Diabetes Melitus Hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus

positif Mycobacterium tuberculosis menjadi negatif setelah fase pengobatan merupakan salah satu indikator keberhasilan pengobatan TB maupun TB-MDR. Kultur sputum dinyatakan telah konversi bila pemeriksaan kultur sputum yang dilakukan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil yang negatif. Tanggal pertama pengambilan spesimen kultur dengan hasil konversi negatif dijadikan tanggal konversi. Pemeriksaan kultur sputum dilakukan setiap bulan selama fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan WHO, 2014. Pada manajemen TB-MDR, penggunaan obat injeksi suntik, peralihan dari fase intensif ke fase lanjutan dan penentuan keberhasilan pengobatan bergantung pada status mikrobiologi dari kultur sputum pasien. Konversi kultur sputum dini telah terbukti secara luas menunjukkan keberhasilan pengobatan baik pada kelompok sensitif maupun resisten OAT. Konversi kultur sputum setelah 2 bulan pengobatan dilaporkan secara luas sebagai prediktor kuat dan indikator dini dari keberhasilan pengobatan pada TB sensitif OAT. Hal yang sama juga ditemukan pada kelompok TB-MDR, hasil pengobatan yang lebih baik didapatkan dari pasien TB-MDR yang berhasil mengalami konversi kultur sputum setelah 2 bulan Basit et al., 2014.

2.2. Hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus

2.2.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, saraf, ginjal, jantung dan pembuluh darah Purnamasari, 2009. Pada tahun 2014, diperkirakan 9 dewasa ≥18 tahun di seluruh dunia menderita diabetes WHO, 2015. Sementara di Indonesia, proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes melitus DM adalah 6,9 Riskesdas, 2013. Universitas Sumatera Utara Diperkirakan terdapat 8,4 juta kasus DM di Indonesia pada tahun 2000, dan akan berkembang menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 Wild, 2004. Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurut tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM, lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pria dan pruritus vulva wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada Tabel 2.2. Purnamasari, 2009. Tabel 2.2. Kriteria diagnostik DM 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mgdL 11.1 mmolL Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir 2. Atau Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mgdL 7,0 mmolL Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam 3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mgdL 11,1 mmolL TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air Purnamasari, 2009 Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Epidemiologi Tuberkulosis disertai Diabetes Melitus