Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Melakukan Lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia

(1)

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh: VIVI MARBUN NIM: 110200468

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh: VIVI MARBUN NIM: 110200468

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum Arif, S.H., MH

NIP: 195612101986012001 NIP: 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul HAK DAN

KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIAini sesuai dengan harapan.

Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata – mata untuk kelulusan kegiatan akademik belaka, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu penting yang kian mendapat perhatian masyarakat internasional berkaitan dengan Hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melakukan lintas di alur laut kepulauan Indonesia.Masalah hak lintas kapal asing dan pesawat udara asing melalui perairan Indonesia khusunya pada perairan kepulauan merupakan satu masalah yang bersifat global, karena pengaturan tentang ini akan mempunyai dampak tidak saja bagi negara pemakainya, akan tetapi juga bagi negara kepulauan itu sendiri. Dampak pengaturan ini juga dirasakan oleh negara-negara lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan merasakan akibatnya pada segi-segi kehidupan politik, militer, dan ekonominya.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dan kekurangan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis maupun panasnya kontroversi pembahasan hukum internasional mengenai isu status hukum dan perlindungan yang selayaknya diberikan kepada orang – orang yang dipaksa meninggalkan negaranya dikarenakan lingkungan dan bencana alam. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bentuan dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam pemebelajaran penulis yakni:


(4)

1. Prof. Dr. dr Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;

3. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU, selaku Pensehat Akademik penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum USU dan selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini;

4. Arif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini;

5. Dosen – dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tidak ternilai bagi penulis;

6. Seluruh civitas Fakultas Hukum USU: jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum USU lainnya:

7. Orang tua penulis, Drs. E Marbun, M.si dan Yanti Harianja, terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan;

8. Saudara – saudara penulis, Ivana Marbun dan Vilia Marbun untuk dukungan dan semangat yang diberikan selama ini;

9. Teman – teman penulis, Eva Maria, Christine Natalia, Nova Dina Tari, Astriani Situngkir, Elisa Aprilia, Riscia Gusti Bella, beserta teman – teman Grup D dan ILSA; 10. Seluruh civitas GMKI Komisariat Fakultas Hukum USU;

11. Teman – teman Stambuk 2011 Fakultas Hukum USU, serta pihak – pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(5)

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, Juni 2015 Hormat Penulis,

VIVI MARBUN NIM: 110200468


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Daftar Singkatan Dan Istilah ... vii

Abstraksi ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 12

1. Jenis Pendekatan ... 12

2. Data Penelitian ... 14

3. Teknik Pengumpulan Data ... 15

4. Analisis Data ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II PENGATURAN ALUR LAUT KEPULAUAN BERDASARKAN UNCLOS 1982 A. Negara Kepulauan ... 18

1. Lahirnya Konsepsi Negara Kepulauan... 18

2. Status Hukum Negara Kepulauan ... 23


(7)

4. Perjuangan Memperoleh Pengakuan Internasional atas asas-asas Negara Kepulauan ... 29

i. Konferensi Hukum Laut PBB Tahun 1958 dan II Tahun 1960 .. 31 ii. Konferensi Hukum Laut PBB III Tahun 1974 – 1982 ... 34 B. Masalah Alur- alur Kepulauan ... 37 C. Penerapan ALKI pada Perairan Indonesia ... 44 BAB III HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING

MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA

A. Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Undang-undang No. 6Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. 60

B. Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Kapal Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan.67

C. Rute Penerbangan diatas Alur Laut Kepulauan ... 76 1. Latar Belakang Pengaturan ... 76

2. Rute Penerbangan dalam UNCLOS 1982 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 ... 77

D. Pengaturan Rute Udara dalam Kaitannya dengan Keselamatan Penerbangan 81 ...

BAB IV POTENSI ANCAMAN DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA A. Masalah Pelanggaran Wilayah ... 87 B. Masalah Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Ilegal Fishing) ... 93 C. Masalah Pencemaran Lingkungan Laut ... 98


(8)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. KESIMPULAN ... 108

B. SARAN ... 109


(9)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

Singkatan/Istilah Keterangan

AALC Asia-Africa Legal Consultative Comittee

ALKI Alur Laut Kepulauan Indonesia

CCAMLR Commission for Conversation of Atlantic Marine Living Resources

CPUE Catch Per Unit of Effort

GPS Global Positioning System

ICAO International Civil Aviation Organization

ICJ International Court of Justice

IMO International Maritime Organization

IUU Illegal, Unreported and Unregulated

TSS Traffic Separation Scheme

UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea


(10)

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA

Vivi Marbun*

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum** Arif, S.H., MH***

ABSTRAKSI

Indonesia adalah Negara Kepulauan (Archipelagic State) terbesar di dunia. Karena sifatnya yang terbuka, maka laut juga dianggap sebagai Warisan Bersama Umat Manusia, sehingga hampir setiap negara merasa berhak untuk melintasi dan memanfaatkan lautan bagi kepentingannya. Asumsi tersebut tentu dapat menjadi sumber konflik yang potensial apabila tidak diatur melalui perangkat hukum laut internasional yang mengatur antara hak dan kewajiban setiap negara berkaitan dengan perlintasan melalui laut, karena berkaitan dengan keamanan dan kedaulatan sebuah negara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana Pengaturan Alur Laut Kepulauan Indonesia berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS), Hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia dan bagaimana potensi ancaman akibat diterapkanya Alur Laut Kepulauan Indonesia.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan – bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilimiah ini.

Indonesia telah mengimplementasikan hak lintas kapal dan pesawat udara asing melalui PP N0 37 Tahun 2002. Secara umum Ketentuan tersebut merupakan penjabaran ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, yang di dalamnya ada beberapa hal yang perlu disesuaikan dan diatur lebih lengkap. Dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki perairan luas serta berdekatan dengan wilayah perbatasan tetangga, berimplikasi kepada mudahnya wilayah tersebut untuk dimanfaatkan untuk tindakan pelanggaran hukum sekaligus untuk melarikan diri. Kemudian, selain memiliki letak yang strategis sebagai penghubung Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, kawasan di sekitar alur laut kepulauan II meyimpan potensi sumber daya alam yang melimpah sehinggga wilayah tersebut rawan terhadap terjadinya berbagai tindak pelangggaran hukum maupun pelanggaran wilayah kedaulatan yang dapat mengancam integritas Nusantara.

Kata kunci: kapal dan pesawat udara asing, lintas, ALKI

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara Kepulauan (Archipelagic State) terbesar di dunia. Indonesia memiliki panjang garis pantai 95.181 km, memiliki 17508 pulau.1 Memiliki luas wilayah perairan 5.877.879 km2, terdiri dari laut teritorial 285.005 km2, ZEE 2.692.762 km2, dan Perairaan Pedalaman 2.012.402 km2. Luas wilayah daratan 2.012.402 km2, yang berarti dua per tiga dari luas keseluruhan wilayah atau jurisdiksi nasional Indonesia merupakan wilayah perairan.

Anugrah besar dari Tuhan Yang Maha Esa atas Negeri yang pernah diperintah oleh silih berganti Kerajaan Maritim ini merupakan suatu kesyukuran sekaligus tantangan yang meminta tanggung jawab yang sangat besar, terutama terkait dengan aspek keamanan, keselamatan dan perlindungan lingkungan. Meski sudah sejak dahulu nenek moyang kita telah mendiami wilayah Indonesia dengan pengaruh yang sangat kuat dari kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya, Mojopahit, dan Samudera Pasai, namun keutuhan Nusantara sebagai sebuah Negara Kepuluan bukanlah kita terima begitu saja. Perjungan untuk memperoleh Status Negara Kepulauan justru diperoleh setelah Indonesia melepaskan diri dari belenggu Penjajahan Kolonial Belanda.

Sejarah perkembangan bangsa Indonesia telah menunjukan, bahwa inti kejayaan negara kepulauan Nusantara ini adalah integritas Nusantara sebagai satu kesatuan dan kekuatan yang bulat dan utuh dalam semua aspek kehidupan. Hanya kekuasaan yang mampu menegakkan dan mempertahankan intergritas Nusantara yang dapat berjaya di kepulauan Nusantara,

1 Tentang jumlah pulau Indonesia banyak data dari berbagai lembaga yang masing-masing berbeda,

misal Kementerian Luar Negari 17.508, Kememndagri 17.504 dan terakhir data TNI AL jumlah pulau Indonesia adalah 17.499 baik bernama maupun tidak bernama dalam dalam proses toponimi.


