BAB II TAHAPAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA
DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008
A. Sejarah Penyelesaian Alternatif Sengketa
Penyelesaian sengketa yang lambat akan dapat mengganggu kinerja pebisnisdalam menggerakan roda perekonomian serta memerlukan biaya yang
relative besar. Untuk itu dibutuhkan institusi baru yang lebih efisien dan efektif dalam menyelesaiakn sengketa bisnis. Kemudian lahirlah lembaga arbitrase yang
mengakomodir kelemahan – kelemhan litigasi, yang merupakan siklus kedua penyelesaian sengketa.
21
Perkembangan arbitrase ditandai dengan lahirnya Jay Teaty pada Tahun 1794, yang merupakan perjanjan antara Amerika dan Inggris . perjanjian tersebut
bertujuan untuk menanggulangi perselisihan yang terjadi antara warga mereka. Cara penyelesaian lama yang didasarkan pada sistem saluran diplomatik sering
mengecewakan. Penyelesaian cenderung dipengaruhi kepentingan politik political consideration . Cara dan sistem inilah yang berbentuk “missed
commission” yang berfungsi untuk menyelesaiakn sengketa dagang secara hukum. Cara penyelesaian lama yang berkarakter politik dan diplomatik digeser
kearah sistem penyelesaian yang berkarakter yuridis. Mixed commissions berkembang dan menjadi cikal bakal arbitrase nasional dan internasional, dimana
masing–masing negara mengakuinya sebagai extra judicial, penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan rule yang disepakati, putusan langsung final and
21
Rachmadi Usman, Op. cit., hlm 11.
Universitas Sumatera Utara
binding, serta putusan dapat dipaksakan sengketa dagang. Pada mulanya apa yang diharapkan dapat dipenuhi arbitrase. Penyelesaian sengeketa berjalan cepat, tidak
formalistic, dan lebih ringan dari litigasi. Untuk memperluas peran arbitrase tersebut, maka disepakati berbagai konvensi internasional mengenai arbitrase.
22
Perkembangan arbitrase ditujukan mengatasi kontraksi atau kebekuan contraction yang dialami litigasi, ternyata arbitrase sendiri mengalami penyakit
yang hampir sama. Penumpukan kasus sengketa mengalir. Cara penyelesaian arbitrase mengalami kontraksi karena cenderung formalistic meniru pola litigasi.
Biaya yang dibebankan sangat mahal. Sebaliknya, kecepatan perkembangan perdagangan yang mengarah kepada “ free trade” dan “free competition” dalam
suasana global competition, memerlukan perlindungan dengan enyelesaian sengketa yang segera, sehingga dapat dipertahankan efisiensinya.
Dengan sendirinya sistem penyelesaian sengketa dagang memerlukan siklus baru, karena siklus litigasi dan arbitrase tidak memadai. Jika perubahannya
dilakukan melalui jalur legislative, tidak mungkin. Lambatnya langkah legislative mengubah sistem litigasi dan arbitrase melalui ketentun perundang – undangan,
bias menghambat laju perkembanngan ekonomi dan perdagang.
23
Berdasarkan alasan itu, masyarakat mengambil inisiatif untuk memperkenalkan dan mengembangkan “dispute resolutuion” yang mereka
anggap cocok diperluas untuk menggeser peran litigasi dan aribitrase. Sejak Tahun 1980 – an telah berkembng bermacam pilihan penyelesaian sengketa
bisnis, karena penyelesaian tidak memerlukan aturan formal, pemyelesaian segera
22
M. Yahya Harahap, Op. cit ., hlm 226 – 227
23
Ibid., hlm 227
Universitas Sumatera Utara
immedeatly dan cepat quick, memberi kepuasan dan harapan, biaya harus ringan demi efisiensi, hasil yang diinginkan berisi penyelesaian sengketa untuk
melangkah ke depan, bukan mempermasalahkan masa lalu, dan penanganannya diserahkan kepada profesioanal oleh orang yang betul – betul ahli expert.
