1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adapun rumusan masalah yang ingin diteliti ialah: apakah terdapat hubungan yang bermakna antara
diabetes melitus dengan waktu untuk konversi kultur sputum pada pasien TB- MDR?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan DM dengan waktu untuk konversi kultur
sputum pada pasien TB-MDR 1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi DM pada pasien TB-MDR di RSUP H.
Adam Malik 2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi waktu untuk konversi kultur sputum
pada pasien TB-MDR di RSUP H. Adam Malik 3. Untuk menganalisis hubungan antara DM dengan waktu untuk konversi kultur
sputum pada pasien TB-MDR di RSUP H. Adam Malik
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat dirasakan melalui pelaksanaan dan publikasi penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Institusi pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada institusi pendidikan
kedokteran dan pelayanan kesehatan tentang hubungan antara diabetes melitus dan waktu untuk konversi kultur sputum pada pasien TB-MDR
2. Peneliti selanjutnya Penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi bagi peneliti selanjutnya
untuk melakukan penelitian sejenis di kemudian hari
Universitas Sumatera Utara
3. Masyarakat Penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat mengenai TB-MDR dan
hubungannya dengan DM 4. Penulis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai hubungan antara DM dengan waktu untuk konversi kultur sputum serta diharapkan
dapat menjadi langkah awal bagi penulis untuk melakukan penelitian- penelitian lainnya di kemudian
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Multidrug Resistant Tuberculosis TB-MDR
2.1.1 Definisi
Multidrug resistant tuberculosis TB-MDR adalah tuberkulosis akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap rifampisin dan
isoniazid INH dengan atau tanpa resistensi terhadap obat anti tuberkulosis OAT lainnya Sinaga, 2013. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang
sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara
umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi:
a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
b. Resistensi inisial ialah apabila tidak diketahui dengan pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan
Insidensi TB-MDR terus meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan TB pertama tahun 1943. Penggunaan rifampisin yang meluas pada awal tahun
1970-an mengakibatkan munculnya resistensi yang kemudian mengharuskan penggunaan pengobatan TB lini kedua Sinaga, 2013. Selain itu, kesalahan
petugas kesehatan dan ketidakpatuhan pasien selama pengobatan TB juga menjadi pencetus munculnya TB-MDR. Dengan kasus yang terus meningkat dan meluas
di berbagai negara, TB-MDR merupakan masalah global yang harus diatasi bersama Ormerod, 2005.
2.1.2. Epidemiologi
TB-MDR tersebar luas dengan frekuensi yang bervariasi di semua negara yang masuk dalam survei WHO pada tahun 2011. Sedikitnya 30 negara termasuk
Indonesia terdata sebagai negara dengan beban TB-MDR di atas 1.000 kasus. Negara-negara dengan beban TB-MDR tertinggi diantaranya India 66.000 kasus,
Universitas Sumatera Utara
China 61.000 kasus, dan Federasi Rusia 44.000 kasus. Sementara Indonesia berada di urutan ke-9 6.600 kasus WHO, 2013.
WHO melaporkan 3,5 dari kasus baru TB di seluruh dunia merupakan TB-MDR. Persentase lebih tinggi ditemukan pada kasus TB yang sudah mendapat
pengobatan sebelumnya, yaitu sekitar 20,5. Hasil survei memperkirakan ada sekitar 480.000 kasus berkembang di tahun 2013, dan 210.000 diantaranya
meninggal dunia WHO, 2014. Sementara itu, untuk cakupan pengobatan, WHO melaporkan 1 dari 5
pasien TB-MDR yang dideteksi tahun 2011 telah mendapatkan pengobatan. Data yang disajikan WHO menunjukkan masih rendahnya tingkat pengobatan TB-
MDR di negara-negara dengan beban TB-MDR tertinggi Gambar 2.2. WHO, 2013. Belarusia memiliki cakupan pengobatan TB-MDR tertinggi dengan
persentase 72 diantara 2000 kasus TB-MDR yang terdeteksi. Sementara persentase India 5 dan China 2 jauh berada di bawah negara-negara lain,
tak jauh berbeda dengan Indonesia 4 WHO, 2013.
.