(12)

seperti yang ditunjukan oleh Kemaharajaan Sriwijaya dan Majapahit di masa lalu dan oleh NKRI di masa sekarang.2

Tetapi karena sifatnya yang terbuka, maka laut juga dianggap sebagai Warisan Bersama Umat Manusia, sehingga hampir setiap negara merasa berhak untuk melintasi dan memanfaatkan lautan bagi kepentingannya. Asumsi tersebut tentu dapat menjadi sumber konflik yang potensial apabila tidak diatur melalui perangkat hukum laut internasional yang mengatur antara hak dan kewajiban setiap negara berkaitan dengan perlintasan melalui laut, karena berkaitan dengan keamanan dan kedaulatan sebuah negara.

Pertentangan antara keinginan menguasai laut dan adanya sifat alami laut sebagai ruang terbuka, ahkirnya melahirkan berbagai perjanjian, kesepakan bersama, serta aturan hukum internasional.3 Tetapi meskipun norma-norma hukum Internasional terus lahir, tidak ada satu negarapun mampu menjamin akan terbebas dari sengketa antar negara, termaksud yang paling ekstrim terlibat dalam perang terbuka yang mengancam kedaultan wilayahnya. Peta-peta geografis yang dimiliki suatu negara dapat diubah oleh perang dan negara-negara baru dapat muncul dari perang itu.4Oleh karena itu pula, maka masalah upaya penegakkan dan mempertahankan intergritas Nusantara adalah tantangan abadi bangsa Indonesia.5

Untuk menjamin perlindungan dan kesatuan wilayah Nusantara, maka pemerintah Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 telah mendeklarasikan Konsepsi Nusantara melalui Pengumuman Pemerintah RI yang dikenal dengan “Deklarasi DDjuanda”6, yang

2Wahyono S, Kusumoprojo, Beberapa Pikiran Tentang Kekuatan dan Pertahanan di Laut, (Jakarta:

Surya Indah, 1979), hal. 85.

3

Agus Rustandi, Isu Keamanan Maritim dan PSI PerspektifAngkatan Laut, Jakarta, 2006, hal. 1.

4Andi Widjajanto, et al, Intelijen: Velax et Exactus, Jakarta : Pacivis bekerjasama dengan Kemitraan,

2006, hal. 14. Dari Perpektif hitoris, adanya norma veto power yang diberikan oleh lima negara anggota permanen Dewab Keamanan PBB sebenarnya menyampaikan pesan bahwa perang antar negara sejak lima puluh tahun sejak pembentukanya hamper tidak dapat dicegah jika perang semacam itu melibatkan salah satu dari lima negara anggota permanen.

5Wahyono S, Kusumoprojo, op. cit, hal. 1.

6Mochtar Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara Pada Konperensi Hukum Laut Ke-III,

(Jakarta: PT Alumni, 2003), hal. 1. Menurutnya, konsepsi Nusantara pada awalnya kalau dilihat dari sudut hukum pada hakekatnya merupakan tindakan sepihak Indonesia untuk mewujudkan suatu konsepsi atau buah pikiran dalam bidang hukum laut agar menjadi kenyataan.


(13)

kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.7 Hal terpenting dan bersejarah dari konsepsi tersebut adalah :

“Bahwa segala perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Replubik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Replubik Indonesia. Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Replubik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang”.

Melalui Deklarasi Djuanda tersebut, disamping mengubah cara penarikan garis pangkal lurus, pemerintah Indonesia juga telah mengubah lebar laut territorial Indonesia yang tadinya 3 mil laut menjadi 12 mil laut.8 Deklarasi yang disampaikan oleh Pemerintah RI ini mendapat reaksi dan kecaman yang keras dari negara-negara lain, teruutama yang sangat berkepentingan dengan jalur lalu lintas internasional memang harus melalui wilayah Indonesia.

Mereka mengangap Indonesia telah melanggar Hukum Laut Internasional. Amerika Serikat bahkan menjadi negara pertama yang mengajukan proses ketika “Deklarasi

7Saat ini sudah disempurnakan lagi dengan Undang-undang RI No. 6 Tahun 1996 untuk menyesuaikan

dengan azas dan rezim kepulauan sebagaimana disebutkan dalam Bab IV KOnvensi PBB tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB Tentang Hukum Laut)

8Lihat penjelasan Undang-undang RI Nomor 17 tahun 1985, ini berarti perairan yang dahulu merupakan

bagian dari Laut Lepas menjadi Perairan Kepulauan dan menjadi wilayah Perairan Indonesia. Lihat juga, Hasjim Djalal, Masa Depan Indonesia Sebagai Negara Kesatuan : Ditinjau dari Hukum Laut dan Kelautan, Makalah Seminar, Jakarta, 2000, hal. 9. Perubahan status hukum Perairan Indonesia tersebut, juga membawa perubahan terhadap keseluruhan luas wilayah perairan Indonesia dari kira-kira 2.027.080 juta km2 pada tahun 1945 menjadi kira-kira 5.193.250 juta km2 dan kawasan alam kekayaan Indonesia tidak hanya perairan Nusantara dan Laut Wilayah tetapi juga dengan ZEE dan landas Kontinen sampai kira-kira 3 juta km2 lagi, yang dengan demikian membuat seluruh kawasan kekayaan alam Indonesia menjadi kira-kira 8 juta km2, atau kira-kira 4 kali lipat dari kawasan kekayaan alam Indonesia pada waktu proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.


(14)

DDjuanda” ini diumumkan.9 Namun adanya reaksi internasional tersebut, justru menjadi sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk menjelaskan sekaligus mempertahankan pendiriannya.

Indonesia tetap konsisten memperjuangkan dan mempertahankan prinsip pokok kesatuan wilayah nasional itu, baik di forum negara berkembang, maupun negara-negara Asia Afrika ataupun melalui forum-forum Non- Blok dan di berbagai forum akademik ilmiah internasional dimana-mana. Perjuangan melalui jalur akademis antara lain dilakukan melalui pertemuan tahunan yang diadakan oleh Law of the Sea Institue University Rhode Island, di Kingston Amerika Serikat.10 Di kalangan Akademis, konsepsi negara kepulauan menemukan seorang pendukung yang sangat kuat dan berpengaruh dalam diri Prof. Daniel O‟ Connell, seorang Gurubesar Hukum Internasional Universitas Cambridge yang menaruh perhatian besar terhadap konsepsi negara kepulauan sejak tahun 1969, ketika masih menjadi Gurubesar pada University of Adelaide.11

Konsepsi hukum negara kepulauan yang diperjuangkan Indonesia ahkirnya masuk dalam pembahasan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Perjuangan yang teguh selama hampir 25 tahun, membuahkan hasil dengan diterimanya Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaica, tanggal 10 Desember 1982. Indonesia kemudian meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tanggal 13 desember 1985. Ini artinya konsepsi Wawasan Nusantara menjadi salah satu prinsip yang diterima dan diakui dalam hukum laut internasional yang baru. Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut mulai berlaku sejak tanggal 16 November 1994.

9Atje Misbach Muhjiddin, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing,

(Bandung: Penerbit Alumni, 1993)

10

Mochtar, op. cit, hal. 23.


(15)

Selain mencakup wilayah darat, laut, udara dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 juga mengakui hak-hak Indonesia atas kawasan dan kekayaan alam di luar Nusantara Indonesia, seperti:

1. Hak untuk mendirikan Zona Tambahan selebar 12 mil lagi di luar laut wilayah yang 12 mil yang mengelilingi seluruh Nusantara Indonesia;

2. Hak atas ZEEI12 selebar 200 mil dari garis-garis pangkal yang mengelilingi seluruh Nusantara Indonesia;

3. Hak atas adalah landas kontinen13 sampai keseluruh lanjutan wilayah darat nusantara Indonesia ke dasar laut;

4. Hak-hak untuk berpatisipasi dan ikut memanfaatkan kekayaan-kekayaan alam di alut bebas di luar ZEE, dan

5. Hak untuk ikut mengatur dan memanfaatkan dasar laut internasional di luar dasar kontinen.

Tetapi pengakuan terhadap prinsip negara kepulauan Indonesia dalam Konvensi Hukum Laut 1982 harus pula dibayar dengan mewadahi dan menghormati kepentingan yang sah dan hak-hak tertentu negara pengguna perairan negara kepulauan, seperti hak lintas kapal dan pesawat udara asing melalui alur laut kepulauan. Pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan telah diakomodasikan berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 yang dapat dilaksanakan melalui alur-alur laut yang ditentukan oleh negara kepulauan bersama-sama dengan International Maritime Organization/ IMO.Namun apabila negara kepulauan tidak menetapkan alur-alur laut kepulauanya maka Pasal 53 (12) Konvensi Hukum

12Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia

yang meliputi dasar laut, tanah dibawanya dan air diatasnya dengan batas terluas 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilyah Indonesia. Apabilah ZEEI tumpang tindih dengan ZEE negara-negara yang pantainya salng berhadapan atau berdampingan, maka batas ZEE ditetapkan dengan persetujuan kedua negara. Luas wilayah ZEEI sekitar 2.700.000 Km2. Lihat, Undang-undang RI Nomor 5 tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, 1983.

13Landas Kontinen adalah wilayah di luar 12 mil laut dengan kedalaman 200 meter atau lebih dimana

masih mungkin diselengarakan eksplorasi dan eksploitas kekayaan alam. Lihat, Undang-undang RI Nomor 4/Prp/Tahun 1960 Perairan Indonesia, 1960.


(16)

Laut 1982 menetapkan bahwa kapal dan pesawat udara asing tetap dapat melaksanakan haknya dengan menggunakan rute-rute biasa yang digunakan untuk pelayaran internasional. Untuk penetapan alur-alur laut kepulauan tersebut, dalam Pasal 53 ayat (9) Konvensi Hukum Laut 1982 ditentukan bahwa negara kepulauan harus mengajukan usul penetapan alur-alur laut kepulauannya kepada organisasi internasional yang berwenang dengan maksud untuk dapat diterima. Penetapan alur laut kepulauan tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan memperhatikan kepentingan masyarakat internasional melalui organisasi internasional yang kompeten yaitu International Maritime Organization/ IMO.

TNI Angkatan Laut telah mengambil prakarsa sejak tahun 1987 untuk merancang Alur Laut Kepulauan Indonesia yang akan dimajukan sebagai usul Pemerintah RI kepada IMO.14 Keseriusan TNI AL dalam upaya mewujudkan alur laut kepulauan di wilayah perairan Indonesia ini antara lain melalui penyelenggaraan Forum Strategis TNI AL keempat yang diselenggarakan di Seskoal Jakarta dari tanggal 12-27 Agustus 1991.

Pemerintah Indonesia mengusulkan Konsep ALKI Utara Selatan sebagai berikut:15 1. ALKI-1 : Selat Sunda- Laut Jawa Bagian Barat- Selat Karimata-

Laut Natuna- Laut Cina Selatan.

2.ALKI-II : Selat Lombok- Selat Makasar- Laut Sulawesi.

3. ALKI III-A : Laut Sawu- Selat Ombai- Laut Banda- Laut Seram- Laut Maluku- Samudera Pasifik.

4.ALKI III-B : Laut Timor- Selat Leti- Laut Banda- terus ke Utara ke ALKI III A

5.ALKI III-C : Laut Arafura- Laut Banda- terus ke Utara ke ALKI IIIA. 6.ALKI III-D : Laut Sawu ke ALKI III-A.

14Setjen Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Kebijakan Pengaruh Alr Laut Kepulauan Indonesia

terhadap Ekonomi Suatu Kawasan, Jakarta, 2005, hal. 12.

15Nicolas P. Ello, “Penetapan Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)”, dalam Majalah TNI AL


(17)

7.ALKI III-E : Dari ALKI III-A ke Laut Sulawesi.

Usul penetapan ALKI Utara-Selatan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia telah dibahas dalam Sidang Komite Keselamatan Pelayaran IMO ke-67 (Maritime Safety Committee/ MSC-67) pada bulan Desember 1996 dan pada Sidang Sub-Komite Keselamatan Navigasi IMO ke-43 (NAV-43) bulan Desember 1997. Sidang Pleno MSC-69 IMO pada tanggal 19 Mei 1998 secara resmi telah menerima tiga jalur ALKI yang diusulkan oleh Indonesia.

Untuk menindaklanjuti keputusan IMO tersebut, sesuai kententuan Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. Pada saat bersamaan keluar juga Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.

Penetapan ALKI tentu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, selain dapat memberikan dampak positif bagi kegiatan nasional untuk kesejahteraan rakyat, juga dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia. Kondisi geografi Indonesia memiliki posisi terbuka yang setiap saat dapat menjadi peluang bagi negara lain untuk masuk dan melakukan aktivitasnya di wilayah Indonesia dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Potensi ancaman di ALKI tentu akan berdampak kepada lingkungan perairan dan pulau sekitarnya, begitu pula sebaliknya.


(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas serta sesuai dengan judul skripsi ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana Pengaturan Alur Laut Kepulauan Berdasarkan UNCLOS 1982?

2. Bagaimana hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia?

3. Bagaimana potensi ancaman di Alur Laut Kepulauan Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain:

1. Untuk mengetahui Pengaturan alur laut kepulauan berdasarkan UNCLOS 1982 .

2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia.

3. Untuk mengetahui potensi ancaman di Alur Laut Kepulauan Indonesia.

Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan denganhak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepulauan Indonesia.

2. Secara Praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta aparat – aparat hukum yang terkait di


(19)

tiap-tiap negara mengenai isu hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

D. Keaslian Penulisan

Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa yang telah penulis pelajari dari buku-buku mengenai hak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan indonesia. Penulis berupaya untuk menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan menguji isuhak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan indonesia dengan instrumen hukum internasional dan hukum nasional yang mengaturnya. Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Melakukan Lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia” belum pernah ditulis sebelumnya.

Meskipun terdapat penulisan skripsi yang juga membahas mengenai hak kapal asing melakukan lintas dalam lingkungan Fakultas hukum USU dengan judul Hak dan Kewajiban Kapal Asing yang Melintas di Perairan Kepulauan Indonesia,16 namun skripsi tersebut mengkaji mengenai hak kapal asing melakukan lintas di perairan Indonesia. Berbeda sudut pandang penulisannya dengan karya ilmiah ini yang mengkaji lebih dalam mengenai isu hak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepulauan Indonesia.

Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrasi bagian kemahasiswaan dan perpusatakaan Fakulatas Hukum Universitas Sumatera Utara.

16

Ivan Rhesa: Hak dan Kewajiban Kapal Asing yang Melintas di Perairan Kepulauan Indonesia, 2005 USU Repository © 2006


(20)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari sumber – sumber hukum internasional yang termaktub dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yaitu: 17

a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states (Perjanjian – perjanjian internasional);

b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law (Hukum kebiasaan internasional);

c. thegeneral principles of law recognized by civilized nations (Prinsip – prinsip umum hukum internasional);

d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. (Putusan – putusan pengadilan internasional dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka).

Pasal 53 ayat (2) Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, menyatakan:

“Semua Kapal dan Pesawat Udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan demikian”

Disamping pengaturan hukum berdasarkan konvensi internasional, terdapat juga pengaturan hukum nasional mengenai hak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan Indonesia yaituPeraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002.


(21)

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut:

1. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah hak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan Indonesia.

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu: 18

a. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu:

Berbagai dokumen peraturan internasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai perangkat hukum internasionalnya dan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, uu No 4/Prp

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Kedua, (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986), hal. 15.


(22)

Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan sebagai perangkat hukum nasionalnya. b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative records) yaitu: Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang isuhak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan Indonesia yang ditinjau dari sudut pandang hukum internasional dan hukum nasionalnya seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.


(23)

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut: 19

a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir. b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran idealyang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I Bab I adalah Bab Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.

19

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 10-11.


(24)

Bab II Di dalam bab ini, dibahas tentang pengaturan alur laut kepulauan berdasarkan UNCLOS 1982 mulai dari penjelasan mengenai Negara Kepulauan, masalah alur-alur kepulauan, sampai dengan penerapan ALKI di perairan Indonesia.

Bab III Bab III membahas hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan. Pertama-tama, bab ini menjelasakan bagaimana Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. Kemudian bab ini membahas mengenai Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Kapal Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan.

Berikutnya membahas mengenai Rute Penerbangan di Atas Alur Laut Kepulauan dan dalam sub bab terahkir membahas Rute Penerbangan dalam UNCLOS 1982 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002.

Bab IV Bab ini membahas mengenai potensi ancaman di alur laut kepulauan Indonesia. Bab ini membahas tentang masalah pelanggaran wilayah akibat ditetapkannya alur laut kepulauan Indonesia. Kemudian bab ini juga membahas masalah penangkapan ikan secara illegal. Dan pada sub bab terahkir membahas mengenai masalah pencemaran lingkungan laut akibat di berlakukannya alur laut kepulauan Indonesia.

Bab V Bab ini adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran mencakup gagasan dan usulan dari penulis


(25)

terhadap permasalahan yang dibahas pada skripsi ini berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.


(26)

BAB II

PENGATURAN ALUR LAUT KEPULAUAN BERDASARKAN UNCLOS 1982

A. Negara Kepulauan

1. Lahirnya Konsepsi Negara Kepulauan

Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Replubik Indonesia mengeluarkan suatu Deklarasi mengenai wilayah Perairan Indonesia yang isinya sebagai berikut:

“Bahwa segala perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Replubik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Replubik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Replubik Indonesia.

Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Replubik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang. Jadi, lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mil yang diukur dari garis-garis pangkal (baseline) yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar.”

Inilah yang dinamakan Wawasan Nusantara, bahwa bangsa Indonesia menganut Wawasan Nusantara dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan keamanannya, sehingga diperoleh ketahanan nasional yang mantap yang juga akan berarti semakin kokohnya posisi kekuasaan Indonesia dalam hubungan internasional.20 Selanjutnya, Wilayah Replubik Indonesia merupakan paduan tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara daratan dan


(27)

lautan serta udara diatasnya. Konsepsi baru ini kemudian diperkokoh dengan Undang-undang No. 4 Prp. 1960. Jadi, dengan ketentuan hukum yang baru ini, seluruh kepulauan dan perairan Indonesia adalah satu kesatuan dimana dasar laut, lapisan tanah dibawahnya, udara diatasnya serta seluruh kekayaan alamnya berada di bawah kedaulatan Indonesia.

Undang-undang No.4 tahun 1960 ini, yang merupakan dokumen yuridik dasar dari kebijaksanaan kita tentang tentang perairan Indonesia, dilengkapi pula dengan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962 tentang lalu lintas damai kendaraan asing dalam perairan Indonesia dan Keputusan Presiden Replubik Indonesia No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia. Dapat dilihat isi ketentuan yang mengatur tentang peraiaran Indonesia sesuai Undang-undang No.4 Prp. Tahun 1960 yang antara lain :

1. Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta peraiaran pedalaman Indonesia.

2. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya Negara tepi garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.

3. Perairan pendalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar.21

4. Lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan asing.22


(28)

Jadi, ketentuan pokok Undang-undang No. 4 tahun 1960, ialah cara penarikan garis dasar yang sama sekali berlainan dengan cara tradisional. Selanjutnya bagi Indonesia tidak berlaku lagi cara penarikan garis air rendah (low-water line), tetapi penarikan garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar seluruh kepulauan Indonesia (straight baselines from point to point). Semua titik-titik terluar yang menghubungkan seluruh kepulauan Indonesia berjumlah 200 dan 196 garis lurus dan garis yang terpanjang terdapat pada nomor 60, lintang 02-38,5 U, bujur 128-33,5 T dengan jarak 122,7 mil di tanjung Sopi.

Hukum laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman.23 Di laut lepas terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, di laut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan di perairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan, bagi Indonesia karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesia agak sedikit berbeda dengan Negara-negara lain. Sesuai Undang-undang no 4 Prp tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.

Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak persoalan karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan di jamin oleh hukum internasioanl.24 Di laut wilayah perairan Indonesia, kapal semua Negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut territorial.25 Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pendalaman atas dua golongan:

22Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 Prp Tahun 1960.

23Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global),

Bandung: P.T Alumni, 2005, hal. 383.

24

Ibid.


(29)

1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan pendalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.

2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1960 merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal water.

Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing. Apa pula syarat-syarat yang harus dipenuhi agar lalu lintas itu dapat dikatakan damai? Pemerintah beranggapan bahwa yang dimaksud dengan damai ialah selama lintas itu tidak bertentangan dengan kepentingan Indonesia. Kalau lintas kapal asing itu akan membahayakan perdamaian, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan Indonesia, lintas tersebut tidak lagi dapat dianggap damai.26 Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat menjamin lintas tersebut atau meminta kapal-kapal asing tersebut meninggalkan laut wilayah dengan segera, kebijaksanaan sesuai dengan prinsip Pasal 30 Konvensi Hukum Laut.

Di bidang riset, sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 8, Pemerintah juga dan dalam hal ini Presiden, dapat memberikan izin kepada kapal-kapal asing untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan ilmiah di perairan Indonesia dengan syarat tidak merugikan kepentingan Negara. Bagi Indonesia menurut Pasal 7 Peraturan Pemerintah diatas, Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut dapat melakukan alur-alur (sealanes) untuk kapal-kapal perang dan kapal-kapal publik asing lainnya.

Mengenai kapal-kapal selam asing yang melalui laut wilayah Indonesia, sebagaimana praktek internasional umumnya dan juga seperti ditegaskan oleh Pasal 20 Konvensi 1982 diharuskan berlayar di atas permukaan laut dan menunjukan benderanya dan kalau tidak mematuhi ketentuan-ketentuan Pemerintah, maka pada kapal-kapal tersebut dapat diminta


(30)

untuk segera meninggalkan perairan Indonesia karena lintasnya sudah dianggap tidak damai lagi.

Di samping itu, sambil menunggu adanya alur-alur, Keputusan Presiden No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian izin belayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia,memberikan penjelasan bahwa kapal-kapal perang dan kapal-kapal public asing yang melakukan lintas damai di perairan Indonesia harus memberitahuakan terlebih dahulu pada Pemerintah.

Itulah ketentuan-ketentuan dalam garis besarnya yang dikeluarkan pemerintah, baik dalam bentuk undang-undang, pengumuman pemerintah, ataupun keputusan presiden, yang menentukan status hukum perairan Indonesia serta mengatur lalu lintas di perairan tersebut. Demikianlah berdasarkan pelaksanaan Undang-undang No.4 Prp Tahun 1960, Indonesia telah mengadakan perjanjian-perjanjian garis batas laut wilayah dengan Negara-negara tentangga seperti dengan Malaysia yang ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 17 maret 1970, mulai berlaku tanggal 8 Oktober 1971, dengan Australia mengenai garis batas tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini di Jakarta tanggal 12 Febuari 1973 dan dengan Singapura yang ditandatangani di Jakarta tanggal 25 Mei 1973 dan mulai berlaku tanggal 30 Agustus 1974.

2. Status Hukum Negara Kepulauan

Ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan definisi Negara Kepulauan dan Kepulauan, sebagai berikut :

a. “Negara Kepulauan”berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain;

b. “kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termaksud bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu


(31)

kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sedemikian.27

Dari uraian diatas tampak bahwa Negara kepulauan berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lainnya.Pengertian kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, peraian diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demukian eratnya, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Adapun yang disebut pulau yaitu daratan yang tampak di permukaan laut baik pada saat air surut maupun pada saat air laut pasang.

Dalam kaitan ini, G. Colombos menyatakan bahwa dapat tidaknya suatu gugusan pulau membentuk kepulauan, selain ditentukan oleh keadaan geografisnya, juga tergantung pada faktor sejarah dan factor-faktor lainnya.28

Istilah Negara kepulauan (archipelago state) telah dikenal sebelum KonvensiHukum Laut 1982.29 Tetapi konsepsi Negara kepulauan sebagai kaidah hukum laut internasional yang baru dan mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional, baru muncul setelah di tandatanganinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jarnaica.30 Dengan diterimanya prinsip Negara kepulauan sebagai salah satu lembaga dalam hukum laut internasional sebagaimana termuat dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982, maka masalah status hukum Negara kepulauan menjadi pasti.

27Pasal 46 KHL 1982. 28

Atje Misbach Muhjiddin, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung: Penerbit Alumni, 1993, hlm. 17.

29Lihat, Ali Nur,Azas Negara Kepulauan dan Konsekuensinya terhadap Aktualisasi Pengakuan

Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia,Taskap Kursus Singkat Angkatan VI, Jakarta : Lembacas, 1996, hal, 12, Istilah Archipelagic berasal dari istilah Bahasaitalia archipelagos, arci artinya penting atau terutama sedangkan pelagos artinya laut atau wilayah lautan, Sebelum istilah archipelagos tersebut lahir, naskah remi perjanjian antara Replubik Vonezza dan Raja Micael Palnelogus pada tahun 1268 mengenalnya sebagai “Aigaius Pelagos” yang berarti laut Aigaia yang dianggap sebagai laut terpenting, Dalam perkembangan selanjutnya pulau-pulau yang ada di dalam laut Aigaia dinamakan; Arc (h) ilago”, yang mengandung arti wilayah lautan dengan pulau -pulau di dalamnya.


(32)

Pasal 47 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa negara-negara yang berdasarkan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering dari pulau itu, dengan akibat bahwa kedaulatan Negara kepulauan luas hingga ke perairan yang tertutup karena penarikan garis pangkal lurus demikian, sampai ke ruang udara yang ada di atasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi syarat-syarat berikut ini harus terpenuhi:31

a. Garis pangkal harus mencakup pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara perairan dan daerah daratan adalah 1:1 dan 9:1.

b. Panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3 % dari jumlah keseluruhan garis pangkal dapat melebihi kepanjangan tersebut hingga pada suatu kepanjangan maksimun 125 mil laut.

c. Garis pangkal tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut.

d. Garis pangkal tersebut tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut , kecuali jika diatasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial.

e. Garis pangkal tidak boleh diterapkan dengan cara sedemikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

f. Apabila bagian perairan kepulauan terletak di antara dua bagian suatu Negara tetangga yang lansung berdampingan, hak-hak dan kepentingan-kepentingan sah Negara yang disebut terakhir, dan semua hak yang ditetapkan dengan perjanjian antara kedua Negara


(33)

akan tetap berlaku dan harus dihormati. Lebar laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen harus diukur dari garis pangkal .

3. Kedaualatan Negara Kepulauan di Perairan Kepulauan.

Dengan telah dimasukkannya Pasal 46 sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut 1982, perjuangan Negara kepulauan untuk menjaga kepentingan-kepentingan politik, keutuhan wilayah, ekonomi dan sosialnya telah mendapatkan dasar hukum dengan diakuinya kedaulautan Negara kepulauan di perairan kepulauan.32 Kententuan tersebut diatas merupakan penegasan lebih lanjut dari ketentuan pasal 2 ayat 1, yang menyebutkan bahwa : “ Kedaulatan suatu Negara Pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut territorial.”

Di satu pihak, ketentuan ini menunjukan bahwa perairan kepulauan, sebagaimana juga perairan pedalaman dan laut territorial, merupakan bagian dari wilayah perairan yang berada di bawah kedaulatan Negara kepulauan. Di lain pihak, meskipun perairan yang berada di bawah yuridiksi Negara kepulauan tersebut,terletak di sebelah dalam dari garis pangkal, status hukumnya berbeda dengan status hukum perairan pedalaman suatu Negara pantai biasa. Selanjutnya ayat (2) pasal ini menyebutkan bahwa kedaulatan Negara kepulauan meliputi seluruh wilayah perairannya, termaksud ruang udara diatasnya, dasar lautan tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dengan demikian kedaulatan Negara kepulauan itu dilihat dari luang lingkupnya tidak saja bersifat horizontal melainkan juga bersifat vertikal.33 Kedaulatan Negara di perairan kepulauan juga tidak dapat disamakan dengan di laut territorial, karena perairan kepulauan merupakan suatu konsep yang sui generis, yang menurut pasal 49 ayat 3 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab IV

32

Pasal 49 ayat (1) dan (2) KHL 1982.


(34)

dari konvensi ini. Meskipun bukan perairan pedalaman, perairan kepulauan mempunyai sifat laut territorial karena diakuinya lintas damai bagi kapal-kapal asing melalui perairan ini.34 Pengertian kedaulatan Negara atas perairan tidak sama dengan kedaulatan Negara atas daratannya yaitu karena adanya pasal-pasal lain yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengharuskan dihormatinya hak-hak yang ada dan kepentingan yang sah dari Negara-negara lain yang berkepentingan terhadap Negara kepulauan ini. Adapun ketentuan-ketentuan dari bab ini, yang secara praktis merupakan pembatasan terhadap kedaulatan Negara kepulauan itu adalah35:

a. Ketentuan tentang keharusan menghormati hak-hak dan kepentingan- kepentingan yang sah (the existing rights and legitimate interests) dari Negara-negara tetangga yang berbatasan.36

b. Ketentuan yang berkenaan dengan penghormatan atas persetujuan-persetujuan yang ada dengan Negara-negara lain, pengakuan hak-hak perikanan tradisional dan kegiatan-kegiatan yang sah lainya dari Negara-negara tetangga yang berdekatan serta kabel-kabel dasar laut yang ada.37

c. Ketentuan tentang hak lintas damai.38

d. Ketentuan tentang hak lintas melaui alur-alur laut kepulauan (archipelagic sea lanes passage).39

e. Ketentuan yang berkenaan dengan larangan untuk menghalangi pelayaran melaui alur-alur laut nusantara.40

34Etty R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982- Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung :

Abardin, 1991, hal. 174.

35Atje Misbach, loc. cit. 36Pasal 47 ayat (6) KHL 1982.

37Pasal 51 KHL 1982. 38Pasal 52 KHL 1982 39

Pasal 53 KHL 1982


(35)

Mengenai pembatasan Kedaulatan suatu Negara ini, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan41 bahwa hubungan suatu Negara- Negara atau hubungan internasional yang teratur tidak mungkin tanpa menerima pembatasan terhadap kedaulatan Negara yang menjadi anggota masyarakat itu. Tunduknya suatu Negara yang berdaulat atau tunduknya paham kedaulatan kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional demikian merupakan syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur.

4. Perjuangan Memperoleh Pengakuan Internasional atas Azas- azas Negara Kepulauan

Dengan Menghadapi Tantangan dari berbagai Negara maritim besar dan melawan hukum kebiasaan internasional (customary internasional law), Indonesia seperempat abad lamanya berjuang melalui saluran diplomasi untuk memperoleh pengakuan internasional atas “Azas -azas Negara Kepulauan (archipelagic state principles)”, azas-azas yang sangat penting artinya bagi bagi Indonesia dalam mewujudkan Wawasan Nusantara. Perjuangan itu dilaksanakan sejak dimaklumatkannya Pengumuaman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 sampai ahkirnya azas-azas tersebut diakui oleh masyarakat internasional dengan menampungnya di dalam Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang ditandatangani pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica.

Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia dan menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Sesuai dengan pengaturan yang terdapat didalamnya, Konvensi memberikan kepada Negara-negara kepulauan seperti Indonesia hak untuk menentukan alur-alur kepulauan bagi kapal-kapal asing yang ingin melintasi perairan kepulauan tanpa bermaksud


(36)

mengunjungi salah satu pelabuhan dari Negara kepulauan tersebut (archipelagic sealane passage).

Seperti halnya dalam memperjuangkan azas-azas Negara kepulauan, penentuan alur-alur ini diperkirakan akan merupakan masalah yang pelik karena persoalanya tidak saja penting artinya bagi pertahanan dan keamanan Negara, tetapi juga menyangkut kepentingan komunikasi vital banyak Negara, baik dari segi angkutan dan perdagangan internasional, maupun dari segi pertahanan dan keamanan global Negara-negara maritim besar. Sehubungan dengan itu guna mencapai kepentingannya dan sekaligus mencegah terjadinya benturan-benturan dengan masyarakat internasional secara tidak perlu, Indonesia perlu mengupayakan cara-cara terbaik dalam menentukan alur-alur kepulauan di perairan kepuluannya.

Sewaktu Kabinet Perdana Menteri Replubik Indonesia memaklumatkan Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Replubik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957, Pengumuman ini ditentang oleh berbagai Negara maritim besar, antara lain amerika Serikat, Inggris, Australia dan Belanda dengan alasan Bahwa tindakan Indonesia tersebut merupakan:

“A serious encroachment upon the freedom of the high seas” yang dapat mengancam “The freedom of navigation” serta bertentangan dengan hukum internasional.42

Inggris dalam nota diplomatiknya dengan tegas menyatakan bahwa negaranya akan tetap memandang laut-laut yang berada di sekitar pulau-pulau Indonesia sebagai laut-laut bebas.43 Timbulnya tantangan dari Negara-negara tersebut menyebabkan Indonesia pada ahkirnya

42Michael Leifer and Dolliver Nelson, “Conflict of Interests in the Strait of Mallaca”, Majalah

Internasional Affairs, vol, 49, No. 2, April 1973, hal. 200.

43“Keesing‟s Contemporary Archieves 1957

-1958”, Weekly Diary of world Events,(Bristol, England: Keesing Plubication Ltd),hal. 16043.


(37)

mengambil kebijaksanaan untuk tidak dengan segera mengkukuhkan deklarasinya dalam bentuk undang-undang.44

Disamping itu Peserikatan Bangsa-Bangsa telah merencanakan untuk Konferensi Hukum Laut I pada bulan Februari 1958, sehingga penangguhannya juga ditujukan untuk melihat lebih dahulu bagaimana reaksi dunia secara luas di dalam konferensi yang bersifat internasional itu.45

i. Konferensi Hukum Laut PBB Tahun 1958 dan II Tahun 1960

Himbauan kepada masyarakat Internasional yang intinya agar mengusulkan Negara-negara kepulauan seperti Indonesia dibenarkan untuk menarik batas-batas wilayahnya secara khusus disampaikan Indonesia untuk pertamakalinya pada Pertemuan Ketujuh Komite I Konperensi Hukum Laut PBB I Tahun 1958. Usul ini kemudian didukung oleh Yugoslavia dan Philippina serta kedua Negara itu mengajukan usul-usul mereka secara konkret berupa rancangan pasal-pasal mengenai (archipelagos) untuk melengkapi rancangan yang disiapkan oleh International Law Commission.46

Dukungan yang diberikan oleh Yugoslavia ternyata lebih menyulitkan dari pada membantu posisi Indonesia. Usul itu yang kemudian direvisi dan diajukan kembali oleh Denmark lebih mengutamakan pencapaian kepentingan Negara kontinental yang letaknya jauh dari pantainya (continental state with group of outlying islands) dan usul ini sudah jelas berbeda dengan konsep Negara kepulauan yang diajukan Indonesia. Sementara itu usul philippina dinilai terlampau umum, sehingga dikhawatirkan akan dapat disalahgunakan. Pemikiran mengenai kepulauan milik Negara kontinental telah lama dibicarakan tanpa hasil dalam sidang-sidang Institute de Droit Interntional Law Association Tahun 1924 dan 1926

44Etty R. Agoes, “ Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Masalah Peraturan Hak Lintas kapal Asing”,

Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Universitas Padjajaran, 1959, hal. 242.