24
Istilah Alternative Dispute Resolution ADR pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada Tahun 1976, yaitu ketika
“ Chief Justice Warren Burger” mengadakan “ the Rescoe E. Pound Confrence on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administratration of Justice”
Pound Conference di Saint Paul, Minesota. Para akdemisi, para anggota pengadilan, dan para public interest lawyer, secara bersama – sama mencari cara –
cara baru dalam menyelesaiakn konflik, Pada Tahun 1976 itu pula American Bar Association ABA mengakui secra resmi gerakan Alternative Dispute
Resolution ADR dan membentuk suatu komisi khusus untuk penyelesaian sengketa Special Committee on Dispute resolution .
25
Konsep tersebut merupakan jawaban atas ketidakpuasan disatifaction yang muncul di masyarakat Amerika Serikat terhadp sistem peradilan mereka.
Ketidakpuasan tersebu bersumber pada persoalan – persoalan waktu yang dibutuhkan sangat lama dan biaya yang mahal, serta dirgukan kemampuannya
menyelesaikan secra memuaskan kasus – kasus yang bersifat rumit. Kerumitan dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan – pesoalan
ilmiah scientifically complicated atau dapat juga disebabkan banyaknya serta luasnya stake holders yang harus terlibat.
24
Ibid.,hlm. 228
25
Jacqualine M, Nolan – Halvey, Alternative Dispute Resoolution in Arbitrase Nutshell S.T. Pal, Minn : west Publishing Co, 1992 , hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
Pada intinya Alternative Dispute Resolution ADR dikembangkan oleh para praktisi hukum maupun para akademis sebagai cara penyelesaian sengketa
yang lebih memiliki akses keadilan.
26
Sementara itu di Jepang sebenarnya jauh sebelum peresmian Alternative Dispute Resolution ADR yang dilakukan oelh
Asociation Bar of America ABA tersebut diatas, pada zaman Tokugawa telah diterapkan “kpnsiliasi” chotei sebagai penyelesaian sengketa alternatif.
Selanjutnya ditungkan dalam bentuk Undang – undang Konsiliasi Perdata atau “ Minji Chotei Ho “ pada Tahun 1951.
27
Disamping itu, baik di China dan Jepang juga sudah sejak lam mengenal “mediasi” sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur
masyarakat Cina yang tidak suka Pengadilan sebagai tempat penyelesian sengketa. Di sini sengketa – sengketa perdata diselesaikan melalui mediator.
Untuk periode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi anatar kaum “Confucius” dan “legalist” mengenai bagaimana mengatur
masyarakat, Di satu pihak, kaum Confuciu menekankan pentingnya ditegakkan prinsip – prinsip berdasarkan moral LI , sedangkan kaum Legalist memandang
perlunya aturan – aturan hukum tertulis yang pasti FA .
28
Sementara itu di Indonesia terdapat beragam metode pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa, baik tradisional maupun metode dari luar
26
Mas Achmad Sentosa, 1995. Alternative Dispute Resolution ADR di Bidang lingkungan Hidup. Makalah disampaikan dalam forum Dialog Tentang Alternative Dispute
Resolution ADR yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation, Jakarta : Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation, hlm. I
27
Hide Tanake, ed, The Japanese Legal System, Tokyo:University of Tokyo Press, 1988, hlm, 492
28
Lihat Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta : Chandra Pratama,2000, hlm. 105. Lihat juga Derk Bodle dan Clarence Morris, Law in Imperial China,
Philadelphia : University of Pennysylvania Press, 1973 , hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
yang salah satunya mengisyaratkan akan penyelesaian sengketa melalui Alternative Dispute Resolution ADR di luar badan pengadilan.
Metode tersebut dapat dibagi dalam 2 dua prosedur sebagai berikut:
29
1. Prosedur Administratif atau Prosedur Yudisial
Dalam prosedur ini sanksi dari pihka ketiga dapat berupa rekomendasi atau keputusan yang mengikat. Prosedur ini
berakar pada proses pengadilan pada zaman kerjaan, kesultanan, adat setempat, atau pemuka adat desa, setya
prosedur administrative pengadilan zaman colonial Belanda.
