Konferensi Hukum Laut PBB Tahun 1958 dan II Tahun 1960

mengambil kebijaksanaan untuk tidak dengan segera mengkukuhkan deklarasinya dalam bentuk undang-undang. 44 Disamping itu Peserikatan Bangsa-Bangsa telah merencanakan untuk Konferensi Hukum Laut I pada bulan Februari 1958, sehingga penangguhannya juga ditujukan untuk melihat lebih dahulu bagaimana reaksi dunia secara luas di dalam konferensi yang bersifat internasional itu. 45

i. Konferensi Hukum Laut PBB Tahun 1958 dan II Tahun 1960

Himbauan kepada masyarakat Internasional yang intinya agar mengusulkan Negara- negara kepulauan seperti Indonesia dibenarkan untuk menarik batas-batas wilayahnya secara khusus disampaikan Indonesia untuk pertamakalinya pada Pertemuan Ketujuh Komite I Konperensi Hukum Laut PBB I Tahun 1958. Usul ini kemudian didukung oleh Yugoslavia dan Philippina serta kedua Negara itu mengajukan usul-usul mereka secara konkret berupa rancangan pasal-pasal mengenai archipelagos untuk melengkapi rancangan yang disiapkan oleh International Law Commission. 46 Dukungan yang diberikan oleh Yugoslavia ternyata lebih menyulitkan dari pada membantu posisi Indonesia. Usul itu yang kemudian direvisi dan diajukan kembali oleh Denmark lebih mengutamakan pencapaian kepentingan Negara kontinental yang letaknya jauh dari pantainya continental state with group of outlying islands dan usul ini sudah jelas berbeda dengan konsep Negara kepulauan yang diajukan Indonesia. Sementara itu usul philippina dinilai terlampau umum, sehingga dikhawatirkan akan dapat disalahgunakan. Pemikiran mengenai kepulauan milik Negara kontinental telah lama dibicarakan tanpa hasil dalam sidang-sidang Institute de Droit Interntional Law Association Tahun 1924 dan 1926 44 Etty R. Agoes, “ Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Masalah Peraturan Hak Lintas kapal Asing”, Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Universitas Padjajaran, 1959, hal. 242. 45 Ibid. 46 Law of the Sea Commentary Project, Centre for Oceans Law and Policy, vol. II,School of Law , University of Virginia, 1990, hal.Part 43. Universitas Sumatera Utara serta The Hague Condification Conference of International Law Tahun 1930. 47 Dibawanya kembali konsep yang telah lama dibicarakan dan ditolak didalam berbagai forum internasional menyebabkan perundingan mengenai mata acara “archipelagos” menjadi sangat kontroversial. Amerika Serikat, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa pemberian hak bagi kepulauan untuk menggunakan garis-garis pangkal lurus akan membahayakan prinsip kemerdekaan laut bebas. 48 Akibatnya International Law Commision yang ditugaskan PBB untuk menyiapkan rancangan pasal-pasal guna dibahas dalam Konferensi tidak dapat mengajukan rancangan pasal-pasal mengenai kepulauan dan bahkan terpaksa mengeluarkan permasalahannya dari agenda persidangan dengan alasan bahwa seperti halnya The Hague Condification Conference of International Law tahun 1930, International Law Commision tidak dapat mengatasi kesukaran-kesukaran yang ada, terutama sekali karena : a. Belum tercapainya persetujuan mengenai lebar laut territorial. b. Terlampau beragamnya bentuk kepulauan yang ada. c. Kurangnya Informasi teknis mengenai permasalahan kepulauan. Pada Konferensi Hukum Laut PBB II tahun 1960, Indonesia dan Philippina menyinggung kembali perundingan mengenai permasalahan kepulauan. Namun karena konferensi II ini khusus diadakan sebagai upaya untuk menyelesaikan dan mencapai kata sepakat mengenai lebar laut territorial, konferensi tidak membahas masalah kepulauan. Dari jalannya pembahasan pada Konperensi I dan II tersebut terdapat pelajaran yang sangat bermanfaat. Belum dapat diterimanya azas-azas Negara kepulauan pada saat itu karena ada dua faktor kendala yang sangat mengait. Faktor pertama besifat politis, sedangkan yang kedua bersifat teknis. 47 The Law of the Sea, Archipelagic States, Legislative History of Part IV of the United Nation Convention on the Law of the Sea ., Office for Ocean Affairs and the Law of the Sea, United Nation., 1990, hal. 1. 48 Sumitro L. S. Danuredjo, Hukum Internasional Laut Indonesia, Jakarta: Bhatara, 1971, hal. 86. Universitas Sumatera Utara Mengenai Faktor politis, masyarakat internasional pada waktu itu belum siap untuk menerima gagasan-gagasan baru guna mengatur laut. Pada Konperensi I dan II semangat yang ada masih sama dengan Konperensi Den Haag, yaitu sekedar untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional mengenai laut kedalam bentuk konvensi yang disetujui bersama. Sementara itu keadaan politik dan keamanan in ternasional juga tidak menunjang semangat untuk mengadakan pembaharuan karena semua Negara maritim besar sedang terlibat dalam perang dingin yang semakin memuncak. Di dalam keadaan seperti ini prinsip kebebasan berlayar menjadi sangat penting artinya bagi strategi global mereka masing-masing dan karenanya mereka gigih dalam mempertahankan konsep laut bebas. Bagi, kepentingan merek itu, lebih besar laut yang tidak tunduk pada yuridiksi nasional adalah lebih baik. Kegagalan untuk menetapkan lebar laut territorial merupakan bukti nyata dari kegigihan mereka mempertahankan kepentingannya. 49 Dalam masalah teknis, baik Indonesia maupun Philippina dapat dikatakan kurang siap menghadapi konperensi. Di pihak Indonesia mungkin karena singkatnya waktua antara dimaklumatkannya Deklarasi Djuanda 1957 Replubik Indonesia tidak sempat melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan.Didalam persidangan Indonesia hanya menyampaikan himbauan agar Negara-negara kepulauan diberi hak untuk menarik wilayahnya secara khusus serta bersifat reaktif terhadap usul-usul Negara lain tanpa pernah mengajukan gagasannya secara konkret berupa rancangan pasal-pasal. Tidak adanya Negara yang menyajikan kriteria objektif mengenai azas-azas Negara kepuluan dalam bentuk rancangan pasal-pasal untuk dikaji dalam perundingan, menimbulkan kesulitan bagi para peserta sidang guna menentukan Negara mana saja yang dapat dinyatakan sebagai Negara kepulauan dan berhak menarik wilayah perairannya secara khusus. Tanpa kriteria semacam itu dikhawatirkan tidak aka nada cara yang efektif untuk mencegah sebuah 49 Etty R. Agoes, op. cit., hal. 254. Universitas Sumatera Utara Negara secara semena-mena menyatakan dirinya sebagai Negara kepulauan dan keadaan seperti ini dapat dipastikan akan lebih menimbulkan kekacauan dari pada ketertiban iternasional di laut. 50 Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki tersebut peserta konperensi ahkirnya terpaksa menghentikan perundingan mereka tentang masalah kepulauan sampai adanya keterangan-keterangan yang teknis yang lebih lengkap. 51 ii. Konperensi Hukum Laut PBB III Tahun 1974 – 1982 Memperoleh pengalaman yang sangat bermanfaat sewaktu menghadapi Konperensi I dan II, Indonesia dalam menghadapi Konperensi III mengadakan persiapan-persiapan secara cermat.Pemikiran-pemikiran untuk menciptakan suatu kriteria objektif guna menentukan Negara mana saja yang dapat dinyatakan sebagai Negara kepulauan dan usaha-usaha untuk membedakan masalah “kepulauan” dengan “Negara kepulauan” dikristalisasikan dengan langkah-langkah terpadu. Langkah-langkah ini tidak saja dilakukan di dalam lingkungan nasional berupa loka-karya dan rapat-rapat interdepartemental, tetapi yang lebih penting lagi Indonesia juga melakukannya di bidang diplomasi untuk menggalang kekuatan antar Negara- negara yang berpotensial menjadi Negara kepulauan. Untuk itu pada tahun 1972, dua tahun sebelum Konferensi dimulai, Indonesia, Filipina, Maurititus, dan Fiji mengadakan pertemuan guna merumuskan defenisi mengenai “Negara kepulauan” dan untuk menyusun strategi dalam menghadapi persidangan. Sebagai upaya memperoleh dan menggalang dukungan yang luas bagi perjuangannya, Indonesia memprakarsai usaha agar organisasi Asia-Africa Legal Consultative Committee AALCC turut membahas masalah hukum laut. Pada sidang di Ghana tahun 1970, AALCC 50 The Law of the Sea Commentary project, op. cit.,supra No. 5, hal. Part IV4. 51 Namun demikian peranan delegasi RI di Konperensi tidak dapat dikatakan sia-sia. Peranan Delegasi Indonesia itu tidak saja dapat menarik perhatian dunia atas masalah kepulauan, tetapi juga bersama-sama Kanada berhasil menggagalkan usaha Inggris untuk membatasi garis-garis pangkal kepulauan maksimun sepanjang 15 mil. Jika usul ini diterima, hal itu jelas merugikan perjuangan Indonesia selanjutnya. Lihat saja Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1978, hal. 12-16. Universitas Sumatera Utara menerima usulan Indonesia bahkan menjadikannya sebagai mata acara prioritas dalam sidang-sidang AALCC selanjutnya. Dalam kesempatan di sidang-sidang ini Indonesia kemudian memanfaatkan peluang yang tercipta untuk memperoleh dukungan. Juga berbeda dengan sikap di masa lalu, Indonesia mengadakan langkah-langkah untuk mendekati negara-negara tetangganya. Diperkirakan bahwa jika pada tingkat regional saja Indonesia tidak berhasil memperoleh dukungan, maka usaha untuk memperoleh dukungan global akan lebih sulit lagi, terutama dari negara-negara maritim besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sejak sidang-sidang persiapan pada Komite Dasar Laut PBB menyatakan dengan tegas akan mempertahankan prinsip kemerdekaan laut bebas khususnya atas laut-laut yang selama ini digunakan sebagai jalur pelayaran internasional. Fora bilateral juga tidak luput dari sasaran diplomasi Indonesia dalam memperkuat perjuangan untuk memenangkan pengakuan internasional atas azas-azas negara kepulauan. Dengan Australia, misalnya Indonesia merundingkan batas-batas landas kontinen dan di dalam perundingan itu Indonesia menerapkan azas-azas tersebut. Sebelum menghadapi sidang-sidang, Indonesia mengundang atau mengunjungi delegasi Negara-negara maritim besar untuk melakukan pembicaraan dan mengupayakan kata sepakat. Berbagai perjanjian bilateral diluar bidang hukum laut juga digunakan untuk menyelipkan “ territorial clause ” seperti di dalam perjanjian-perjanjian Percegahan Pajak Berganda, Riset dan Teknologi serta Narkotika. Forum-forum akademis di luar negeri bahkan juga dimanfaatkan oleh diplomasi Indonesia untuk mempengaruhi pendapat umum, para ahli, dan penasehat pemerintah negara- negara asing. Di dalam persidangan, Indonesia memainkan peranan yang lugas namun taktis. Usaha Inggris untuk menambah kriteria-kriteria baru seperti masalah penentuan panjang maksimum garis-garis pangkal kepulauan, besarnya perbandingan antara wilayah air dan daratan, serta usul u ntuk menggantikan istilah “perairan pedalaman” menjadi “perairan kepulauan” bagi Universitas Sumatera Utara laut-laut yang berada di sisi dalam garis pangkal kepulauan ditampung dan disesuaikan agar kriteria itu dapat diterapkan di Indonesia. Dengan persiapan dan pelaksanaan strategi seperti ini akhirnya sukar bagi masyarakat internasional untuk menolak pengakuan atas azas-azas ngara kepulauan.

B. Masalah Alur- alur Kepulauan