BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA
A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya
Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat
desakelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-Peraturan atau Undang-Undang
yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.
Sejak Tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di Indonesia diatur oleh perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Belanda.
Sebenarnya pada tahun 1965 tentang Desapraja yang menggantikan perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda yang disebut Inlandsche
Gemeente Ordonantie IGO dan
Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten IGOB. Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlaku lagi dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
dalam prakteknya tidak berlaku walaupun secara yuridis undang-undang
tersebut masih berlaku hingga terbentuknya undang-undang yang baru yang mengatur Pemerintahan Desa.
1
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Pemerintah Desa diatur dengan:
a. Inlandsche Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura Staatblad
1936 No.
83 Inlandsche
Gemeente Ordonnantie
Buitengewesten yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura Staatblad 1938 No. 490 juncto Staatblad 1938 No. 81
b. Indische Staatsregeling IS pasal 128 ialah landasan peraturan yang menyatakan tentang wewenang warga masyarakat desa untuk memilih
sendiri kepala desa yang disukai sesuai masing-masing adat kebiasaan setempat.
c. Herzein Indonesisch Reglement HIR dan Reglemen Indonesia Baru RIB isinya mengenai Peraturan tentang Hukum Acara Perdata dan
Pidana pada Pengadilan-Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura. d. Sesudah kemerdekaan peraturan-peraturan tersebut pelaksanaannya harus
berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan
Rembuk Desa dan sebagainya.
2
1
HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Rajawali Pers. Jakarta 1993. h. 11.
2
Ibid h. 11.
Memang sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 maka tidak ada peraturan Pemerintah Desa yang seragam di seluruh Indonesia, misalnya
ada yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura dan ada pula yang berlaku di luar Jawa dan Madura. Hal ini kurang memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat
tumbuh dan berkembang ke arah kemajuan yang dinamis. Sulit memelihara persatuan dan kesatuan nasional, sulit memelihara integritas nasional dan sulit untuk pembinaan
masyarakat yang bersifat terbuka terhadap pembangunan. Adapun Dasar Hukum dalam Pemerintahan Desa yaitu subsistem daripada Sistem
Pemerintahan Daerah. 1. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 18: Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: I.
Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eendheidsstaat maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga,
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
Di daerah-daerah
yang bersifat
otonom Streek
dan locale
rechtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan
daerah oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volkgemenschappen daerah dan kelompok masyarakat adat seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-
daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa pemerintah
diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekosentrasi di bidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut diatas maka
dalam undang-undang ini dengan tegas dinyatakan adanya Daerah Otonom
dan Wilayah Administratif.
3
Dalam model ini jelas terlihat bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia menghendaki penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Partisipasi menjadi konsep penting karena masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.
4
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah
yang dalam undang-undang ini dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan wilayah
yang dibentuk berdasarkan asas dekosentrasi disebut wilayah Administratif yang dalam undang-undang ini disebut wilayah. Wilayah-wilayah disusun
secara vertikal yang merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan
wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaran pemerintahan.
5
3
M.R. Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem. Bayu Media Publishing. Malang 2007. h. 3
4
Ibid. hal.3 .
5
Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta. 1991. h. 11.
Asas-asas Penyelenggaran Pemerintahan a. Umum
Di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi dan dekosentrasi dalam
menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Tetapi di samping asas desentralisasi dan asas dekosentrasi undang-undang ini juga
memberikan dasar-dasar penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan.
6
b. Desentralisasi Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah
dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya.
Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah baik yang
menyangkut penentuan
kebijaksanaan, perencanaan,
pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya.
6
Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan Dalam Al-Qur’an, Bumi Aksara, Jakarta. h. 287.
Demikian pula perangkap pelaksanaannya adalah perangkat daerah desa itu sendiri yaitu terutama Dinas-Dinas Daerah.
7
c. Dekosentrasi Oleh karena itu semua urusan pemerintahan dapat diserahkan
kepada Daerah menurut asas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh
perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan Pemerintah kepada pejabat-
pejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan,
pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaannya adalah terutama instansi-instansi vertikal yang dikoordinasikan
oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan urusan dekosentrasi
tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
8
d. Tugas Pembantuan Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintah
dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi beberapa urusan Pemerintahan masih tetap merupakan urusan
7
Moh. Kusnardi Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Penerbit Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005. h. 207.
8
Ibid h. 207.
Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintahan Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan
pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekosentrasi, mengingat terbatasnya
kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di Daerah. Dan juga ditinjau dari segi dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat
dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di Daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah
karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula mengingat sifatnya sebagai urusan sulit
untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Atas dasar pertimbangan-
pertimbangan tersebut maka undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk dilaksanakan berbagai urusan pemerintahan di
daerah menurut asas tugas pembantuannya. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
a. Pasal 2, Desa 1 Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah
penduduk dan syarat-syarat lain yang ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
2 Pembentukan nama, batas, kewenangan, hak dan kewajiban Desa ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri. 3 Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa diatur
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. 4 Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat 2 baru berlaku sesudah ada
pengesahan dari pejabat yang berwenang. Syarat-syarat pembentukan, pemecahan dan penghapusan Desa dalam undang-
undang ini akan ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, sedangkan pelaksanaan diatur dengan dengan Peraturan Daerah yang baru sesudah ada
pengesahan dari pejabat yang berwenang. Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a Faktor manusiajumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor sosial budaya termasuk adat-istiadat.
b Faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah keseimbangan antara organisasi luas wilayah dan pelayanan.
b. Pasal 22, Kelurahan 1 Dalam Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya,
Kota Administratif dan kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dapat dibentuk Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b.
2 Kelurahan yang dimaksud dalam ayat 1 dibentuk dengan memperhatikan syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat luas wilayah, jumlah
penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
3 Pembentukan nama dan batas kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
4 Ketentuan tentang pemecahan, pengaturan dan penghapusan kelurahan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
5 Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat 3, berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang.
B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa