Penerapan ALKI pada Perairan Indonesia

kaitan ini negara-negara maritim besar juga perlu diadakan pendekatan seperti Jepang dan Amerika Serikat. Pada tingkat multilateral, diperkirakan IMO dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam usahanya untuk menetapkan alur-alur laut. Perkiraan ini didasarkan pada praktek dan tujuan didirikannya IMO. Center for Oceans Law and Policy, University of Virginia, menilai bahwa yang dimaksud dengan “organisasi yang berwenang” oleh Konvensi adalah IMO. 62 Sekretaris Jenderal IMO secara implisit juga berpendapat demikian. 63

C. Penerapan ALKI pada Perairan Indonesia

Sebagai negara kepulauan, perairan Indonesia dapat merupakan jalur pelayaran untuk menghubungkan wilayah-wilyah antara keua samudera Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik dan kedua benua Benua Asia dan Benua Australia pada jalur-jalur tertentu. 64 Jalur- jalur tersebut dapat melalui perairan tertentu dari negara Indonesia. Misalnya pada rezim laut territorial, zona ekonomi eksklusif Indonesia ZEEI, maupun pada perairan kepulauan Indonesia. Selain Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 13.500 pulau, Philippina juga merupakan negara dengan 7.100 pulau, Micronecia dengan 10.000 pulau, 62 Law of the Sea Communentary Project, op. cit, supra no. 5, hal. 5325. 63 Ibid. supra no. 18. 64 Jalur pelayaran pada saat ini yang melalui perairan Indonesia adalah Selat malaka. Pada saat ini selat malaka merupakan jalur pelayaran yang sangat penting dan terpadat bagi pelayaran internasional.Penting dan padatnya selat malaka dapat diketahui dari volume pelayaran melalui selat tersebut. Pada tahun 1992 kurang lebih 33.527 kapal dalam satu tahun berlayar melalui selat malaka, diantarany 10.000 kapal tanker. Sebanyak 7 dari kapal tanker yang berlayar di selat tersebut adalah kapal-kapal tanker dengan bobot mati lebih dari 30.000 ton. Kapal-kapal tanker ini umumnya mengankut minyak dari timur tengah ke Jepang dengan kapasitas lebih kurang 3,2 juta barrel perhari. Ditambah lagi dengan diangkut dari negara-negara Asia Tenggara lebih kurang 3,81 juta barre l perhari. Lihat Edgar gold, “Compensation for Ship-Source Marine Pollution: A Hypothetical Case Study”, dalam Valencia, Mark. J.,ed, Shipping, Energy, and Environment: Shoutheast Asean Perspective for the Eighties, Halifax, Canada: the Dalhousie Ocean Studies Programme,1981, h. 261. Lihat pula Noel Boston, Reducing the Risk Oil Pollution in the Juridictional Seas of Indonesia, Jakarta: A Canada-Indonesia Cooperation Project, 1994, hal. 10. Universitas Sumatera Utara Bahamas dengan 700 pulau, Marshal dengan 1.200 pulau, dan Maldives dengan 2.000 pulau. 65 Masalah hak lintas kapal asing melalui perairan Indonesia khususnya pada perairan kepulauan merupakan suatu masalah yang bersifat global, karena pengaturan tentang ini akan mempunyai dampak tidak saja bagi negara pemakainya, akan tetapi bagi negara kepulauan itu sendiri. Dampak pengaturan ini juga dirasakan oleh negara-negara lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan merasakan akibatnya pada segi-segi kehidupan politik, militer, dan ekonominya. 