Latar belakang lahirnya Perma ini yang pertama adalah sebagai salah satu upaya untuk membantu lembaga pengadilan dalam rangka mengurangi beban
penumpukan perkara. Kedua, adanya kesadaran akan pentingnya sistem hukum di Indonesia untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang
bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan. Ketiga, proses mediasi sering diasumsikan sebagai proses yang lebih efisien dan tidak memakan waktu
dibandingkan proses pengadilan. Pada metode ini hakim bertindak sebagai pihak yang netral. Kekuasaan
tertinggi ada pada_para pihak yang bersengketa, bukan di tangan hakim selaku mediator. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu
atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja. Hasil dari proses persidangan adalah putusan hakim. Sedangkan proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan
antara para pihak mutually acceptable solution.
E. Penyelesaian sengketa Perdata Menurut Perma No. 1 Tahun 2008.
Dalam PermaNo.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dijelaskan prosedur mediasi wajib dilakukan dalam menyelesaikan perkara
perdata di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 13, Pasal 2, dan Pasal 4.
Di dalam Pasal 1 butir 13 menyatakan bahwa ”Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat pertama dalam lingkungan peradilan umum dan agama”.
Kemudian dalam Pasal 2 Perma NO. 1 tahun 2008 mengatakan bahwa: 1
Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan,
Universitas Sumatera Utara
2 Setiap Hakim, Mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini 3
Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR dan atau 154 RBg
yang mengakibatkan putusan batal demi hukum,
4 Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan
bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara
yang bersangkutan.
Pasal 4 Perma NO. 1 tahun 2008 mengatakan bahwa : “Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga,
pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian
melalui perdamaian dengan bantuan mediator.”
Mediator yang menangani kasus atau sengketa di pengadilan harus memiliki sertifikat mediator yang dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi oleh
Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Perma Nomor 1 Tahun 2008: 1
Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat 3 dan pasal 11 ayat 6, setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada
asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah
memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2 Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada Hakim, advokad,
akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan pengadilan yang bersangkutan
berwenang menjalankan fungsi mediator.
3 Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: a.
mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah
mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi, c.
sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan,
d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di
pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Pada sebuah pengadilan mesti ada sekurang- kurangnya lima 5 orang mediator.
Mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. Mediasi dilakukan di dalam ruangan mediasi di Pengadilan Tingkat Pertama,
tetapi dapat juga diselenggarakan di luar lingkungan pengadilan jika mediatornya bukan hakim. Jika mediatornya seorang hakim tidak boleh
menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi, ketidak-hadiran pihak turut Tergugat tidak menghalangi mediasi.
Para pihak memiliki hak untuk memilih mediator yang mereka kehendaki bersama dalam waktu paling lama tiga hari kerja, sejak hari
persidangan yang dihadiri lengkap kedua belah pihak. Jika dalam batas waktu maksimal yang telah ditentukan para pihak belum mencapai kesepakatan
untuk memilih mediator, maka para pihak segera melaporkan ketidaksepakatan mereka kepada Ketua Majelis Hakim. Jika tidak ada
kesepakatan para pihak dalam menentukan mediator maka Ketua Majelis segera menunjuk hakim yang tidak memeriksa pokok perkara untuk bertindak
menjadi mediator perkara tersebut. Dengan telah dikeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, maka
dapat merupakan suatu harapan baru bagi masyarakat Indonesia terutama yang mempunyai problematik dan kebutuhan penyelesaiannya untuk didudukkan
dengan jawaban yang sesuai dengan keadaan yang semestinya. Karena dengan adanya lembaga mediasi, Pengadilan bukan satu-satunya yang dapat
Universitas Sumatera Utara
menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan hukum masyarakat, tetapi telah ada wadah yang lain sebagai bentuk alternatif yaitu lembaga mediasi.
Mediasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 Perma Nomor 1 tahun 2008 adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Demikian juga dalam ketentuan dalam Pasal 60 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman ”mediasi adalah sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan selain
dengan cara mediasi juga menggunakan cara-cara: konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau pernilaian ahli.
Mediasi sebagai suatu media dapat juga dipahami dari segi istilah dengan asal kata ’mediate’ artinya menengahi pencegahan dalam sengketa,
dan kata ’mediation’ artinya penyelesaian sengketa dengan menengahi.
53
Dalam bahasa Indonesia mediasi adalah cara atau mekanisme pemencahan masalah, kamus bahasa Indonesia yang ditulis W.J.S Poerwadarminta tidak
mencantumkan pengertian kata mediasi, yang dicantumkan hanya kata mediator yang artinya penengah, perantara, pihak ketiga yang bertindak
sebagai pemisah antara pihak yang bersengketa.
54
Sedangkan melalui penelusuran filosofisnya, mediasi merupakan suatu bentuk dari proses alternatif penyelesaian sengketa alternative dispute
resolution. Disebut demikian karena mediasi merupakan salah satu alternatif
53
Jhon M. Echols dan Hassan Sadely, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan XXIII, 1996, hlm.. 377.
54
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka,1995, hlm. 640.
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian sengketa disamping pengadilan yang bersifat tidak memutus, dengan proses atau metode relatif cepat, murah dan memberikan akses kepada
para pihak yang bersengketa. Dari paparan tersebut bahwa pengertian mediasi setidaknya terdapat ciri
pokok antara lain: proses atau metode, terdapat para pihak yang relevan dan atau perwakilan, dengan dibantu pihak ketiga mediator. Mediator berusaha
atau mengupayakan melalui diskusi dan perundingan untuk memperoleh kesepakatan, yang dapat disetujui para pihak. Secara singkat, mediasi dapat
dianggap sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bantuan pihak tertentu facilitated decision-making, atau facilitated negotiation.
55
Jadi unsur yang terdapat dalam mediasi adalah para pihak yang berkepentingan termasuk
pihak yang memfasilitasi sebagai perumus konsep alternatif untuk mengkaji dan menelaah secara seksama terhadap objek yang diperselisihkan sehingga
dimungkinkan ditemukan jalan pemecahan yang dapat memberikan perlindungan diantara para pihak serta diterima sebagai suatu kehendak
bersama. Sedangkan menurut Soeharto, menyebutkan pengertian mediasi dapat
diartikan secara luas dan sempit. Pengertian secara luas ialah penyelesaian sengketa yang dilaksanakan, baik di luar sistem pengadilan maupun di dalam
sistem pengadilan. Pengertian secara sempit ialah penyelesaian dilaksanakan di luar sistem pengadilan. Mediasi yang masuk dalam sistem pengadilan
55
Deanldy Mauna, Mediator’s Skill Reframing and Quiestioning in Practice, Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.149.
Universitas Sumatera Utara
dikenal dengan court annexed dispute resolution.
56
Dalam kaitannya dengan pengertian secara luas di atas, menggambarkan forum mediasi mempunyai
arti penting dan strategis, meskipun sudah berada dalam proses peradilan tetap terbuka kesempatan untuk menggunakan peran mediasi. Sebagai langkah yang
ditempuh untuk menyelesaikan suatu perselisihan yang efektif dalam berbagai aspek dan bersumber didasari oleh pilihan dari para pihak yang mempunyai
kepentingan di dalam mediasi tersebut. Urgensi mediasi dalam pembangunan hukum nasional atau dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku selain diatur dalam Herzien Indonesis Reglement HIR dan Rechtsreglement Buitengewesten RBG
diatur pula dalam landasan filosofi yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 disiratkan bahwa asas penyelesaian sengketa dalam ADR alternatif
dispute resolution menggunakan asas musyawarah mufakat. Oleh karena itu sesuai dengan dasar pemikiran di atas yang menjadi faktor pendorong serta
pendukung bagi Mahkamah Agung RI yang telah menerbitkan PERMA nomor 1 tahun 2008 untuk mengeksiskan kembali media perdamaian dalam
menyelesaikan suatu sengketa melalui putusan perdamaian. Hal ini terkait dengan esensi dari perdamaian dengan mediasi dapat diharapkan sasarannya :
a Mempercepat proses penyelesaian perkara dari segi waktu dan
biaya. b
Mengupayakan tidak terjadinya penumpukan perkara di lembaga- lembaga peradilan.
56
Soeharto, Pengarahan dalam Rangka Pelatihan Mediator dalam Menyambut Penerapan ”PERMA Court Annexed Mediation di Pengadilan Indonesia Jakarta ,Makalah,
Mahkamah Agung RI, 2002, hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
c Putusan perkaranya memberikan keyakinan bagi para pihak karena
didasari dengan keinginan bersama. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman
telah dirumuskan pengaturan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui perdamaian sebagaimana dijabarkan pada penjelasan Pasal 3,
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan perdamaian atau melalui wasit dapat dilaksanakan. Dan dalam Pasal 4 mengisyaratkan tidak menutup
kemungkinan penyelesaian sengketa perdata secara perdamaian. Selanjutnya ketentuan tentang melalui perdamaian juga diatur Pasal 16 ayat 2 yaitu:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Secara lebih tegas pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan penegasan
keberadaan proses mediasi diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 6, dinyatakan: Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara mediasi, konsultasi, negosiasi, konsultasi
atau pernilaian ahli. Dari beberapa ketentuan hukum yang ada memperlihatkan bahwa
penyelesaian sengketa di luar pengadilan menunjukkan urgensi mediasi dalam perundang-undangan sebagai model cara yang cukup signifikan dengan
fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan pada situasi sekarang yang rentan dengan saling gugat menggugat di pengadilan sehingga banyak perkara yang
Universitas Sumatera Utara
ditangani oleh pengadilan. Tetapi dalam prakteknya selama ini tidak dapat dipungkiri masih menghadapi berbagai permasalahan yang menghambat
diterapkan mediasi perdamaian itu. Karena dalam ketentuan Undang-Undang yang mengatur tidak memberikan difinisi lebih rinci tentang mediasi maupun
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya secara tegas, walaupun demikian, kini telah jelas dan diakui secara hukum keberadaanesensi dari
perdamaian secara mediasi tersebut
57
Jauh sebelumnya telah menyadari sisi-sisi kelemahan aturan hukum yang selama ini berlaku, seperti Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg secara jelas
mengatur tentang Perdamaian melalui proses mediasi tetapi tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai proses dan mekanisme lebih lanjut. Hal inilah yang
menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Agung menerbitkan SEMA nomor 1 Tahun 2002, diganti dengan PERMA nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan dan diperbaharui dengan PERMA nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi. Dalam rangka mengakomodir dan mengakui esensinya bagi para
pihak yang bersengketa termasuk lembaga peradilan. Sebagai landasan yuridis lahirnya PERMA tentang mediasi adalah didasari oleh Undang-Undang nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang meletakkan kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung membuat peraturan sebagai pelengkap untuk
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Dengan demikian terbitnya peraturan Mahkamah Agung
tersebut dipandang perlu dan mendesak untuk meningkatkan pelayanan yang
57
Soeharto, Op.cit, hal.5.
Universitas Sumatera Utara
efisien dan efektif kepada para pihak yang ingin memperoleh keadilan dan kepastian hukum.
Pertimbangan Mahkamah Agung menerbitkan beberapa Perma tersebut sudah pada tempatnya karena banyaknya masalah-masalah yang menjadi
perhatian publik yang sulit pemecahannya terutama sekali terjadinya penumpukan perkara yang masuk, tidak sebanding dengan jumlah perkara yang telah diputus.
