Kajian hukum islam tentang peranan pemerintah desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum : studi kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor

(1)

(Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD NURALIF NIM: 106045201520

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Islam Tentang Peranan Pemerintah Desa Dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan Dan Kesejahteraan Umum (Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor)” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana

Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah

(Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :


(3)

ii

Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas waktu dan solusinya selama ini.

3. Bapak Iding Rasyidin S.Ag., M.Si., sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Heldi, M.P.d., sebagai Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan beliau yang sangat berarti.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berate bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas perihal Islamic Legal Politics (Siyasah Wal Qanun).

6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan

referensi buku-bukunya.

7. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah

Tahun Akademik 2006-2007, Ade, Apri, Asriyah, Bangkit, Deni, Dinda, Eri, Esha, Eca, Mufti, Ridwan, Yudha, Atiqoh, Naziah, Lina, Imran, Dian,


(4)

iii

8. Kakakku Husna Nurafiah S.P.d.I dan Abdul Mutaqien AMd., adikku Robiatun Nurasyiyyah, terima kasih atas segalanya.

Last but not least, penulis memohonkan ampunan kepada Allah Robbil Izzati terkhhusus untuk orang tua Penulis Ahmad Sulthoni (alm) semoga Allah senantiasa melimpahkan magfirahNya di alam sana dan menjadikan kuburnya Raudhah min riyadhil jinan terlebih ibunda tercinta Emay Sumarni terima kasih atas kasih sayang dan ketabahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah S1 di kampus bersejarah ini. Terakhir penulis berdo’a kepada Allah semoga ilmu yang telah kita

dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT. Amien.

Jakarta, 20 Juni 2010 M


(5)

iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis ... 8

E. Kerangka Konsepsional ... 9

F. Metode Penelitian ... 12

G. Review Studi Terdahulu ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya ... 20

B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa ... 29

C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa ... 35

D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan... 39

BAB III KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor... 44

B. Hubungan Pemerintahan Desa sebagai Unit Ulil Amri yang terkecil Dalam Al-Qur’an... 54

C. Kedudukan Pemerintah Desa Dan BPD Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan... 56


(6)

v

A. Sumber-Sumber Pendapatan Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan Menurut Hukum

Islam Dan Peraturan Perundang-undangan... 73

B. Penilaian Hukum Islam Terhadap Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan... 84

C. Analisis Hasil Penelitian Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor ... 92

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 99

B. Saran-saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA... 102


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan pada hakikatnya adalah usaha peningkatan taraf hidup manusia ke tingkat yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih nyaman, lebih enak dan lebih tentram serta lebih menjamin kelangsungan hidup dan penghidupan di masa yang akan datang. Dengan demikian usaha pembangunan mempunyai arti humanisasi atau usaha memanusiakan manusia.1 Pembangunan dari dan untuk manusia seutuhnya, berarti manusia sebagai subjek dan sekaligus objek pembangunan, berusaha menciptakan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hidupnya, dimulai dari lembaga tinggi Negara seperti Presiden sampai ke tingkat Daerah dan Desa.

Pembangunan sebagai usaha memanusiakan manusia pada hakikatnya juga merupakan usaha yang mempunyai makna etik, hukum, serta nilai ajaran agama baik dalam tujuan yang ingin dicapai maupun dalam cara pelaksanaan usaha mencapai tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, bukan hanya tujuan pembangunan yang harus sesuai dengan nilai-nilai etik dan ajaran agama. Akan tetapi juga cara mencapai tujuan pembangunan itu, jika nilai-nilai etik dan ajaran agama tidak melekat dalam proses pembangunan maka pada gilirannya akan mengakibatkan

1

Machnun Husein, Etika Pembangunan Dalam Pemikiran Islam di Indonesia, (Rajawali Pers. Jakarta. 1986). h.1.


(8)

lahirnya tindakan yang bersifat dehumanistik, atau merusak kemanusiaan. Oleh sebab itu, disinilah pentingnya peran Pemerintah dari tingkat yang paling atas yaitu Presiden, Menteri-Menteri sampai ke tingkat Pemerintahan Desa dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum.

Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan saat ini telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pula tentang desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan saat ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa desa tidak lagi merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah kabupaten sehingga setiap warga desa berhak berbicara atas


(9)

kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya.2

Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal berdirinya pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan sistem desentralisasi.3 Para Pendiri Negara telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia yang tujuannya jelas tercantum pada alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

“…….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.4

Untuk mencapai maksud itu para pejabat di daerah-daerah membantu penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kesejahteraan Sosial melalui pembangunan daerah, karena daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi.

2

HAW. Widjaja,Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, (Rajawali Pers. Jakarta. 2003). h. 16.

3

Trianto, & Titik Triwulan, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan. (Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. 2007). h.140.

4

Amandemen I, II, III, IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. (Penerbit Pustaka Agung Harapan . Surabaya. 2004). h. 2


(10)

Dalam perkembangannya tugas pembantuan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur secara garis besarnya saja, seperti ditegaskan dalam penjelasannya, bahwa:

...Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis besar sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggaraan Negara. Lebih-lebih hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut.5

Penjelasan tersebut diatas cukup bijaksana, karena Undang-Undang Dasar 1945 memang menghendaki hal-hal yang diatur didalamnya hanya memuat aturan-aturan pokok saja, sedangkan hal-hal yang memerlukan pengaturan lebih rinci diserahkan kepada Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, sehingga prakteknya di desa dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa, Kepala Desa melaksanakan kewenangan hak dan kewajiban selaku Pimpinan Pemerintahan Desa yaitu Menyelenggarakan Rumah Tangga sendiri dan merupakan tanggung jawab utama dibidang Pemerintahan Umum termasuk didalamnya Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan umum sesuai dengan

5

Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah. (Pustaka Bani Quraisy. Bandung. 2005). h. 116.


