ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, yang di dalamnya ada beberapa hal yang perlu disesuaikan.
C. Rute Penerbangan di Atas Alur Laut Kepulauan
1. Latar Belakang Pengaturan
Penetapan rute udara di atas Alur laut Kepulauan merupakan salah satu konsekuensi dari implikasi berlakunya
United Nations on The Law Of The Sea
UNCLOS 1982, dimana kelahiran konvensi ini merupakan buah kompromi antara kepentingan negara maritim besar
dengan negara kepulauan. Salah satu hal yang sangat erat kaitanya dengan alur laut kepulauan ini adalah rute penerbangan di atas alur laut kepulauan.
Negara-negara
archipelago
sejak semula sangat enggan membicarakan soal “overflight” ini,
baik karena soal ini pada umumnya menyang-kut soal Hukum Udara yang penyele-saiannya perlu disalurkan melalui
Inter-nasional Civil Aviation OrganisationICAO
, maupun karena mereka tidak dapat menerima prinsip kebebasan overflight melalui
sealanes
sebagaimana yang diinginkan oleh negara-negara maritim besar, khususnya yang mempunyai kepentingan
militer secara global. Namun, dengan kompromi itu makin menjadi jelas bahwa wawasan nusantara
praktis tidak akan dapat diterima oleh masyarakat internasional kalau dengan wawasan tersebut penerbangan internasional, baik sipil maupun militer, akan sama sekali tunduk
kepada wewenang negara-negara nusantara. Karena itu usaha-usaha mulai ditujukan untuk men-cari suatu rezim penerbangan lintas melalui perairan nusantara yang dapat diterima oleh
Indonesia. Usaha-usaha tersebut antara lain telah berhasil dengan diperkenankannya penerbangan internasional hanya di atas
sealanes
, dan bahwa penerbangan tersebut harus
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan mengikuti aturan-aturan keselamatan penerbangan yang biasa, misalnya dengan memonitor radio frequency dari ATC, dan lain-lain.
104
2. Rute Penerbangan dalam UNCLOS 1982 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2002
Berdasarkan kompromi sebagaimana dijelaskan di atas, akhirnya masalah lintas melalui wilayah negara kepulauan mendapatkan pengaturan dalam Pasal 53 UNCLOS, yang
terdiri atas 12 ayat. Khusus dalam kaitannya dengan rute pe-nerbangan di atur dalam ayat a sampai d yaitu:
a. An archipelagic state may designate sea lanes and air rute there above, suitable for
the continuous and expeditious passage of foreign ships and aircraft through or over its archipelagic waters and the adjacent ter-ritorial sea.
b. All ships aircraft enjoy the right or achipelagic sea lanes passage in such sea lanes
and air routes. c.
Achipelagic sea lanes passage means the exersice in accordance with this Convention of the rights of navigation and over flight in the normal mode solely for
the purpose of continuous, expeditious and unobstructed transit between one part of the seas or an exlcusive economic zone and other part of the high seas or an
axclusive economic zone. d.
Such sea lanes and air routes shall traversea the archipelagic waters and the adjacent territorial sea and shall include all normal passage rutes used as routes for
international navigation or over flight through or over archi-pelagic waters and, within such routes, so far as ships are concerned, all normal navigations channels,
provided that duplication of routes of similar convenience between the same entry and exit points cell not be necessary.
104
Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1979, hal. 93-94.
Universitas Sumatera Utara
Pada waktu melakukan lintas penerbangan melalui rute di atas alur laut kepulauan, pesawat udara wajib:
1. Mentaati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional
International Civil Aviation Organization
sepanjang berlaku bagi pesawat udara sipil, pesawat udara pemerintah biasanya memenuhi tindakan
keselamatan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan mengindahkan keselamatan penerbangan sebagaimana mestinya;
2. Setiap waktu memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu
lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau oleh frekuensi radio darurat internasional yang tepat.
105
Sebagai negara yang mempunyai kepentingan dan telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka melalui Peraturan Pemerintah PP Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002
tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melakukan Hak Lintas Alur Laut Kepuluan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, pemerintah telah
menetapkan 3 tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI utama, dengan variasi pada cabang-cabang, sebagaimana nampak dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut.
Secara garis besar Peraturan Pemerintah tersebut mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Pesawat udara asing dapat melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan untuk
penerbangan dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan
Indonesia;
106
b. Pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan harus melintasi secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal,
105
Pasal 54 KHL 1982. Pasal ini menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 39 3 KHL 1982 berlaku mutate mutandis
bagi pesawat udara yang akan melakukan lintas penerbangan melalui rute di atas alur laut kepulauan.
106
Pasal 2 PP. No. 37 Tahun 2002.
Universitas Sumatera Utara
semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus langsung, cepat dan tidak terhalang;
107
c. Pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 mil laut kedua sisi dari garis sumbu alur laut
kepulauan, dengan ketentuan bahwa pesawat udara tersebut tidak boleh terbang dekat ke pantai kurang dari 10 jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang
berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut;
108
d. Pesawat udara asing sewaktu melak-sanakan hak lintas tidak boleh me-lakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau
kemerdekaan politik RI, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang terdapat dalam Piagam PBB;
109
e. Pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan hak lintas tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan mengunakan senjata macam apapun dengan
mempergunakan amunis;
110
f. Kecuali dalam keadaan
force majeure
atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan hak lintas tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia;
111
g. Pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan
komunkasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwe-nang dalam wilayah Indonesia;
112
h. Baik pesawat udara sipil asing sewaktu melaksanakan hak lintas harus;
107
Pasal 4 ayat 1 PP. No. 37 Tahun 2002.
108
Pasal 4 ayat 2 PP. No. 37 Tahun 2002.
109
Pasal 4 ayat 3 PP. No. 37 Tahun 2002.
110
Pasal 4 ayat 4 PP. No. 37 Tahun 2002.
111
Pasal 4 ayat 5 PP. No. 37 Tahun 2002.
112
Pasal 4 ayat 7 PP. No. 37 Tahun 2002.
Universitas Sumatera Utara
a Mentaati peraturan udara yang ditetapkan oleh ICAO mengenai keselamatan
penerbangan; b
Setiapwaktu memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau frekuensi
radio darurat internasional yang sesuai;
113
i. Baik pesawat udara negara asing sewaktu melaksanakan hak lintas harus; 1. Menghormati peraturan udara mengenai keselamatan penerbangan sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat 1 huruf a; j. Memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam ayat 1 huruf b.
114
D. Pengaturan Rute Udara dalam Kaitannya dengan Keselamatan Penerbangan