Universitas Sumatera Utara
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
6 8
9 10
16 17
17 19
22 28
33 43
48 52
57 64
65 70
72
20 40
60 80
Angola 2000 DPR Korea 3500
Nigeria 3400 Afganistan 1100
China 61000 Myanmar 5500
Pakistan 10000 DR Kongo 3400
Indonesia 6600 India 66000
Kenya 3400 Thailand 2200
Mozambik 1800 Ethiopia 2000
Bangladesh 3800 Vietnam 3700
Azerbaijan 3400 Rep. Korea 1800
Nepal 1100 Filipina 11000
Uzbekistan 3000 Kirgiztan 1500
Federasi Rusia 44000 Rep. Moldova 1600
Ukraina 9500 Brazil 1100
Kazakhstan 8200 Peru 2100
Afrika Selatan 8100 Belarusia 2000
Gambar. 2.1. Diagram Persentase Perkiraan Kasus TB-MDR yang Mendapat Pengobatan pada Tahun 2011 jumlah perkiraan kasus TB-MDR tertulis di
sebelah nama negara WHO, 2013
2.1.3. Faktor Penyebab
TB-MDR pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat. Faktor penyebab resistensi OAT
terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain sebagai berikut PDPI, 2011.
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor Mikrobiologik a. Resistensi yang natural
b. Resistensi yang didapat c.
Amplifier effect d. Virulensi kuman
e. Tertular galur kuman MDR 2. Faktor Klinik
a. Penyelenggara kesehatan Keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak mengikuti pedoman Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis
obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin
atau INH Tidak ada guidelinepedoman
Tidak adakurangnya pelatihan TB Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan
pada suatu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama maka
“penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten
Organisasi program nasional TB yang kurang baik b. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama, lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan gagal sampai selesaikomplit
Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare
Universitas Sumatera Utara
Kualitas obat kurang baik misal pengunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavabilitas rifampisinnya berkurang
Regimendosis obat yang tidak tepat Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat yang terputus
c. Pasien PMO tidak adakurang baik
Kurangnya informasi atau penyuluhan Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang, dan lain lain
Efek samping obat Sarana dan prasarana transportasi yang sulittidak ada
Masalah sosial Gangguan penyerapan obat
3. Faktor Program a. Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
b. Amplifier effect c. Tidak ada program DOTS-PLUS
d. Program DOTS belum berjalan dengan baik e. Memerlukan biaya yang besar
4. Faktor HIVAIDS a. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
b. Gangguan penyerapan c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. Faktor Kuman Kuman M. Tuberculosis super strains
a. Sangat virulen b. Daya tahan hidup lebih tinggi
c. Berhubungan dengan TB-MDR
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Pemeriksaan Laboratorium
Drug Susceptibility
Testing DST
berperan penting
dalam mengidentifikasi dan mengobati pasien TB-MDR atau dengan risiko tinggi TB-
MDR WHO, 2014.
1. DST Fenotipik DST Konvensional Prinsip DST fenotipik ialah mengkultur bakteri bersama dengan OAT untuk
melihat adanya hambatan terhadap pertumbuhan bakteri. DST fenotipik dapat dilakukan secara langsung direct maupun tidak langsung indirect pada
medium padat ataupun cair. Pada metode langsung direct, satu set medium yang mengandung dan tidak mengandung OAT diinokulasikan secara langsung dengan
spesimen yang telah didekontaminasikan dan dijadikan konsentrat. Tes tidak langsung indirect membutuhkan pertumbuhan kultur murni dari spesimen, dilusi
dari isolat kemudian diinokulasikan ke medium yang mengandung dan tidak mengandung OAT. Tes tidak langsung indirect telah digunakan secara luas dan
saat ini digunakan sebagai standar referensi. 2. DST Genotipik
a. Xpert MTBRIF Xpert MTBRIF adalah pemeriksaan diagnostik molekuler menggunakan PCR
polymerase chain reaction untuk mengidentifikasi DNA Mycobacterium tuberculosis complex dan mutasi yang berkaitan dengan resistensi rifampisin
secara langsung dari spesimen sputum dalam waktu kurang dari 2 jam. Pemeriksaan ini memiliki tingkat sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan
kultur pada medium padat dan telah direkomendasikan WHO sebagai tes diagnostik awal untuk pasien dengan risiko TB-MDR yang tinggi.