66 Pada perairan Indonesia sebagai negara kepulauan, terdapat hak pelayaran internasional. Hal ini merupakan proses akomodasi berbagai kepentingan antara kepentingan negara kepulauan Indonesia dan negara pengguna laut dalam pelayarannya pada waktu proses perundingan untuk membentuk Konvensi Hukum Laut 1982. Amerika Serikat yang juga ikut dalam perundingan pembentukan Konvensi Hukum Laut 1982, berpendapat bahwa walaupun Amerika Serikat belum meratifikasi Konvensi, namun tetap mengakui adanya hak-hak negara pantai atas perairannya, sepanjang negara-negara tersebut menghormati hak-hak negara lainnya pada perairan tersebut di bawah kerangka hukum internasional, berupa hak kebebasan berlayar freedom of the sea . 67 Pengakuan internasioanl melalui Konvensi Hukum Laut 1982 atas negara kepulauan Indonesia, membawa konsekuensi dengan kewajiban untuk memberikan akomodasi bagi pelayaran internasional pada perairannya dalam bentuk : 68 1 Hak lintas alur laut kepulauan; dan 2 Hak lintas damai. 65 Mario C. Manansala, “Philippine Archipelagic Sea Lane”, dalam Ronaldo S. Delta Cruz ed, The World Biletin, University of the Philippines Law Centre:a Bulletin og the Institute of International Legal Studies, Vol. 12 Nos. 5-6, Sept-Dec 1996, hal. 134. 66 Etty. R. Agoes, Beberapa Ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 yang Berkaitan dengan Hukum Maritim , Bandung: Makala, 1996, hal. 8-9. 67 “Rights and Freedom in International Waters”, Superintendent of Documents Depart-ment of State Bulletin, Vol. 86, 1986, hal. 1-2. 68 Pasal 52 dan pasal 53 KHL 1982 Universitas Sumatera Utara Hak-hak tersebut terdapat pada laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia. Pada laut territorial, Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai batas yng tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal. 69 Sedangkan pada laut territorial ini kapal-kapal asing mempunyai hak lintas damai. 70 Negara pantai juga mempunyai hak berdaulat atas jalur laut sejauh 200 mil laut pada zona ekonomi eksklusif. Negara pantai juga mempunyai hak berdaulat atas dasar laut dan tanah dibawahnya hingga jarak 200 mil laut, atau dapat melebihi ini berdasarkan “specified circumstance”. 71 Dengan adanya hak-hak yang telah dijamin oleh Konvensi Hukum Laut tahun 1982, berarti Indonesia dapat memanfaatkan kondisi hukm lingkungan bagi kesejahteraaan bangsa. Namun kondisi ini sebagai pengertian bahwa Indonesia tetap mengakui hak-hak tradisional negara-negara lain untuk dapat lewat melalui perairan-perairan nusantara Indonesia yang bisa dipakai untuk pelayaran internasional. Untuk maksud ini Konvensi Hukum Laut tahun 1982 juga memperkenankan Indonesia untuk menetapkan alur-alur pelayaran melalui perairan Indonesia sebagi tempat lewat bagi pelayaran internasional. 72 Kembali pada awal Indonesia mengklaim pertama sekali wilayah lautnya menjadi wilayah laut nusantara, yaitu dengan UU No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Hak pelayaran internasional seperti hak lalu lintas damai innoncent passage sudah diakui Indonesia. Pengaturannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962. 73 Selanjutnya perjuangan Indonesia di forum internasional pada waktu Konferensi Hukum Laut III 1973-1982 dalam memperjuangkan Wawasan Nusantara yang sesuai dengan UU No.4 Prp tahun 1960 cukup berat. Pada waktu itu negara-negara maritime menolak konsep Wawasan Nusantara, keberatan negara-negara maritime ditandai dengan kekhawatiran tidak 69 Pasal 3 KHL 1982 70 Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian. Lihat pasal 19 KHL 1982. 71 Ocean and the law of the Sea -Convention overview, 14-06-2000, http:www.un.orgDepts loslosconv2.htm. 72 KBRI-Ottawa, 05-12-2000, http:www.indonesia- ottawa.orgnewsHot20Topicsht98sepht-alki.htm . 73 Pasal 3 ayat 2 UU NO. 4 Prp Tahun 1960. Universitas Sumatera Utara adanya “kebebasan berlayar”. Negara-negara maritime akan mengakui konsep wawasan nusantara jika kebebasan berlayar melalui perairan Indonesia diakui dan di jamin. Deklarasi Djuanda 1957, UU No. 4 tahun 1960 dan PP No. 8 tahun 1962 dinilai tidak cukup untuk memberikan kebebasan berlayar bagi kapal-kapal Asing. Padahal terdapat kebijaksanaan Indonesia dengan memberikan adanya hak lintas damai bagi kapal-kapal asing tersebut. Hak lintas damai sengaja dibuat berdasarkan pertimbangan adanya keseimbangan antara kepentingan nasional Indonesia dengan mewujudkan perluasan wilayah dengan dijadikannya perairan nusantara antar pulau sebagai perairan nasional dan adanya kepentingan pelayaran internasional yang berkepentingan agar lalu lintas kapal melalui perairan Indonesia untuk maksud-maksud damai dapat berlangsung terus tanpa gangguan. 74 Dengan demikian konsep wawasan nusantara tidak akan diakui oleh masyarakat internasional kecuali jika terdapat penyelesaian yangsaling memuaskan mengenai ketentuan hukum tentang masalah pelayaran dan lalu lintas laut melalui perairan Indonesia. Hak lintas damai seperti yang tertuang di dalam UU No. 4 Prp Tahuun 1960 dianggap oleh negara-negara maritime kurang menjamin kebebasan berlayar melalui perairan yang kini sudah menjadi bagian dari perairan Indonesia. Oleh karena itu disamping mengakui adanya hak lintas damai, mereka juga meminta adanya ketentuan yang lebih membebaskan mereka untuk berlayar di perairan Indonesia, karena mengangap bahwa memang sejak dahulu sudah terdapat hak kebebasan berlayar. 75 74 Mochtar Kusumaatmadja, “Perkembangan Hukum Laut Indonesia Dewasa ini, dalam Lima Puluh tahun Pendidikan Hukum di Indonesia”, Himpunan Karya Ilmiah Guru-Guru Besar Hukum di Indonesia, Jakarta, FH- UI 1974, hal. 350. 75 Hasjim Djalal, “Penentua “Sea Lanes” ALKI Melalui Perairan Indonesia”, Bandung: Unpad, penataran hukum laut internasional, 1996 hal. 3-4. Universitas Sumatera Utara Salah satu negara maritim yang alot mempertahankan konsep kebebasan berlayar di laut adalah Amerika Serikat. Keberatan Amerika Serikat atas konsep Konvensi pada waktu diadakanya Konperensi PBB III tentang Hukum Laut Internasional diantaranya adalah: 76 1.Pelaksanaan hak dan kebebasan yang tidak mengakui adanya klaim historis pada perairan tersebut; 2.Klaim laut territorial yang melebihi 12 mil; 3.Ketentuan-ketentuan pada hak lintas damai yang membatasi hak-hak negara lain untuk tipe kapal-kapal tertentu; Hasil kompromis atas perdebatan ini menghasilkan kesepakan seperti yang termaksud dalam Konvensi Hukum Laut 1982, diantaranya adalah: 1. Kapal semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan. 77 Negara kepulauan dapat juga menangguhkan sementara lintas damai kapal asing di daerah tertentu perairan kepulauannya. Hal ini dapat dilakukan jika penangguhan tersebut sangat perlu untuk melindungi keamanannya.Penangguhan ini harus diumumkan terlebih dahulu oleh negara kepulauan. 2. Negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan diatasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat asing yang terus menerus serta langsung serta secepat mungkin melalui atau diatas perairan kepulauannya dan laut territorial yang berdampingan dengannya. Semua kapal asing dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan rights of archipelagic sea lanes passage dalam alur laut dan rute penerbangan demikian. 