Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap suku bangsa sejak dari yang tertutup atau primitif sampai kepada yang terbuka struktur masyarakatnya atau modern, umumnya mempunyai pandangan hidup sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pandangan hidup suatu suku bangsa atau bangsa ialah perpaduan dari nilai- nilai yang dimiliki oleh suku bangsa atau bangsa itu sendiri, yang mereka yakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada suku bangsa atau bangsa itu untuk mewujudkannya. Suku bangsa Minangkabau orang Minang, yang merupakan salah satu suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia mempunyai pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup suku-suku bangsa lainnya. Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat, yang disebut dengan adat Minangkabau. Dalam tesis yang ditulis oleh Zaim Rais, dikatakan bahwa: In general, adat is usually understood as local custom which regulates the interaction of the members of society. But the definition of adat Minangkabau embraces more than this. It means not only local custom, but, more importantly, is also conceived as the structural system of society as a whole, of which local custom is only a component. In this complex sense, adat is believed to establish the entire value system on which all ethical and legal judgements are based. In sum, it may well be said to represent the ideal pattern of behaviour . 1 Hal ini menjelaskan bahwa secara umum, adat pada umumnya dipahami sebagai adat istiadat setempat yang mengatur interaksi anggota masyarakat. Hanya saja, definisi adat Minangkabau memeluk lebih dari ini. Adat Minangkabau bukan hanya sekedar adat istiadat setempat, tetapi juga dipahami sebagai sistem masyarakat yang struktural secara keseluruhan. Adat dipercaya untuk menetapkan nilai-nilai berdasarkan aturan-aturan yang etis yang dapat mewujdukan pola perilaku teladan yang ideal. Masyarakat provinsi Sumatera Barat menganut sistem adat Minangkabau yang memiliki sistem matrilineal. Matrilineal berarti sistem ini berdasarkan garis keturunan ibu. Baik dari segi keturunan maupun pembagian harta warisan, keduanya ditarik dari garis keturunan ibu. Meskipun masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal, tetapi adat Minangkabau tidak mengingkari nasab dari keturunan bapak, buktinya tidak ada orang Minang yang menyambung nama belakangnya dengan nama ibunya. Prinsip matrilineal berlaku umum dan alami. Hal ini berarti, secara alami anak lebih dekat kepada ibunya dibandingkan dengan bapak. Budaya adat Minangkabau menyangkut persoalan nasab dan warisan menjadi sorotan tajam pandangan agama Islam. Meskipun pada dasarnya adat Minangkabau berfalsafahkan kepada “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” , akan tetapi falsafah ini tidak diterapkan secara seimbang karena pada kenyataanya masyarakat Minangkabau lebih dominan kepada adat daripada syara’. Padahal, seharusnya falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” dipahami sebagai landasan agar adat dipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran syariat. Adat Minangkabau seharusnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan ajaran agama Islam yang berlandasakan kepada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw., akan tetapi pada kenyataannya masyarakat Minangkabau lebih banyak berpegang teguh kepada adat. 1 Za’im Rais, The Minangkabau Traditionalist Response To The Modernist Movement, Canada: Institute of Islamic Studies McGill University, 1994, h. 7 Ketidakseimbangan adat dan syara’ di Minangkabau tampak pada persoalan nasab anak yang harus mengikuti suku 2 sang ibu. Begitu juga dalam perihal pembagian hak waris dan perihal harta pusaka. Anak laki-laki di Minangkabau tidak memperoleh hak waris, karena harta pusaka diwariskan menurut garis keturunan ibu. Hal ini tentu saja berlawanan dengan ajaran Islam yang telah mengajarkan bahwa pelaksanaan hukum waris dilakukan secara bilateral dimana anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagiannya masing-masing. Apalagi jika dilihat dari kacamata Pendidikan Agama Islam. Dalam Pendidikan Agama Islam, khususnya dalam Fiqh Mawaris yang menjadi modul pembelajaran dalam perkuliahan Pendidikan Agama Islam, perihal adat yang membagi harta warisan kepada anak perempuan lebih besar daripada anak laki-laki tentu saja menimbulkan ketidakseimbangan antara pandangan hukum adat dan agama. Hal ini dikarenakan melihat begitu berbedanya sistem pembagian harta warisan adat di Minangkabau dengan sistem hukum pembagian harta warisan dalam Islam. Adat Minangkabau yang melestarikan budaya pembagian harta warisan lebih besar kepada wanita sangat bertentangan dengan pembagian harta warisan dalam Islam lebih besar kepada laki-laki, padahal faktanya Minangkabau memiliki falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” . Falsafah tersebut mengartikan bahwa adat yang berlaku atau kebiasaan-kebiasaan yang di tengah masyarakat seperti jual beli, perkawinan, pembagian harta waris dan lain-lain tidak boleh bertentangan dengan yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an. 2 MD. Mansoer, Amrin Imran dkk menuliskan dalam buku Sedjarah Minang, bahwa Yang dimaksud dengan “suku” artinya kaki. Sesuku mengandung makna “sekaki”, seperempat bagian dari seekor hewan ternak seperti kambing, sapi, kerbau dsb. Suku berarti seperempat bagian. Itulah asal mula pengertian kata “suku” di Minangkabau. Suku menggambarkan kelompok berdasarkan ikatan darah dari pihak atau garis ibu. Suku berdasarkan pengelompokkan ikatan darah dari pihak atau garis ibu mengandung pengertian “genealogis”. Pada kenyataannya terjadi ketidakseimbangan antara pandangan adat dan agama dalam hal pembagian harta pusaka kepada anak laki-laki di Minangkabau. Hal ini tentu saja menimbulkan anggapan bahwa dalam pandangan adat Minangkabau, anak laki-laki memiliki status yang rendah. Ini tentu saja dilatarbelakangi oleh kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris. Dengan adanya latar belakang tersebut, maka saya bermaksud untuk menjelaskan konsep hak waris untuk anak laki-laki dan perempuan dari sudut pandang agama dan adat. Oleh itu judul skripsi yang akan saya ajukan berjudul “STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Studi Kasus Adat Minangkabau”

B. Identifikasi Masalah