b. Line Probe Assay LPA LPA molekuler memungkinkan deteksi yang cepat terhadap resistensi
rifampisin dengan atau tanpa isoniazid. LPA merupakan pemeriksaan berteknologi tinggi yang dapat memeriksa 12 spesimen sekaligus dan dapat
menyelesaikan berbagai tes dalam satu hari.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Penatalaksanaan
a. Kelompok OAT untuk Pengobatan TB-MDR
Jenis obat yang digunakan dalam pengobatan TB-MDR terbagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut PDPI, 2011.
Tabel 2.1. Kelompok OAT untuk Pengobatan TB-MDR
Kelompok 1 OAT lini 1. Etambutol E, Pirazinamid Z
Kelompok 2 Obat suntik. Kanamisin Km, Amikasin Am,
Kapreomisin Cm, Streptomisin S
Kelompok 3 Fluorokuinolon. Moksifloksasin Mfx, Levofloksasin
Lfx, Ofloksasin Ofx
Kelompok 4 Bakteriostatik OAT lini 2. Etionamid Eto, Protionamid
Pto, Siklosrin Cs, Terzidone Trd, PAS
Kelompok 5 Obat yang belum diketahui efektifitasnya. Klofazimine
Cfz, Linezoid Lzd, Amoksiclav Amxclv, Tiosetazone Thz, Imipenemcilastin Ipmcln, H dosis
tinggi, Klaritromisin Clr
PDPI, 2011
Universitas Sumatera Utara
b. Strategi Pengobatan
Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Di bawah ini beberapa strategi
pengobatan TB-MDR PDPI, 2011. a. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey DRS dari populasi pasien
yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan
regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
b. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi
representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
c. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Regimen standar TB-MDR di Indonesia adalah: 6Z-E-Kn-Lfx-Eto-Cs18Z-E-Lfx-Eto-Cs
Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin
Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.
2.1.6. Evaluasi Pengobatan dan Konversi Kultur Sputum
Evaluasi pengobatan dilakukan secara ketat untuk menilai tanda-tanda kegagalan pengobatan. Evaluasi terhadap respon pengobatan dilakukan melalui
anamnesis rutin, pemeriksaan fisik, foto toraks dan pemeriksaan laboratorium. Gejala-gejala klasik TB
– batuk, produksi sputum, demam dan berat badan menurun - secara umum mengalami perbaikan dalan beberapa minggu pertama
WHO, 2014. Temuan paling penting yang menandakan adanya perbaikan TB maupun
TB-MDR ialah konversi kultur sputum. Perubahan kultur sputum yang semula
Universitas Sumatera Utara
positif Mycobacterium tuberculosis menjadi negatif setelah fase pengobatan merupakan salah satu indikator keberhasilan pengobatan TB maupun TB-MDR.
Kultur sputum dinyatakan telah konversi bila pemeriksaan kultur sputum yang dilakukan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil
yang negatif. Tanggal pertama pengambilan spesimen kultur dengan hasil konversi negatif dijadikan tanggal konversi. Pemeriksaan kultur sputum dilakukan
setiap bulan selama fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan WHO, 2014.
Pada manajemen TB-MDR, penggunaan obat injeksi suntik, peralihan dari fase intensif ke fase lanjutan dan penentuan keberhasilan pengobatan
bergantung pada status mikrobiologi dari kultur sputum pasien. Konversi kultur sputum dini telah terbukti secara luas menunjukkan keberhasilan pengobatan baik
pada kelompok sensitif maupun resisten OAT. Konversi kultur sputum setelah 2 bulan pengobatan dilaporkan secara luas sebagai prediktor kuat dan indikator dini
dari keberhasilan pengobatan pada TB sensitif OAT. Hal yang sama juga ditemukan pada kelompok TB-MDR, hasil pengobatan yang lebih baik didapatkan
dari pasien TB-MDR yang berhasil mengalami konversi kultur sputum setelah 2 bulan Basit et al., 2014.
2.2. Hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus
2.2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, saraf, ginjal, jantung dan pembuluh darah Purnamasari, 2009.