78 Konsep hak lintas alur laut kepulauan Indonesia menyebut lintas alur laut kepulauannya dengan “alur lintas kepulauan Indonesia”-ALKI, merupakan hal yang baru di dalam ketentuan tentang kelautan seperti yang tercantum pada Konvensi Hukum Laut 1982. 76 Rights ….., op. cit, hal. 3. 77 Pasal 52 ayat 1 KHL 1982 78 Pasal 53 ayat 1 dan 2 KHL 1982. Universitas Sumatera Utara Setelah peratifikasian Konvensi Hukum Laut 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 tanggal 3 Desember 1985, maka Indonesia mulai memikirkan dan berusaha untuk menetapkan alur- alur laut kepuluan Indonesia ALKI melalui perairan nusantara Indonesia. 79 Ketentuan untuk menetapkan alur laut kepulauan Indonesia dibolehkan oleh Konvensi Hukum Laut 1982. The United Nations Convention on the Law of the Sea gives the Coustal State the right to designate sea lanes in archipelagic waters. 80 Penetapakan ALKI harus sesuai dengan konsep yang terdapat pada Konvensi Hukum Laut 1982, 81 dimana “all ships and aircrafs” memperoleh “ right of archipelagic sea lanes passage ”. Dengan demikian Indonesia memberikan hak lintas alur laut kepulauan atas perairan kepulauannya. ALKI harus mencangkup semua tempat lewat yang biasa untuk dipakai untuk pelayaran dan penerbangan internasional all normal passage routes for international navigation or overflights , dengan catatan jika di suatu tempat ada beberapa tempat lewat yang kirakira sama kemudahannya, maka cukup satu saja ditetapkan sebagai alur duplication of routes of similar convenience between the same entry and exit points shall not be necessary . 82 Selanjutnya the coastal State is required only to take into account the recommendations of the competent international organization. Whereas a State boudering an archipelagic state may designate sea lanes and prescribe traffic saparation schemes of substitute them only after they have been adopted by the competent international organization and agreed to by the state concerned. 83 79 Hak ini tercantum dalam Pasal 53 ayat 1 KHL 1982. 80 Safety of, and Right to Navigate, 02-04-2002, http:www.un.orgDeptslos iyosafety- of-navigation.htm. 81 Jika Indonesia tidak menetapkan ALKI nya, maka sesuai dengan pasal 53 ayat 12 KHL 1982, kapal- kapal asing boleh melaksanakan lintas alur laut kepulauan “through the routes normally use for international navigation”. 82 Hasjim Djalal, loc. cit. 83 Safety of, and Right to navigate, 02-04-2002, http:www.un.orgDeptslos iyosafety-of-navigation.htm. Universitas Sumatera Utara Lintas alur laut kepulauan juga diamanatkan didalam UU. No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menyatakan bahwa: 84 1. Lintas alur laut kepulauan dalam alur-alur laut yang khusus ditetapkan adalah pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi dengan cara normal hanya untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung, dan secepat mungkin serta tidak terhalang; 2. Segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif lainnya. Namun yang perlu diperhitungkan dalam penetapan ALKI adalah penetapan tersebut jangan sampai merugikan kepentingan nasional Indonesia atas pemanfaatan kelautannya dari segala ancaman yang dapat merugikan negara, misalnya ancaman pencemaran yang bersumber dari kapal-kapal asing. Untuk mencegah hal demikian diperlukan upaya-upaya penelitian dan identifikasi yang mendalam pada kawasan yang akan dijadikan ALKI. Penelitian dan identifikasi yang mendalam di kawasan yang dilewati ALKI, antara lain meliputi: 85 1. Intensitas lalu lintas lokal atau yang memotong ALKI 2. Lokasi daerah-daerah penangkapan ikan yang padat dan intensif; 3. Lokasi daerah-daerah eksplorasi eksploitas migas yang sedang berlangsung; 4. Lokasi pipa-pipa dan kabel bawah laut; 5. Lokasi daerah-daerah wisata, khususnya pantai-pantai dan pulau-pulau wisata yang berdekatan dengan ALKI; 84 Pasal 18 ayat 1 dan 2 UU No. 6 Tahun 1996. 85 Hasjim Djalal, Penentuan…..,op. cit, hal. 6. Universitas Sumatera Utara 6. Lokasi-lokasi daerah yang sensitif di bidang lingkungan laut; 7. Identifikasi kemampuan fasilitas yang ada sepanjang ALKI untuk menghadapi segala kemungkinan, baik pencemaran laut maupun pengamanan dan penegakan hukum. Prakasa penetapan ALKI dimulai oleh ABRITNI-AL, setelah mempelajarinya selama beberapa tahun, maka dalam Rapat Kerja Nasional RKN mengenai ALKI pada bulan januari 1995 yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negri Cisarua Bogor memutuskan bahwa untuk waktu ini 1995 Indonesia telah sipa mengajukan usul penetapan 3 tiga Alki kepada Organisasi Maritim Internasional IMO di London. 86 Selanjutnya Indonesia secara intensif juga mengadaan konsultasi-konsultasi dengan IMO dan negara-negara terkait, khususnya negara-negara maritim dan negara-negara tetangga. Konsultasi intensif ini dilakukan dengan: 87 1. Dengan IMO di London pada tanggal 15 Februari 1996; 2. Dengan delegasi USA pada tanggal 25 dan 26 Maret 1996 di Bandung, dan tanggal 17 Mei 1996 di Jakarta; 3. Dengan delegasi Australia pada tanggal 22-24 April 1996 di Jakarta. a. Tentang ALKI I Delegasi USA dan Australia telah mengajukan proposal ALKI I yang melewati Selat Karimata, mengingat lebih baik ditinjau dari aspek keselamatan pelayaran, selain itu disarankan adanya cabang ALKI ALKI IA yang keluar menuju Singapura. Delegasi 86 RKN dihadiri oleh wakil-wakil departemen dan lembaga Pemerintah, yaitu Kantor Menko Polkam, Departemen hankam, Mabes ABRI, BIA, Departemen Kehakiman, Pussurta ABRI, Mabes TNI-AL, Dishidros, Mabes TNI-AU, Ditjenperla, Ditjen Perikanan, Ditjen Migas, kantor menriste, Unpad juga dihadiri oleh para pakar seperti Mochtar Kususmaatmadja, mantan menteri Kehakiman dan Menlu Ri Marsekal Madya Soedarmono, mantan Kasops Dephankam dan sekjen Deplu RI, Dubes RI di London wakil tetap Ri pada IMO, Rekernas dipimpin oleh Hasyim Djalal Duta Besar Keliling Urusan Hukum Laut dan Masalah Kelautan. Lihat Tim Panja Dishidros, Alur Laut Kepulauan IndonesisALKI, Jakarta: Mabes TNI-AL Dinas Hidro- Oseanografi, Mei 1996, h. 1. 87 KBRI-Ottawa, 05-12-2000, http:www.indonesia- ottawa.orgnewsHot20Topicsht98 sep ht-alki.htm Universitas Sumatera Utara Australia menambah proposal ALKI I tersebut dengan mengusulkan cabang ALKI dari Selat Sunda- Selat Gelasa kearah Singapura. 88 Setelah melaui pengkajian dalam pertemuan-pertemuan intern, delegasi Indonesia sepakat atas: 1. Menimbang positif ALKI I yag melewati Selat Karimataa karena sesuai dengan usulan Indonesia sebelumnya; 2. Menimbang positif pada cabang ALKI IA yang menuju Singapura; 3. Tidak dapat menerima usulan ALKI yang melewati Selat Gelasa, mengingat dari segi jarak tidak begitu berbeda dengan melewati Selat Karimata, selain itu lebih aman bagi pelayaran untuk melewati Selat Karimata. b. Tentang ALKI II Usulan pihak USA tentang ALKI II tidak berbeda dengan proposal Indonesia, kecuali ada tambahan cabang ALKI ALKI IIA, yaitu ALKI dari Laut Jawa ALKI Timur Barat yang menuju Selatan kea rah Selat Lombok dengan melewati sebelah Selatan Pulau Kamudi. Sedangkan Australia menambahkan usulan cabang ALKI II ALKI IIB, yaitu cabang ALKI yang memotong dari tengah Selat Makassar kea rah Tenggara menuju ALKI Timur-Barat di Laut Flores. Namun delegasi Indonesia dalam pertemuan intern kurang sependapat dengan adanya ALKI IIA dan ALKI IIB. 89 c. Tentang ALKI III Delegasi USA mengajukan cabang-cabang usulan tambahan pada ALKI III, masing- masing cabang III D dan III H di bagian Selatan, cabang III F dan III G di bagian Utara. Sedangkan delegasi Australia menambahkan usulan cabang ALKI dari Utara ke Selatan melalui perairan di antara pulau-pulau Maluku dan Irian Jaya. 88 Tim Panja Dishidros, Alur laut…….., op. cit, hal. 1-2. 89 Tim Panja Dishidros, Alur laut…….., op. cit, hal. 5. Universitas Sumatera Utara Setelah mempelajari usulan dari negara-negara sahabat ini, Indonesia membuat usulan sebagai berikut: 90 1. Mempertimbangkan secara positif cabang ALKI III G, yang keluar ke arah Filipina; 2. Mempertimbangkan secara positif cabang III D sebagai pengganti III A; 3. Tidak dapat menerima cabang ALKI III F, III H tentang ALKI Timur – Barat. USA dan Australia secara terus menerus mengusulakan akan adanya ALKI Timur – Barat, muali dari Laut Jawa sampai Laut Flores. Padahal dalam pertemuan informal sebelumnya Indonesia selalu menyatakan “belum siap” not ready dalam membicarakannya. 91 Pada tanggal 15 Februari 1996 Indonesia telah mengusulkan kepada IMO mengenai penetapan tiga ALKI, yaitu: 92 1. ALKI I di bagian Utara bercabang menuju Singapura IA dan menuju Laut Cina Selatan; 2. ALKI II melaui Selat Lombok menuju Laut Sulawesi; dan 3. ALKI III, yaitu di bagian Selatan bercabang tiga menjadi ALKI III-A, III- B, III-C dan III-D. Dan yang di bagian Utara bercabang menuju Laut Sulawesi III-E dan Samudera Pasifik. ALKI I meliputi Laut Cina Selatan – Laut Singapura – Laut Natuana – Selat Karimata – Laut Jawa – Selat Sunda. Kondisi umum Hidro- Oseanografi telah memenuhi syarat untuk penetapan ALKI, namun perlu diwaspadai kedangkalan-kedangkalan pada perairan Selat Sunda sampai dengan Selat Karimata, hal ini dapat diatasi dengan sarana alat bantu navigasi. 90 Ibid. 91 Ibid. 92 KBRI-Ottawa, 05-12-2000, http:www.indonesia-ottawa.orgnewsHot20Topicsht98 sep ht-alki.htm Universitas Sumatera Utara Demikian pula dengan adanya kegiatan pertambangan dan energy di sekitar ALKI I, khususnya Konsesi Minyak MAXUS dan ARI I yang terletak di Utara Kepulauan Seribu ternyata dilalui oleh garis sumbu ALKI I. Beberapa sumurplatform minyak terletak pada jarak 4-10 mil dari garis sumbu ALKI. Padahal selama ini setiap sumurplatform diamankan terhadap lalu lintas dengan dinyatakannya daerah terlarang pada radius 500 meter dari sumur. Cagar alam laut dan taman nasional laut di sekitar ALKI I berjumlah 8 lokasi. Salah satunya adlah taman laut nasional di Kepulauan Seribu dengan jarak 7 mil dari garis sumbu ALKI. Demikian pula terdapatnya pengeboran minyak di Utara Pulau Seribu yang tumpang tindih dengan Taman Laut Nasional tersebut. Pada ALKI I terdapat pula jaringan kabel laut dari Jakarta-Singapura, khususnya di Utara Kepulauan Seribu yang memotong posisi ALKI I. juga terdapat daerah ranjau yang terletak pada posisi 10 mil yang belum dibersihkan. Posisi ALKI I akan melalui daerah-daerah penangkapan ikan nelayan yang berasal dari propinsi Aceh, Sumatera Utara dan Propinsi Riau. ALKI merupakan alur yang sangat ramai lalu lintas pelayarannya. Dengan kedangkalan yang ada, kapal-kapal biasa dapat melalui jalur ALKI I dengan aman, namun bagi jenis kapal super tanker dengan DWT 18 meter, maka jalur ini berbahaya untuk dilewati. 93 ALKI II melalui Laut Sulawesi –Selat Makasar- Selat Lombok. Kondisi data Hidro- Oseanaografi yang mutakhir pada wilayah laut ini cukup mendukung keselamatan pelayaran. Pada perairan ini masih dibutuhkan sarana bantu navigasi, khususnya pada alur yang melalui perairan di sekitar kumpulan pulau-pulau Kalukalukuang. Pada jalur ALKI II juga terdapat 6 lokasi Taman Laut dan Cagar Alam yang masih dalam tahap pengusulan, kecuali Taman Nasional Kalukalukuang yang berjarak 13 mil dari garis sumbu ALKI. Demikian pula terdapatnya Konsensi milik British Petroleum dalam penambangan minyak dianatara Pulau 93 Tim Panja Dishidros, Alur laut…….., op. cit, hal. 10. Universitas Sumatera Utara Kangan dan Pulau – pulau Tengah di Utara Selat Lombok yang dilalui oleh ALKI. Pada ALKI II juga terdapat kabel laut dari Surabaya – Guam yang posisinya sejajar dengan posisi ALKI II. Pada ALKI II, yaitu di sekitar Selat Lombok terdapat daerah pembuangan amunisi. ALKI II juga akan melalui daerah- daerah penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan yang berasal dari propinsi Bali, Lombok, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Alki II juga dapat digunakan sebelumnya sebagi rute Jepang. Pelayaran kapal angkut dari Australia ke Singapura, Cina, Jepang, dan sebaliknya. Juga merupakan alur khusus bagi kapal-kapal penangkap ikan asing dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. ALKI III ada 3 jalur yaitu ALKI III A melalui Samudera PasifikLaut Sulawesi- Laut Maluku- Laut Seram Timur Pulau Mangoli-Laut Banda barat Pualu Buru-Selat Ambai- Laut Sawulewat Barat Pulau Roti. ALKI IIIB meliputi Samudera Pasifiklaut Sulawesi- Laut Maluku- Laut Seram Timur Pulau Mangoli-Laut Banda barat Pualu Buru- Selat Leti- Laut Timor. Sedangkan Alki III C meliputi Samudera Pasifik –Laut Maluku- Laut Timur Pulau Mangoli-Laut Banda Barat Pulau Buru-Laut Arafuru. Pada ALKI III ini data Hidro-Oseanografi cukup mendukung bagi keselamatan pelayaran, namun sarana bantu navigasi masih perlu disempurnakan dan ditambah, terutama disekitar Pulau kai dan Pulau Tanibar. Pada jalur ini terdapat 3 Taman Nasional dan Cagar Alam yang telah disepakati dan 5 buah yang masih bersifat pengusulan. Pada jalur ini juga terdapat konsesi minyak milik Union Texas di sekitar Pualu Tanibar, dengan jarak yang terdekat kira-kira 2 mil dari titik masuk keluar ALKI IIIC. Alur pelayaran dari Laut Maluku, Laut Banda, sampai Laut Sawu akan melaui daerah-daerah penamgkapan ikan nelayan-nelayan yang berasal dari propinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur. Penggunaan alur ini merupakan rute pelayaran Australia Timur. Penggunaan alur ini merupakan rutepelayaran Australia Timur-New Zealand ke Samudera Pasifik melalui Flores. Universitas Sumatera Utara Untuk kapal super tanker dapat berlayar dengan aman, namun harus berhati-hati disekitar Selat Flores. 94 Pada tahun 1996 Indonesia secara formal telah mengusulkan kepada IMO mengenai penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia, yaitu ALKI I di bagian Utara bercabang menuju SingapuraIA, dan menuju Laut Cina Selatan. ALKI II melalui Selat Lombok menuju Laut Sulawesi, dan ALKI III-A, III-B, III-C, dan yang di bagian Utara III-D bercabang menuju Laut Sulawesi III-E dan Samudera Pasifik. 95 Usul Indonesia dalam penetapan ALKI ini telah dibahas dalam Sidang Komite Keselamatan Pelayaran ke-67 Maritime Safety CommitteeMSC-67 pada bulan Desember 1996 dan sidang Sub-Komite Keselamatan Navigasi IMO ke -43 NAV-43 di London pada bulan Juli 1997. Sidang majelis IMO ke-20 pada bulan Desember 1997 telah menyetujui prosedur dan ketentuan-ketentuan mengenai penetapan ALKI tersebut sekaligus mengesahkan MSC-69 untuk membahas usul Indonesia. Jika memenuhi syarat, MSC-69 dapat menerimanya tanpa perlu lagi dibawa kepada sidang majelis IMO ke-21 tahun 1999. 96 Pada tanggal 19 Mei 1998 Sidang Pleno MSC-69 IMO secara resmi telah menerima adopt tiga ALKI yang diusulkan Indonesia dengan beberapa catatan. ALKI akan berlaku minimal setelah eman bulan sejak diundangkan oleh Indonesia. Pengundang ALKI dapat dilakukan Indonesia melalui suatu “Peraturan Pemerintah” sesuai dengan amanat UU No. 6 Tahun 1996 yang menyebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara negara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan …, diatur dengan Peraturan Pemerintah. 97 94 Tim Panja Dishidros, Alur laut…….., op. cit, hal. 12. 95 International Maritime Organization IMO is recognized as the onlu international body responsible for establishing and adopting measures on an international level concerning ships routeing systems for use by all ships. Lihat Safety of, and Right to Navigate, 02-04-2002, http:www.dfa- deplu.go.idenglish2 pt28-98.htm. 96 Siaran Pers Menteri Luar Negeri Ri mengenai Penetapan 3 tiga Alur laut Kepulauan Indonesia 97 Pasal 18 ayat 3 UU No. 6 Tahun 1996. Universitas Sumatera Utara Dalam hal penerapan ALKI, Indonesia adalah negara kepulauan pertama yang mengusulkan penetapan alur laut kepulauannya sesuai dengan Ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982. Pada kenyataanya, sebenarnya ALKI adalah untuk kepentingan Indonesia sendiri, Indonesia sebelumnya sudah pernah menetapkan alur tersebut bagi kapal-kapal penangkap ikan asing utnuk melintasi perairan Indonesia, yaitu melaui Selat Lombok dan Selat Makasar, namun dalam kerangka hak lintas damai bagi pelayaran internasional. 98 Jika keadaan menghendaki, Indonesia dapat mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan sebelumnya dengan alur laut atau skema pemisah lalu lintas lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatkan bahwa “ an archipelagic State may, when circumstances require, after giving due publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation scheme for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or prescribed by it”. 99 Alur laut dan skema pemisah tersebut harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima secara umum. Dalam mengganti alur lautskema pemisah lau lintas, Indonesia harus mengajukan usul- usul kepada IMO dengan maksud untuk diterima. IMO hanya dapat menerimanya dengan persetujuan bersama dengan Indonesia. 100 98 Siaran Pers……, op. cit, hal. 3. 99 Hasjim Djalal, Penentuan…..,op. cit, hal. 5. 100 Pasal 53 ayat 9 KHL 1982. Universitas Sumatera Utara BAB III HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA

A. Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Undang-undang No. 6Tahun