45

Ibid.

46

Law of the Sea Commentary Project, Centre for Oceans Law and Policy,vol. II,(School of Law , University of Virginia, 1990), hal.Part 4/3.


(38)

serta The Hague Condification Conference of International Law Tahun 1930.47 Dibawanya kembali konsep yang telah lama dibicarakan dan ditolak didalam berbagai forum internasional menyebabkan perundingan mengenai mata acara “archipelagos” menjadi sangat kontroversial. Amerika Serikat, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa pemberian hak bagi kepulauan untuk menggunakan garis-garis pangkal lurus akan membahayakan prinsip kemerdekaan laut bebas.48

Akibatnya International Law Commision yang ditugaskan PBB untuk menyiapkan rancangan pasal-pasal guna dibahas dalam Konferensi tidak dapat mengajukan rancangan pasal-pasal mengenai kepulauan dan bahkan terpaksa mengeluarkan permasalahannya dari agenda persidangan dengan alasan bahwa seperti halnya The Hague Condification Conference of International Law tahun 1930, International Law Commision tidak dapat mengatasi kesukaran-kesukaran yang ada, terutama sekali karena :

a. Belum tercapainya persetujuan mengenai lebar laut territorial. b. Terlampau beragamnya bentuk kepulauan yang ada.

c. Kurangnya Informasi teknis mengenai permasalahan kepulauan.

Pada Konferensi Hukum Laut PBB II tahun 1960, Indonesia dan Philippina menyinggung kembali perundingan mengenai permasalahan kepulauan. Namun karena konferensi II ini khusus diadakan sebagai upaya untuk menyelesaikan dan mencapai kata sepakat mengenai lebar laut territorial, konferensi tidak membahas masalah kepulauan. Dari jalannya pembahasan pada Konperensi I dan II tersebut terdapat pelajaran yang sangat bermanfaat. Belum dapat diterimanya azas-azas Negara kepulauan pada saat itu karena ada dua faktor kendala yang sangat mengait. Faktor pertama besifat politis, sedangkan yang kedua bersifat teknis.

47The Law of the Sea, Archipelagic States, Legislative History of Part IV of the United Nation

Convention on the Law of the Sea .,( Office for Ocean Affairs and the Law of the Sea, United Nation., 1990), hal. 1.


(39)

Mengenai Faktor politis, masyarakat internasional pada waktu itu belum siap untuk menerima gagasan-gagasan baru guna mengatur laut. Pada Konperensi I dan II semangat yang ada masih sama dengan Konperensi Den Haag, yaitu sekedar untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional mengenai laut kedalam bentuk konvensi yang disetujui bersama. Sementara itu keadaan politik dan keamanan in ternasional juga tidak menunjang semangat untuk mengadakan pembaharuan karena semua Negara maritim besar sedang terlibat dalam perang dingin yang semakin memuncak. Di dalam keadaan seperti ini prinsip kebebasan berlayar menjadi sangat penting artinya bagi strategi global mereka masing-masing dan karenanya mereka gigih dalam mempertahankan konsep laut bebas. Bagi, kepentingan merek itu, lebih besar laut yang tidak tunduk pada yuridiksi nasional adalah lebih baik. Kegagalan untuk menetapkan lebar laut territorial merupakan bukti nyata dari kegigihan mereka mempertahankan kepentingannya.49

Dalam masalah teknis, baik Indonesia maupun Philippina dapat dikatakan kurang siap menghadapi konperensi. Di pihak Indonesia mungkin karena singkatnya waktua antara dimaklumatkannya Deklarasi Djuanda 1957 Replubik Indonesia tidak sempat melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan.Didalam persidangan Indonesia hanya menyampaikan himbauan agar Negara-negara kepulauan diberi hak untuk menarik wilayahnya secara khusus serta bersifat reaktif terhadap usul-usul Negara lain tanpa pernah mengajukan gagasannya secara konkret berupa rancangan pasal-pasal.

Tidak adanya Negara yang menyajikan kriteria objektif mengenai azas-azas Negara kepuluan dalam bentuk rancangan pasal-pasal untuk dikaji dalam perundingan, menimbulkan kesulitan bagi para peserta sidang guna menentukan Negara mana saja yang dapat dinyatakan sebagai Negara kepulauan dan berhak menarik wilayah perairannya secara khusus. Tanpa kriteria semacam itu dikhawatirkan tidak aka nada cara yang efektif untuk mencegah sebuah


(40)

Negara secara semena-mena menyatakan dirinya sebagai Negara kepulauan dan keadaan seperti ini dapat dipastikan akan lebih menimbulkan kekacauan dari pada ketertiban iternasional di laut.50

Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki tersebut peserta konperensi ahkirnya terpaksa menghentikan perundingan mereka tentang masalah kepulauan sampai adanya keterangan-keterangan yang teknis yang lebih lengkap.51

ii. Konperensi Hukum Laut PBB III Tahun 1974 – 1982

Memperoleh pengalaman yang sangat bermanfaat sewaktu menghadapi Konperensi I dan II, Indonesia dalam menghadapi Konperensi III mengadakan persiapan-persiapan secara cermat.Pemikiran-pemikiran untuk menciptakan suatu kriteria objektif guna menentukan Negara mana saja yang dapat dinyatakan sebagai Negara kepulauan dan usaha-usaha untuk membedakan masalah “kepulauan” dengan “Negara kepulauan” dikristalisasikan dengan langkah-langkah terpadu. Langkah-langkah ini tidak saja dilakukan di dalam lingkungan nasional berupa loka-karya dan rapat-rapat interdepartemental, tetapi yang lebih penting lagi Indonesia juga melakukannya di bidang diplomasi untuk menggalang kekuatan antar Negara-negara yang berpotensial menjadi Negara kepulauan. Untuk itu pada tahun 1972, dua tahun sebelum Konferensi dimulai, Indonesia, Filipina, Maurititus, dan Fiji mengadakan pertemuan guna merumuskan defenisi mengenai “Negara kepulauan” dan untuk menyusun strategi dalam menghadapi persidangan.

Sebagai upaya memperoleh dan menggalang dukungan yang luas bagi perjuangannya, Indonesia memprakarsai usaha agar organisasi Asia-Africa Legal Consultative Committee (AALCC) turut membahas masalah hukum laut. Pada sidang di Ghana tahun 1970, AALCC

50The Law of the Sea Commentary project, op. cit.,supra No. 5, hal. Part IV/4.

51Namun demikian peranan delegasi RI di Konperensi tidak dapat dikatakan sia-sia. Peranan Delegasi

Indonesia itu tidak saja dapat menarik perhatian dunia atas masalah kepulauan, tetapi juga bersama-sama Kanada berhasil menggagalkan usaha Inggris untuk membatasi garis-garis pangkal kepulauan maksimun sepanjang 15 mil. Jika usul ini diterima, hal itu jelas merugikan perjuangan Indonesia selanjutnya. Lihat saja Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1978, hal. 12-16.


(41)

menerima usulan Indonesia bahkan menjadikannya sebagai mata acara prioritas dalam sidang-sidang AALCC selanjutnya. Dalam kesempatan di sidang-sidang ini Indonesia kemudian memanfaatkan peluang yang tercipta untuk memperoleh dukungan.

Juga berbeda dengan sikap di masa lalu, Indonesia mengadakan langkah-langkah untuk mendekati negara-negara tetangganya. Diperkirakan bahwa jika pada tingkat regional saja Indonesia tidak berhasil memperoleh dukungan, maka usaha untuk memperoleh dukungan global akan lebih sulit lagi, terutama dari negara-negara maritim besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sejak sidang-sidang persiapan pada Komite Dasar Laut PBB menyatakan dengan tegas akan mempertahankan prinsip kemerdekaan laut bebas khususnya atas laut-laut yang selama ini digunakan sebagai jalur pelayaran internasional.

