Perbandingan Sistem Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam

Untuk itu ia membagi harta pusaka menjadi dua macam; harta pusaka dan harta pencarian. Harta pusaka diwariskan berdasarkan hukum adat, sedangkan harta pencarian diwariskan kepada anak, walaupun tidak sepenuhnya menurut faraidh hukum pembagian menurut Islam. Tapi ia menganjurkan agar masyarakat berpegang pada hukum Islam dalam penyelesaian setiap masalah yang terjadi di masyarakat. Langkahnya ternyata banyak membawa perubahan dan diikuti oleh murid-muridnya. 42 Di seluruh Minangkabau, buku pedoman yang terkenal untuk kajian syariat adalah sama, yaitu Minhaj al-talibin Pedoman bagi Murid-murid yang Percaya. Oleh orang-orang Minangkabau, buku pedoman ini disebut secara sederhana sebagai “Kitab Fiqh”. Semua buku fiqh Islam yang terkenal sangat mirip. Mula-mula dibahas lima rukun Islam; pengakuan iman, doa, puasa, naik haji dan amal, yang biasa dicakup dalam ibadat atau hukum mengenai perilaku manusia terhadap Allah. Yang ingin maju lebih lanjut bisa mempelajari juga aspek-aspek hukum Islam mengenai hubungan manusia, seperti hukum warisan, hukum perkawinan dan seterusnya. 43

B. Analisis Data

1. Perbandingan Sistem Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam

1 Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hak Waris Islam Sebenarnya Al-Qur’an atau Islam menganut sistem bilateral 44 , tetapi tidak seperti yang dipahami atau diterapkan oleh sekelompok masyarakat atau golongan yang berpendapat bahwa pembagian harta waris harus sama antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an melebihkan laki-laki memperoleh dua kali bagian perempuan, mengingat laki-aki menanggung biaya nafkah, tanggungan, beban usaha, serta menanggung segala permasalahan. 42 Murodi, Melacak Asal Usul Perang Paderi Di Sumatera Barat, Jakarta: Logos, 1999, h. Xv 43 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784-1847, Depok: Komunitas Bambu, 2008, h. 195 44 Bilateral adalah bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui jalur ayah dan ibu atau laki-laki dan perempuan. ÞΟä3ŠÏ¹θムª þ’Îû öΝà2ω≈s9÷ρr Ìx.©Ï9 ã≅÷VÏΒ Åeáym È⎦÷⎫u‹sVΡW{ “Allah mensyari’atkan kepadamu tentang pembagian warisan untuk anak- anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” An-Nisa’: 11 Begitu pula jelas dinyatakan dalam Hadis Nabi Muhammad saw. adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.: ﻪ ا ﻰ ﺻ ﻲ ﻨ ا ْﻦ ﺎ ﻬْﻨ ﻪ ا ﻲﺽر سﺎ ﻰ ْوﺄ ﻮﻬ ﻲ ﺎ ﺎﻬ ْهﺄ ﺾﺋاﺮ ْا اﻮ ْأ لﺎ ﺳو ﻪْﻴ ﺮآذ ﺟر “Nabi Muhammad Saw. bersabda: ‘Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.’” Hadist tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, setelah itu jika terdapat sisa, maka porsi laki-laki lebih besar dari porsi perempuan. Hal ini tentu saja didasarkan dengan alasan bahwasanya laki-laki pada zaman sejarah memang lebih kuat untuk berperang daripada wanita. Begitu pun pada zaman sekarang, laki-laki berhak mendapat porsi harta warisan yang lebih besar dikarenakan laki-laki memiliki tanggung jawab yang besar terutama jika laki-laki telah memiliki rumah tangga, ia memiliki tanggung jawab yang besar terhadap anak-anak dan istrinya. 2 Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hak Waris Adat Minangkabau Masyarakat Minangkabau merupakan bagian suku bangsa Indonesia yang dalam pola kekerabatan menganut sisem matrilineal. Sistem matrilineal berdasarkan kepada ikatan garis keturunan melalui garis ibu. merujuk kepada garis keturunan ibu tersebut, saudara perempuan ditempatkan sebagai penerus garis keturunan kesukuan, dalam hal ini termasuk penerus atau penerima dari berbagai bentuk warisan material maupun yang berisifat adat istiadat. Di sisi lain, kaum laki-laki ditempatkan sebagai pengelola dan penjaga harta warisan material yang disebut “Pusako”. 45 Sesuai dengan garis keturunan yang matrilineal, dapat juga kita harapkan hal sama dengan itu dalam hubungan yang lain. Harta pusaka juga diturunkan melalui garis ibu dan yang berhak menerimanya adalah anggota perempuan dari sebuah keluarga. Anggota laki-laki dari sebuah keluarga matrilineal sebenarnya tidak berhak terhadap harta pusaka, mereka hanya mempunyai kewajiban untuk menjaga harta itu, sehingga harta itu tidak menjadi hilang dan benar-benar memberikan kegunaan bagi kaum kerabatnya. 46 Memberikan harta kepada anak perempuan biasanya dilatarbelakangi oleh alasan pribadi orang tua yakni rasa kasih sayang yang berlebihan kepada anak perempuan. Di samping itu, juga karena alasan yang bersifat fisik dimana anak perempuan memiliki fisik yang lebih lemah dibandingkan dengan anak laki-laki. Oleh kelemahan fisik yang dimiliki anak perempuan tersebut, maka anak perempuan harus didukung dengan harta pusaka. Berbeda halnya dengan anak laki-laki, dengan kondisi fisiknya yang lebih kuat ia dapat berusaha hidup mandiri dan mencari sumber harta lain tanpa harus mengharapkan harta pusaka dari orang tuanya. Alasan lainnya adalah anak laki-laki di Minangkabau setelah menikah akan pergi ke rumah isterinya atau menjadi sumando di rumah isterinya. Itulah sebabnya maka anak laki-laki tidak perlu diberikan harta waris oleh orang tuanya. Pemberian harta pusaka rendah kepada anak perempuan lebih banyak dibandingkan dengan anak laki-laki di samping alasan-alasan yang dikemukakan di atas juga disebabkan oleh sistem perkawinan Minangkabau yang matrilokal. Oleh sebab itu, apabila seorang saudara laki-laki dari seorang perempuan mengalami perselisihan atau sebab lain sehingga mengakibatkan perceraian dengan isterinya di rumah tangga maka saudara laki-laki itu akan 45 Indra Yuda, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Maret 2009,Vol. 15 No.2, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, hal, h. 387 46 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982, h. 253 kembali ke rumah keluarga asalnya yaitu ke rumah saudara perempuannya. Dengan kembalinya saudara laki-laki tersebut ke keluarga asal maka tanggung jawab terhadapnya merupakan kewajiban saudara perempuannya.

2. Perbandingan Kasus Pewarisan