(11)

peraturan perundang-undangan yang berlaku juga menumbuhkan jiwa gotong-royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut diatas, Kepala Desa dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, Kepala Dusun/Unsur Wilayah, Unsur Pelaksana Teknis dan bermitra secara sejajar dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selaku Legislatif di tingkat Desa. Namun pada implementasinya, hakikat dan makna serta tujuan dan sasaran pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan belum dapat direalisasikan secara utuh, hal ini misalnya yang terjadi di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung yang sampai saat ini pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaan pembangunannya, sehingga dalam hal inilah yang mendorong rasa ingin tahu penulis menemui jawaban atas permasalahan tersebut dengan meneliti tentang Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum kemudian ditinjau dari aspek hukum Islam, dan ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:

“KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PERANAN PEMERINTAH DESA

DAN BPD DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN

KESEJAHTERAAN UMUM (STUDI KASUS DESA PEMAGARSARI


(12)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada peraturan perundang-undangan serta kajian Hukum Islam mengenai peranan Pemerintah Desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum (Studi kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor).

2. Perumusan Masalah

Melihat judul skripsi tersebut dan latar belakang permasalahan seperti terurai diatas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap penting yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini.

Diantara rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari?

2. Apa Sajakah Yang Menjadi Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari?

3. Bagaimanakah Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan?


(13)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas sosial, agama serta pertumbuhan ekonomi khususnya dalam ruang lingkup desa setelah diberlakukannya otonomi daerah dengan seluas-luasnya serta tinjauan hukum Islam terhadap Pemerintahan Desa. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari.

2. Mengetahui Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari.

3. Mengetahui Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.

2. Manfaat Penelitian

Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang kajian Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan mengenai proses berjalannya kinerja Pemerintah Desa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam masalah pembangunan struktur dan infrastruktur serta kesejahteraan umum setelah diberlakukannya otonomi daerah yang seluas-luasnya oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan asas tugas pembantuan (medebewind). Di samping itu


(14)

penulis ingin mengetahui secara mendalam mengenai pertimbangan dan kebijakan serta langkah-langkah yang diambil oleh penyelenggara Pemerintahan Desa dalam proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum.Adapun manfaat yang ingin dicapai penulis yaitu:

1. Mendapatkan pengetahuan tentang ilmu pemerintahan yang secara spesifik membahas tentang desa sehingga penulis dapat mengetahui program-program yang dilakukan oleh desa untuk melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.

2. Dan mudah-mudahan hasil dari penelitian ini juga dapat menambah khazanah keilmuan Ketatanegaraan yang secara spesifik membahas tentang tinjauan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Desa.

D. Kerangka Teoritis

Secara teoritis etika pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila, yang dibangun atas realitas Keindonesiaan yang sudah sekian abad lamanya bersemayam dalam dada bangsa Indonesia, yaitu realitas kemajemukan sosial, budaya dan agama. Adapun sumber nilai-nilai dalam Pancasila itu sendiri sesungguhnya adalah agama. Oleh karena itu, dalam menghadapi proses pembangunan yang senantiasa mengalami perubahan terus menerus ini, etika agama diharapkan dapat memberikan sumbangan amat berharga dalam rangka memelihara dan menjaga keseimbangan dalam etos pembangunan.


(15)

Dalam kaitan ini tampak bahwa etika agama sesungguhnya merupakan pendukung etika Pancasila itu. Dan didalam hubungannya dengan pembangunan manusia seutuhnya panggilan etika agama dalam rangka memperkuat etika Pancasila terasa sangat penting.

Tanpa bermaksud memitoskan mayoritas, tentunya etika Islam mempunyai kedudukan dan peranan yang amat penting untuk menumbuhkan dan memperkokoh etika Pancasila, yang sekaligus merupakan dasar dan filsafat pembangunan. Pada saat kita menghadapi pembangunan, yang digambarkan sebagai awal perwujudan yaitu masyarakat makmur, adil dan sejahtera yang mana dengan ketaatan kepada Allah SWT dan RasulNya serta ketaatan Kepada Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat al-Nisa Ayat 59 yang berbunyi:















































































Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada pemangku kekuasaan (pemimpin, guru) diantaramu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu (urusan), kembalikanlah ia pada (kitab) Allah dan (Sunnah) Rasul, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya. (Q.S. al-Nisa: 59)


(16)

Ahmad Musthafa Al-Maraghi mengomentari ayat ini sebagai berikut: ”Taatilah

Allah dan beramalah dengan berpedoman kitab Allah; dan taatilah Rasul, karena sesungguhnya Dialah yang menerangkan kepada manusia tentang apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Sesungguhnya telah berlaku ketentuan Allah itu,

bahwa para Rasul itu bertugas untuk menjalankan syari’at Allah untuk mereka yang

beriman, dan juga para Rasul itu bertanggungjawab menjaga orang-orang yang beriman. Karena itu, Allah mewajibkan atas kaum Muslimin untuk menaati Rasul.

Pengertian taatilah Ulil Amri adalah para penguasa ahli-ahli hukum, para ulama, panglima-panglima, para pemimpin dan para zu’ama. Mereka ini mampu

mengembalikan manusia kepada ketentuan-ketentuan yang dibawa oleh Rasul dalam seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang menyeluruh. Apabila Ulil Amri telah bermufakat menentukan suatu peraturan, rakyat wajib untuk menaatinya dengan syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan RasulNya, yang telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka (Ulil Amri) adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan dalam menentukan kesepakatan mereka.6

Dalam realitasnya, pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum tidak terlepas oleh kinerja pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang dibantu pelaksanaannya dengan asas tugas pembantuan

6

Abdul Qodir Jaelani,Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995). h. 92.


(17)

pemerintah pusat kepada daerah dan desa, sehingga pembangunan di tingkat nasional banyak dipengaruhi oleh faktor kinerja pemerintahan daerah dan desa. Oleh karena itu, perkembangan dan pertumbuhan pembangunan terutama di desa sangat besar pengaruhnya oleh etos kerja aparatur pemerintah desa itu sendiri.

E. KERANGKA KONSEPSIONAL

Untuk mengupayakan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman dalam hal mengartikan konsep-konsep pokok dalam penelitian ini, maka penelitian ini ditentukan bahwa:

1. Yang dimaksud dengan “Hukum Islam” adalah hukum yang dibangun

berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun al-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang secara universal relevan pada setiap zaman(waktu) danmakan(ruang) manusia.7

2. Yang dimaksud dengan “Pemerintah Desa” adalah Aparatur/pejabat desa diantaranya yaitu Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Staf desa lainnya.