Pada tahun 2014, diperkirakan 9 dewasa ≥18 tahun di seluruh dunia menderita diabetes WHO, 2015. Sementara di Indonesia, proporsi penduduk
≥15 tahun dengan diabetes melitus DM adalah 6,9 Riskesdas, 2013.
Universitas Sumatera Utara
Diperkirakan terdapat 8,4 juta kasus DM di Indonesia pada tahun 2000, dan akan berkembang menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 Wild, 2004.
Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas
DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurut tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM, lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pria dan pruritus vulva wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan
glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada Tabel 2.2. Purnamasari, 2009.
Tabel 2.2. Kriteria diagnostik DM 1.
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mgdL 11.1 mmolL Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir 2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mgdL 7,0 mmolL Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mgdL 11,1 mmolL TTGO
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Purnamasari, 2009
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Epidemiologi Tuberkulosis disertai Diabetes Melitus
Tuberkulosis dan diabetes melitus sama-sama diketahui sebagai penyakit yang menimbulkan beban global yang besar. Sekitar sepertiga penduduk dunia
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan 10 diantaranya akan mengidap TB aktif sepanjang hidupnya. Pada saat yang sama, dunia juga menghadapi
peningkatan prevalensi diabetes bersama dengan penyakit tidak menular lainnya Skowronski et al., 2013. Meningkatnya prevalensi kedua penyakit tersebut
diikuti dengan meningkatnya kasus yang diakibatkan oleh asosiasi diantara keduanya. Diperkirakan 10 kasus infeksi TB di seluruh dunia berkaitan dengan
diabetes dan kondisi tersebut meningkatkan risiko terkena infeksi TB sebesar 2-3 kali serta risiko meninggal selama dalam pengobatan dibandingkan dengan tanpa
diabetes WHO, 2011. Sebagai negara dengan prevalensi TB tertinggi ke-3 di dunia WHO,2015
serta tertinggi ke-5 untuk prevalensi DM IDF, 2014, Indonesia menghadapi begitu banyak kasus TB yang dicetuskan maupun diperberat oleh keadaan
penyakit kronis pada pasien-pasien DM. Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menemukan riwayat DM tipe 2 pada 13,3 pasien TB. Penelitian
tersebut menyatakan adanya hubungan yang kuat antara TB dan DM di Indonesia Alisjahbana et al., 2006.
2.2.3. Pengaruh Diabetes Melitus terhadap Infeksi Tuberkulosis
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengarah pada berbagai komplikasi, diantaranya penyakit vaskular, neuropati, dan rentannya terkena
infeksi termasuk infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis melalui berbagai mekanisme. Mekanisme yang terlibat meliputi kondisi yang
memang secara langsung berkaitan dengan diabetes yaitu hiperglikemia dan insulinopenia seluler, juga kondisi yang secara tidak langsung disebabkan oleh
diabetes yaitu terganggunya fungsi makrofag dan limfosit yang menyebabkan menurunnya kemampuan tubuh dalam melawan organisme infektor Dooley et
al., 2009.
Universitas Sumatera Utara
Sel efektor yang terpenting untuk melawan tuberkulosis adalah fagosit makrofag alveolar dan monosit prekursornya dan limfosit. Diabetes diketahui
mempengaruhi kemotaksis, fagositosis, aktivasi, dan presentasi antigen oleh fagosit sebagai respon terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis. Pada pasien
diabetes, kemotaksis monosit juga terganggu, dan gangguan ini tidak dapat diperbaiki dengan insulin Dooley et al., 2009. Percobaan yang dilakukan pada
mencit menunjukkan hasil bahwa mencit yang telah dijadikan mencit diabetes kronis memiliki beban bakteri yang lebih tinggi dibandingkan kontrol yang
normoglikemia ketika diinfeksikan dengan Mycobacterium tuberculosis. Ekspresi sistem imun adaptif tertunda pada mencit dengan diabetes kronis, ditandai dengan
berkurangnya produksi IFN- γ pada fase awal infeksi di paru-paru dan sedikitnya
jumlah MTB antigen ESAT-6 responsive T-cell dibandingkan dengan mencit kontrol dalam satu bulan pertama infeksi Martens et al., 2007.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional