Presidentialism in Comparative and Historical Perspective,‖ University of Chicago Public Law and Legal Theory, Working Paper No. 361, 2011, 24.

10

Syamsuddin Harris, Praktik Parlementer Demokrasi Presidensial di Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 2014), 32.

11

Studi tentang presidensialisme banyak mengulas fenomena di negara Amerika Latin. Beberapa yang familiar diantaranya Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil (Michigan: University of Michigan Press, 2001). Jennifer S. Holmes, Bullets and Ballots in Columbia (Dallas: University of Texas), Morgernstern dan Nacif, Legislative Politics in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press). Jose Antonio Cheibub, ―Minority Presidents, Deadlock and The Survival of Presidential Democracy‖, Yale University. Adam Przeworski, Jose Antonio Cheibub, Sebastian Saiegh, ―Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism‖, B.J.Pol.S.34 DOI: 10.1017/S0007123403000195 United Kingdom: Cambridge University Press. Mahakarya Juan Linz, ―The Perils of Presidentialism


(45)

30

Gambar II.A.1

Sistem Pemerintahan Negara di Dunia

Sumber: https://www.boundless.com

B. Sistem Multipartai

Sistem Multipartai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Secara umum, Maurice Duverger mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan kuantitas atau jumlah. Menurutnya sistem kepartaian menjadi tiga jenis yakni: (1) sistem partai tunggal, (2) sistem dwi-partai dan (3) sistem multipartai.12 Secara definisi, sistem multipartai adalah sistem kepartaian yang meniscayakan adanya partai yang lebih

secara umum juga mengacu pada fenomena-fenomena di Amerika Latin. Meskipun juga ada beberapa studi mengenai fenomena presidensilisme di Indonesia tetapi jumlahnya tidak signifikan jika dibanding dengan studi-studi di Amerika Latin.

12

Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok Penekan (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1994), 13.


(46)

31

dari dua partai dominan. Dalam konteks Indonesia, sistem multipartai dianggap sangat mendukung kebebasan berkumpul yang terlegitimasi dalam pasal 28 UUD 1945. Banyak faktor yang mempengaruhi sistem kepartaian di suatu Negara. Untuk konteks politik Indonesia, ada tiga faktor penyebab sistem multipartai sulit dihindari. Pertama, yakni faktor pembentuk atau tingginya tingkat pluralitas masyarakat. Faktor ini yang menyebabkan keharusan bagi penerapan sistem multipartai. Sementara kemajemukan masyarakat merupakan suatu yang harus diterima dalam struktur masyarakat indonesia. Kedua, yakni faktor pendorong atau dukungan sejarah sosio-kultural masyarakat. Ketiga, yakni faktor penopang atau desain sistem pemilihan proporsional dalam beberapa sejarah pemilihan umum.13 Dalam kasus Indonesia, sistem multipartai adalah keniscayaan adanya aneka ragam suku, ragam, ras, dan golongan yang ada dalam suatu negara. Selain Indonesia, negara yang menganut sistem ini adalah Malaysia, Belanda, Perancis, Swedia, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, klasifikasi mengenai sistem multipartai seperti yang dipaparkan Maurice Duverger tampak sebagai kategori tunggal sehingga gagal menjelaskan mengenai rincian mendetail sistem multipartai, seperti pertimbangan tentang perilaku partai serta jarak ideologis. Melihat kekurangan tersebut, kajian mengenai sistem multipartai telah banyak disempurnakan oleh Giovani Sartori, sehingga tipologi mengenai sistem multipartai memiliki beberapa

13

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), 102.


(47)

32

varian.14 berikut adalah penjelasan umum Sartori sebagaimana yang dikutip oleh Kuskridho Ambardi tentang sistem kepartaian:

Tabel II.B.1

Sistem Kepartaian Giovani Sartori

Jumlah Partai Tingkat Ideologi Rendah Tingkat Ideologis Tinggi

1 Satu - Partai Tidak ada

2 Dua - Partai Dua Partai Terpolarisasi

3-5 Pluralisme Moderat Pluralisme Terbatas, Terpolarisasi

 5 Pluralisme Ekstrem Pluralisme Terpolarisasi

Sumber: Sartori

Klasifikasi Sartori pada umumnya mengacu konsep jarak ideologis untuk menggambarkan interaksi antarpartai yang memperihatkan tingkat keajekan tertentu, dimana partai politik bertindak dan saling merespons secara terpola di arena politik yang berbeda.15 Dalam hal jumlah partai, Sartori menawarkan dua konsep penyaring, yakni potensi koalisi dan potensi mengintimidasi secara politik. Suatu partai memiliki potensi untuk berkoalisi manakala ia berada dalam posisi yang menentukan bagi terbentuknya koalisi dan di saat yang sama memiliki posisi yang menentukan bagi terbentuknya koalisi mayoritas di pemerintahan. Sedangkan suatu partai berpotensi melakukan intimidasi manakala ia memiliki kekuatan memaksa sehingga keberadaannya mempengaruhi taktik persaingan antar partai terutama ketika ia mampu mengubah arena persaingan.16

14

Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia – Lembaga Survei Indonesia, 2009), 8.

15

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 8.

16 Giovanni Sartori, ―Parties and Party System: A Framework of Analysis,‖ dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 11.


(48)

33

Berdasarkan fenomena tersebut, kedua kriteria diatas menurut Sartori harus dimasukan dalam klasifikasi sistem kepartaian. Tipologi Sartori tersebut mengasumsikan hanya ada satu persaingan politik. Dengan demikian ia mengabaikan kemungkingan pemisahan antara persaingan di arena pemilu dengan persaingan di arena legislatif. Dengan begitu logika yang dibawa Sartori adalah hasil-hasil Pemilu akan menentukan tindakan partai secara konsisten di arena legislatif dan arena pemerintahan.17 Argumentasi Sartori pada dasarnya juga mendapatkan dukungan dari David Mayhew yang disederhanakan oleh Shaun Bowler yang mengatakan:

Berbagai keuntungan di arena Pemilu akan membentuk perilaku partai di arena legislatif. Partai-partai di parlemen dilihat sebagai konsekuensi dari kebutuhan untuk bertarung memenangi pemilu, partai-partai di legislatif sebagian besar muncul sebagai akibat dari nilai fungsional partai pada waktu Pemilu.‖18

Meskipun konsistensi tindakan partai antara arena pemilu dan arena pemerintahan tersebut perlahan dibantah oleh Robert Dahl dalam ―Pattern of

Opposition‖ yang mengidentifikasi ragam arena persaingan politik yang

diantaranya yakni arena pemilu, parlemen, birokrasi, pemerintah daerah dll.19 Dalam fenomena yang terjadi di Indonesia, ragam arena persaingan politik dijelaskan lebih intens oleh Kuskridho Ambardi, menurutnya sejak era reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang terkartelisasi. Beberapa bukti yang ditunjukan yakni hilangnya peran ideologis sebagai aktor

17

Giovanni Sartori, ―Parties and Party System: A Framework of Analysis,‖ dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 12.

18

David Mayhew dalam Shaun Bowler ―Parties in Legislature: Two Competiting in Explanations,‖ dalam Russell Dalton dan Martin Wattenberg, ed., ―Parties Without Partisans,― dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 12.

19Robert Dahl,―Pattern of Opposition,‖


(49)

34

penentu perilaku koalisi partai, sikap permisif dalam pembentukan koalisi, tiadanya oposisi, hasil-hasil pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik dan kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.20 Hal itu yang menurut Ambardi sebagai gambaran muram mengenai sistem multipartai di Indonesia. Namun, dalam penelitian ini penulis tidak menggunakan tesis kartel sebagai konseptualisasi dalam basis analisis. Sebagaimana diketahui, dalam tesis kartel, persaingan antar partai yang sehat bisa menciptakan check and balances dan berdampak baiknya kualitas demokrasi, namun dalam kasus Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ambardi, ada kecenderungan partai-partai memiliki pola yang serupa dengan kartel yang berperilaku seperti layaknya satu kelompok dan menghilangkan persaingan serta berakhir pada jauhnya dari prinsip check and balances.21 Sehingga menurut tesis ini demokrasi di Indonesia jauh dari prinsip ideal. Tetapi, menurut penulis tesis tersebut tidak bisa menjelaskan dalam perspektif sistem presidensialisme-multipartai yang dalam pendekatan koalisi presidensial, seperti yang akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya, mengharuskan adanya koalisi guna melancarkan pemerintahan agar bisa berjalan. Keberadaan koalisi itu secara tidak langsung mengharuskan adanya kerelaan dari partai politik untuk meninggalkan basis ideologi dan platform masing-masing partai guna mencapai kesepahaman bersama dengan partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi. Sehingga posisi teoritik yang digunakan dalam penelitian ini bersebrangan dengan tesis kartel pada umumnya. Penulis menyadari bahwa ketegasan posisi teoritik dalam suatu

20

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 3. 21


(1)

198

Hendra: Apa tanggapan anda tentang proses perumusan APBN-P 2015? Meskipun sebelumnya, KMP-KIH mengalami rivalitas yang cukup kuat, namun dalam pembahasan APBN-P 2015 keduanya bisa saling duduk bersama untuk menyepakati? Apa yang faktor yang menyebabkan KMP dan KIH bisa saling menyepakati APBN-P 2015? Sejauh apa lobby-lobby berhasil di lakukan?

Viva Yoga: Itu sebagai tanda bahwa ketika menjalankan fungsi budgetting, tidak lagi berporos pada kepentingan KMP vs KIH, namun berorientasi pada national interest. APBN harus ditetapkan dalam UU. Setelah ditetapkan dalam UU, maka pemerintah harus menjalankan UU APBNP, dan DPR melakukan fungsi pengawasan, baik di KMP atau di KIH. Secara personal, hubungan anggota DPR dari KMP dan KIH relatif cair. Perbedaan di DPR sekarang tergantung topik yang tematik. Misalnya soal BBM, subsidi nelayan dan petani, dan sejumlah kebijakan kementrian masing-masing.


(2)

199 Lampiran XI

Transkip Wawancara Narasumber : Adian Napitupulu

Status : Anggota Komisi III DPR-RI periode 2014-2019 / Fraksi PDI-Perjuangan Hari/Tanggal : Senin 18 Mei 2015

Tempat : Melalui Blackberry Messenger (BBM)

Hendra: Bang besok ada waktu kosong gak? Mau nanya 1-2 pertanyaan bang buat data skripsi. Apa bisa?

Adian: kalo via BBM aja bagaimana?

Hendra: Okeh deh. Lewat BBM aja tidak apa-apa. Sekarang bisa?

Adian: Besok aja bagaimana?

Hendra: Oke deh siap, besok pagi ya bang.

Adian: Iyeeee

Hendra: Bang. Soal semalem, bisa saya tanya sekarang gak?

Adian: Apa?

Hendra: Menurut Bang Adian, seberap penting kompromi dalam relasi ekskeutif-legislatif pemerintahan JKW-JK? Mengingat secara matematis, kursi KMP sedikit lebih banyak dari KIH, sebelum ada konflik internal Golkar?

Adian: Yaa. Penting, karena politik itu kan negosiasi.

Hendra: Termasuk bisa bernegosiasi antara KIH dengan KMP?

Adian: Yap. Simpelnya kan begini, Perang itu adalah politik dengan darah, sedangkan politik itu perang tanpa berdarah.

Hendra: Oke, berarti ada kompromi ya. Tapi bukankah kompromi itu beda dengan negosiasi bang?

Adian: Apa bedanya? Menurut saya sama. Negosiasi itu prosesnya sedangkan komprmi itu adalah hasilnya.

Hendra; Oh oke deh bang. Saya kira cukup, saya sudah menangkap. Maaf mengganggu


(3)

(4)

(5)

(6)