3. Yang dimaksud “Badan Permusyawaratan Desa” selanjutnya disebut BPD

adalah suatu badan yang sebelumnya disebut Badan Perwakilan Desa, yang

7

Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas sosial, (Penamadina, Jakarta 2004). h. 6.


(18)

berfungsi menetapkan peraturan desa, bersama Kepala Desa menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.8

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam Penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah Pemerintahan Desa dan beberapa lembaga yang ada di dalam struktur organisasi pemerintahan desa dalam menjalankan otonomi daerah dengan tujuan pembangunan dan kesejahteraan sosial yang kemudian dianalisis dengan Hukum Islam (Ketatanegaraan Islam). Maka mengingat begitu pentingnya kedalaman empiris yang harus dapat dijangkau maka cara kerja atau metode yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian ini akan menampilkan beberapa metode penelitian. Pada garis besarnya hanya ada dua macam metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif didalamnya akan dikombinasikan dengan metode komparatif, pengamatan, survey dan observasi serta studi kasus.

Metode Komparatif orientasi bahasannya lebih pada perbandingan berbagai macam hal dengan tujuan mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai apa yang dilakukan aparatur pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan

8

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Rajawali Pers. Jakarta. 2005). h. 170.


(19)

umum. Serta metode pengamatan untuk menangkap "what people do" atau apa yang dilakukan oleh seseorang atau aparatur pemerintah serta observasi dengan tujuan untuk mendeskripsikan setting, kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat di dalam kegiatan pembangunan dan juga kesejahteraan umum.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan juga pendekatan secara empiris, yakni dengan menekankan pada sumber hukum Islam dan peraturan-peraturan lain yang berlaku dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pendekataan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam mengenai kinerja pemerintahan desa setelah diberlakukannya otonomi daerah yang terkait dalam masalah pembangunan struktur dan infrastruktur desa serta kesejahteraan umum.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekunder. Di bawah ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Didapatkan dari Kantor Pemerintahan Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor, berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum serta keputusan-keputusan desa berdasarkan otonomi daerah kabupaten Bogor.


(20)

Selain itu juga data primer diperoleh lewat interview (wawancara) kepada aparatur pemerintahan desa kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah al-Quran, al-Hadits, kitab-kitab fikih, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, Peraturan Pemerintah Kabupaten Bogor Nomor 3 tahun 2000 tentang Organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa serta Peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Untuk Memperoleh data dilakukan dengan menggunakan Studi Dokumenter. yaitu dengan cara mengkaji yang terdapat dari berbagai macam literatur kepustakaan berupa buku-buku, majalah-majalah, website atau literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk dikaji dan dicatat bagian-bagian yang penting yang nantinya ada titik benang merah


(21)

tentang pemerintahan desa dalam mewujudkan pembangunan dan kesejahteraan umum dalam perspektif hukum Islam.

b. Interviewatau wawancara yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langung antara pewawancara dengan pihak-pihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu aparatur pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat setempat. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

Di Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analysis) yaitu analisis data kualitatif terhadap data kuantitatif.9 Kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

Sementara untuk teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada

buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007".

9


(22)

G. Review Studi Terdahulu

Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa skripsi tersebut ada perbedaan pembahasan yang cukup signifikan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak ada timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai berikut :

1. Judul : “Pelaksanaan Hak Interpelasi DPRD Kota Medan Dalam Rangka

Mengawasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004”.

Penulis : Muhammad Rinaldi/SS/SJS/2007.

Skripsi ini membahas seputar pelaksanaan hak interpelasi DPRD dalam rangka mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yaitu DPRD berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat daerahnya, sehingga kepadanya diberikan seperangkat hak: hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan, hak mengadakan perubahan, hak mengajukan pernyataan pendapat dan hak angket (penyelidikan).


(23)

Juga hak-hak lainnya yang hanya diatur melalui tata tertib DPRD, Khusus mengenai hak penyelidikan diatur dalam undang-undang karena penggunaan hak interpelasi mempunyai konsekuensi yang luas, baik konsekuensi politis, yuridis, maupun sosiologis.

2. Judul:"Rukun Negara Malaysia Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam".

Penulis: Norhalimah Ahmad SS/SJS/2009.

Skripsi ini membahas tentang Rukun Negara yang ada di Malaysia yaitu menjelaskan tentang keberadaannya yang tidak bertentangan dengan prinsip negara dalam Islam, yaitu dengan adanya bukti bahwa Rukun Negara mengakui Islam sebagai agama yang utama di Malaysia tetapi tetap menghormati dan mengharuskan rakyat Malaysia nonMuslim berpegang teguh kepada agama masing-masing, kemudian dijelaskan juga Pemerintahan Malaysia yang tidak zalim, yaitu rakyat Malaysia harus taat kepada pemerintah dan negara seperti yang terdapat dalam prinsip kedua Rukun Negara, maka dengan berjalannya Rukun Negara di Malaysia diharapkan masyarakat warga Negara Malaysia dapat hidup secara damai dan senantiasa mengutamakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.

3. Judul: "Islam Politik Dalam Realitas: Studi Partisipasi Politik Masyarakat Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang"


(24)

Berdasarkan pada perumusan yang diangkat dalam judul skripsi ini, berikut akan dijawab beberapa permasalahan tentang konsep partisipasi politik menurut demokrasi modern, serta realitasnya dalam masyarakat muslim kecamatan Cikupa.

Pertama, konsep partisipasi politik mengalami perkembangan seiring dengan beerkembangnya konsep demokrasi. Tidak hanya berhubungan dengan perilaku, dan juga sikap atau persepsi warga negara secara konvensional, tetapi lebih luas mencakup segala tahapan pembuatan kebijakan. Agama sebagai suatu fenomena sosial yang diekspresikan dalam kolektivitas sosial anggotanya menunjukan identitas bersama, pola interaksi sosial yang teratur, atau harapan yang sama (norma-norma agama) menyangkut keyakinan dan perilaku. Dimensi kebudayaan sangat penting untuk menganalisa fenomena masyarakat yang mempunyai landasan organisasi modern. Unsur agama Islam berkolerasi positif dan signifikan dalam hampir semua aspek sampai dimensi partisipasi politik.


(25)

H. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama, pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, kerangka konsepsional, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua adalah Ketentuan umum tentang pemerintahan desa yang mencakup Pengertian pemerintahan desa dan dasar hukumnya, Macam-macam Pemerintahan desa, Alasan-alasan diberlakukannya pemerintahan desa dan Perbedaan pemerintahan desa dengan kelurahan.

Bab Ketiga adalah Kedudukan Pemerintah Desa dan BPD menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup sekilas tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor, Kedudukan Kepala Desa Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan dan Kedudukan BPD menurut Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

Bab Keempat adalah Analisis Terhadap Pelaksanaan Pembangunan dan kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor yang mencakup Sumber-sumber Pendapatan Desa menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan, Kajian Hukum Islam tentang Pembangunan di Desa


(26)

Pemagarsari, Tinjauan Hukum Islam terhadap aspek kesejahteraan umum di Desa Pemagarsari dan analisis hasil penelitian di desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.

Bab Kelima merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.


(27)

BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA

A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya

Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-Peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.

Sejak Tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di Indonesia diatur oleh perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Belanda. Sebenarnya pada tahun 1965 tentang Desapraja yang menggantikan perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda yang disebut Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) dan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB). Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlaku lagi dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dalam prakteknya tidak berlaku walaupun secara yuridis undang-undang


(28)

tersebut masih berlaku hingga terbentuknya undang-undang yang baru yang mengatur Pemerintahan Desa.1

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Pemerintah Desa diatur dengan:

a. Inlandsche Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura (Staatblad 1936 No. 83) Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewestenyang berlaku untuk luar Jawa dan Madura (Staatblad 1938 No. 490 juncto Staatblad 1938 No. 81)

b. Indische Staatsregeling (IS) pasal 128 ialah landasan peraturan yang menyatakan tentang wewenang warga masyarakat desa untuk memilih sendiri kepala desa yang disukai sesuai masing-masing adat kebiasaan setempat.

c. Herzein Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglemen Indonesia Baru (RIB) isinya mengenai Peraturan tentang Hukum Acara Perdata dan Pidana pada Pengadilan-Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura.

d. Sesudah kemerdekaan peraturan-peraturan tersebut pelaksanaannya harus berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Rembuk Desa dan sebagainya.2

1

HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,( Rajawali Pers. Jakarta 1993). h. 11.

2


(29)

Memang sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 maka tidak ada peraturan Pemerintah Desa yang seragam di seluruh Indonesia, misalnya ada yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura dan ada pula yang berlaku di luar Jawa dan Madura. Hal ini kurang memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat tumbuh dan berkembang ke arah kemajuan yang dinamis. Sulit memelihara persatuan dan kesatuan nasional, sulit memelihara integritas nasional dan sulit untuk pembinaan masyarakat yang bersifat terbuka terhadap pembangunan.

Adapun Dasar Hukum dalam Pemerintahan Desa yaitu subsistem daripada Sistem Pemerintahan Daerah.

1. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 18: Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak usul dalam daerah yang bersifat istimewa.

Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan:

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eendheidsstaat maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga, Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.


(30)

Di daerah-daerah yang bersifat otonom (Streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemenschappen(daerah dan kelompok masyarakat adat) seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah-daerah tersebut.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekosentrasi di bidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut diatas maka dalam undang-undang ini dengan tegas dinyatakan adanya Daerah Otonom


(31)

dan Wilayah Administratif.3 Dalam model ini jelas terlihat bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia menghendaki penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Partisipasi menjadi konsep penting karena masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah.4

Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah yang dalam undang-undang ini dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan wilayah yang dibentuk berdasarkan asas dekosentrasi disebut wilayah Administratif yang dalam undang-undang ini disebut wilayah. Wilayah-wilayah disusun secara vertikal yang merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaran pemerintahan.5

3

M.R. Khairul Muluk,Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). (Bayu Media Publishing. Malang 2007). h. 3

4

Ibid. hal.3 .

5

Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, (Bumi Aksara, Jakarta. 1991). h. 11.


(32)

Asas-asas Penyelenggaran Pemerintahan

a. Umum

Di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi dan dekosentrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Tetapi di samping asas desentralisasi dan asas dekosentrasi undang-undang ini juga memberikan dasar-dasar penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan.6

b. Desentralisasi

Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya.

6


(33)

Demikian pula perangkap pelaksanaannya adalah perangkat daerah desa itu sendiri yaitu terutama Dinas-Dinas Daerah.7

c. Dekosentrasi

Oleh karena itu semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menurut asas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan Pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaannya adalah terutama instansi-instansi vertikal yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan urusan dekosentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.8

d. Tugas Pembantuan

Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi beberapa urusan Pemerintahan masih tetap merupakan urusan 7

Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Penerbit Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005). h. 207.

8


(34)

Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintahan Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekosentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di Daerah. Dan juga ditinjau dari segi dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di Daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula mengingat sifatnya sebagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut maka undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk dilaksanakan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuannya.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 a. Pasal 2, Desa

1) Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.


(35)

2) Pembentukan nama, batas, kewenangan, hak dan kewajiban Desa ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

3) Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

4) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) baru berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang.

Syarat-syarat pembentukan, pemecahan dan penghapusan Desa dalam undang-undang ini akan ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, sedangkan pelaksanaan diatur dengan dengan Peraturan Daerah yang baru sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang. Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a) Faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor sosial budaya termasuk adat-istiadat.

b) Faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah keseimbangan antara organisasi luas wilayah dan pelayanan.

b. Pasal 22, Kelurahan

1) Dalam Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya, Kota Administratif dan kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dapat dibentuk Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b.


(36)

2) Kelurahan yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan memperhatikan syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

3) Pembentukan nama dan batas kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

4) Ketentuan tentang pemecahan, pengaturan dan penghapusan kelurahan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

5) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (3), berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang.

B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa

Kewenangan pemerintahan dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia pada dasarnya adalah milik pemerintah pusat. Akan tetapi dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Apabila dicermati dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah dilakukan dengan caraopen end arrangement ataugeneral competence(Hanif Nurcholis, 2005: 76). Artinya, pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan


(37)

kepada daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan dan prakarsanya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki pusat.9

Penyerahan jenis kewenangan yang sifatnya luas kepada daerah (kabupaten/kota), menurut Dede Rosyada dilandasi oleh sejumlah pemikiran sebagai berikut:

Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran merata, berkualitas dan terjangkau pelayanan publik tersebut. Pemerintah daerah sebagai produsen dan distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup lokal.

Kedua, penyerahan kewenangan luas kepada daerah dapat membuka peluang bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas, dan melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengenai jenis kewenangan luas tersebut berada pada aktor politik lokal dan sumber daya manusia lokal yang berkualitas.

9

Diani Budiarto, dkk,Perspektif Pemerintahan Daerah Otonomi, Birokrasi, dan Pelayanan Publik, (FISIP Universitas Djuanda, Bogor. 2005). h. 14.

[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text box.]


(38)

Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di pusat dan kota-kota besar lainnya, maka penyerahan jenis kewenangan luas tersebut juga dimaksudkan agar sumber daya manusia yang berkualitas di pusat dan kota-kota besar diredistribusikan ke daerah.

Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja dipikulkan kepada pemerintah pusat semata. Akan tetapi dengan adanya penyerahan kewenangan tersebut diharapkan terjadi diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan awal dari otonomi daerah.

Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah seperti itu dinamakan penyelenggaraan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini berjalan dalam kerangka prinsip desentralisasi. Rondinelli dan Nellis memaknai desentralisasi sebagai the transfer of responsibility for planning, management, and the raising and allocation of resources from the central government and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels of government, semi autonomous public authorities or corporations, areawide, regional or functional authorities, or non-governmental private or voluntary organizations.


(39)

Desentralisasi, dari makna tersebut memiliki empat bentuk, yaitu:

1. Devolution, yaitu penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah lebih atasnya kepada pemerintah di bawahnya sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah;

2. Deconcentration, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat atau atasannya kepada para pejabat mereka di daerah;

3. Delegation, yaitu penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah atasannya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan pertanggungjawaban tugas kepada pemerintah atasannya;

4. Privatization, yaitu pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada organisasi non-pemerintah baik yang berorientasi profit maupun non-profit.

Prinsip devolution biasanya mengacu pada desentralisasi politik, deconcentration pada desentralisasi administrasi, dan delegation maupun privatization sebagai tugas sub-contracting. Penerapan prinsip-prinsip desentralisasi tersebut dapat melahirkan fungsi dan peran pemerintah daerah yang berbeda. Dalam konteks ini terdapat setidaknya dua


(40)

model/perspektif untuk menggambarkan peran yang dimainkan oleh pemerintah daerah.10

Pertama, autonomus model (model otonom), menggambarkan bahwa pemerintah daerah secara relatif terpisah (separated) dari pemerintah pusat. Terlepas dari seberapa besar cakupan pemerintah daerah, dalam perspektif ini peran Negara sebatas memonitor aktivitas pemerintah daerah. Kemudian terdapat pemisahan yang jelas antara kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah.

Model otonom tersebut berakar dari sejarah dan budaya pemerintahan yang disebarkan oleh Inggris. Keberadaan pemerintah daerah bukanlah ciptaan pemerintah pusat walaupun keberadaannya terintegrasi dalam sistem nasional. Kecuali untuk beberapa hal, menurut Alderfer, karakteristik dasar pemerintahan daerah di Inggris adalah unit lokal yang bebas dari pengendalian kekuasaan di luarnya.

Adapun Kewenangan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pada Bab III Pasal 7 disebutkan bahwa urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan desa mencakup:

10

Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Prenada Media, Jakarta. 2003). h. 151.


(41)

a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;

b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/kota; dan

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Pasal 8

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

Pasal 9 (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan urusan menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri. (2). Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pembiayaannya.


(42)

Pasal 10 (1). Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c wajib disertai dengan dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. (2). Penyelenggaraan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada peraturan perundang-undangan. (3). Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.11 C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa

Salah satu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keanekaragaman adat istiadat, bahasa, pakaian, budaya dan sebagainya. Dan itu pulalah sebabnya, dalam kenyataan terdapat keanekaragaman dalam kesatuan masyarakat yang terendah. Kesatuan masyarakat dimaksud adalah umpamanya Desa di Jawa dan Madura, Gampong di Aceh, Huta di Batak, Nagari di Minangkabau, Dusun/Marga di Sumatera Selatan, Suku di beberapa daerah Kalimantan, dan sebagainya.

Istilah “desa”, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam makna Hukum Tata Negara, tidaklah dipakai untuk menunjuk bahwa terdapat keseragaman, atau kesatuan pendapat, bahwa pengertian desa di Jawa dan Madura

11

Ronal Siahaan, dkk, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan, Kecamatan, (CV. Novindo Pustaka Mandiri. Jakarta. 2008). h. 13.

[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text box.]


(43)

adalah sama dengan luar Jawa dan Madura. Istilah “desa” dipakai, karena untuk

kesatuan masyarakat yang terendah istilah “desa” telah menjadi istilah umum.

Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Adapun Hazairin berpendapat, bahwa:

“Desa di Jawa dan Madura, Nagari di Minangkabau sebagai masyarakat adat,

yaitu masyarakat hukum adat adalah, kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya”.12

Kesatuan masyarakat, desa, huta, nagari, marga ataupun lainnya, pada dasarnya berdasarkan pada dua hal yaitu asas territorial dan asas genekologis. Desa di Jawa dan Madura, berasaskan territorial, sedangkan kesatuan masyarakat di Luar Jawa dan Madura berasaskan genekologis. Perbedaan asas tersebut menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, membawa dampak pada perbedaan kedudukan diantara keduanya:

Pertama, di Jawa Kepala Desa dipilih oleh warga desa secara langsung, sedangkan di Tapanuli dan Minangkabau Raja Hutau dan Wali Nagari tidak langsung dipilih oleh rakyat, tapi dipilih oleh sekelompok orang sebagai tertua dalam kesatuan masyarakat tersebut.

12

Trianto & Titik Triwulan Tutik, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, (Prestasi Pustaka, Jakarta. 2007). h. 317.


(44)

Kedua,hubungan antar warga desa, antara warga desa dengan pimpinan desa.

Ketiga,status sosial-ekonomi kepala desa. Adanya tanah bengkok bagi kepala desa di Jawa dan Madura, dapat dianggap sebagai suatu segi ekonomis, sedangkan segi sosial kepala desa adalah kedudukan terhormat di desa. Di luar Jawa, Raja Huta di Tapanuli dan Wali Nagari di Minangkabau, kedudukannya semata-mata kehormatan saja. Sama sekali tidak ada unsur ekonomis.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Pasal 1 huruf a, menyatakan yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Adapun Undang-Undang No. 22 tahun 1999 (Pasal 1 huruf o) maupun Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pasal 1 angka 12) memberikan definisi yang

sama mengenai “Desa”, yaitu:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota,


(45)

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaran Pemerintahan Desa dibentuk Badan Permusyawaran Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang


(46)

berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa.

Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau Wali Kota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.

Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan, penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.

D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan a. Pemerintahan Desa

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan


(47)

berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun Bab I ketentuan umum Pasal 1 ayat 5 yang dimaksud desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adapun yang dimaksud Pemerintahan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Tentang Desa Pasal 1 ayat 6 yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dibentuk atas asas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.13

13

Dr. Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, (Bumi Aksara, Jakarta, Tahun 1991). Hal. 91.


(48)

Adapun pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, maka harus memenuhi syarat pembentukan desa yaitu:

a. Jumlah penduduk; b. Luas wilayah;

c. Bagian wilayah kerja; d. Perangkat; dan

e. Sarana dan prasarana pemerintahan.14

Adapun Struktur Administratif Pemerintahan Desa seabagai berikut:

Camat

LMD /BPD Kepala Desa

Sekretaris Desa

K. Urusan K. Urusan K. Urusan

Pamong Desa Pamong Desa Pamong Desa Pamong Desa

Kepala Dusun Kepala Dusun Kepala Dusun Kepala Dusun

Masyarakat

14


(49)

b. Kelurahan

Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. Pada Bab I ketentuan Umum Pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan, kemudian pada pasal 1 ayat 6 yang dimaksud Lembaga Kemasyarakatan atau sebutan lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra lurah dalam memberdayakan masyarakat.

Berbeda dengan Pemerintahan Desa, Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan namun pembentukannya berbeda dengan desa, berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Pembentukan Kelurahan dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan atau bagian kelurahan yang bersandingan, atau pemekaran dari satu kelurahan menjadi dua kelurahan atau lebih. Kemudian pembentukan kelurahan sebagaimana ayat 1 harus sekurang-kurangnya memenuhi syarat;

a. Jumlah penduduk; b. Luas wilayah;


(50)

d. Sarana dan prasarana pemerintahan.

Adapun Struktur Organisasi Kelurahan sebagai berikut:

Camat

Lurah

Sekretaris

U 1 U 2 U 3 U4 U5

RW


(51)

BAB III

KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERUNDANG-UNDANGAN

A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor

I. Sejarah Singkat Desa Pemagarsari

Desa Pemagarsari berasal dari kampung yang bernama Pemagarsari, Sebelum pemekaran pada tahun 1982 masuk ke wilayah Desa Parung. Wilayah yang dimekarkan yaitu bagian Selatan dari Desa Parung terdiri dari 3 (tiga) nama kampung diantaranya :

1. Kampung Lebak wangi 2. Kampung Tajur dan 3. Kampung Sawah

Berdasarkan saran yang telah masuk hingga sampai saat ini, pemekaran Desa Parung bagian Selatan menjadi Desa PEMAGARSARI.1

Desa Pemagarsari sampai saat ini memasuki Periode ke 4 dari 3 orang Pemimpin

i. Priode I Dipimpin oleh Bapak E. Sulaeman pada Tahun 1982–1992.

1


(52)

ii. Priode II dan III Dipimpin oleh Bapak H. Mamad selama 2 Priode pada Tahun 1992- 2007.

iii. Priode IV Dipimpin oleh Bapak Achmad Djamaludin pada tahun 2007 sampai dengan saat ini.

II. Landasan Dasar Pemerintahan Desa

Guna mengatur jalannya Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pemagarsari bersama-sama dengan Perangkat Desa membuat berbagai peraturan Desa sebagai dasar operasional pelaksanaan kegiatan, yang selanjutnya dijabarkan dan dilaksanakan oleh Kepala Desa selaku Pemerintahan Desa bersama dengan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan Desa yaitu LPM, MUD, BKM, PKK Karang Taruna, Ketua Rt dan Rw serta Komponen Masyarakat.

Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam lingkungan Jawa Barat ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 8 ).

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 125, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4437). Sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4548 ).


(53)

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).

4. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 tentang Bagian Desa Dari Hasil Penerimaan Pendapatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2002 Nomor 53).

5. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006 Nomor 254).

III. Gambaran Umum Desa Pemagarsari

Desa Pemagarsari merupakan salah satu desa dari 9 desa di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor, yang secara geografis berada pada ketinggian 125m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata -rata 298,1 mm dan suhu udara berkisar antara 22-14 oC, dan memiliki Luas wilayah seluas 266,068 ha.Yang terdiri dari :

1. Pemukiman : 147 Ha.

4. Pertanian : 11 Ha.

5. Ladang : 70 Ha.


(54)

7. lain-lain : 32.068 Ha

Dengan memiliki batas-batas wilayah teritorial sebagai berikut : -Sebelah Utara : Desa Parung

-Sebelah Timur : Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang.

-Sebelah Selatan : Desa Jabon Mekar

-Sebelah Barat : Desa Waru Jaya


(55)

Berdasarkan hasil pendataan jumlah penduduk Desa Pemagarsari pada tahun 2006 berjumlah 11.265 Jiwa

Laki-laki : 5.729 Jiwa

Perempuan : 5.536 Jiwa

Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.411 KK

Sedangkan jumlah Penduduk pada tahun 2007 sebanyak 11.305 jiwa.

Laki–laki : 5.751 Jiwa

Perempuan : 5.554 Jiwa

Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.510 KK.2

Karena, letak geografis dan batas-batas wilayah teritorial tersebut, Desa Pemagarsari memiliki daerah yang setrategis untuk kegiatan-kegiatan ekonomi perdagangan, pemerintahan, dan pemukiman.

IV. Potensi Desa Pemagarsari

a. Sumber Daya Mansusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu potensi yang sangat berpengaruh terhadap gerak Pembangunan baik Pembangunan Fisik maupun Non Fisik baik sebagai objek maupun sebagai subjek pembangunan.

