perjanjian ekspeditur ini berlandaskan pada asas kebebassan berkontrak. Jadi para pihak dapat menentukan sendiri hak dan kewajiban masing-masing, sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan mereka. Hal ini merupakan upaya menciptakan kepastian hukum dalam hubuungan yang mereka lakukan.
Kemudian hak dan kewajiban pengirim penerima barang adalah di samping diwajibkan untuk membayar provisi, hak mereka adalah menerima barang dalam
keadaan seperti semula pada saat dikirim dalam ambang batas kerusakan yang disepakati.
Singkatnya, dapat kita katakan bahwa hubungan hukum yang terjadi antara Ekspedisi Muatan Pesawat Udara EMPU dengan pengguna jasa
angkutan kargo pengirim termasuk dalam lingkup perjanjian ekspedisi dalam arti luas, dimana perjanjian tadi biasanya dituangkan dalam surat angkutan.
B. Bentuk-Bentuk Kerugian dalam Angkutan Kargo Udara
Mengenai bentuk-bentuk kerugian yang mungkin menimpa pengirim kargo dalam angkutan udara dapat ditemukan pada Pasal 145 dan Pasal 146
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Pasal 145 berbunyi, ”pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam
pengawasan pengangkut. Pasal 146 berbunyi, “pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo,
Universitas Sumatera Utara
kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
Dari kedua pasal yang disebutkan di atas, diketahui bahwa terdapat empat hal yang mengakibatkan kerugian bagi pengirim. Keempat bentuk kerugian itu
adalah kehilangan, kemusnahan, kerusakan, dan atau keterlambatan. Namun dalam Penjelasan Undang-Undang ini tidak ada dijelaskan apa arti dan kondisi
dari bentuk-bentuk kerugian tersebut, hanya dikatakan “cukup jelas”. Untuk mendapatkan pengertian tentang ketiga bentuk kerugian tersebut
kehilangan, kemusnahan, dan kerusakan, kita temui dalam Konvensi Warsawa 1929. Yang mana Indonesia telah menjadi anggota Konvensi Warsawa 1929
berdasarkan konkordansi hukum Belanda yang telah menjadi anggota sejak 1933.
49
Pasal 26 Konvensi mengatur tentang kehilangan, kerusakan, dan kemusnahan. Antara kehilangan dan kerusakan dapat dibedakan dengan melihat
pada tiga kemingkinan: Pertama, kargo sama sekali tidak diserahkan; Kedua, kargo yang dicantumkan dalams surat kargo udara tidak diserahkan semuanya
diserahkan sebagian; dan Ketiga, diserahkan seluruhnya tetapi sebagian atau seluruh kargo dalam keadaan rusak.
Menerima sebagian kargo ada kemungkinan dikategorikan pada kargo dalam keadaan rusak atau kehilangan. Namun yang paling logis dikategorikan
49
K. Martono, Amad Sudiro, op. cit., hal. 240.
Universitas Sumatera Utara
sebagai kehilangan karena hanya manerima sebagian kiriman yang tecantum dalam surat kargo udara.
50
Arti kehilangan adalah tidak dapat diserahkan kepada penerima atau yang berhak. Satu hal yang dijadikan ukuran adalah kehilangan ditentukan oleh
keberadaan atau tempat kargo kiriman secara rasional tidak diketahui. Tetapi fakta yang umum dijumpai pada beberapa kasus, baik kehilangan maupun
kemusnahan, menjadikan kargo kehilangan nilai ekonomi dan kegunaannya bagi penerimanya.
Secara sederhana defenisi kemusnahan adalah kerusakan kargo sehingga tidak dapat digunakan lagi atau menjadikan kargo, atau bagiannya, tidak dapat
digunakan secara baik seperti semula, sedangkan kerusakan adalah kargo mengalami kerusakan secara fisik termasuk kebusukan.
Dari uraian di atas telah diketahui bahwa kehilangan adalah kargo tidak ada di tempat yang layak; kerusakan adalah kargo rusak secara fisik tetapi
kargonya ada; kemusnahan diartikan tidak semata-mata musnah secara fisik tetapi lebih dilihat dan nilai ekonomi dan kegunaan dari kargo yang
bersangkutan. Pembedaan ketiganya akan bermanfaat pada penerapan Pasal 26
Konvensi Warsawa yaitu dalam kehilangan perlu adanya pemberitahuan, sedangkan dalam kemusnahan atau kerusakan tidak perlu ada pemberitahuan
karena dalam hal ini secara fisik kargo itu ada.
51
50
Toto T Suriaatmadja, Pengangkutan Kargo Udara, op.cit., hal.79.
51
Ibid, hal.83.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai keterlambatan ada ditemukan penjelasannya di dalam Penjelasan UUURI No.1 Tahun 2009. Di dalam Penjelasan Pasal 146 ditentukan
bahwa pengangkut bertanggung jawab untuk keterlambatan yang terjadi kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut
disebabkan oleh factor cuaca seperti hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui
standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan, dan teknis operasional antara lain seperti bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan
tidak dapat digunakan operasional pesawat udara; lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya, misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
terjadinya antrian pesawat udara lepas landas take off, mendarat landing, atau alokasi waktu keberangkatan departure slot time, di bandar udara, atau
keterlambatan pengisian bahan bakar refuelling, sedangkan yang tidak termasuk dalam teknis operasional antara lain keterlambatan pilot, co pilot dan
awak kabin; keterlambatan jasa boga catering; keterlambatan penanganan di darat; menunggu penumpang, baik yang baru melapor check in, pindah pesawat
transfer atau penerbangan lanjutan connecting flight dan ketidaksiapan pesawat udara.
C. Tanggung Jawab Pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara EMPU Terhadap Pengguna Jasa Angkutan Kargo