Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dipaparkan tentang latar belakang masalah penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian

1.1 Latar Belakang Masalah

Napza adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan bahan adiktif lainnya. Suatu nama tunggal untuk merujuk semua jenis bahan atau zat yang berkhasiat menghilangkan rasa sakit narkotika, menimbulkan perubahan suasana batin psikotropika, sedative hipnotika zat yang member efek hipnotispenenangbiustidak sadar, halusinogen atau bahan adiktif lainnya. Napza adalah seperti kata “dadah” di Malaysia, atau “drus” di Amerika BNN, 2004. Napza atau secara umum lebih dikenal sebagai narkoba adalah bahan atau zat atau obat yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia, akan mempengaruhi tubuh, terutama otak atau susunan syaraf pusat disebut psikoaktif, dan menyebabkan gangguan kesehatan jasmani, mental-emosional dan fungsi sosial lainnya, karena terjadi kebiasaan, ketagihan adiksi dan ketergantungan dependensi terhadap narkoba Thanthowi, 2003 Penggunaan napza biasanya bermula dari rasa ingin tahu, ingin mencoba, dan agar diterima lingkungan sosialnya. Penyalahgunaan napza sering disebut 1 2 penyakit sosial social disease, artinya penyalahgunaan ini muncul akibat berinteraksi dengan masyarakat yang menggunakan napza atau akibat pertemanan dengan pecandu narkoba aktif. Penyakit ini umumnya bersifat menular, bila individu tidak dibentengi oleh sistem moral diri yang kuat. Sistem moral ini dibangun melalui pola pengasuhan, pendidikan keagamaan dan norma sosial yang kuat dari keluarga dan masyarakat, yang nantinya diaplikasikan melalui perilaku BNN,2009. Penyalahgunaan napza biasanya diawali oleh penggunaan coba-coba sekedar mengikuti teman, untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri, kelelahan, ketegangan jiwa, sebagai hiburan, atau untuk pergaulan. Bila taraf coba-coba tersebut diajukan secara terus-menerus akan berubah menjadi ketergantungan BNN, 2004. Sementara itu, situasi kehidupan masyarakat yang penuh pancaroba, krisis, ketidak pastian, dan kesenjangan sosial, pertumbuhan perkotaan dan makin heterogennya masyarakat. Demikian pula melemahnya homogenitas dan pengawasan sosial masyarakat, serta timbulnya kebutuhan akan jati diri dan kelompok sosial. Situasi kehidupan demikian pada gilirannya menimbulkan kerentanan terhadap penyalahgunaan napza. Penyalahgunaan narkoba adalah gangguan perilaku dan perbuatan anti sosial seperti: berbohong, membolos, minggat, malas, sex bebas, melanggar aturan, dan disiplin, merusak, melawan orang tua, mencuri, suka mengancam, dan suka berkelahi, sehingga mengganggu ketertiban, ketentraman serta keamanan masyarakat. BNN, 2004. 3 Setiap orang termasuk remaja yang normal mempunyai berbagai kebutuhan, meliputi kebutuhan biologis minum, makan, pakaian, tempat tinggal dan sex, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan perwujudan diri. Tidak terpenuhinya salah satu atau semua kebutuhan tersebut dapat menimbulkan perasaan tertekan yang selanjutnya dapat memicu penyalahgunaan napza BNN,2004 Pada umumnya, penyalahguna napza baru memiliki keinginan untuk berhenti bila keadaan sudah terlambat, yaitu saat mereka sudah berada dalam cengkraman “gurita” ketergantungan napza yang sudah tidak bisa dilepaskan lagi. Hal ini terjadi karena begitu penyalahguna napza mulai mencoba-coba, tanpa sadar mereka langsung terseret sampai pada taraf ketergantungan. Besarnya kerusakan yang ditimbulkan akibat perilaku penyalahgunaan napza sangatlah kompleks. Meliputi segala aspek kehidupan baik biologis, psikologis dan sosial. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV disebutkan bahwa adiksi atau ketergantungan terhadap napza merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami ketergantungan baik secara fisik dan psikologis terhadap suatu zat adiktif dan menunjukkan tanda- tanda sebagai berikut, yaitu adanya toleransi dimana individu membutuhkan napza dalam jumlah yang semakin lama semakin besar untuk mencapai keadaan fisik dan psokologis seperti yang diinginkan. Selain itu ketergantungan napza juga mempunyai ciri adanya gejala putus zat withdrawal syndrome yang biasa juga dikenal dengan istilah sakaw yaitu keadaan dimana muncul gejala-gejala fisik dan psikologis yang tidak nyaman apalagi penggunaan zat dihentikan. 4 Tahun 2004, hasil Survey Nasional Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Napza yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Narkotika BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian “Pranata Pembangunan” Universitas Indonesia, terhadap sample 13.710 orang siswa SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi di 30 ribu Kota Propinsi seluruh Indonesia menunjukkan bahwa 3,9 dari siswa tersebut mengaku melakukan penyalahgunaan napza selama setahun terakhir Denpasar - Kasus perkembangan napza di Indonesia meningkat pesat. Dalam enam tahun terakhir kasus napza melonjak hingga 300 persen. Demikian disampaikan Kepala Badan Narkotika Nasional BNN Gories Mere di sela menggelar pertemuan dengan Badan Narkotika se-ASEAN di Hotel Melia, Nusa Dua, Bali, Senin 2862010. Pertemuan ini diprakarsai oleh BNN dan Badan Narkotika Republik Korea Selatan. Hadir dalam pertemuan tersebut badan narkotika di kawasan ASEAN, di antaranya Philipina, Malaysia, Vietnam, Laos dan Kamboja. Gories menilai perkembangan konsumsi napza juga telah bergeser dari trend konsumsi. Pengedaran dan konsumsi napza beralih dari jenis heroin dan kokain ke jenis sabu-sabu. Hal ini dibuktikan dalam setahun terakhir Indonesia menjadi tujuan pengedar sabu-sabu dari Iran. “Di Iran, harga sabu-sabu hanya Rp 100 juta per kilogram, sedangkan di Indonesia bisa sampai Rp 2 miliar per kilogram. Jadi keuntungannya mencapai 2 ribu persen,” ungkap Gories. Meningkatnya pengguna napza di Indonesia juga ditopang oleh banyaknya pabrik sabu-sabu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama Jawa dan Kalimantan. 5 Menurut Alatas Bambang 2006 masalah penyalahgunaan nakoba bukan hanya sekedar pemakaian obat dan zat kimia yang masuk kedalam tubuh dan menyangkut kesehatan saja, melainkan merupakan permasalahan manusia dalam lingkungan budayanya. Sehingga penanganan pengguna napza harus juga sampai kepada konflik intra psikis termasuk aspek keagamaan dan tekanan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, pendekatan penanganan pengguna napza harus komprehensif dan holistic menyangkut dimensi fisik neurobiologist, psikologis kepribadian, sosial tekanan lingkungan dan pergaulan, dan agama makna hidup. Untuk dapat berhasil sepenuhnya dalam penanganan pengguna napza baik dari segi pencegahan preventif, terapi maupun rehabilitasi, maka keempat dimensi secara komprehensif dalam suatu unit terapi dan rehabilitasi guna memulihkan ketergantungan penggunaan narkotika kepada keadaan yang normal. Dimensi fisik neuorobiologis menekankan pada penanganan medis terutama pada susunan saraf pusat dan sistem neurotransmitter bagi pengguna napza. Dimensi sosial menekankan pada hubungan dengan orang lain, menghargai dan menolong orang lain, komunikasi dan sebagainya. Dimensi keagamaan dengan penekanan pada tanggung jawab manusia sebagai hamba dan khalifah Tuhan, nilai-nilai hidup, makna hidup meaning life, dan sebagainya. Kunci utama dalam usaha pemulihan terhadap ketergantungan obat-obatan terlarang adalah keinginan dalam diri dengan tekad yang kuat untuk pulih. Dalam usaha pemulihan ketergantungan napza banyak lembaga yang memiliki beberapa program rehabilitasi sebagai upaya untuk membantu para jungky pengguna 6 napza dalam proses pemulihan. Bentuk program yang dijalankan untuk rehabilitasi penyalahgunaan napza adalah Therapeutic Community TC, terapi religi dan ada juga program khusus yang terdapat pada pusat rehabilitasi yang menangani residen pasien ketergantungan napza yang mengalami gangguan psikotik seperti halusinasi, delusi,waham,dsb. Tidak semua residen menjalani rehabilitasi dengan sukarela. Sebagian besar dari mereka terpaksa melakukannya karena misalnya terjerat penyelidikan dan penangkapan penyalahguna narkoba yang dilakukan oleh tim kepolisian. Apapun alasan residen menjalani rehabilitasi, mereka telah dipaksa untuk keluar dari zona aman. Perubahan fungsi-fungsi dan disiplin yang terpaksa mereka jalani seringkali menimbulkan rasa putus asa dan frustrasi. Dulu ada anggapan bahwa HIVAIDS hanya menular di lingkungan pelaku penyimpangan seksual pelacur dan homoseksual, tetapi sekarang ternyata bahwa tidak sedikit yang tertular HIV karena transfusi darah dan penggunaan jarum suntik secara bergilir diantara pecandu narkobaIDU Injecction DrugUse. Angka kejadian ketularan HIV dikalangan pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik IDU secara bergilir cukup tinggi. Penelitian diantara para IDU di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, menunjukkan bahwa 90 dari para pecandu narkoba IDU tertular HIV BNN, 2004. Pengguna Napza bukan hanya tidak sesuai dengan tatanan agama Q.S. Al Baqarah, 2. 219, dan Q.S. Al Quran Al Maidah, 5, 91, tetapi juga merupakan pelanggaran hukum Pasal 59, Undang-undang No.5, Tahun 1997, tentang 7 Psikotropika; Pasal 84, 85, dan 86, Undang-undang No. 22, Tahun 1997 tentang Napza. Perubahan disiplin hidup yang tiba-tiba harus residen jalani menimbulkan ketakutan-ketakutan. Takut menjalani rangkaian disiplin, takut menghadapi masa depan, juga ketakutan-ketakutan lain yang sebagian besar dihasilkan oleh halusinasi yang mereka ciptakan sendiri. Pecandu napza selayaknya manusia biasa memiliki keterbatasan kesabaran, beratnya program perawatan yang dijalani serta disiplin yang harus ditaati sering kali membuat mereka putus asa. Hal ini terkadang membuat mereka tergoda untuk kembali menggunakan napza. Disaat hal itu terjadi, agama dan dukungan keluarga dipercaya sebagai terapi terbaik untuk membantu residen napza untuk lepas dari ketergantungan mereka terhadap zat-zat adiktif tersebut BNN, 2004. Ada semacam hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan keluarganya. Peran dari keluarga sangat penting bagi setiap aspek perawatan kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi-strategi hingga fase rehabilitasi. Mengkaji serta memberikan motivasi merupakan hal yang penting dalam membantu setiap anggota kelompok untuk mencapai suatu keadaan sehat wellness sehingga tingkat optimum Friedman dkk, 1998. Beratnya menjalani rehabilitasi, beradaptasi dengan program-program dan disiplin di pusat rehabilitasi serta keadaan saat putus zat sakaw terkadang mengelapkan mata residen. Kunjungan keluarga, interaksi dengan orang tua yang 8 disertai dengan support merupakan salah satu sumber kekuatan bagi residen untuk terus menjalani tahapan rehabilitasi. Gunarsa dan Gunarsa 2001 dalam Jurnal Provitae mengemukakan segi- segi keluarga yang sangat penting dalam perkembangan remaja yaitu keluarga memenuhi keakraban dan kehangatan, sebagai tempat pemupukan kepercayaan diri yang menimbulkan adanya perasaan aman, sebagai tepat melatih kemandirian remaja dalam membuat keputusan dan melakukantindakan. Ia juga menambahkan bahwa hubungan orang tua dengan anak turut menentukan persiapan remaja dalam menjalankan perubahan peran sosial. Dalam kasus ini perubahan menuju kesembuhan dari ketergantungan napza. Menurut Sudarma 2008 bila bantuan professional dan bantuan sosial berupa dukungan keluarga sudah diperoleh residen dalam upaya kesembuhannya dari ketergantungan napza, dibutuhkan agama sebagai sumber sugesti dan motivasi yang kuat dalam diri residen. Karena pada dasarnya manusia membutuhkan kekuatan yang besar di luar dirinya untuk mengatasi persoalan hidup yang dihadapi yaitu Tuhan, dengan kembali kepada Sang Khalik dan memasrahkan segala persoalan hidup yang dihadapi, manusia memiliki pelindung untuk memberikan kekuatan dan menuntunnya dalam mengatasi segala permasalah yang menimpanya. Dukungan keluarga dan mendekatkan diri kepada Tuhan dipandang sebagai faktor pendukung yang sangat potensial untuk membantu proses pemulihan residen napza. Namun agama tidak boleh dilepaskan dari religiusitas, karena agama hanyalah sarana belaka, agar manusia lebih mudah menemukan jalan menuju 9 Tuhan. Sedangkan religiusitas lebih melihat aspek yang didalam lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain karena menapaskan intimitas jiwa, ‘du Coeur dalam bahasa Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawi kedalaman si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi Jacobs, 2002. Dister 1992 menjelaskan bahwa religiusitas adalah keadaan dimana individu merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya kepada-Nya manusia merasa bergantung dan berserah diri. Semakin manusia mengakui adanya Tuhan dan kuasa-Nya, maka semakin tinggi tingkat religiusitasnya. Glock Stark 1974 mengatakan bahwa ada lima dimensi keberagamaan, yaitu keyakinan ideologis, penghayatan atau pengalaman eksperiensial, peribadatan atau praktik beragama ritualistik, pengetahuan agama intelektual, dan pengamalan konsekuensi. Dari penjelasan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah ini, oleh karena itu penulis ingin meneliti bagaimana Tingkat Religiusitas Dan Kunjungan Keluarga Residen Di Pusat Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido-Sukabumi 10

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian