mendapat waris atas dasar perjanjian kesetiaan tersebut tetap harus laki-laki. Pengangkatan anak juga menjadi sebab saling mewarisi. Akan tetapi syarat
yang harus dipenuhi tetap harus laki-laki dan telah dewasa. Jadi orang-orang Arab jahiliyah menjadikan seluruh pembagian harta
waris hanya kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karenanya Allah memerintahkan untuk berbagi sama dalam pembagian, dan telah menetapkan
ahli waris dari pihak laki-laki maupun perempuan.
2. Sejarah Hukum Waris Adat Minangkabau
Sejarah adat Minangkabau telah dijelaskan lama dalam Tambo Alam Minangkabau. Mengenai asal usul Tambo tu sendiri diperkirakan telah
berawal sejak periode awal kedatangan Islam, atau bahkan lebih awal lagi, namun dari data tertulis yang ditemukan semuanya berasal dari abad ke-19,
terutama setelah perang Paderi berakhir. Meskipun terdapat berbagai versi tambo, tetapi kesemuanya memperlihatkan sikap kesejarahan yang sama.
Berikut ini adalah isi Tambo yang menjelaskan tentang pembagian harta waris adat Minang:
41
“Waris atau peninggalan jaitu suatu barang jang ditinggalkan oleh satu orang jang sudah mati, diterima oleh ahli warisnja, baik tentangan harta
pusaka baikpun tentang gelar pusaka. Kebanyakan ada orang menamakan, setelah ia ada hubungan satu perkara
lama dari satu orang atau mamaknja dan dikatakanja bahasa ia mendjawat waris. Sebetulnja itu bukan mendjawat waris, hanja itu mendjawat tutur atau
kata, jang dimaksut benar tenangan waris didjawat ini, jaitu waris penghulu jang didjawat seperti gelar pusaka jang mendjawat warisini sako namanja
atau turunan. Adapun turunan ini ada dua matjam, pertama patriachat atau turunan dari
bapak kedua matriachat jaitu turunan dari pada ibu. Menurut adat Minangkabau jang dipakai adat matriachat, jaitu turunan
daripada ibu jang mendjawat waris ialah kemenakan. Kalau seorang penghulu mati, ialah kemenakan mendjawat waris
kebesarannja sifat dan martabat penghulu itu.”
41
Tambo Alam Minangkabau, h. 27
Kemudian dijelaskan lebih lanjut, bahwa setelah beberapa lama dunia berkembang, tiap-tiap negeri telah berpenghuni, timbul kata mufakat antara
penghulu, mamak dan kemenakan. Mereka kemudian berjalan ke Sungai Solok yaitu yang bernama Batang Terandjur menuju ke rantau pesisir, dan
rantau pesisir itulah yang dinamakan dengan Tiku Pariaman. Tidak beberapa lama anak perempuan kemenakan tadi memiliki
seorang anak laki-laki yang bernama Magek Djabang dan dialah yang memegang barang pusaka adat limbago Tiku Pariaman.
Kemudian ketiganya peghulu, mamak dan kemenakan tersebut kembali pulang ke Padang Panjang dan nama mereka semakin terkenal.
Pada saat itu, harta pusaka turun hanya kepada anak saja belum ada yang diturunkan kepada kemenakan. Setelah beberapa lamanya, mufakatlah
orang yang bertiga itu di sebuah balai di Padang Panjang untuk membicarakan bahwa Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang akan
belajar mulai dari Tiku Pariaman meunuju ke negeri Aceh. Setelah beberapa jauh belajar, di tengah laut perahu mereka terhalang
oleh pasir pantai disebabkan karena air laut yang pasak tiba-tiba surut. Maka, berkatalah kedua Datuk tersebut kepada kemenakannya, mari
kita menghela perahu ini bersama-sama. Akan tetapi anaknya tidak mau menolong, hanya kemenakannya saja yang mau menghela perahu tersebut.
Setelah itu, berkatalah Cati Bilang Pandai: “Hai datuk-datuk sekalian dan datuk yang berdua ini meminta hamba sungguh-sungguh jangan
diberikan juga pusaka itu kepada anak. Melainkan baiklah kita berikan kepada kemenakan saja semuanya.”
Maka menjawab Datuk Katumanggungan: “Hai Cati Bilang Pandai apa sebabnya maka demikian?”
Maka menjawab Cati Bilang Pandai: “Kita telah mencoba menyuruh sekalin anak-anak itu menghela menarik perahu yang terhalang pasir itu,
tetapi sekalian mereka itu tidak mau menolong bapaknya yang sedang menarik perahu itu.”
Oleh karena itulah, pusaka tersebut lebih baik diturunkan kepada kemenakan berupa sawah, ladang, emas dan perak karena kemenakanlah yang
telah bersusah payah mau menolong. Itulah sebabnya pusaka mula-mula turun kepada kemenakan pada masa itu sampai sekarang tidak berubah-rubah.
3. Sejarah Islam di Minangkabau