Fora bilateral juga tidak luput dari sasaran diplomasi Indonesia dalam memperkuat perjuangan untuk memenangkan pengakuan internasional atas azas-azas negara kepulauan. Dengan Australia, misalnya Indonesia merundingkan batas-batas landas kontinen dan di dalam perundingan itu Indonesia menerapkan azas-azas tersebut. Sebelum menghadapi sidang-sidang, Indonesia mengundang atau mengunjungi delegasi Negara-negara maritim besar untuk melakukan pembicaraan dan mengupayakan kata sepakat. Berbagai perjanjian bilateral diluar bidang hukum laut juga digunakan untuk menyelipkan “territorial clause” seperti di dalam perjanjian-perjanjian Percegahan Pajak Berganda, Riset dan Teknologi serta Narkotika. Forum-forum akademis di luar negeri bahkan juga dimanfaatkan oleh diplomasi Indonesia untuk mempengaruhi pendapat umum, para ahli, dan penasehat pemerintah negara-negara asing.

Di dalam persidangan, Indonesia memainkan peranan yang lugas namun taktis. Usaha Inggris untuk menambah kriteria-kriteria baru seperti masalah penentuan panjang maksimum garis-garis pangkal kepulauan, besarnya perbandingan antara wilayah air dan daratan, serta usul untuk menggantikan istilah “perairan pedalaman” menjadi “perairan kepulauan” bagi


(42)

laut-laut yang berada di sisi dalam garis pangkal kepulauan ditampung dan disesuaikan agar kriteria itu dapat diterapkan di Indonesia. Dengan persiapan dan pelaksanaan strategi seperti ini akhirnya sukar bagi masyarakat internasional untuk menolak pengakuan atas azas-azas ngara kepulauan.

B. Masalah Alur- alur Kepulauan

Sebagaimana keadaan sejak Indonesia memaklumatkan Deklarasi Djuanda 1957, masalah pelayaran internasional melalui perairan kepulauan merupakan masalah yang terpelik.Sementara itu keadaaan perundingan dapat dikatakan kurang menguntungkan karena dari semua Negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara kepulauan, hanya Indonesia dan Filippina yang secara gigih berkeinginan untuk mengatur pelayaran di perairan kepulauan. Negara-negara lain seperti Fiji dan Mauritius hanya bertujuan untuk berdaulat atas sumber-sumber alam di perairan kepulauannya masing-masing.52

Pada intinya permasalahan mengenai penentuan alur-alur kepulauan ini timbul dari dua pandangan (school of thought) yang berbeda. Pandangan pertama menilai bahwa karena sejarah perkembangan bangsanya dan keunikan bentuk geografis wilayahnya, maka negara kepulauan berdaulat secara mutlak di wilayah perairan tersebut.Kapal-kapal asing memang dibenarkan untuk berlayar di sana, namun hal itu semata-mata merupakan “Preveliges” yang diberikan oleh negara kepulauan. Undang-undang No. 4/PRP tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962 didasarkan pada pandangan ini.

Pandangan kedua berpendapat bahwa perairan tersebut pada mulanya adalah laut bebas dimana prinsip kebebasan berlayar berlaku dengan mutlak. Diperkenankanya negara


(43)

kepulauan untuk menarik batas wilayah perairannya secara khusus merupakan hak yang bersifat “optional” yang diberikan masyrakat internasional kepada negara kepulauan.53 Jika negara kepulauan berminat untuk menggunakan hak ini maka hak kapal-kapal internasional untuk berlayar di sana khususnya pada “routes customarily used for international navigation” harus tetap dihormat.54

Antara lain Uni Soviet, salah satu negara pertama yang mengakui Deklarasi Djuanda 1957, pada Konperensi III dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya penerimaan azas-azas negara kepulauan akan memberikan kepada Indonesia dan Philippina secara tidak adil bagian laut bebas sangat luas, namun Uni Soviet bersedia untuk menerima azas-azas tersebut asalkan dapat tercapai kompromi yang memuaskan mengenai hak lintas pelayaran internasional di dalam perairan kepulauan. Dukungan-dukungan yang bersyarat seperti ini hamper dinyatakan oleh semua peserta konperensi.55

Bab IV Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang mengatur mengenai negara kepulauan adalah hasil kompromi maksimal berupa suatu keseimbangan antara kepentingan negara kepulauan dengan kepentingan bagi navigasi internasional.56

Pada mulanya Indonesia mengusulkan agar pelayaran internasioanl di batasi pada alur-alur laut yang ditentukan oleh negara kepulauan dengan rejim hak lintas damai. Namun negara-negara maritime besar tidak dapat menerima usul ini dan Inggris kemudian mengajukan usul tandingan yang intinya membenarkan adanya dua rejim pelayaran melalui perairan kepulauan. Rejim pertama memberikan pada masyarakat internasional hak lintas pelayaran (transit passage) melaui “routes customarily used for international navigation”

53Walaupun terdapat suatu negara yang memenuhi kriteria yang sudah ditentukan, namun negara itu tidak

secara otomatis menjadi negara kepulauan. Negara itu baru menjadi negara kepulauan jika menerapkan pasal 47 ayat 1 Konvensi HukumLaut 1982. Perumusan pasal ini bersifat “optional” karena menggunakan kata “may”. Sebagai contoh Inggris dan Jepang secara geografis memenuhi persyaratan yang ada. Namun karena mereka tidak ingin menerapkan pasal 47 itu, maka mereka tidak dapat dikatakan sebagi negara kepulauan, Lihat “Law of the Sea Commentary Project”. Supra 5, hal. Part IV/8.

54Pandangan ini antara lain dianut oleh Inggris, Lihat “The Law of the Sea”, supra no. 6, hal. 41. 55

Ibid, hal 38-64.


(44)

dan rejim kedua memberikan hak lintas damai (innocent passage) di semua perairan kepulauan. Setelah melalui perundingan selama dua tahun tanpa kemajuan yang berarti, Bahamas yang kemudian turut menyatakan minatnya untuk menjadi negara kepulauan mengajukan usul-usul kompromi yang ternyata dapat mempengaruhinya jalannya perundingan selanjutnya dan ahkirnya para pihak yang berkepentingan dapat mencapai kata sepakat seperti yang tercantum didalam Pasal 53 Konvensi.57

Dengan adanya kriteria objektif untuk menentukan sebuah negara kepulauan dan dicapainya kesepakatan mengenai masalah alur-alur pelayaran kepulauan ahkirnya azas-azas negara kepulauan diakui oleh masyarakat internasional dengan menampungnya di dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982.

Dewasa ini Konvensi Hukum Laut tahun 1982 belum berlaku. Dari persyaratan 60 ratifikasi yang diperlukan untuk memberlakukannya, baru 48 negara yang meratifikasinya dan semuanya adalah negara-negara berkembang. Negara-negara maju tampaknya masih menunggu sikap Amerika Serikat yang dewasa ini hendak mengubah beberapa prinsi dari konvensi yang menyangkut penambangan dasar laut dalam.

Seperti disebut diatas dalam memperoleh pengakuan internasional dan guna menjamin dilaksanakannya azas-azas negara kepulauan, Indonesia senantiasa menyiapkan “territorial clause” ke dalam berbagai perjanjian bilateralnya dengan negara-negara lain. Dalam perundingan-perundingan yang bersifat bilateral ini juga terdapat kesan yang jelas bahwa mereka hanya mengakui penerapan azas-azas negara kepulauan sepanjang hal itu dilaksanakan sesuai dengan Konvensi Hukum Laut tahun 1982.58

Pasal 53 ayat 2 Konvensi 1982 menentukan bahwa perairan kepulauan, semua kapal dan pesawat udara mempunyai hak lintas alur alut kepulauan melalui alur laut kepulauan

57Ibid.

58Antara lain lihat “side letters” yang terdapat pada “

Convention between the Government of the Replubic of Indonesianand the Government of the United State of America for the Avoidance of Double

Taxation and the Prevetion of Fiscal Evasion with respect to Taxes on Income”. Keputusan Replubik Indonesia Nomor 44 tahun 1988.


(45)

yang ditetapkan dan rute udara diatasnya. Menurut pasal 53 ayat 3 lintas alur laut kepulauan adalah :

“Pelaksanaan sesuai dengan Konvensi hak-hak pelayaran dan lintas penerbangan dengan cara-cara yang normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus –menerus cepat dan tidak terhalang antara satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.”59

Selanjutnya berdasarkan pasal 44 (yang berlaku mutatis mutandis atas dasar pasal 54), Negara Kepulauan tidak boleh menghambat atau menghentikan lintas pelayaran alur laut kepulauan.

Defenisi tentang alur laut kepulauan tersebut sangat mirip dengan defenisi tengtang lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional. Kesamaan antara kedua rejim tersebut terutama terlihat dari kenyataan bahwa keduanya memuat prinsip bahwa lintas pelayaran tidak boleh dihentikan.Meskipun antara kedua rejim tersebut terdapat titik-titik persamaan, terdapat perbedaan yang penting yang mungkin tak begitu tampak.Seperti telah dikemukakan, pasal 53 ayat 3 Konvensi memberikan defenisi lintas pelayaran alur laut kepulauan sebagai “pelaksanaan……..hak-hak pelayaran dan lintas penerbangan………..”, sedangkan pasal 38 ayat 2 memberikan defenisi tentang lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional sebagai “pelaksanaan…...kebebasan pelayaran dan penerbangan……….” Tidak adanya kata ” kebebasan” (freedom) dalam defenisi tentang lintas pelayaran alur laut kepulauan mempunyai efek yuridis yang secara jelas membedakan lintas pelayaran alu)r laut kepulauan dari kebebasan laut lepas. Istilah “kebebasan pelayaran dan dan lintas penerbangan” dalam defenisi lintas transit menunjukan bahwa rejim lintas transit lebih dekat ke rejim kebebasan laut lepas. Rejim lintas alur laut kepulauan lebih jauh


(1)

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

Agoes, Etty R, Konvensi Hukum Laut 1982, Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung: Abardin, 1991.

Boston, Noel (ed), Reducing the Risk Oil Pollution in the Jurisdiction Seas of Indonesia, Jakarta: A Canada-Indonesia Co-Operation Project, 1994.

Danuredjo, Sumitro L. S., Hukum Internasional Laut Indonesia, Jakarta: Bhatara, 1971. Danusaputro, St., Munadjat, Hukum Pencemaran dan Usaha Merintis Pola Pembangunan Hukum Pencemaran Nusantara, Bandung: Litera, 1978.

Gold, Edgard, compensation for Ship-Source Marine Pollution: A Hypothetical Case Study, dalam Shipping, Energy and Enviroment: Shoutheast Asian Perspectives for the Eighties, Canada: the Dalhousie Ocean Programme, 1986.

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999.

Kusumaatmadja, Mochtar, Etty R. Agoes., Penghantar Hukum Internasional”, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan, Bandung: PT Alumni, 2003.

Kusumaatmadja, Mochtar, Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1978. ---, Konsepsi Hukum Negara Kepulauan pada Konperensi Hukum Laut ke-III, Jakarta: PT alumni, 2003.

---,Penghantar Hukum Internasional, Bandung: Binacipta, 1990.

---,Perkembangan Hukum Laut Indonesia Dewasa ini, dalam 50 tahun Pendidikan Hukum di Indonesia, Jakarta, 1974.

Kusumoprojo, Wahyono S, Beberapa Pikiran Tentang Kekuatan dan Pertahanan di Laut, Jakarta: Penerbit Surya Indah, 1979.


(2)

Mauna, Boer, Hukum Internasional ( Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global), Bandung: PT Alumni, 2005.

Muhjiddin, Atje Misbach, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung: PT Alumni, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Sri Manudji, Penelitian Hukum Normatif Cet. Kedua, Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986.

Starke, J.G, Penghantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 1989.

Suhaidi, Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran yang Bersumber dari Kapal (Konsekwensi Penerapan Hak Pelayaran Internasonal Melalui Perairan Indonesia), Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004.

Sumardiman Adi, Djiwohadi dkk, Wawasan Nusantara, Jakarta: Yayasan Harapan Nusantara, 1982.sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Suatu Penghantar, Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Tsamenyi, Martin, Heriman, Max, (ed), Rights and Responsibilities in the Maritime Environment: National and International Dilemmas, Australia: the University of Wollongong, 1996.

2. Jurnal

Agoes, Etty R,. “Beberapa Ketentuan Konvensi PBB Tentang Hukum Laut Tahun 1982

Yang Berkaitan Dengan Hukum Maritim”, Makala, Bandung, 1996.

---,Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Masalah Peraturan Hak Lintas


(3)

Ali Nur, Azas Negara Kepulauan dan Konsekuensinya Terhadap Aktualisasi Penegakan Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Taskap Kursus Singkat Angkatan VI, Jakarta: Lemhanas, 1996.

Cruz, Ronaldo S. Delta (ed), “The World Biletin, University of PPhilippines Law Centre: a Bulletin og the Institute of International Legal Studies”, Vol. 12 Nos. 5-6, Sept-Dec 1996.

Djalal, Hasjim, Masa depan Indonesia sebagai Negara Kesatuan: Ditinjau dari Hukum Laut dan Kelautan, Makala seminar, Jakarta, 2000.

---,”Penentuan “Sea Lanes” (ALKI) Melalui Perairan Nusantara

Indonesia”, Paper Pada Penataran Hukum Laut Internasional, Unpad, Bandung, 1996. Ello, Nicolas P, Penetapan Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)”, Majala TNI AL Cakrawala, 1999.

Hubla, Ditjen, Action Plan Penanggulangan Tumpahan Minyak, Jakarta, 1992.

Rhesa, Ivan, Hak dan Kewajiban Kapal Asing yang Melintas di Perairan Kepulauan Indonesia, USU Repository, 2005.

Keesing Contemporary Archieves, Weekly Diary of World Events, England: Keesing Publication Ltd, 1957.

Leifer, Michael and Dolliver Nelson., Conflict of Interest in the Strait of Mallaca”, Majalah International Affairs, 1973.

Rights and Freedom in International Waters”, Superintendent of document depart-ment of State Sullutin, Vol 86, 1986.

Setjen Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Kebijakan Pengaruh ALKI terhadap Ekonomi suatu Kawasan, Jakarta, 2005.

“Siaran Pers Menteri Luar Negeri RI mengenai Penetapan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)”, Jepang, KBRI-Ottawa, 2000.


(4)

Starastara, MR. C. P, Secretary General of the International Maritime Organization (IMO) to the 19th Annual Conference of the Law of the Sea Institute, Cardiff, 1985.

Tim Panja Dishidros, “Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)”, Mabes TNI AL, Jakarta, 1996.

The Law of the Sea, Archipelagic States, “Legislative History of part IV of the United

Nation Convention on the Law of the Sea”, United Nation Publication, New York, 1990. ---,Commentary Project, “Centre for Oceans Law and Policy”, School of Law, University of Virginia, Vol II, 1990.

Wisnumurti, Nugroho, Pengaruh Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 Terhadap Politik Luar Negeri Indonesia, TASKAP khusus Regular Angkatan ke-XXI Lembaga Pertahanan Nasional, 1985.

C. Internet

ACBPS & ADF (2014), Joint Review of Positioning of Vessels Engaged in Operation Sovereign Borders, dapat diakses pada: http://newsroom.customs.gov.au/release/joint-review-of-posiyioning-of-vessels-engaged-in-operation-sovereign-borders-is-completed (diakses pada 8 April 2014)

A.Gale, World DPGS Database for Dxers, dapat diakses pada: http://www.ndblist.info/datamodes/worldDPGSdatabase.pdf, ( diakses pada 1 Mei 2014)

Pelanggaran Australia Terhadap Perairan Indonesia, dapat diakses pada:


(5)

Produsen Ikan Terbesar, dapat diakses pada http://www.liputanislam.com/berita/produsen-ikan-terbesar/, (diakses pada 27 Juni 2014)

KBRI-Ottawa, (05-12-2000),

http://www.indonesia-ottawa.org/news/hot%20topics/ht98sep/ht-alki.htm.

Nuclear Shipments Maps, (18-07-2000), dapat diakses pada: http://www.nci.org/nci-wm-sea.htm.

Ocean and Law of the SeaConvention Overview, (14-06-2000), dapat diakses pada: http://www.un.org/depts/los/lesconv2.htm.

Safety of, and Right to Navigate, (02-04-2002), dapat diakses pada http://www.un.org/Depts/losiyo/safety-of-navigation.htm.

Wiji Nurhayat, Kerugian Akibat Illegal Fishing, dapat diakses pada: http://m.detik.com/finance/read/2014/12/01/152125/2764211/4/ (diakses pada 01 Desember 2014)

D. Dokumen-Dokumen dan Peraturan Perundang-undangan

Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, 1989.

International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1960 and 1974. United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982.

Statute of the International Court of Justice, 1945.

E. Peraturan Perundang-undangan

UU No. 4/Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia

UU No.5 Tahun 1973 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia


(6)

UU NO. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

Peraturan Pemrintah No. 36 Tahun 2000 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2000 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan

Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1978