laut-laut yang berada di sisi dalam garis pangkal kepulauan ditampung dan disesuaikan agar kriteria itu dapat diterapkan di Indonesia. Dengan persiapan dan pelaksanaan strategi seperti
ini akhirnya sukar bagi masyarakat internasional untuk menolak pengakuan atas azas-azas
ngara kepulauan.
B. Masalah Alur- alur Kepulauan
Sebagaimana keadaan sejak Indonesia memaklumatkan Deklarasi Djuanda 1957, masalah pelayaran internasional melalui perairan kepulauan merupakan masalah yang
terpelik.Sementara itu keadaaan perundingan dapat dikatakan kurang menguntungkan karena dari semua Negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara kepulauan, hanya Indonesia dan
Filippina yang secara gigih berkeinginan untuk mengatur pelayaran di perairan kepulauan. Negara-negara lain seperti Fiji dan Mauritius hanya bertujuan untuk berdaulat atas sumber-
sumber alam di perairan kepulauannya masing-masing.
52
Pada intinya permasalahan mengenai penentuan alur-alur kepulauan ini timbul dari dua pandangan
school of thought
yang berbeda. Pandangan pertama menilai bahwa karena sejarah perkembangan bangsanya dan keunikan bentuk geografis wilayahnya, maka negara
kepulauan berdaulat secara mutlak di wilayah perairan tersebut.Kapal-kapal asing memang dibenarkan untuk berlayar di sana, namun hal itu semata-
mata merupakan “Preveliges” yang diberikan oleh negara kepulauan. Undang-undang No. 4PRP tahun 1960 dan Peraturan
Pemerintah No. 8 tahun 1962 didasarkan pada pandangan ini. Pandangan kedua berpendapat bahwa perairan tersebut pada mulanya adalah laut
bebas dimana prinsip kebebasan berlayar berlaku dengan mutlak. Diperkenankanya negara
52
Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1978, hal. 66-67.
Universitas Sumatera Utara
kepulauan untuk menarik batas wilayah perairannya secara khusus merupakan hak yang bersifat “optional” yang diberikan masyrakat internasional kepada negara kepulauan.
53
Jika negara kepulauan berminat untuk menggunakan hak ini maka hak kapal-kapal internasional
untuk berlayar di sana khususnya pada “
routes customarily used for international
navigation” harus tetap dihormat.
54
Antara lain Uni Soviet, salah satu negara pertama yang mengakui Deklarasi Djuanda 1957, pada Konperensi III dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya penerimaan azas-azas
negara kepulauan akan memberikan kepada Indonesia dan Philippina secara tidak adil bagian laut bebas sangat luas, namun Uni Soviet bersedia untuk menerima azas-azas tersebut asalkan
dapat tercapai kompromi yang memuaskan mengenai hak lintas pelayaran internasional di dalam perairan kepulauan. Dukungan-dukungan yang bersyarat seperti ini hamper dinyatakan
oleh semua peserta konperensi.
55
Bab IV Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang mengatur mengenai negara kepulauan adalah hasil kompromi maksimal berupa suatu keseimbangan antara kepentingan negara
kepulauan dengan kepentingan bagi navigasi internasional.
56
Pada mulanya Indonesia mengusulkan agar pelayaran internasioanl di batasi pada alur- alur laut yang ditentukan oleh negara kepulauan dengan rejim hak lintas damai. Namun
negara-negara maritime besar tidak dapat menerima usul ini dan Inggris kemudian mengajukan usul tandingan yang intinya membenarkan adanya dua rejim pelayaran melalui
perairan kepulauan. Rejim pertama memberikan pada masyarakat internasional hak lintas pelayaran
transit passage
melaui “routes customarily used for international navigation”
53
Walaupun terdapat suatu negara yang memenuhi kriteria yang sudah ditentukan, namun negara itu tidak secara otomatis menjadi negara kepulauan. Negara itu baru menjadi negara kepulauan jika menerapkan pasal 47
ayat 1 Konvensi HukumLaut 1982. Perumusan pasal ini bersifat “optional” karena menggunakan kata “may”. Sebagai contoh Inggris dan Jepang secara geografis memenuhi persyaratan yang ada. Namun karena mereka
tidak ingin menerapkan pasa l 47 itu, maka mereka tidak dapat dikatakan sebagi negara kepulauan, Lihat “Law
of the Sea Commentary Project”. Supra 5, hal. Part IV8.
54
Pandangan ini antara lain dianut oleh Inggris, Lihat “The Law of the Sea”, supra no. 6, hal. 41.
55
Ibid, hal 38-64.
56
Law of the Sea Commmentary Project, op.cit, supra no. 5, hal.533-5329.
Universitas Sumatera Utara
dan rejim kedua memberikan hak lintas damai
innocent passage
di semua perairan kepulauan. Setelah melalui perundingan selama dua tahun tanpa kemajuan yang berarti,
Bahamas yang kemudian turut menyatakan minatnya untuk menjadi negara kepulauan mengajukan usul-usul kompromi yang ternyata dapat mempengaruhinya jalannya
perundingan selanjutnya dan ahkirnya para pihak yang berkepentingan dapat mencapai kata sepakat seperti yang tercantum didalam Pasal 53 Konvensi.
57
Dengan adanya kriteria objektif untuk menentukan sebuah negara kepulauan dan dicapainya kesepakatan mengenai masalah alur-alur pelayaran kepulauan ahkirnya azas-azas
negara kepulauan diakui oleh masyarakat internasional dengan menampungnya di dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982.
Dewasa ini Konvensi Hukum Laut tahun 1982 belum berlaku. Dari persyaratan 60 ratifikasi yang diperlukan untuk memberlakukannya, baru 48 negara yang meratifikasinya
dan semuanya adalah negara-negara berkembang. Negara-negara maju tampaknya masih menunggu sikap Amerika Serikat yang dewasa ini hendak mengubah beberapa prinsi dari
konvensi yang menyangkut penambangan dasar laut dalam. Seperti disebut diatas dalam memperoleh pengakuan internasional dan guna menjamin
dilaksanakannya azas-azas negara kepulauan, Indonesia senantiasa men yiapkan “
territorial
clause” ke dalam berbagai perjanjian bilateralnya dengan negara-negara lain. Dalam perundingan-perundingan yang bersifat bilateral ini juga terdapat kesan yang jelas bahwa
mereka hanya mengakui penerapan azas-azas negara kepulauan sepanjang hal itu dilaksanakan sesuai dengan Konvensi Hukum Laut tahun 1982.
58
Pasal 53 ayat 2 Konvensi 1982 menentukan bahwa perairan kepulauan, semua kapal dan pesawat udara mempunyai hak lintas alur alut kepulauan melalui alur laut kepulauan
57
Ibid.
58
Antara lain lihat “side letters” yang terdapat pada “Convention between the Government of the Replubic of Indonesianand the Government of the United State of America for the Avoidance of Double
Taxation and the Prevetion of Fiscal Evasion with respect to Taxes on Income”. Keputusan Replubik Indonesia Nomor 44 tahun 1988.
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan dan rute udara diatasnya. Menurut pasal 53 ayat 3 lintas alur laut kepulauan adalah :
“Pelaksanaan sesuai dengan Konvensi hak-hak pelayaran dan lintas penerbangan dengan cara-cara yang normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus
–menerus cepat dan tidak terhalang antara satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian lain
dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.”
59
Selanjutnya berdasarkan pasal 44 yang berlaku
mutatis mutandis
atas dasar pasal 54, Negara Kepulauan tidak boleh menghambat atau menghentikan lintas pelayaran alur laut
kepulauan. Defenisi tentang alur laut kepulauan tersebut sangat mirip dengan defenisi tengtang
lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional. Kesamaan antara kedua rejim tersebut terutama terlihat dari kenyataan bahwa keduanya memuat prinsip bahwa
lintas pelayaran tidak boleh dihentikan.Meskipun antara kedua rejim tersebut terdapat titik- titik persamaan, terdapat perbedaan yang penting yang mungkin tak begitu tampak.Seperti
telah dikemukakan, pasal 53 ayat 3 Konvensi memberikan defenisi lintas pelayaran alur laut kepulauan sebagai “pelaksanaan……..hak-hak pelayaran dan lintas penerbangan………..”,
sedangkan pasal 38 ayat 2 memberikan defenisi tentang lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional sebagai “pelaksanaan…...kebebasan pelayaran
dan penerbangan……….” Tidak adanya kata ” kebebasan”
fr
ee
dom
dalam defenisi tentang lintas pelayaran alur laut kepulauan mempunyai efek yuridis yang secara jelas membedakan
lintas pelayaran alur laut kepulauan dari kebebasan laut lepas. Istilah “kebebasan pelayaran dan dan lintas penerbangan” dalam defenisi lintas transit menunjukan bahwa rejim lintas
transit lebih dekat ke rejim kebebasan laut lepas. Rejim lintas alur laut kepulauan lebih jauh
59
Pasal 53 ayat 3 KHL 1982
Universitas Sumatera Utara
dibedakan dari lintas transit melalui selat untuk pelayaran internasional melalui ketentuan- ketentuan khusus yang mengatur hak lintas alur laut kepulauan.
Penetapan alur alut kepulauan mengandung beberapa ciri khusus. Menurut pasal 3, Negara Kepulauan dapat menetapkan alur alut kepulauan dan rute diatasnya. Alur-alur
demikian harus melintasi perairan kepulauan dan laut territorial yang berdampingan serta mencakup semua rute lintas normal yang digunakan sebagai rute atau alur untuk pelayaran
internasional “routes customarily used for international navigation”, Namun demikian sebelum menetapkan alur laut kepulauan tersebut, negara kepulauan diharuskan oleh ayat 9
dari Pasal 53 untuk mengajukan usulnya tentang alur laut kepulauan yang ditetapkan tersebut kepada organisasi internasional yang kompeten “dengan maksud untuk dapat disetujui”. Ayat
ini juga menentukan bahwa organisasi tersebut hanya dapat menyetujui alur laut kepulauan yang disetujui bersama dengan negara kepulauan. Ini berarti bahwa negara kepulauan hanya
dapat menetapkan alur alut kepulauan yang telah disetujui bersama dengan organisasi internasional yang kompeten. Jika persetujuan ini tidak tercapai sehingga negara kepulauan
tidak dapat menetapkan alur laut kepulauan, maka menurut ketentuan ayat 12 dari Pasal 53, hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui “rute-rute yang biasanya digunakan
untuk pelayaran internasional”.
60
Sesuai dengan ketentuan Konvensi tersebut diatas dan melihat betapa peliknya permasalahan alur-alur alut kepulauan ini, Indonesia mutlak perlu mengadakan kerjasama
dengan masyarakat internasioanal dalam menentukan alur-alur kepulauan di peariran kepulauan Indonesia. Menarik pelajaran dari perjuangan Indonesia dalam memenangkan
pengakuan internasioanal atas azas-azas negara kepulauan, kiranya strategi yang sama dapat dilakukan, yaitu memanfaatkan forum multilateral, regional dan bilateral. Sebelum
melancarkan usah mendekatkan diplomasi dengan negara-negara lain, kiranya Indonesia
60
Mengenai hak lintas alur laut kepulauan ini lihat Nugroho Wisnumurti, “Pengaruh konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 terhadap poliyik luar negri Indonesia”, TASKAP peserta khusus Regular Angkatan
ke-XXI, Lembaga Pertahanan Nasional, 1988, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
perlu juga terlebih dahulu mengadakan persiapan-persiapan dengan melakukan penelitian- penelitian yang bersifat teknis bagi penyusunan alasan yang nalar untuk mempermudahkan
perjuangan nantinya di for a internasional. Sehubungan dengan perlunya melakukan persiapan-persiapan yang bersifat teknis,
sebagaimana diketahui, dewasa ini tidak ada kepastian hukum mengenai dimana letaknya “routes customarily used for international navigation” di perairan kepulauan Indonesia.
Biasanya “
routes
” yang dimaksud dicantumkan dalam berbagai buku panduan pelayaran yang diterbitkan untuk kepentingan penerbitnya, misalnya seperti
“Ocean Passages for the World” yang dibuat oleh Angkatan Laut Inggris.
Guna memperoleh data yang berbobot dan sukar untuk digugat oleh lawan, Indonesia dapat melaksanakan kerjasama teknis dengan
Seketariat International Maritime Organization IMO,
anatara lain, untuk mengetahui rute mana yang sering digunakan, kedalamnya dan jenis-jenis serta kebangsaan dari kapal-kapal yang menggunakan rute-rute itu. Sekretaris
Jenderal IMO pernah menyatakan bahwa organisasinya siap untuk mengadakan kerjasama teknik dengan negara-negara dalam rangka menerapkan Konvensi dan memajukan kerjasama
internasional mengenai laut.
61
Data yang diperoleh ini nantinya juga akan sangat berguna bagi Indonesia jalur untuk merencanakan penetapan jumlah dan tempat dari alur-alur
tersebut serta negara-negara mana saja yang perlu diadakan pendekatan diplomasi. Sebelum mengajukan usul-usulnya pada tingkat multilateral organisasi internasional
yang berwenang sebaiknya Indonesia melakukan pendekatan-pendekatan dengan negara- negara tetangganya, baik melalui jalur bilateral, maupun jalur organisasi regional seperti
ASEAN. Diperkirakan jika usul-usul tersebut tidak diterima oleh negara-negara tetangga, maka dukungan-dukungan dari negara-negara lain akan lebih sulit untuk diperoleh. Dalam
61
Address by Mr. C. P. Stavastava, Secretary General of the International Maritime Orga nization IMO to the 19
th
Annual Conference of the Law of the Sea Institute, Cardiff, 26 jullly 1985
Universitas Sumatera Utara
kaitan ini negara-negara maritim besar juga perlu diadakan pendekatan seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Pada tingkat multilateral, diperkirakan IMO dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam usahanya untuk menetapkan alur-alur laut. Perkiraan ini didasarkan pada praktek dan tujuan
didirikannya IMO.
Center for Oceans Law and Policy, University of Virginia,
menilai bahwa yang dimaksud dengan “organisasi yang berwenang” oleh Konvensi adalah IMO.
62
Sekretaris Jenderal IMO secara implisit juga berpendapat demikian.
63
C. Penerapan ALKI pada Perairan Indonesia