2. Proses Konsensus Sukarela Consensually – Based Approaches
Dalam proses ini para pihak mengembangkan penyelesaian yang dapat dierima bersama. Proses ini berakar dari sistem
pengaturan sendiri self governing system yang dapat ditemukan di Negara kepulauan kita. Ada beberapa persamaan
lain yang ditemukan pada masyarakat Indonesia, yaitu : a.
Pertama banyak sengketa yang diselesIn melalui prosedur yudisial, dimana ada otoritas dari pengambil keputusan,
seperti pemuka adat yang memfasilitasi sebuah pertemuan antar pihak yang bersengketa dan membantu bernegosiasi
dengan memakai standar criteria adat atau kerangja penyelesaian menurut sarn pemuka adat.
b. Kedua, banyak suku yang masih mempertahnkan prosedur
consensus sukarela untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk “Consensually – Based” dapat diartikan ke dalam bentuk
musyawarah untuk mencapai mufakat consensus
Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui Alternative Dispute Resolution ADR bukanlah sesuatu yang baru dalam nilai – nilai budaya bangsa
kita yang berjiwa kooperatif. Nilai kooperatif dan komptomi dalam penyelesaian sengketa muncul dimana saja Indonesia. Pada masyarakat Batak yang relative
memiliki nilai “litigious”, masih mengandalkan forum runggun adat, yang intinya
29
Mas Achmad Sentosa, Palembang Alternatuve Dispute Resolution ADR di Indonesia, Makalah pada kuliah umum Alternative Dispute Resolution ADR . Fakultas Hukum
Unika Atmajaya, Jakarta, 1997. Hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau dikenal dengan adanya lembaga hakim perdamaian, yang secara umum berperan
sebagai mediator dan konsiliator. Konsep prmbuatan keputusan dalam pertemuan desa pada suku Jawa tidak didasarkan atas suara mayoritas, tetapi dibuat oleh
keseluruhan yang hadir sebagai suatu kesatuan. Perlu disadari bahwa secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat
menjunjung tinggi pendekatan konsesus. Pengembanagan keputusan secara tradisional dan penyelesaian sengketa secra adat. Alasan cultural bagi eksentensi
dan pengembangan Alternative Dispute Resolution ADR di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan alasan ketidakefisienan proses peradilan
dalam menangani sengketa.
30
Apabila melihat latar belkang pendayagunaan Alternative Dispute Resolution ADR di Amerika Serikat sebagai resperentasi Negara industry dan
ekonomi maju dan Negara – Negara yang menganut akar budaya non – konfronatif yang pada umumnya dimiliki oleh Negara – Negara yang sedang
berkembang, terdapat sedikit perbedaan. Latar belakang pendayagunaan Alternative Dispute Resolution ADR di Negara maju disebabkan ketidakpuasan
terhadap sistem pengadilan, sedangkan Negara – Negara yang menganut akar budaya non – konfrontatif adalah melestarikan budaya non – adversarial menuju
masyarakat yang lebih stabil social stability, sekaligus akses pada keadilan proses pemeriksaan yang cepat, berbiaya ringan dan tidak asing bagi
30
Sujud Margono,Alternative Dispute Resolution ADR dan Arbitrase, Jakarta: Ghalia Indonesia,2000, hlm.38.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Sistem pengadilan dianggap institusi yang tidak memenuhi kebutuhan di atas.
Bila menyimak sejarah perkembangan Alternative Dispute Resolution ADR di Negara tempat pertama kali dikembangkan Amerika Serikat,
pengembangan Alternative Dispute Resolution ADR dilatarbelakangi oleh kebutuhan sebagai berikut :
a. Mengurangi kemaceta di pengadilan, banyaknya kasus yang diajukan ke
pengadilan, menyebabkan proses pengadilan sering kali berkepanjangan, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang
kurang memuaskan ; b.
Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa; c.
Memperlancar serta memperluas akses pengadilan ; d.
Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan
memuaskan.
31
B. Tinjaun Umum Terhadap Penyelesaian Sengketa