2


(56)

Adapun jumlah mata Pencaharian Anggota Keluarga sebagai berikut :

1. PNS : 210 orang

2. TNI/PORLI : 3 orang

3. Karyawan : 183 orang

4. Wiraswasta : 315 orang

5. Petani/Peternak : 34 orang

6. Jasa/ Buruh : 726 orang

7. Lainnya : 4.134 orang

b. Potensi Pendidikan

Dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat di wilayah Desa Pemagarsari memiliki sarana dan prasarana pendidikan sebagai berikut :

1. TK / TPA : 3 buah

2. SD / MI : 7 buah

3. SLTP : 2 buah


(57)

berdasarkan data tingkat pendidikan masyarakat adalah :

- Tidak Tamat SD : 283 orang

- Tamat SD : 290 orang

- Tamat SLTP : 308 orang

- Tamat SLTA : 296 orang

- Tamat D.1 : 81 orang

- Tamat D.2 : 54 orang

- Tamat D.3 : 27 orang

- Tamat S.1/Sarjana : 50 orang

c. Kesehatan

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sarana dan prasarana kesehatan yang ada di Desa Pemagarsari adalah :

1. Pos Yandu : 8 buah

2. Kader Pos Yandu : 33 orang

3. Bidan Desa : 2 orang


(58)

5. Klinik : 2 buah

6. Rumah Sakit : 1 buah

d. Perekonomian

Potensi perekonomian di Desa Pemagarsari sebagian besar masyarakat mempunyai usaha ekonomi yang mampu menggerakan perekonomian, dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jenis Usaha masyarakat diantaranya :

1. Usaha agrobisnis tanaman : 100 orang

2. Usaha kerajinan Bordir/mute : 5 kelompok

3. Usaha kerajinan anyaman : 2 kelompok

4. Usaha aneka makanan ringan : 4 orang

5. Usaha Menjahit pakaian : 4 orang

6. Usaha pembudidayaan lele : 2 Kelompok

7. Usaha kerajinan Pot Bunga : 1 orang

8. Usaha pedagang buah-buahan : 15 orang


(59)

10. Usaha Sablon pakaian : 4 kelompok

11. Usaha Jahit dan Bordir : 6 kelompok

12. Usaha kerajinan rotan : 1 orang

13. Usaha Pembuatan Roti : 1 orang

14. Usaha Peternakan Ayam Potong : 5 orang

15. Usaha Counter HP : 20 orang

V. Bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Masyarakat

Pemerintahan Desa Pemagarsari menganut struktur Organisasi Pola Maksimal yaitu terdiri dari: Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur Pemerintahan, Kaur Perekonomian, Kaur Pembangunan, Kaur Keuangan, Kaur Kesra, Kaur umum dan Bendaharawan Desa

Dengan jumlah perangkat desa seluruhnya sebanyak 11 orang. Dalam pelaksanaan kegiatan dibidang pemerintahan telah dilaksanakan kegiatan sebagai berikut :

1. Pelayanan administrasi Kependudukan Kepemilikan KTP, KK, dan Akta kelahiran.

2. Pelayanan pertanahan berupa penerbitan surat keterangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan.


(60)

3. Penagihan Pajak Bumi dan Bangun (PBB) 4. Pembinaan administrasi Rt dan Rw.dan 5. Kegiatan administrasi dibidang Pemerintahan

Adapun Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pemagarsari Sebagai Berikut:

A.

BPD KEPALA DESA

SEKRETARIS

KAUR KAUR KAUR KAUR KAUR KAUR

UNSUR WILAYAH

KADUS I KADUS II

PELAKSANA TEKNIS LAPANGAN AMIL


(61)

B. Hubungan Pemerintahan Desa Sebagai Unit Ulil Amri Yang Terkecil Dalam al-Qur’an

Pemerintahan Desa sebagai penyelenggara urusan pemerintahan terkecil yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan memiliki hak dan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Sebagai Unit Pemerintahan dalam skala yang lebih kecil, Pemerintahan Desa mempunyai tugas yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan, begitu pula dalam perspektif Hukum Islam, Pemerintahan Desa mempunyai tugas sebagai pemegang amanat kekuasaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya di dalam rumah tangganya sendiri demi tercapainya pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum yang merata bagi warga masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai pelaksana amanat yang dibebankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintahan Desa mempunyai wewenang untuk menegakan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat: 58 yang berbunyi:

ð
































(62)

Artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (Q.S. al-Nisa: 58).

Sebagai pelaksana amanat dari Pemerintahan pusat dan Daerah, Pemerintahan Desa mempunyai kewenangan dan hak-hak di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dalam hal ini yang menjadi hak-hak Pemerintahan Desa adalah sebagai Ulil Amri dimana warga masyarakat mempunyai kewajiban menaati Ulil Amri agar terealisasinya pelaksanaan tugas-tugas yang menjadi kewenangannya di segala bidang dalam unit lingkup pemerintahan desa. Sebagaimana dalam al-Qur’an telah dijelaskan tentang kewajiban menta’ati Ulil Amri dalam Surat al-nisa ayat 59 yang berbunyi:













































Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya dan Ulil Amri diantara kalian. Maka jika kamu berselisih dalam suatu (urusan), kembalikanlah ia pada (kitab) Allah dan (sunnah) Rasul, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian, itulah yang lebih baik dan

lebih bagus kesudahannya”. (Q.S. al-Nisa: 59)

Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Shalih Abu Hurairah Radhiyallahu Anhuyang berkata, bahwa RasulullahShalallahu Alaihi wa Sallambersabda:


(63)

،

،

،

،

Artinya:

“Sepeninggalanku akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin, kemudian

akan datang kepada kalian pemimpin yang baik dengan membawa kebaikannya, kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang jahat dengan membawa kejahatannya. Maka dengarkan mereka, dan taatilah apa saja yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikan tersebut untuk kalian dan mereka, dan jika berbuat jahat, maka

kalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa.”3

C. Kedudukan Pemerintah Desa Dan BPD Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan

Dalam Ajaran Islam telah banyak dijelaskan tentang pentingnya masalah Pemerintahan baik yang menyangkut urusan duniawi maupun urusan ukhrawi, hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, didalamnya terdapat sistem ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Namun dalam skripsi ini lebih menerangkan tentang pandangan Hukum Islam mengenai Kedudukan Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Dalam al-Qur’an telah dijelaskan tentang prinsip kepemimpinan yaitu dalam Surat Ali Imran ayat 118 yang berbunyi:

3

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari’at Islam),(Darul Falah, Jakarta. 2007). hal.2.


(1)

101

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan data-data yang ditemukan di lapangan terhadap penelitian yang menyangkut masalah proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum di tingkat desa, maka kesimpulannya sebagai berikut:

I. Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya. Dalam pembangunan di desa setelah adanya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa semakin meningkat


(2)

102

karena di desa diberikan keluasan di dalam mengatur warga masyarakatnya sesuai adat atau kebiasaan yang berlaku. Selain itu saat ini di dalam struktur pemerintahan desa, adanya lembaga yang dibentuk sebagai fungsi kontrol terhadap roda pemerintahan desa dalam hal ini yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selaku legislatif desa yang beranggotakan para tokoh masyarakat menjadikan pemerintahan desa lebih lengkap karena adanya BPD maka cheks and balances terhadap kepala desa selaku eksekutif berjalan dengan baik, karena dengan adanya BPD di tingkat desa maka segala keputusan desa atau peraturan desa tidak dapat dibuat secara sewenang-wenang karena di dalam membuat kebijakan Badan Pemrmusyawaratan Desa (BPD) diikutsertakan.

II. Adapun Yang Menjadi Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari yaitu masih banyak masyarakat yang belum memahami konsep pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah dan juga masih minimnya sarana informasi bagi masyarakat sehingga sosialisasi dalam aspek pembangunan maupun kesejahteraan masyarakat belum berjalan efektif.

III. Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sudah bersesuaian dengan ajaran Islam dan peraturan yang ada namun masih ada beberapa yang harus ditingkatkan kembali demi tercapainya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata.


(3)

103

B. Saran-Saran

Menyikapi kemungkinan terjadinya hambatan di dalam pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat di Masa Depan yang dapat dan mungkin banyak dilakukan oleh masyarakat, maka hal-hal yang penting untuk dipahami bahwa kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat ada di daerah karena saat ini otonomi daerah diberlakukan seluas-luasnya dari pemerintah pusat kepada daerah, jadi khusus bagi para pemerintah desa dan staff-staff desa beserta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dituntut untuk benar-benar menjalankan amanat yang telah diberikan pemerintahan kabupaten, terutama dalam pendataan warga masyarakat dalam hal pembangunan yaitu dalam menghidupkan kembali budaya gotong royong yang ada ada di pedesaan selain itu untuk lebih sesering mungkin melekukan sosialisasi tentang aspek kesejahteraan masyarakat seperti sosialisasi pentingnya jaminan kesehatan daerah (JAMKESDA) bagi warga masyarakat agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.

Itulah kiranya dari beberapa saran atau kritik dari penulis, semoga dapat menjadi masukan bagi kita semua, khususnya bagi pelaksana Pemerintahan di tingkat desa.


(4)

10

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.

Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Rajawali Pers. Jakarta. 2005.

Aliyah, Samir, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam,Khalifa,Jakarta. 2004.

Al-Zarqa, Ahmad, Mushthafa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Riora Cipta, Bandung. 2000.

Amos, H.F. Abraham, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 2005.

Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. 1996.

As-Sy-Syawi, Taufiq, Syuro Bukan Demokrasi, Gema Insani Press, Jakarta.1997.

Al-Mawardi,Imam,Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari’at Islam),Darul Falah, Jakarta. 2007.

Al-Munawar, Said Agil Husin Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Penamadani, Jakarta. 2004.

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta. 2009.

Azhariy, Tahir, Muhammad., Negara Hukum (Suatu Studi Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana, Jakarta. 2004.

Dirdjosisworo, Soedjono ,Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta. 1983.

Huda, Ni'matul,Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2005. Kansil, C.S.T. & Kansil, Christine S.T..Pemerintahan Daerah Di Indonesia;

Hukum Administrasi Daerah 1903-2001. Sinar Grafika. Jakarta. 2002. Marzuki, Mahmud Peter, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta. 2008.


(5)

10

Muluk, M.R. Khairul, Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Bayu Media Publishing. Malang 2007.

Nata, Abuddin,Metode Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta. 1998.

Ndraha, Taliziduhu Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta. 1991.

Prasadja, Budy, Pembangunan Desa Dan Masalah Kepemimipinannya, Rajawali Pers, Jakarta. 1986.

Pudjiwati, Sajogyo & Sajogyo, Sosiologi Pedesaan, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Yogyakarta. 1996.

Pulungan, Suyuthi. J,Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Rajawali Pers, Jakarta. 1993.

Purdjosewojo, Kusuma , Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 2004.

Syafi’ie, Kencana Inu, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Refika Aditama, Bandung. 2003.

Syarifin, Pipin,. Dan Jubaedah, Dedah, Hukum Pemerintahan Daerah. Pustaka Bani Quraisy. Bandung. 2005.

Soetami, A. Siti,Pengantar Tata Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Thontowi, Jawahir, Islam, Politik, dan Hukum, Madyan Press Yogyakarta, Yogyakarta. 2002.

Thoha, MiftahBirokrasi dan Politik Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 2003. Widjaja,. HAW.,Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh,

Rajawali Pers, Jakarta, 2003.

---,Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Jakarta Rajawali Pers. 2002.

---,Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta.1992.

---, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,Rajawali Pers. Jakarta. 2005.


(6)

106

Wibawa, Samodra Negara-Negara Di Nusantara Dari Negara-Kota hingga Negara-Bangsa Dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 2001.

Sumber dari internet:

http://www.bkn.go.id/peraturanisi. Diakses tanggal 04/05/10. http://www.mit-itb.blogspot.com/syariat-islam-dalam-pengelolaan http://sumber.html.diakses tanggal 02/04/10.

http://www.bkn.go.id/peraturanisi.diakses tanggal 02/04/10.

http://www.bapeda-jabar.go.id/docs/perundangan/ diakeses tanggal 05/04/10. http://www. uzumaki86.multiply.com/journal/item/20. Diakses tanggal 04/05/10.

Sumber Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasca Amandemen I, II, III, dan IV.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah.

Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Usaha Milik Desa.