Agar memenuhi harapan para pencari keadilan terutama untuk mendapatkan pelayanan cepat, sederhana dan murah dalam memperoleh keadilan dan kepastian
hukum dipandang perlu adanya perubahan dan pembaharuan penambahan peraturan hukum yang lebih terinci.
Dengan dasar pertimbangan akan kebutuhan masyarakat pencari keadilan sesuai dengan fungsi hukum dan peran institusi peradilan dalam kehidupan
masyarakat dan proses pembangunan itu, disini peran hukum adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.
58
Perubahan yang teratur itu dapat dibantu oleh berbagai sarana hukum baik yang bersifat internal lembaga hukum tertentu untuk menunjang tugas-tugas
dalam memberikan pelayanan yang optimal bagi para pencari keadilan maupun reaksi positif bagi elemen masyarakat sebagai subjek yang membutuhkan. Bahkan
untuk tercapainya jaminan kepastian hukum bagi para pencari keadilan khususnya dalam penanganan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang efektif dan
efisien melalui undang-undang kekuasaan kehakiman yang baru, melakukan
58
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung; PT Alumni,2006, hlm.19.
Universitas Sumatera Utara
pengaturan secara khusus tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui proses mediasi.
Penyempurnaan dan perubahan-perubahan peraturan tentang pelaksanaan proses Mediasi secara teratur mulai dari ketentuan HIR, RBg, PERMA, Undang-
Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa APS dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baru oleh Mochtar Kusumaatmadja
menyebutnya sebagai ‘perubahan yang teratur’ melalui prosedur hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik
dari keadaan yang tidak baik.
59
Tujuan melakukan perubahan secara teratur itu harus disesuaikan dengan kehendak atau keinginan masyarakatnya secara dinamis, jika hukum itu telah
dapat memenuhi kehendak para pengguna hukum berarti ia hukum itu telah menjalankan fungsinya dengan baik.
Menurut Michael Hager, mengatakan bahwa berfungsinya hukum sebagai sarana mengawal pembangunan memiliki ada 3 tiga fungsi hukum;
1. Hukum sebagai alat penertib ordering yang berarti hukum dapat
menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan perselisihan yang mungkin timbul melalui hukum acara yang
baik;
2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan balancing yang berarti
hukum berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu;
3. Hukum sebagai katalisator yang berarti hukum berfungsi untuk
memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum.
60
Perubahan secara teratur peraturan hukum yang dilakukan oleh suatu kekuasaan negara dengan mengikuti keinginan masyarakatnya, memiliki
59
Ibid, hlm.20.
60
Bambang Sunggono, 1994, Hukum Lingkungan Dinamika Kependudukan, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.21-22
Universitas Sumatera Utara
kesejalanan dengan konsep hukum yang dikemukakan oleh Michael Hager di atas, karena sangat relevan dengan kebutuhan pada masyarakat. Pengambilan
keputusan politik yang tepat memberikan pengaruh positif dalam mengintegrasikan kemauan dan kepentingan masyarakat untuk mencapai tujuan-
tujuannya, maka suasana ini akan memperkecil munculnya perselisihan- perselisihan yang mengarah pada konflik yang bisa mengancam stabilitas
bermasyarakat dan bernegara. Disamping itu, sejalan juga dengan kemauan politik Pemerintah dalam
pembangunan hukum nasional yang menghendaki terbangun suasana hukum yang responsif dan aspiratif yaitu rumusan hukum yang sesuai dengan nilai yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat kita mampu menjawab atas berbagai persoalan serta mengatasi kebutuhan yang dihadapi oleh masyarakat.
Dengan demikian langkah yang telah ditempuh oleh Pemerintah melalui PERMA tentang mediasi merupakan bagian dari mendudukkan kebutuhan
masyarakat pencari keadilan secara proporsional dapat mengakomodir kepentingannya sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
F. Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya Perdamaian Melalui